BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor
jasa konstruksi adalah salah satu sektor strategis dalam mendukung tercapainya
pembangunan nasional. Posisi strategis tersebut dapat dilihat dari adanya
keterkaitan dengan sektor lain. Jasa konstruksi sesungguhnya merupakan bagian
penting dari terbentuknya produk konstruksi, karena jasa konstruksi menjadi
arena pertemuan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Pada wilayah
penyedia jasa juga bertemu sejumlah faktor penting yang mempengaruhi
perkembangan sektor konstruksi seperti pelaku usaha, pekerjanya dan rantai
pasok yang menentukan keberhasilan dari proses penyediaan layanan jasa
konstruksi, yang menggerakkan pertumbuhan sosial ekonomi.
Oleh
karena itu, pengembangan jasa konstruksi menjadi agenda publik yang penting dan
strategis bila melihat perkembangan yang terjadi secara cepat dalam konteks
globalisasi dan liberalisasi, kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan
otonomi daerah, serta kerusakan dan bencana alam. Selain itu, perkembangan jasa
konstruksi juga tidak bisa dilepaskan dari konteks proses transformasi politik,
budaya, ekonomi, dan birokrasi yang sedang terjadi. Saat ini pengembangan jasa
konstruksi dihadapkan pada masalah domestik berupa dinamika penguatan
masyarakat sipil sebagai bagian dari proses transisi demokrasi di tingkat
daerah dan nasional serta berkembangnya beragam model transaksi dan hubungan
antara penyedia dengan pengguna jasa konstruksi dalam lingkup pemerintah dan
swasta.
Sejumlah
tantangan tersebut membutuhkan upaya penataan dan penguatan kembali pengaturan
kelembagaan dan pengelolaan sektor jasa konstruksi, untuk menjamin sektor
konstruksi Indonesia dapat tumbuh, berkembang, memiliki nilai tambah yang
meningkat secara berkelanjutan, profesionalisme dan daya saing. Salah satu
upaya tersebut ditempuh dengan mengevaluasi pelaksanaan dan perbaikan terhadap
Undang-
1
Undang
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (untuk selanjutnya disebut
“Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi”) yang telah berlaku selama 15 (lima
belas) tahun. Evaluasi dan perbaikan tersebut ditujukan untuk menjawab sejumlah
persoalan saat ini dan ke depan.
Pada
prinsipnya, Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengatur jenis, bentuk, dan
bidang usaha jasa konstruksi, pengikatan kontrak, tanggungjawab penyedia dan
pengguna jasa, penataan partisipasi masyarakat jasa konstruksi, kegagalan
bangunan, peran masyarakat jasa konstruksi, pembinaan, penyelesaian sengketa
dan ketentuan pidana.
Secara
kontekstual akibat perubahan yang terjadi di tingkat masyarakat dan iklim
usaha, beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi perlu
memperhatikan perkembangan usaha jasa konstuksi di tingkat global. Salah
satunya terkait dengan aspek pembagian bidang usaha, dimana Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi membagi bidang usaha ke dalam Arsitek, Sipil,
Mekanikal, Elektrikal, dan Tata Lingkungan (ASMET). Pada tingkat global sesuai
dengan standar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) usaha jasa konstruksi dibagi
berdasarkan Central Product Classification (CPC). CPC menganut
bidang usaha berdasarkan produk bukan
ilmu yang dikembangkan di perguruan tinggi yang lebih cocok untuk pembagian
dunia profesi.
Selain
itu, Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum menyentuh kenyataan bahwa
jenis pekerjaan atau usaha jasa konstruksi bukan hanya perencanaan,
penyelenggaraan, dan pengawasan, tetapi sudah berkembang berdasarkan product life cycle. Hal tersebut bukan
hanya sekedar konsep tetapi sudah berkembang menjadi realitas dari pasar
konstruksi.
