BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Jangkauan Dan Arah Pengaturan
Pengaturan sektor jasa konstruksi dimaksudkan untuk
memberikan landasan atau sistem pengelolaan dan penyelenggaraan jasa konstruksi
yang mampu:
a. memberikan arah
pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha
yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang
berkualitas;
b. mewujudkan
tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan
antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mewujudkan
peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi;
d. menata sistem
Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan
lingkungan terbangun;
e. menjamin tata
kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik; dan
f. menciptakan
integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Sektor jasa konstruksi sesungguhnya memiliki outcome atau sasaran akhir terciptanya
lingkungan terbangun yang nyaman atau the
finest built environment. Oleh
karena itu, orientasi pengaturan sektor jasa konstruksi adalah mencapai suatu kondisi lingkungan terbangun yang memberi
kenyamanan kepada masyarakat luas. Lingkungan terbangun ini akan memiliki
dimensi pelaku, proses dan produk yang berada pada suatu ekosistem. Lingkungan
dibentuk oleh suatu produk artefak atau bentuk fisik sebagai keluaran akhir
suatu proses pekerjaan konstruksi. Produk konstruksi akan menjadi aset fisik
berusia sangat panjang (long lasting
114
artefacts) dan memiliki
karakteristik perubahan sangat lambat dengan
dampak jangka panjang yang biasanya jauh lebih lama dari jangka waktu
proses membuatnya serta terkait dengan perubahan sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat. Dengan demikian, hasil akhir pekerjaan konstruksi akan terkait
dengan interaksi sosial, psikologi, dan fisik antara individu, kelompok dan
aset fisik terbangun lainnya.
Disamping itu, secara konvensional, lingkungan terbangun
adalah suatu obyek bangunan hasil dari suatu dekomposisi dari suatu proses
konstruksi yang terpisah, seperti perencanaan, disain rekayasa, dan pelaksanaan
yang terpisah-pisah dalam suatu rentang waktu yang mulai dan berakhir telah
ditetapkan.
Selanjutnya tata kelola jasa konstruksi yang baik (good construction services governance) adalah orientasi dari pengaturan sektor jasa konstruksi. Kondisi ini dibutuhkan
ketika struktur rantai suplai dari para pelaku sektor konstruksi datang dari
profesi dan latar belakang usaha yang beragam. Tata kelola yang baik dengan
prinsip-prinsip utama partisipasi, transparansi, akuntabilitas dari sektor jasa
konstruksi diharapkan menjamin pengembangan sektor jasa konstruksi menjadi
lebih kokoh, handal dan berdayasaing tinggi. Disamping itu, orientasi ini akan
membawa implikasi bahwa pengaturan sektor konstruksi harus dapat menjamin
keadilan (fairness) dan kesetaraan
hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu struktur rangkaian dari
kluster konstruksi.
Disamping itu, tata kelola jasa konstruksi yang baik
dibutuhkan untuk menjamin arus sumber daya tidak hanya dikuasai oleh
orang-perorangan atau golongan tertentu melalui monopoli maupun kartel. Oleh
karena itu, setiap tahapan dari siklus layanan jasa konstruksi harus dijamin
transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi yang kompetitif dari
masyarakat luas.
Kegiatan jasa konstruksi diatur sedemikian rupa sehingga
mampu menghasilkan integrasi nilai dari setiap tahapan siklus pekerjaan jasa
konstruksi. Dalam konteks ini, subjek yang diatur adalah pihak-pihak yang
terikat dalam pengikatan yaitu, penyedia jasa dan pengguna jasa. Hubungan
antara pihak ini harus diatur sehingga dapat mencerminkan
115
kesetaraan dan keadilan diantara keduanya, serta dapat
melindungi hak dan kewajiban para pihak tersebut. Hak dan kewajiban antara
penyedia jasa dan pengguna jasa harus diatur secara jelas terutama yang
berimplikasi keluar, seperti dampak terhadap lingkungan sekitar, tanggungjawab
kepada pihak-pihak yang terkena dampak selama proses penyelenggaraan, serta
jaminan yang jelas atas kesepakatan dalam kerangka hukum perdata. Pengaturan
dalam undang-undang ini juga harus mampu menampung bagaimana cara para pihak
ini menyelesaikan sengketa baik akibat cedera janji maupun pelanggaran atas hal
yang telah disepakati dalam kontrak.
Pengaturan sektor jasa konstruksi perlu juga diarahkan
agar sektor jasa konstruksi Indonesia mampu menciptakan nilai tambah kepada
masyarakat secara berkelanjutan melalui profesionalisme, sinergi dan daya saing
para pelakunya. Dalam hal ini, kegiatan konstruksi yang menghasilkan produk
bangunan seperti infrastruktur harus dapat menjadi prasarana yang menfasilitasi
pengembangan sektor-sektor ekonomi masyarakat, pengembangan wilayah dimana
masyarakat berada, pengembangan modernitas dari masyarakat perkotaan dan
perdesaan, serta pengembangan status masyarakat. Dengan demikian, sektor jasa
konstruksi perlu diatur sedimikian rupa sehingga baik pelaku, proses maupun
produk dapat memberi manfaat terhadap masyarakat luas. Pengurangan dampak
ekonomi, sosial, dan lingkungan atas penyelenggaraan kegiatan konstruksi harus
dapat diminimalisir oleh para pihak pelaku.
Secara keseluruhan, tujuan pengaturan sektor jasa
konstruksi adalah menjamin bahwa pelaku dari setiap bagian struktur suplai
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi memiliki kapasitas, kompetensi dan daya
saing tinggi untuk menjadikan proses penyelenggaraan jasa konstruksi efisien,
efektif, dan cost-effectiveness serta
berkeadilan sehingga produktif dalam menghasilkan produk jasa konstruksi
(infrastruktur & gedung, serta fasilitas fisik lainnya) berkualitas,
bermanfaat dan berkelanjutan
116
B. Ruang Lingkup Materi Muatan
Undang-Undang
1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum dari Rancangan Undang Undang tentang Jasa
Konstruksi berisi batasan pengertian atau definisi mengenai: jasa konstruksi,
pekerjaan konstruksi, konsultansi konstruksi, pengguna jasa, penyedia jasa,
Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi, kontrak kerja konstruksi,
standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan, kegagalan pekerjaan konstruksi,
kegagalan bangunan, sertifikasi badan usaha, sertifikat badan usaha,
sertifikasi kompetensi kerja, sertifikat kompetensi kerja, tanda daftar usaha
perseorangan, izin usaha jasa konstruksi, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
setiap orang dan menteri.
Selain itu, dalam Rancangan ini
juga berisi redefinisi mengenai:
1. Pengertian jasa
konstruksi menjadi layanan jasa yang meliputi pekerjaan konstruksi dan/atau
konsultansi konstruksi. Hal ini berbeda dengan pengertian jasa konstruksi dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan jasa konstruksi
sebagai layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan
pekerjaan konstruksi.
2. Pengertian
pekerjaan konstruksi menjadi keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi
pembuatan, pengoperasian, pemeliharaan, penghancuran, dan pembuatan kembali.
Hal ini berbeda dengan pengertian pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi yang mendefinisikan pekerjaan konstruksi menjadi keseluruhan
atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal,
dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan
suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
117
3.
Pengertian pengguna jasa menjadi pemberi atau pemilik
Pekerjaan Konstruksi dan/atau Konsultansi Konstruski yang memerlukan layanan
Jasa Konstruksi. Hal ini berbeda dengan pengertian pengguna jasa dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan pengguna jasa adalah
orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik
pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
4. Pengertian
penyedia jasa menjadi pemberi layanan Jasa Konstruksi. Hal ini berbeda dengan
pengertian penyedia jasa dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang
mendefinisikan penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi.
5. Pengertian
kegagalan bangunan menjadi suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak
berfungsinya bangunan, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis
dan/atau manfaat setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi. Hal ini
berbeda dengan pengertian kegagalan bangunan dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi yang mendefinisikan kegagalan bangunan sebagai keadaan bangunan,
yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi
tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau
pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan
penyedia jasa dan/atau pengguna
jasa.
Sementara
pengertian baru atau definisi baru dalam RUU Jasa Konstruksi adalah sebagai
berikut:
1. Standar
Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan adalah pedoman keteknikan, keamanan,
keselamatan, kesehatan tempat kerja konstruksi, dan perlindungan sosial tenaga
kerja, serta tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
2. Kegagalan
Pekerjaan Konstruksi adalah suatu keadaan keruntuhan hasil penyelenggaraan Jasa
Konstruksi baik secara keseluruhan
118
maupun sebagian yang terjadi dalam proses Pekerjaan
Konstruksi sebelum dilaksanakannya penyerahan akhir hasil Pekerjaan Konstruksi.
3. Sertifikasi
Badan Usaha adalah proses pemberian sertifikat atas penilaian untuk mendapatkan
pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha di
bidang Jasa Konstruksi.
4. Sertifikat
Badan Usaha adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi
atas kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi.
5. Sertifikasi
Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi melalui uji
kompetensi sesuai standar kompetensi kerja nasional indonesia, standar
internasional, dan/atau standar khusus.
6. Sertifikat
Kompetensi Kerja adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja
konstruksi.
7. Tanda Daftar
Usaha Perseorangan adalah izin yang diberikan kepada usaha orang perseorangan
untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi.
8. Izin Usaha Jasa
Konstruksi yang selanjutnya disebut Izin Usaha adalah izin yang diberikan
kepada badan usaha untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi.
9. Pemerintah
Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
10. Pemerintah
Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
otonom.
11. Setiap Orang adalah orang
perseorangan dan/atau badan usaha.
12. Menteri adalah
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
2. Asas, Fungsi, Dan Tujuan
119
Dalam bab ini diatur mengenai asas
dalam penyelenggaraan kegiatan Jasa Konstruksi antara lain berasaskan kejujuran
dan keadilan, manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, profesionalitas,
kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan,
pembangunan berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
Asas kejujuran dan keadilan adalah kesadaran akan
fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab
memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya.
Asas manfaat adalah bahwa segala kegiatan jasa konstruksi
harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam
kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektitas yang dapat menjamin
terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan
jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional.
Asas kesetaraan adalah bahwa kegiatan jasa konstruksi
harus dilaksankanan dengan memperhatikan kesetaraan hubungan kerja antara
pengguna jasa dan penyedia jasa.
Asas keserasian adalah harmoni dalam interaksi antara
pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang
berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat
tinggi.
Asas keseimbangan adalah bahwa penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya
keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa
dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin
terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan
peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa.
Asas profesionalitas adalah adalah penyelenggaraan jasa konstruksi
merupakan kegiatan profesi yang menjunjung tinggi nilai profesionalisme.
120
Asas kemandirian adalah
penyelenggaraan jasa konstruksi dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya
nasional di bidang jasa konstruksi.
Asas keterbukaan adalah ketersediaan informasi yang dapat
diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi
dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat
melaksanakan kewajiban secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk
memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya
berbagai kekurangan dan penyimpangan.
Asas kemitraan adalah hubungan kerja para pihak yang
harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.
Asas keamanan dan keselamatan adalah terpenuhinya tertib
penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja,
serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan
kepentingan umum.
Asas kebebasan adalah bahwa dalam penyelenggaraan jasa
konstruksi pengguna jasa memiliki kebebasan untuk memilih penyedia jasa dan
juga adanya kebebasan berkontrak antara penyedia jasa dan pengguna jasa.
Asas pembangunan berkelanjutan adalah bahwa
penyelenggaraan jasa konstruksi dilaksanakan dengan memikirkan dampak yang
ditimbulkan pada lingkungan yang terjaga secara terus menerus menyangkut aspek
ekologi, ekonomi,dan sosial budaya.
Asas berwawasan lingkungan adalah bahwa penyelenggaraan
jasa konstruksi memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan
hidup.
Adanya penambahan asas dalam RUU ini dibandingkan dengan
asas dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Asas dalam Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi adalah asas kejujuran dan keadilan, manfaat,
keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan
keselamatan demi kepentingan masyarakat bangsa dan negara.
121
Selanjutnya, dalam bab ini dirumuskan pula mengenai tujuan
dari penyelenggaraan kegiatan jasa konstruksi yaitu:
a. memberikan arah
pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha
yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang
berkualitas;
b. mewujudkan
tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan
antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mewujudkan
peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi;
d. menata sistem
Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan
kenyamanan lingkungan terbangun;
e. menjamin tata
kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik; dan
f. menciptakan
integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Tujuan dalam
RUU ini lebih
luas dibandingkan dengan
pengaturan
tujuan yang ada dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Tujuan dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa
konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing
tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia
jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatahan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mewujudkan
peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
3. Pembinaan
122
Konsep pembinaan dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Pembinaan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat
dilakukan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri teknis terkait. Sedangkan
pembinaan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dilakukan oleh gubernur
dan/atau walikota/bupati.
Pembinaan Jasa Konstruksi yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat meliputi:
a. penetapan kebijakan pengembangan
Jasa Konstruksi nasional;
b. penyelenggaraan
kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi yang bersifat strategis, lintas negara,
lintas provinsi, dan/atau berdampak pada kepentingan nasional; dan
c. pemantauandan evaluasipenyelenggaraankebijakan
pengembangan Jasa Konstruksi
nasional.
Pembinaan
Jasa Konstruksi yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah provinsi
meliputi:
a. penetapan
pedoman teknis pelaksanaan kebijakan Jasa Konstruksi nasional di wilayah
provinsi;
b. penyelenggaraan
kebijakan Jasa Konstruksi yang berdampak lintas kabupaten/kota di wilayah
provinsi; dan
c. pemantauan dan
evaluasi penyelenggaraan kebijakan Jasa Konstruksi nasional di wilayah
provinsi.
Pembinaan Jasa
Konstruksi oleh pemerintah
daerah
kabupaten/kota meliputi:
a. penyelenggaraan
kebijakan Jasa Konstruksi yang berdampak hanya di wilayah kabupaten/kota; dan
b. pemantauan dan
evaluasi penyelenggaraan kebijakan
Jasa
Konstruksi nasional di daerah
kabupaten/kota.
Pembinaan
Jasa Konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada
dasarnya bertujuan:
a. meningkatkan
kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja konstruksi
nasional;
b. meningkatkan kemampuan dan
kapasitas usaha Jasa Konstruksi
123
c. meningkatkan
kualitas dan penggunaan material konstruksi dan teknologi konstruksi dalam
negeri;
d. menciptakan
iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang transparan,
persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara
Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa;
e. menjamin
keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi serta hasil Jasa Konstruksi yang ramah lingkungan; dan
f. meningkatkan partisipasi
masyarakat di bidang Jasa Konstruksi.
Untuk
meningkatkan kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja
konstruksi nasional, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan sumber
daya manusia di bidang Jasa Konstruksi meliputi:
a. mengembangkan standar kompetensi
tenaga kerja konstruksi;
b. mengembangkan sistem pelatihan
tenaga kerja konstruksi nasional;
c. menyelenggarakan pelatihan tenaga
kerja konstruksi;
d. mengembangkan
sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi nasional; dan
e. menetapkan
standar remunerasi minimal tenaga kerja konstruksi. Selanjutnya untuk
meningkatkan kemampuan dan kapasitas
usaha Jasa
Konstruksi nasional, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan usaha
di bidang Jasa Konstruksi meliputi:
a. mengembangkan
struktur usaha Jasa Konstruksi guna terciptanya kerjasama sinergis antara usaha
umum dan spesialis, serta antar usaha kecil, menengah, dan besar;
b. mengembangkan sistem persyaratan
usaha Jasa Konstruksi;
c. mengembangkan sistem rantai pasok
Jasa Konstruksi;
d. meningkatkan
akses badan usaha jasa kontruksi terhadap penjaminan dan permodalan usaha; dan
e. memberikan
dukungan bagi badan usaha Jasa Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa
Konstruksi internasional.
124
Untuk meningkatkan kualitas dan
penggunaan material konstruksi dan teknologi konstruksi dalam negeri,
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan material dan teknologi
konstruksi dalam negeri meliputi:
a. mengembangkan rencana induk penelitian dan
pengembangan material dan teknologi konstruksi nasional;
b. memberikan dukungan pembiayaan bagi
penelitian dan pengembangan material dan teknologi konstruksi;
c. mengembangkan
skema kerjasama antara institusi penelitian dan pengembangan dengan seluruh
pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
d. menetapkan pengembangan teknologi
prioritas yang meliputi:
1. teknologi sederhana tepat guna dan
padat karya;
2. teknologi yang berkaitan dengan
posisi geografis Indonesia;
3. teknologi konstruksi yang ramah
lingkungan;
4. teknologi material baru yang
berpotensi tinggi di Indonesia; dan
5. teknologi dan manajemen
pemeliharaan aset infrastruktur; dan
e. mempromosikan
material dan teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh pemangku
kepentingan nasional maupun internasional.
Untuk
menciptakan iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang
transparan, persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan
kewajiban antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa, Pemerintah Pusat menetapkan
kebijakan pengembangan penyelenggaraan Jasa Konstruksi meliputi:
a. mengembangkan
prosedur pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi dan pelaksanaan konstruksi;
b. mengembangkan
standar Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban
Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa;
c. mendorong
digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi
di luar pengadilan; dan
d. mengembangkan sistem
kinerja Penyedia Jasa
dalam
125
Selanjutnya
untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta hasil Jasa Konstruksi yang ramah
lingkungan, Pemerintah Pusat menyusun kebijakan dan menetapkan standar
keamanan, keselamatan, dan kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Sedangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi,
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan partisipasi masyarakat di
bidang Jasa Konstruksi, meliputi:
a. memperkuat kapasitas kelembagaan
masyarakat Jasa Konstruksi;
b. meningkatkan
partisipasi masyarakat yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam pengawasan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; dan
c. memfasilitasi
penyelenggaraan forum Jasa Konstruksi sebagai wadah aspirasi masyarakat Jasa
Konstruksi.