Dari
sisi penataan kelembagaan pengembangan jasa konstruksi yang menempatkan proses
sertifikasi sebagai instrumen mengontrol kualitas pelayanan penyedia jasa
konstruksi memerlukan penyesuaian terkait dengan aspek pengembangan prosedur,
terutama dalam memperjelas kualitas akuntabilitas dan pembagian peran diantara
para pemangku kepentingan di jasa konstruksi. Prosedur yang perlu ditata
kembali terkait dengan prosedur registrasi, sertifikasi ataupun akreditasi yang
mulai
2
Peningkatan
jumlah peristiwa kegagalan bangunan atau konstruksi akhir-akhir ini baik
diakibatkan oleh kesalahan proses maupun keadaan di luar kekuasaan manusia
antara lain bencana alam, menyisakan persoalan terkait dengan kualitas dan
tanggung jawab penyedia dan penggunanya. Aspek ini perlu dipertegas terkait
dengan tanggung jawab, serta proses pengawasan dan penilaian, pada saat proses
penyelenggaraan konstruksi berlangsung ataupun saat ditemukan atau terjadi
kegagalan konstruksi atau bangunan baik yang berakibat pidana maupun tidak.
Aspek ini pengaturannya harus memberikan jaminan kepastian hukum.
Dari
sisi eksternal saat pembentukan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, tekanan
liberalisasi perdagangan mempengaruhi aspek pengaturan terhadap pelaku jasa
konstruksi asing. Hal tersebut terlihat dari belum cukupnya aturan yang
mengatur mengenai keberadaan perusahaan konstruksi dan tenaga kerja asing yang
mengerjakan pekerjaan konstruksi di Indonesia. Hal ini tentunya harus menjadi
perhatian bersama untuk menata kembali tata niaga jasa konstruksi, terutama
pengaturan mengenai pasar yang bisa diakses oleh pelaku jasa konstruksi asing
serta tenaga kerja yang terlibat.
Aspek
penting lainnya dari pengembangan jasa konstruksi yang belum cukup ditekankan dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini adalah keberadaan pengetahuan dan
teknologi, sumber daya manusia, dan penjaminan akuntabilitas publik karena
produk konstruksi sebagian besar terkait langsung dengan kepentingan publik.
Berdasarkan
permasalahan di atas maka perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Meskipun dalam daftar Prolegnas Rancangan
Undang-Undang (RUU) prioritas Tahun 2012 dengan judul RUU tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, namun dari sisi
perancangan peraturan perundang-undangan, perubahan Undang-Undang ini cenderung
ke arah penggantian. Hal ini dengan mempertimbangkan besarnya substansi
perubahan yang terjadi serta sudah tidak sesuainya
3
Undang-undang
tentang Jasa Konstruksi yang lama dengan tata cara perancangan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam
lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 angka 237 disebutkan bahwa: ”Jika
suatu Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:
a.
sistematika Peraturan
Perundang-undangan berubah;
b. materi Peraturan
Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c.
esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang
diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan
Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.”
Berdasarkan
ketentuan tersebut maka penyusunan RUU perubahan ini diarahkan guna
menggantikan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang lama dengan format
undang-undang baru sebagai pengganti undang-undang lama.
B. Identifikasi Masalah
Pengaturan
jasa konstruksi selama lebih dari kurun waktu 15 (lima belas) tahun belum
sepenuhnya berjalan dengan baik dalam pembangunan sektor konstruksi yang kokoh,
terutama dalam menghadapi persaingan global. Hal tersebut dapat dilihat dari
persoalan yang muncul akibat dari implementasi Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi ini. Pertama, pemahaman
yang belum sama di antara para pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap konsepsi demokratisasi industri konstruksi. Kedua, interpretasi yang berbeda
terhadap peran pemerintah, peran masyarakat dalam bentuk lembaga pengembangan
jasa konstruksi dan forum jasa konstruksi (seperti Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi/LPJK dan Forum Jasa Konstruksi Nasional/FJKN) dan peran institusi
masyarakat (asosiasi, badan sertifikasi, institusi diklat). Ketiga, rumusan yang kurang
efektif mengenai ketentuan bidang/sub-bidang usaha,
4
klasifikasi/kualifikasi
badan usaha dan tenaga kerja. Keempat,
kewenangan dan proses akreditasi dan sertifikasi yang diwarnai oleh konflik
kepentingan.