Masih
dalam lingkup pembinaan, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Jasa
Konstruksi meliputi:
a. tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi sesuai
dengan Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan;
b. tertib persyaratan usaha dan perizinan tata
bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan
c.
kinerja Penyedia Jasa dalam menyelenggarakan Jasa Konstruksi. Dalam
melaksanakan pembinaan, Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah
Daerah dapat melibatkan Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Sedangkan
ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
4. Usaha Jasa Konstruksi
Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, bidang usaha
jasa konstruksi berdasarkan pada disiplin keilmuan yang mencakup pekerjaan
arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan (ASMET),
sedangkan pada RUU tentang Jasa Konstruksi, struktur usaha
126
Jasa Konstruksi meliputi: a. jenis, sifat, klasifikasi,
dan layanan usaha; dan b. bentuk dan kualifikasi usaha. Dari struktur usaha
Jasa Konstruksi kemudian diperinci berdasarkan jenis usaha Jasa Konstruksi yang
meliputi: a. jasa konsultansi konstruksi; b. jasa pelaksana konstruksi; dan c.
jasa pelaksana konstruksi terintegrasi. Klasifikasi usaha Jasa Konstruksi
didasarkan pada klasifikasi produk konstruksi yakni pengelompokan usaha Jasa
Konstruksi menggunakan skema klasifikasi-subklasifikasi-produk berdasarkan Central Product Classifications (CPC).
Sifat usaha jasa konsultansi konstruksi ada yang bersifat
umum dan spesialis. Klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat
umum meliputi antara lain: arsitek; rekayasa; rekayasa terpadu; dan arsitektur
lanskap dan perencanaan wilayah. Selanjutnya klasifikasi usaha jasa konsultansi
konstruksi yang bersifat spesialis meliputi antara lain: konsultansi ilmiah dan
teknis; dan pengujian dan analisis teknis. Layanan usaha yang dapat diberikan
oleh jasa konsultansi konstruksi yang bersifat umum meliputi: pengkajian;
perencanaan; perancangan; dan/atau pengawasan. Adapun layanan usaha yang dapat
diberikan oleh jasa konsultansi konstruksi yang bersifat spesialis meliputi:
survei; pengujian teknis; dan/atau analisis.
Selanjutnya terkait dengan usaha jasa pelaksana konstruksi
meliputi usaha yang bersifat umum; dan spesialis. Klasifikasi usaha untuk jasa
pelaksana konstruksi yang bersifat umum meliputi bangunan gedung dan bangunan
sipil. Klasifikasi usaha untuk jasa pelaksana konstruksi yang bersifat
spesialis meliputi antara lain: a penyiapan lapangan; b. instalasi; c.
konstruksi khusus; d. konstruksi prapabrikasi; e. penyelesaian bangunan; dan f.
penyewaan peralatan.
Layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa pelaksana
konstruksi yang bersifat umum meliputi: pembangunan; pemeliharaan;
penghancuran; dan/atau pembuatan kembali. Layanan usaha yang dapat diberikan
oleh jasa pelaksana konstruksi yang bersifat spesialis meliputi pekerjaan
bagian tertentu dari bangunan konstruksi atau
127
bentuk fisik lainnya. Klasifikasi usaha untuk jasa
pelaksana konstruksi terintegrasi meliputi bangunan gedung; dan bangunan sipil.
Selain itu terdapat layanan usaha
yang dapat diberikan oleh jasa
pelaksana
konstruksi terintegrasi meliputi: a. rancang bangun; b. perencanaan, pengadaan,
dan pelaksanaan; dan c. penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berbasis kinerja.
Perubahan bidang usaha jasa konstruksi akan mempermudah
pemerintah pusat untuk melakukan pengaturan dan pembinaan pada bidang usaha
jasa konstruksi. Selain itu, pengklasifikasian ini menyebabkan playing field di bidang Jasa Konstruksi
menjadi lebih luas dan beragam, meningkatkan peluang usaha, lapangan kerja dan
penyerapan tenaga kerja, serta memudahkan penyetaraan dengan klasifikasi Negara
lain.
Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi,
bentuk usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan
usaha, dimana bentuk usaha orang perseorangan hanya dapat melaksanakan
pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan berbiaya
kecil. Sedangkan untuk pekerjaan konstruksi yang berisiko besar, berteknologi
tinggi, dan berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang
berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. Pada
RUU, terkait
bentuk dan kualifikasi usaha, usaha jasa konstruksi
berbentuk
usaha orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun
tidak berbadan hukum. Adapun kualifikasi usaha bagi badan usaha terdiri atas:
kecil; menengah; dan besar. Penetapan kualifikasi usaha tersebut dilaksanakan melalui
penilaian terhadap penjualan tahunan; kemampuan keuangan; dan ketersediaan
tenaga kerja konstruksi. Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan usaha
dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.
Segmentasi Pasar terbagi dalam segmentasi usaha orang
perseorangan badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi kecil yang hanya dapat
menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko kecil;
berteknologi sederhana; dan berbiaya kecil. Selanjutnya, segmentasi pasar usaha
badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi
128
menengah yang hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi
pada segmen pasar yang berisiko sedang; berteknologi madya; dan/atau berbiaya
sedang. Adapun untuk badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi besar yang
berbadan hukum dan perwakilan usaha Jasa Konstruksi asing hanya dapat
menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko besar;
berteknologi tinggi; dan/atau berbiaya besar.
Terdapat pengaturan khusus dalam hal penyelenggaraan Jasa
Konstruksi menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta memenuhi
kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi sederhana sampai
dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang, pemerintah daerah
provinsi dapat membuat kebijakan khusus meliputi:
a. kerjasama operasi
dengan badan usaha Jasa Konstruksi daerah; b. penggunaan subpenyedia jasa
daerah; dan/atau c. penggunaan tenaga kerja daerah.
Persyaratan Usaha baik usaha orang perseorangan maupun
badan usaha harus memiliki izin usaha. Untuk usaha orang perseorangan wajib
memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan. Sedangkan untuk badan usaha Jasa
Konstruksi wajib memiliki Izin Usaha. Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha
Perseorangan berlaku untuk melaksanakan kegiatan usaha Jasa Konstruksi di
seluruh wilayah Republik Indonesia. Pemerintah daerah kabupaten/kota membentuk
peraturan di daerah mengenai Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha Perseorangan.
Untuk mendapatkan Tanda Daftar Usaha Perseorangan yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kot, usaha orang perseorangan harus
memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja. Sedangkan
untuk
mendapatkan Izin Usaha dari pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha harus
memiliki Sertifikat Badan Usaha dan penanggung jawab teknik badan usaha yang
bersertifikat.
Sertifikat Badan Usaha diterbitkan melalui suatu proses
sertifikasi dan registrasi oleh badan yang dibentuk dan
129
bertanggungjawab kepada Menteri yang memiliki tugas
sertifikasi dan registrasi di bidang Jasa Konstruksi dengan mengajukan
permohonan kepada badan tersebut melalui asosiasi badan usaha yang
terakreditasi oleh Menteri. Selain itu dalam RUU juga diatur mengenai
registrasi pengalaman. Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman usaha, setiap
badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi menengah dan besar harus melakukan registrasi
pengalaman kepada badan dimaksud.
Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum diatur
secara khusus mengenai bentuk usaha yang dilakukan oleh badan usaha asing,
sedangkan pada RUU perubahan telah diatur secara khusus mengenai ketentuan
persyaratan bagi badan usaha asing atau usaha perseorangan asing yang akan
melakukan usaha jasa konstruksi di wilayah Indonesia. Badan usaha asing atau
usaha orang perseorangan asing yang akan melakukan usaha Jasa Konstruksi di
wilayah Indonesia wajib membentuk: kantor perwakilan atau badan usaha berbadan
hukum Indonesia melalui kerjasama modal dengan badan usaha Jasa Konstruksi
nasional. Terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh kantor
perwakilan yaitu:
a.
berbentuk badan usaha dengan kualifikasi yang setara dengan kualifikasi besar;
b. memiliki sertifikat penyetaraan
dari BSRJK;
c. memiliki izin
perwakilan badan usaha Jasa Konstruksi asing yang diberikan oleh Menteri sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. dalam setiap
kegiatan usaha Jasa Konstruksi di Indonesia, membentuk kerja sama operasi
dengan badan usaha Jasa Konstruksi nasional berkualifikasi besar yang memiliki
Izin Usaha yang dilakukan dengan prinsip kesetaraan kualifikasi, kesamaan
layanan, dan tanggung renteng;
e. mengutamakan
lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing;
130
g. memiliki
teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan lingkungan, serta memperhatikan
kearifan lokal;
h. melaksanakan proses alih
teknologi; dan
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan.
Adapun badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam
rangka kerjasama modal harus memenuhi persyaratan kualifikasi besar dan wajib
memiliki Izin Usaha yang diberikan oleh Menteri sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Peraturan dalam RUU yang mengatur mengenai klasifikasi dan
kualifikasi usaha, izin usaha, dan sertifikasi usaha secara lebih terperinci
dimaksudkan agar bisa memberikan panduan atau guideline yang lebih jelas dan memberikan kepastian hukum bagi para
pelaku usaha jasa konstruksi.
Dalam rangka pembinaan terhadap usaha di bidang jasa
konstruksi diatur pula pengembangan usaha berkelanjutan atau contiouning
business development bagi setiap badan usaha Jasa yang bertujuan untuk
bertujuan meningkatkan tata kelola usaha yang baik; dan memiliki tanggung jawab
profesional termasuk tanggung jawab badan usaha terhadap masyarakat.
Pengembangan usaha berkelanjutan diselenggarakan oleh asosiasi badan usaha Jasa
Konstruksi.
5. Pengikatan Pekerjaan Konstruksi
Pengaturan
mengenai pengikatan pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi sangat detail mulai dari ketentuan mengenai para pihak, ketentuan
mengenai jaminan pembayaran/pembiayaan, bagaimana proses pengikatan antara para
pihak dan pengaturan mengenai kontrak kerja konstruksi. ketentuan mengenai para
pihak tidak mengalami perubahan mendasar dalam RUU, hanya ditambahkan mengenai
siapa saja yang dimaksudkan sebagai pihak pengguna dan penyedia jasa, yakni
orang perseorangan atau
131
badan; baik badan usaha dan bukan badan usaha, baik
Indonesia maupun asing. ketentuan yang membagi penyedia jasa pada perencana,
pelaksana dan pengawas konstruksi sudah tidak relevan diatur mengingat perubahan
pengertian/definisi pekerjaan konstruksi dan tahapannya. Ketentuan mengenai
jaminan pembayaran/pembiayaan dipindahkan ke bagian penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi mengingat relevansinya dengan kewajiban memberikan jaminan
pembayaran oleh pengguna jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, tidak ada pembedaan antara proses
pengikatan bagi pekerjaan konstruksi yang merupakan pekerjaan yang didanai
dengan keuangan negara dengan pekerjaan swasta atau pekerjaan individual.
Pengguna jasa baik pemerintah maupun swasta dalam memilih penyedia jasa harus
melalui proses pelelangan baik dengan cara pelelangan umum maupun terbatas.
Pengaturan mengenai proses pengikatan melalui pelelangan diatur dengan rinci, termasuk
persyaratan teknis dan mekanisme pemilihan. Dalam RUU, pengaturan mengenai
pengikatan dikembalikan pada aturan hukum perdata, dimana pengikatan merupakan
ranah perdata yang memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengikatkan diri
dalam suatu perjanjian. Sehingga ketentuan mengenai pengikatan antara para
pihak berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali
dinyatakan lain dalam Undang-Undang ini. Pengecualian ini ditujukan untuk
pekerjaan konstruksi yang menggunakan keuangan negara yang harus melalui proses
pelelangan dalam pemilihan penyedia jasa. Ketentuan mengenai pelelangan
tersebut perlu diatur secara garis besar dalam RUU, sedangkan teknis mekanisme,
persyaratan dan proses pemilihan dan penetapannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Namun demikian RUU ini memungkinkan penetapan penyedia
jasa bagi proyek pemerintah dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau
penunjukan langsung dalam keadaan:
a. penanganan darurat untuk keamanan
dan keselamatan masyarakat;
b. pekerjaan yang
kompleks yang hanya
dapat dilaksanakan oleh
132
c. pekerjaan yang
perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara; dan
d. pekerjaan yang berskala kecil.
Bagi
badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada
pada kepengurusan yang sama dilarang mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan
konstruksi secara bersamaan. pengaturan ini dimaksudkan untuk menghindari kecurangan
dan persaingan usaha tidak sehat.
Selain
itu untuk menghindari adanya monopoli dalam suatu pekerjaan konstruksi dan
sistem persaingan usaha yang tidak sehat, pengguna jasa dilarang memberikan
pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu
pekerjaan konstruksi yang terkait dengan pembangunan sarana kepentingan umum,
kecuali jika pemberian pekerjaan tersebut dilakukan dengan melalui pelelangan.
Dalam
rangka pengaturan hubungan kerja yang jelas dan adil antara pengguna jasa dan
penyedia jasa secara hukum, pengaturan ada pengaturan mengenai kontrak kerja
konstruksi. namun mengingat sifat kontrak yang pada dasarnya mengikat sepanjang
disepakati para pihak, maka ketentuan dalam RUU hanya mengatur mengenai batasan
minimal hal-hal yang harus disepakati dalam suatu kontrak kerja. Adapun
bentuk-bentuk kontrak kerja konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan
dan dilaksanakan/berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini
mengingat perkembangan pengikatan dan jenis kontrak berkembang seiring dengan
perkembangan usaha jasa konstruksi yang semakin dinamis dan global.
Pengaturan
batasan minimal muatan suatu kontrak diatur dalam rangka melindungi kedua belah
pihak apabila terjadi sengketa atau terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau
kegagalan bangunan serta adanya pihak ketiga atau masyarakat yang dirugikan
akibat penyelenggaraan suatu pekerjaan konstruksi. pengaturan ini dimaksudkan
pula agar pihak yang berwenang memiliki dasar pijakan
133
jika terjadi konflik dan sengketa antara para pihak maupun
dalam hal adanya penyelenggaraan suatu pekerjaan konstruksi yang mengakibatkan
kerugian pihak lain seperti masyarakat dan lingkungan.
Selain
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, beberapa muatan
yang harus ditambahkan pada syarat minimal kontrak antara lain:
a. kewajiban jaminan pembayaran dari
pengguna jasa;
b. kegagalan
pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan yang memuat ketentuan tentang
kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan pekerjaan
konstruksi dan kegagalan bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan
bangunan; dan
c. perlindungan
terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, yang memuat kewajiban para
pihak dalam hal terjadi kegagalan konstruksi yang menimbulkan kerugian atau
menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian orang-orang di luar tenaga kerja.
6. Penyelenggaraan Pekerjaan
Konstruksi
Bab
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi masih tetap dipertahankan dalam RUU ini, namun dibagi ke dalam
beberapa bagian yang lebih rinci mencakup bagian Penyedia Jasa dan Sub Penyedia
Jasa, Pembiayaan, Standar Keselamatan Konstruksi, dan bagian Kegagalan
Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan yang didalamnya terdapat sub bagian
yang membicarakan tentang penilai ahli dan jangka waktu dan pertanggungjawaban
kegagalan bangunan. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi saat ini masih bersifat general sehingga kurang dapat
menjelaskan secara komprehensif hal-hal yang berkaitan dengan penyelengaraan
pekerjaan konstruksi.
134
Penyedia Jasa dan subpenyedia jasa dalam penyelenggaraan
Jasa Konstruksi harus sesuai dengan perjanjian dalam kontrak dan memenuhi
Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan. Dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi, Penyedia Jasa dilarang memberikan pekerjaan utama kepada
subpenyedia jasa kecuali kepada usaha Jasa Konstruksi yang bersifat spesialis.
Pemberian pekerjaan utama kepada subpenyedia jasa yang bersifat spesialis harus
mendapat persetujuan Pengguna Jasa. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi,
Penyedia Jasa dengan kualifikasi menengah dan/atau besar mengutamakan untuk
memberikan pekerjaan penunjang kepada subpenyedia jasa yang bersifat spesialis
dengan kualifikasi kecil.
Penyedia Jasa dan subpenyedia jasa wajib memenuhi hak dan
kewajiban sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi antara Penyedia
Jasa dan subpenyedia jasa. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa
dan/atau subpenyedia jasa wajib menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat
biaya, tepat mutu, dan tepat waktu sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi. Setiap orang yang tidak menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat
biaya, tepat mutu, dan tepat waktu dapat dikenai ganti kerugian sesuai dengan
kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
b. Pembiayaan
Dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pengguna Jasa wajib menjamin ketersediaan biaya
dan melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan Penyedia Jasa
secara tepat jumlah dan tepat waktu. Setiap orang yang tidak menjamin
ketersediaan biaya dan melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan
Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan tepat waktu dapat dikenai ganti kerugian
sesuai dengan kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dapat dibiayai oleh
pemerintah, swasta, dan/atau masyarakat sebagai Pengguna Jasa. Pengguna Jasa
harus memiliki kemampuan membayar dan
135
bertanggungjawab atas biaya layanan Jasa Konstruksi yang didukung
dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan
bukan bank. Bukti kemampuan membayar dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang
disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran biaya,
dan/atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi. Dalam
hal Pengguna Jasa adalah Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, pembuktian
kemampuan untuk membayar diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan
anggaran. Pengguna Jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
c. Standar Keamanan, Keselamatan,
dan Kesehatan
Dalam
setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa wajib
memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan,
dan
Kesehatan. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dan/atau
Pengguna Jasa dapat memberikan pengesahan atau persetujuan atas:
a. hasil pengkajian, perencanaan
dan/atau perancangan;
b. rencana teknis
proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan kembali;
c. dilaksanakannya
suatu proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan
kembali;
d. penggunaan material dan/atau
peralatan; dan/atau
e. diterimanya hasil layanan Jasa
Konstruksi.