Berpijak
pada latar belakang tersebut maka beberapa permasalahan yang akan dimuat dalam
Naskah Akademik ini adalah:
1. Apa yang menjadi isu pokok perlu
diubahnya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi?
2. Apa sajakah ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Jasa Konstruksi dan sejauh mana
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dapat menyelesaikan
permasalahan yang menjadi isu pokok perubahan Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi?
3. Apa yang menjadi landasan
filosofis, sosiologis, dan yuridis perubahan Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi?
4. Bagaimanakah jangkauan, arah
pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi?
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan
Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas,
maka
tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai
berikut:
1. Menganalisis permasalahan yang
menjadi isu pokok perlu diubahnya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.
2. Menguraikan dan menganalisis
ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Jasa Konstruksi.
3. Menguraikan landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Jasa Konstruksi.
4.
Merumuskan jangkauan, arah
pengaturan, dan ruang lingkup materi
muatan RUU tentang Jasa Konstruksi.
Sementara
itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai acuan atau
referensi dalam menyusun dan membahas RUU tentang Jasa Konstruksi yang akan
menjadi salah satu RUU dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019. Perubahan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini akan menjadi landasan hukum yang
mampu menjawab
5
D. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah
penelitian yuridis normatif, dengan sifat penelitian deskriptif. Penelitian
yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan
meneliti data sekunder (Soemitro, 1983). Penelitian dilakukan dengan meneliti
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan dan
literatur terkait.
2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Penelitian
yuridis normatif ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang dimaksud
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum
tersier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena
dikeluarkan oleh pemerintah atau negara, meliputi antara lain, peraturan
perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang
isinya membahas bahan hukum primer, seperti: buku-buku, artikel, laporan
penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya, termasuk yang dapat
diakses melalui internet. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang bersifat
menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, buku pegangan,
almanak dan sebagainya, yang semuanya dapat disebut bahan referensi atau bahan
acuan atau rujukan (Ashshofa, 1998).
Untuk
mendukung data sekunder, dilakukan wawancara dengan menggunakan panduan
wawancara, dengan beberapa narasumber dan stakeholders
yang terkait dengan jasa konstruksi.
3. Teknik Penyajian dan Analisis Data
Hasil
penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif. Analitis
deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan
analisis berdasarkan hukum positif maupun teori-teori yang ada. Analisis
deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada. Pelaksanaan metode
deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai
6
pada
tahap pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan
interpretasi tentang arti data itu sendiri (Soejono dan Abdurrahman, 2003).
Sedangkan sifat preskriptif, bahwa penelitian mengemukakan rumusan regulasi
yang diharapkan untuk menjadi alternatif penyempurnaan norma-norma serta sistem
pengaturannya di masa yang akan datang.
7
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
Sektor
konstruksi telah menjadi salah satu sektor penting dari perekonomian nasional.