Adapun
standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi meliputi:
a. standar mutu bahan;
b. standar mutu peralatan;
c. standar prosedur keamanan,
keselamatan, dan kesehatan kerja;
d. standar prosedur pelaksanaan
pekerjaan konstruksi;
e. standar mutu hasil pekerjaan
konstruksi;
136
g. pedoman
perlindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
h. standar
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Standar
Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan untuk setiap produk konstruksi diatur oleh
Menteri setelah berkoordinasi menteri teknis yang terkait. Dalam menyusun
Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan untuk setiap produk konstruksi,
Menteri memperhatikan kondisi geografis yang rawan gempa dan kenyamanan
lingkungan terbangun.
d. Kegagalan Pekerjaan Konstruksi
dan Kegagalan Bangunan
Dalam
hal penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak memenuhi Standar Keamanan,
Keselamatan, dan Kesehatan, Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dapat menjadi
pihak yang bertanggung jawab terhadap Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan/atau
Kegagalan Bangunan yang ditetapkan oleh penilai ahli ditetapkan oleh badan
sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi. Dalam melaksanakan tugas, penilai
ahli wajib bekerja dengan prinsip independen dan imparsial. Biaya penilai ahli
dalam pelaksanaan tugasnya dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja
negara
d.1. Penilai Ahli
Persyaratan penilai ahli:
a. memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja sekurang-kurangnya pada jenjang jabatan ahli di
bidang yang sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami Kegagalan
Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan;
b. memiliki pengalaman sebagai perencana, pelaksana, dan/atau
137
pengawas pada pekerjaan konstruksi sesuai dengan
klasifikasi produk bangunan yang mengalami Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau
Kegagalan Bangunan; dan
c. terdaftar di BSRJK sebagai
Penilai Ahli.
Adapun penilai ahli mempunyai tugas
antara lain:
a. menetapkan
tingkat kepatuhan terhadap standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. menetapkan
sebab-sebab terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan;
c. menetapkan
tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan bangunan;
d. menetapkan
pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan serta tingkat dan sifat
kesalahan yang dilakukan;
e. menetapkan
besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar oleh
pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan;
f. menetapkan jangka waktu pembayaran
kerugian;
g. menetapkan adanya indikasi awal
tindak pidana bidang konstruksi;
h. melaporkan
hasil penilaiannya kepada BSRJK dan instansi yang mengeluarkan izin membangun,
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah melaksanakan tugasnya; dan
i. memberikan
rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah dan/atau BSRJK dalam rangka pencegahan
terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan.
Dalam melaksanakan tugas, penilai
ahli berwenang untuk:
a. menghubungi
pihak-pihak terkait, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan;
b. memperoleh data yang diperlukan;
c. melakukan pengujian yang
diperlukan; dan
138
Penyedia
Jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan/atau
Kegagalan Bangunan yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa atas biaya sendiri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian Kegagalan Pekerjaan Konstruksi
dan/atau Kegagalan Bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
d.2. Jangka Waktu dan
Pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan
Penyedia
Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu yang
ditentukan sesuai dengan rencana umur konstruksi paling lama 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak penyerahan akhir layanan Jasa Konstruksi. Pengguna Jasa
bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi setelah jangka waktu
yang telah ditentukan yang harus dinyatakan dengan tegas dalam Kontrak Kerja
Konstruksi. Pengguna Jasa dan/atau pihak lain yang dirugikan akibat Kegagalan
Bangunan dapat melaporkan terjadinya suatu Kegagalan Bangunan kepada badan yang
dibentuk dalam Undang-Undang dan Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa wajib
memberikan ganti kerugian.
7.
Tenaga Kerja Konstruksi
Pengaturan mengenai tenaga kerja konstruksi pada Undang-
Undang tentang Jasa Konstruksi
tidak diatur dalam bab tersendiri.
Dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi diatur bahwa:
a. Perencana
konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat
keahlian.
b. Pelaksana
konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan
sertifikat keahlian kerja.
c. Orang
perseorangan yang dipekerjakan oleh Badan usaha sebagai perencana konstruksi
atau pengawas konstruksi atau tenaga
139
d. Tenaga kerja
yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi
harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.
Dalam konsep RUU, pengaturan
tenaga kerja konstruksi diatur
dalam
bab tersendiri. Tenaga kerja konstruksi dibedakan atas klasifikasi dan
kualifikasi. Secara klasifikasi tenaga kerja konstruksi terdiri atas
klasifikasi di bidang arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, tata
lingkungan, dan manajemen pelaksanaan. Sedangkan secara kualifikasi tenaga
kerja konstruksi terdiri atas jenjang jabatan operator, jabatan teknisi atau
analis, dan jabatan ahli.
Dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi diatur mengenai
pelatihan tenaga kerja konstruksi. Pelatihan tenaga kerja konstruksi
diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif, dan
efisien dalam rangka mencapai standar kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Pelatihan tenaga kerja
konstruksi juga dapat diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi, setiap tenaga
kerja yang bekerja di bidang konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi
kerja. Sertifikat kompetensi kerja tersebut diberikan kepada tenaga kerja
konstruksi yang telah memenuhi standar kompetensi kerja oleh lembaga sertifikasi
profesi bidang Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Lembaga sertifikasi profesi tersebut dapat dibentuk oleh
Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi atau oleh masyarakat Jasa
Konstruksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga sertifikasi
profesi melakukan registrasi Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan
kepada Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Lembaga sertifikasi
profesi wajib
140
mengikuti ketentuan pelaksanaan pemberian sertifikat
kompetensi kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Registrasi sertifikat kompetensi kerja harus dilakukan
melalui asosiasi profesi yang terakreditasi. Akreditasi terhadap asosiasi
profesi tersebut diberikan oleh Menteri kepada asosiasi profesi yang memenuhi
persyaratan:
a. jumlah dan sebaran anggota;
b. pemberdayaan kepada anggota;
c. pemilihan pengurus secara
demokratis;
d. sarana dan prasarana di tingkat
pusat dan daerah; dan
e. melakukan kewajiban
sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundangan-undangan.
Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, untuk mendapatkan
pengakuan pengalaman profesional, setiap tenaga kerja konstruksi pada
kualifikasi jenjang jabatan ahli harus melakukan registrasi kepada Badan
Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Registrasi tersebut dibuktikan dengan
tanda daftar pengalaman professional yang paling sedikit memuat:
a. jenis layanan profesional yang
diberikan;
b. nilai pekerjaan
konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional;
c.
tahun
pelaksanaan pekerjaan; dan
d. nama Pengguna Jasa;
Setiap tenaga kerja konstruksi yang memiliki sertifikat
kompetensi kerja berhak atas imbalan yang layak atas layanan jasa yang
diberikan. Imbalan yang layak tersebut bagi tenaga kerja konstruksi pada
jenjang jabatan operator dan jabatan teknisi atau analis mengacu pada upah
minimum yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan imbalan yang layak bagi tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan
ahli mengacu pada standar remunerasi minimal, yang ditetapkan oleh Menteri.
Untuk itu, setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang menggunakan
141
layanan profesional tenaga kerja konstruksi pada
kualifikasi jenjang jabatan ahli harus memperhatikan standar remunerasi ini.
Selanjutnya terkait dengan tenaga kerja konstruksi, diatur
mengenai tenaga kerja konstruksi asing. Tenaga kerja konstruksi asing yang
dapat melakukan Pekerjaan Konstruksi di Indonesia, hanya tenaga kerja
konstruksi asing pada jabatan ahli dan sesuai dengan kebutuhan sumber daya
manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi pembangunan nasional yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Tenaga kerja konstruksi asing tersebut harus memiliki surat
izin kerja tenaga ahli asing sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Untuk mendapat surat izin kerja itu tenaga kerja konstruksi
asing pada jabatan ahli harus memiliki surat tanda registrasi tenaga kerja
konstruksi asing pada jabatan ahli dari Badan Sertifikasi Registrasi Jasa
Konstruksi. Surat tanda registrasi tenaga kerja konstruksi asing itu diberikan
berdasarkan surat tanda registrasi atau sertifikat kompetensi tenaga kerja
konstruksi asing menurut hukum negaranya.
Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, tenaga kerja
konstruksi asing wajib melaksanakan alih pengetahuan dan/atau alih teknologi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan alih ilmu pengetahuan dan teknologi
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, tenaga
kerja konstruksi yang memberikan layanan Jasa Konstruksi harus bertanggung
jawab secara profesional terhadap hasil pekerjaannya. Tanggung jawab tersebut
dilaksanakan berdasarkan prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan,
kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap
mengutamakan kepentingan umum.
8.
Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi
Dalam rangka penyelenggaraan sebagian tugas pengembangan
Jasa Konstruksi dibentuk Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa
142
Konstruksi atau yang disingkat BSRJK oleh Menteri. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, BSRJK terlepas dari pengaruh kekuasaan dan
kepentingan golongan atau kelompok. Karena dibentuk oleh Menteri, maka BSRJK
bertanggung jawab kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya BSRJK
berkedudukan di ibukota Negara, dan dapat membentuk perwakilan di tingkat
Provinsi yang berkududukan di tingkat provinsi.
BSRJK terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dengan jumlah 5 (lima) orang anggota
yang diangkat oleh Menteri. Dalam mengangkat anggota BSRJK Menteri membentuk
panitia seleksi. Untuk dapat diangkat menjadi anggota BSRJK, seseorang harus
memenuhi paling sedikit persyaratan sebagai berikut:
a.
Warga
Negara Republik Indonesia;
b.
bertempat
tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia;
c.
berpengalaman dalam bidang konstruksi sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) tahun;
d.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan Putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
e.
tidak dalam rangkap jabatan sebagai pejabat struktural di
pemerintahan, jabatan struktural di Perguruan Tinggi, jabatan
struktural
perusahaan, dan jabatan struktural di dalam asosiasi profesi maupun asosiasi
badan usaha.
Calon anggota BSRJK dapat diusulkan oleh asosiasi badan
usaha yang terakreditasi, asosiasi profesi yang terakreditasi, institusi
Pengguna Jasa konstruksi yang memenuhi kriteria, dan/ atau perguruan tinggi
yang memenuhi kriteria. Masa keanggotaan BSRJK adalah 5 (lima) tahun, serta
berhenti atau diberhentikan oleh Menteri dalam hal mengundurkan diri, meninggal
dunia, berhalangan tetap atau tidak melaksanakan tugasnya sekurang-kurangnya
selama 6 (enam) bulan, terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan
143
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, merangkap jabatan
sebagai pejabat struktural di pemerintahan, jabatan struktural perusahaan, atau
pengurus asosiasi profesi, atau pengurus asosiasi perusahaan; dan/atau tidak
memenuhi persyaratan anggota BSRJK.
Tugas dan wewenang BSRJK meliputi:
a. menyelenggarakan sertifikasi dan
registrasi badan usaha;
b. menyelenggarakan registrasi
pengalaman usaha;
c. menyelenggarakan sertifikasi
penyetaraan badan usaha asing;
d. menyelenggarakan registrasi
penilai ahli;
e. menetapkan
penilai ahli yang terdaftar dalam hal terjadi Kegagalan Pekerjaan Konstruksi
atau Kegagalan Bangunan;
f. membentuk lembaga sertifikasi
profesi bidang Jasa Konstruksi;
g. menyelenggarakan registrasi
Sertifikat Kompetensi Kerja;
h. menyelenggarakan registrasi tenaga
kerja konstruksi asing;
i. menyelenggarakan registrasi
pengalaman profesional; dan
j. memberikan masukan
kepada Pemerintah dalam
merumuskan
kebijakan Jasa Konstruksi
nasional.
Dalam
melaksanakan tugas dan wewenang tersebut, BSRJK berkoordinasi dengan Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, BSRJK dibiayai
dengan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber lain yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Biaya yang diperoleh dari
masyarakat atas jasa layanan yang diberikan oleh BSRJK merupakan penerimaan
negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang BSRJK, dibentuk
sekretariat. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan dan keanggotaan, tugas
dan wewenang, panitia seleksi, pembiayaan, serta kesekretariatan BSRJK diatur
dengan Peraturan Menteri.
9.
Sistem Informasi Jasa Konstruksi
Dalam
rangka menyediakan data dan informasi yang akurat 144
dan terintegrasi dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi
dalam RUU diatur pembentukan suatu sistem informasi yang terintegrasi. Sistem
informasi yang terintegrasi dimaksud memuat data dan informasi yang berkaitan
dengan tugas pembinaan di bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dan tugas sertifikasi dan registrasi di bidang Jasa
Konstruksi yang dilakukan oleh BSRJK.
Sistem informasi jasa konstruksi tersebut dikelola oleh
Pemerintah Pusat bekerja sama dengan BSRJK. Untuk pembiayaan yang diperlukan
dalam pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi dibebankan kepada anggaran
pendapatan dan belanja negara.
10. Partisipasi Masyarakat
Dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi, masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan cara mengakses informasi dan
keterangan terkait dengan kegiatan kontruksi yang berdampak pada kepentingan
masyarakat, melakukan pengaduan, gugatan, dan upaya mendapatkan ganti rugi atau
kompensasi terhadap dampak yang ditimbulkan dari kegiatan Jasa Konstruksi, dan
membentuk asosiasi profesi dan asosiasi badan usaha di bidang Jasa Konstruksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain berpartisipasi
dalam pengawasan tersebut, masyarakat juga dapat memberikan masukan kepada
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah bagi perumusan kebijakan Jasa
Konstruksi.
Dalam
hal terdapat pengaduan masyarakat akan adanya dugaan pelanggaran dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi, proses pemeriksaan hukum terhadap Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa dilakukan dengan tidak mengganggu atau menghentikan
proses penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sedangkan untuk pengaduan masyarakat
terkait dengan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dibiayai oleh anggaran yang
bersumber dari keuangan negara, proses
145
pemeriksaan hukum dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
keuangan dari lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Namun demikian, pengaduan tersebut akan
dikecualikan dalam hal terjadi:
a. kerugian,
keamanan, keselamatan dan kesehatan masyarakat akibat Kegagalan Pekerjaan
Konstruksi dan/atau Kegagalan Bangunan; dan/atau
b.
tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi.
Selain penyelenggaraan partisipasi masyarakat, partisipasi
masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat Jasa Konstruksi melalui forum Jasa
Konstruksi.
11. Penyelesaian Sengketa
Dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi dimungkinkan adanya sengketa antara para pihak,
baik itu penyedia jasa, pengguna jasa, atau masyarakat. Apabaila terjadi
sengketa diatur mengenai penyelesaian sengketa para pihak. Prinsip dasar dalam
penyelesaian sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi adalah
musyawarah para pihak untuk mencapai suatu kemufakatan. Namun demikian, apabila
musyawarah para pihak tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak dapat
menempuh upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi, berupa mediasi, konsiliasi, dewan sengketa, arbitrase, dan/atau
pengadilan.
Pihak
yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan
gugatan ke pengadilan secara orang perseorangan, kelompok orang dengan
pemberian kuasa, atau kelompok orang tidak dengan pemberian kuasa melalui
gugatan perwakilan. Gugatan itu merupakan tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak
menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam
hal diketahui masyarakat dirugikan sebagai akibat penyelenggaraan Jasa
Konstruksi yang sekurang-kurangnya
146
mempengaruhi tata kehidupan sosial, ekonomi masyarakat,
dan lingkungan hidup, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib
berpihak dan bertindak untuk kepentingan masyarakat. Ketentuan mengenai ini
akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
12. Sanksi Administratif
Sanksi
administratif dikenakan terhadap pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi. Dalam RUU ini penentuan sanksi administratif disesuaikan
dengan norma yang mengatur kewajiban dan larangan dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi. Beberapa ketentuan sanksi administratif yang dimuat dalam
RUU antara lain:
1. Setiap usaha
orang perseorangan yang tidak memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian
sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c. denda.
2. Setiap badan
usaha dan badan usaha asing yang tidak memenuhi kewajiban memiliki Izin Usaha
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian
sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c. denda.
3. Setiap asosiasi
badan usaha yang tidak melakukan kewajiban akreditasi sebagaimana yang terlah
dipersyaratkan dalam Undang-undang ini, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan akreditasi;
c. pencabutan akreditasi; dan/atau
d. denda.
4. Setiap badan usaha asing atau usaha orang perseorangan asing
147
yang akan melakukan usaha Jasa Konstruksi tidak memenuhi
persyaratakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian
sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c. denda.
5. Setiap orang
yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi untuk pembangunan kepentingan umum
kepada Penyedia Jasa yang terafiliasi tanpa melalui pelelangan umum atau
pelelangan terbatas dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan
layanan Jasa Konstruksi;
c. pembekuan izin;
d. pencabutan izin; dan/atau
e. denda.
6. Setiap Penyedia
Jasa dan Pengguna Jasa yang tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, dan
Kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan
layanan Jasa Konstruksi;
c. pembekuan izin;
d. pencabutan izin; dan/atau
e. denda.
Sanksi administratif dikenakan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan dan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pidana
Ketentuan
pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran
terhadap ketentuan yang berisi norma
148
larangan atau perintah. Dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi ketentuan pidana hanya mengatur mengenai pengenaan pidana terhadap
norma secara umum tanpa mengacu pada norma larangan atau perintah di bab
sebelumnya.
Sedangkan
dalam RUU ini penentuan ketentuan pidana disesuaikan dengan norma yang mengatur
kewajiban dan larangan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Ketentuan
pidana yang dimuat dalam RUU yaitu mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan
penyelenggaran Jasa Konstruksi berupa pengesahan atau persetujuan atas:
a. hasil pengkajian, perencanaan
dan/atau perancangan;
b. rencana teknis
proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan kembali;
c. dilaksanakannya
suatu proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan
kembali;
d. penggunaan material dan/atau
peralatan; dan/atau
e. diterimanya hasil layanan Jasa
Konstruksi.
yang
tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan sehingga terjadi
Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan yang mengakibatkan, atau
berpotensi mengakibatkan, kerugian masyarakat dan/atau gangguan terhadap keselamatan
umum. Terhadap sanksi ketentuan pidana ini dikenai pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai
kontrak.
Selain
itu juga memuat ketentuan pidana mengenai penyedia jasa yang tidak mengganti
atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi dan/atau kegagalan bangunan
dikenai pidana penjara 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
14. Ketentuan Peralihan
Ketentuan
peralihan mengatur mengenai penyesuaian terhadap undang-undang yang sudah ada
pada saat undang-undang baru mulai
149
berlaku, agar undang-undang tersebut dapat dilaksanakan
dan tidak menimbulkan permasalahan hukum antara lain mengatur mengenai jangka
waktu penyesuaian setiap kegiatan, masa transisi pembentukan suatu badan atau
lembaga.
Pengaturan
masa transisi bahwa Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3833) tetap menjalankan tugas sampai dengan terbentuknya badan
serifikasi dan registrasi jasa konstruksi oleh Menteri berdasarkan
Undang-Undang ini.
15. Ketentuan Penutup
Bagian ini mengatur mengenai keberlakuan dari Rancangan
Undang-Undang ini, dimana ketika RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang dan
dinyatakan berlaku, maka:
a.
semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
b.
Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3833) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
badan sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini harus dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan. Sedang untuk peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
150
PENUTUP
A. Simpulan
Jasa konstruksi adalah sektor strategis dalam perjalanan
pembangunan bangsa. Posisi strategis tersebut dapat direpresentasikan oleh
besaran-besaran keterkaitan ke depan dan ke belakang dengan sektor-sektor lain.
Sektor konstruksi memberikan kontribusi sekitar 7-8% dari PDB, dan menyediakan
lapangan kerja bagi lebih dari 5% jumlah penduduk. Konstruksi sesungguhnya
dapat dikonsepsikan sebagai produk, proses, dan pelaku sehingga membentuk ”meso economic system” baik pada ranah cluster, sektor, industri, maupun jasa
yang akan berperan dalam membangun sosial ekonomi bangsa (construction driven socio-economic development). Pengembangan jasa konstruksi menjadi keniscayaan atas konteks globalisasi dan liberalisasi,
kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan otonomi daerah, kerusakan dan
bencana alam ditengah transformasi politik, budaya, ekonomi, dan birokrasi yang
sedang terjadi.
Evaluasi terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang
diamanahkan oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi menunjukkan keadaan yang
tidak menggembirakan. Kondisi jasa konstruksi nasional saat ini jauh dari
tujuan tersebut. Sebagian penyebab kondisi buruk pelaksanaan Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi ini adalah kelemahan implementasi dari seluruh stakeholders, namun terdapat beberapa
aspek pengaturan itu sendiri yang tidak mendukung pencapaian tujuan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dan perkembangan jasa konstruksi secara
umum.
Hal yang sangat relevan terhadap pengaturan ini adalah
adanya perbedaan konteks nasional di Tahun 2015 ini dibandingkan dengan pada
Tahun 1999 saat Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi diterbitkan. Pada konteks
saat ini terdapat isu desentralisasi pemerintahan yang mempengaruhi pembinaan
jasa konstruksi nasional. Di samping itu, perkembangan situasi pada tahun-tahun
belakangan ini terjadi konflik kepentingan dalam peran masyarakat jasa
konstruksi. Sistem kelembagaan LPJK yang sekarang berlaku selain menimbulkan
konflik kepentingan, juga
151
menjadikan ketidakjelasan tanggung jawab lembaga ini.
Lembaga ini diserahi tugas pengembangan jasa konstruksi yang sangat strategis,
namun sistem administrasi, keuangan, serta pertanggungjawabannya sangat minim
pengaturannya.
Dalam hal sertifikasi yang bersifat sebagai lisensi,
kewenangan publik diberikan kepada pihak yang tidak merepresentasikan institusi
publik. Sertifikasi yang oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan
suatu kewajiban (lisensi) adalah juga merupakan salah satu tugas LPJK (peran
masyarakat). Masyarakat jasa konstruksi diberi kewenangan untuk mengatur
lisensi dirinya sendiri yang tentunya menjadi sarat akan konflik kepentingan.
Salah satu kritik lainnya terhadap Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi adalah bahwa kurang tepat dalam memberikan kewenangan
pengaturan yang mandiri/independen kepada masyarakat jasa konstruksi yang
dinilai belum siap. Masyarakat jasa konstruksi yang profesional hingga saat ini
belum terbentuk secara luas, masih didominasi oleh tenaga ahli dan terampil
dengan kompetensi yang kurang kompetitif bahkan untuk memenuhi kebutuhan di
dalam negeri. Pelimpahan wewenang pengembangan jasa konstruksi kepada
masyarakat (lembaga) yang juga mencakup fungsi sertifikasi dan registrasi secara
utuh tidak selayaknya dilakukan, bahkan kepada masyarakat yang sudah
profesional sekalipun. Fungsi-fungsi yang berkaitan dengan keselamatan dan
kepentingan umum/publik tetap perlu dikendalikan oleh pemerintah. Hal ini tidak
terkait pada faktor kesiapan masyarakat, namun lebih merupakan konsep pembagian
kewenangan publik.
Berdasarkan pada pembahasan di bab-bab sebelumnya dan
berdasarkan literatur lainnya, telah dapat diidentifikasi 7 (tujuh) pokok
pengaturan yang perlu menjadi fokus atas revisi Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi, sebagai berikut:
1. Dalam konsep
RUU ini, diatur struktur usaha jasa konstruksi yang meliputi jenis, sifat,
klasifikasi, layanan usaha, bentuk, dan kualifikasi usaha. Untuk Jenis usaha
jasa konstruksi meliputi jasa konsultansi konstruksi, jasa pelaksana
konstruksi, dan jasa pelaksana konstruksi
152
terintegrasi. Sedangkan sifat usaha jasa konstruksi
didasarkan atas jenis usaha jasa konstruksi yang terbagi atas sifat usaha jasa
konstruksi umum dan spesialis. Untuk klasifikasi usaha jasa konstruksi
didasarkan pada klasifikasi produk konstruksi. Selanjutnya terkait dengan
bentuk usaha jasa konstruksi dibedakan pada usaha jasa konstruksi yang
berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum. Dan kualifikasi usaha jasa konstruksi hanya untuk
badan usaha yang terdiri atas kualifikasi usaha kecil, menengah, dan besar.
Selain itu, dalam konsep usaha jasa konstruksi juga diatur mengenai segmentasi
pasar, badan usaha asing dan usaha perseorangan asing, pengembangan usaha
berkelanjutan, dan persyaratan usaha yang mencakup tanda daftar usaha
perseorangan dan izin usaha, sertifikasi badan usaha, serta registrasi
pengalaman.
2. Pembinaan
sektor Jasa Konstruksi menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dan dapat melibatkan BSRJK. Bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan
antara lain yaitu pengembangan sumber daya manusia, pengembangan usaha jasa
konstruksi, pengembangan material dan teknologi konstruksi, pengembangan penyelenggaraan
jasa konstruksi, pengembangan standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan
konstruksi, serta pengembangan partisipasi masyarakat. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya juga melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
3. Pengaturan
mengenai pengikatan jasa konstruksi dikembalikan pada aturan hukum perdata, di
mana pengikatan merupakan ranah perdata yang memberikan kebebasan kepada para
pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Sehingga ketentuan mengenai
pengikatan antara para pihak berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan kecuali dinyatakan lain dalam undang-undang ini.
Pengecualian ini ditujukan untuk pengikatan jasa konstruksi yang menggunakan
keuangan negara yang harus melalui proses pelelangan dalam pemilihan penyedia
jasa. Ketentuan mengenai pelelangan
153
tersebut perlu diatur secara garis besar dalam RUU,
sedangkan teknis mekanisme, persyaratan, serta proses pemilihan dan
penetapannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
4. RUU ini dalam
mengatur penyelenggaraan jasa konstruksi semakin merinci secara umum
aspek-aspek yang terkait dengan penyedia jasa dan subpenyedia jasa, pembiayaan,
standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan konstruksi, serta bagian kegagalan
pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan yang didalamnya terdapat bagian
yang membicarakan tentang penilai ahli dan jangka waktu dan pertanggungjawaban
kegagalan bangunan. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam UU lama masih bersifat
general sehingga kurang dapat menjelaskan secara komprehensif hal-hal yang
berkaitan dengan penyelengaraan jasa konstruksi.
5. Dalam konsep
RUU, pengaturan mengenai tenaga kerja konstruksi diatur lebih terperinci.
Pemerintah bertanggung jawab atas pengembangan sumber daya manusia yang
bertujuan untuk mewujudkan tenaga kerja konstruksi yang profesional, kompeten,
disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas serta memenuhi standar
nasional dan internasional. Pengaturan tenaga kerja konstruksi didasarkan atas
klasifikasi yang terdiri atas bidang Arsitektur, Sipil, Mekanikal, Elektrikal,
Tata Lingkungan, dan Manajemen Pelaksanaan, serta kualifikasi sesuai dengan
penjenjangan dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yaitu jenjang
jabatan operator, jabatan teknisi atau analis, dan jabatan ahli. Selain itu,
dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi diatur pula mengenai pelatihan tenaga
kerja, sertifikasi kompetensi kerja, registrasi pengalaman profesional, standar
remunerasi, dan tenaga kerja konstruksi asing.
6. Dalam konsep
kelembagaan pada rancangan undang-undang ini dibentuk Badan Sertifikasi dan
Registrasi Jasa Konstruksi (BSRJK) yang akan menyelenggarakan sebagian tugas
pengembangan jasa konstruksi. BSRJK dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
Menteri di mana dalam mengangkat anggotanya Menteri harus membentuk panitia
seleksi. BSRJK bertugas dan berwenang antara lain yaitu
154
menyelenggarakan sertifikasi dan registrasi yang terkait
dengan penyelenggaraan jasa konstruksi, menetapkan penilai ahli, membentuk
lembaga sertifikasi profesi bidang jasa konstruksi, dan memberikan masukan
kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan jasa konstruksi nasional. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, BSRJK didukung oleh sekretariat dan terlepas
dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan golongan atau kelompok.
7. Dalam
undang-undang sebelumnya, terdapat ketentuan adanya kewajiban dari Pemerintah
untuk bertindak dan berpihak apabila diketahui masyarakat dirugikan sebagai
akibat penyelenggaraan jasa konstruksi yang mempengaruhi peri kehidupan pokok
masyarakat. Dalam konsep yang baru persyaratan mengenai kerugian masyarakat
sebagai akibat penyelenggaraan jasa konstruksi yang mempengaruhi peri kehidupan
pokok masyarakat sekurang-kurangnya harus mempengaruhi:
a. tata kehidupan sosial;
b. ekonomi masyarakat; dan
c. lingkungan hidup.
B.
Saran
Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi
berbagai aspek dalam sektor jasa konstruksi, maka RUU ini diharapkan memenuhi
kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat, serta lebih memberikan jaminan kepastian
hukum, khususnya kepada masyarakat jasa konstruksi dan masyarakat secara
keseluruhan.
155
Ashshofa, Burhan. (1998) Metode
Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Barrett, P. (2005) Revaluing Construction: A Global CIB
Agenda. Publication 305, International Council for Research and Innovation in
Building. Rotterdam, The Netherlands.
Bon, R (2000), Economic Structure and Maturity (Collected
Papers in Input-Output Modelling and Application, Ashgate Publishing Company,
UK.
Bon, R. (1988), Direct and indirect resource utilization
by the construction sector: the case of USA since World War II, Habitat
International, 12, 49-74.
Carassus, J (ed) (2004), The Construction Sector System
Approach: An International Framework, Report by CIB W055-W065 Construction
Industry Comparative Analysis, Project Group, CIB Publication.
Chou, C. dan O. Shy, (1991), Intraindustry trade and the
variety of home product,. Canadian Journal of Economics 24.
Egan, J. (1998), Rethinking Construction: The report of
the Construction Task Force to the Deputy Prime Minister, John Prescott, on the
scope for improving the quality and efficiency of UK construction. London:
Department of the Environment, Transport and the Regions.
Field, B and Ofori, G (1988), Construction and Economic
Development, Third World Planning Review.
Ganesan (1999), Employment, Technology and Construction
Development, Ashgate, UK.
Henriod, (1984), The Construction Industry Issues and
Strategis in Developing Countries, World Bank Publication, Geneva.
Hillebrandt, P.M, (1985), Analysis of the British
Construction Industry, MacMillan Publishers Ltd, UK.
Ive and Gruneberg (2000), The Economics of the Modern
Construction Sector, MacMillan, UK.
156
Kumaraswamy, M., Lizarralde, G.,
Ofori, G., Styles,P., and Suraji, A., (2007), Industry-Level Perspective of
Revaluing Construction: Focus On Developing Countries, CIB World Congress,
South Africa, 14-15 May.
Kwakye, A..A (1997), Construction Project Administration
in Practice, The Chartered Institute of Building, England.
Latham, M. (1994), Constructing the Team:
Final report of the government/industry review of procurement and contractual
arrangements in the UK construction industry. London: HMSO.
Lewis, T.M. (2008), Quantifying the GDP-Construction
Relationship, in Economics For The Modern Built Environment, Les Ruddock (Ed),
Taylor & Francis, London.
Moavenzadeh, F (1978), Construction in developing
countries. World Development, Vol. 6, No. 1, pp. 97-116.
Moffatt, Sebastian and Kohler, Niklaus (2008),
Conceptualizing the built environment as a social-ecological system, Building
Research & Information, 36:3, 248 – 268.
Ofori, G (1990), The Construction Industry, Aspects of Its
Economics and Management, Singapore University Press, National University of
Singapore.
Ofyer, N. (2002), Construction Defects Education in Construction
Management, ASC Proceedings of the 38th Annual Conference Virginia Polytechnic
Institute and State University - Blacksburg, Virginia April 11 – 13.
Parikesit, D., Suraji, A., Purwoto, H. (2005), Sektor
Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Ke Depan, Paper Presented in the
National Conference in Civil Engineering, Atmajaya University, Yogyakarta 11-12
Mei.
Parikesit, D., Suraji, A., Wachid, L., and Kurniawati.,
(2005), The competence of the Indonesian Construction Industry: Quo Vadis, the
157
Rabeneck, Andrew (2008), A sketch-plan for
construction of built environment theory, Building Research & Information,
36:3.
Ruddock, L & Ruddock, S (2008), The Scope of The
Construction Sector: Determining Its Value, in in Economics For The Modern
Built Environment, Les Ruddock (Ed), Taylor & Francis, London.
Soemitro, Ronny Hanitijo. (1983),
Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Soejono
dan Abdurrahman. (2003), Metode Penelitian Hukum. Cetakan kedua. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suparto, H.G (2006), Industri
Konstruksi Indonesia, dalam Konstruksi:
Industri, Pengelolaan dan
Rekayasa, KK MRK ITB, Penerbit ITB.
Suraji, A (2006), Indonesian Construction: Stakeholder Perspective,
Proceeding ICCI, Jakarta 8-9 November.
Suraji, A (2006), Indonesian Construction: Where to Go,
Paper Presented at the National Seminar for the Construction Services
Development Board, Jakarta Agustus.
Suraji, A (2006), Makalah Kebijakan Tranformasi
Konstruksi, Prosiding Forum KAKI Yogyakarta, Bandung & Jakarta, BPKSDM
Departemen Pekerjaan Umum.
Suraji, A (2008), Transformasi Konstruksi Indonesia,
Makalah Kuliah Umum, Program Magister Studi Pembangunan, Insitut Teknologi
Bandung.
Suraji, A (Eds) (2007), Konstruksi Indonesia 2030: Kenyamanan Lingkungan
Terbangun: Menciptakan Nilai Tambah Secara Berkelanjutan Dengan Sinergi,
Profesionalisme dan Dayasaing, LPJKN, Jakarta.
158
Suraji, A., & Wirahadikusumah,
R.D., (2007), Optimasi Peran dan Fungsi LPJK: Menuju Konstruksi Indonesia
Kokoh, Handal dan Berdayasaing, Makalah Diskusi, BPKSDM Departemen PU, 21 Juni.
Suraji, A., Parikesit, D., & Mulyono, A.T. (2004),
Readiness Assessment of the Indonesian Construction Industry for Global Trade
in Services: the Indonesian Experiences, Proceedings of the International
Conference on Globalisation Construction, 17-19 Nov, Bangkok.)
Turin, D A (1973), The Construction Industry: Its Economic
Significance and its Role in Development, UCERG, London.
Usman, S (2008), Pendekatan Pembangunan
Infrastruktur Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Prosiding Diskusi Panel
Pembangunan Infrastruktur Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Kementeriaan
Koordinator Bidang Perekonomian, Yogyakarta 4 Desember.
Wells, J
(1986), The Construction
Industry in Developing
Countries:
Alternative Strategies for
Development, Croom Helm Ltd, London.