Di berbagai negara, sektor konstruksi mampu berkontribusi terhadap Gross Fixed Capital Formation (GFCF)
sampai 70%-80% dan 5%-9% Gross Domestic
Product (GDP). Pentingnya industri konstruksi bagi ekonomi nasional dapat
dilihat dari beberapa indikator berikut (Hillebrandt, 1988; World Bank, 1984):
(1) Produk Domestik Bruto (PDB). Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt,
1985) mengindikasikan bahwa kontribusi industri konstruksi terhadap PDB
berkisar antara 3-10%, umumnya akan lebih rendah di negara berkembang dan lebih
tinggi di negara maju. Menurut Bank Dunia (1984), di negara-negara berkembang,
industri kontruksi berkontribusi 3-8% terhadap PDB; (2) Kontribusi terhadap
investasi, yang diukur dari pembentukan aset tetap (fixed capital formation);
dan jumlah penyerapan tenaga kerja. Industri konstruksi Indonesia telah tumbuh sejak awal tahun 1970an. Data dari Biro
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi industri konstruksi terhadap PDB
meningkat dari 3.9% di tahun 1973 menjadi di atas 8% di tahun 1997. Pada tahun
1998 kontribusi industri konstruksi nasional terhadap PDB mengalami penurunan
dan berlanjut sampai tahun 2002 hingga menjadi sekitar 6%. Mulai tahun 2003,
kontribusi industri konstruksi terhadap PDB mulai menunjukkan tren yang
membaik. Data tahun 2005 menunjukkan industri konstruksi terhadap PDB meningkat
kembali menjadi 6.35%. Industri konstruksi berkontribusi 60% dari pembentukan
aset tetap. Pada sektor tenaga kerja, industri konstruksi berkontribusi sekitar
10% dari total tenaga kerja nasional. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada
sektor konstruksi dari awal tahun 1970-an hingga tahun 1997 di atas pertumbuhan
tenaga kerja nasional. Setelah periode krisis ekonomi, penyerapan tenaga kerja
pada sektor industri konstruksi telah menunjukkan peningkatan, sejalan dengan
mulai meningkatnya kembali kontribusi industri konstruksi terhadap PDB.
8
Sebagian
besar dari output industri konstruksi adalah barang investasi (Hillebrandt,
1988; Raftery, 1991; Wells, 1986; World Bank, 1984) yang diperlukan untuk
memproduksi barang, jasa atau fasilitas seperti: (1) fasilitas untuk produksi
lebih lanjut, seperti bangunan pabrik; (2) pembangunan atau peningkatan
infrastruktur ekonomi, seperti jalan raya, pelabuhan, jalan kereta; dan (3)
investasi sosial, seperti rumah sakit, sekolah. Oleh karena itu, permintaan
terhadap output industri konstruksi sangat berfluktuasi. Investasi dapat
ditunda atau dipercepat, tergantung dari kondisi ekonomi dan kebijakan
pemerintah. Dalam kondisi depresi ekonomi yang dialami Indonesia mulai
pertengahan tahun 1997, industri konstruksi mengalami dampak yang paling besar.
Setelah menikmati pertumbuhan sebesar 12,8% di tahun 1996, industri konstruksi
tumbuh hanya sebesar 6,4% di tahun 1997, dan bahkan mengalami kontraksi hampir
40% di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 1998). Tabel input-output BPS (1994)
mengindikasikan industri konstruksi memiliki indeks penyebaran 1,24 dan indeks
sensitifitas 1,23. Indeks penyebaran menunjukkan keterkaitan kebelakang (backward linkaged), yaitu kesempatan
untuk menciptakan investasi bagi sektor lain disebabkan oleh permintaan pada
salah satu sektor ekonomi. Indeks sensitivitas mengukur keterkaitan ke depan,
yang menunjukkan penyediaan input oleh salah satu sektor ekonomi bagi sektor
ekonomi lainnya. Indeks di atas 1,0 menunjukkan stimulasi di atas rata-rata,
yang berarti industri konstruksi dapat mendorong pertumbuhan bagi sektor ekonomi
lainnya.
1. Definisi Konstruksi, Jasa
Konstruksi, Industri/Sektor Konstruksi. Konstruksi secara umum dipahami sebagai
segala bentuk
pembuatan/pembangunan
infrastruktur (jalan, jembatan, bendung, jaringan irigasi, gedung, bandara,
pelabuhan, instalasi telekomunikasi, industri proses, dan sebagainya) serta
pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur (Well, 1986). Namun
demikian, konstruksi dapat juga dipahami berdasarkan kerangka perspektif dalam
konteks jasa, industri, sektor atau kluster. Menurut Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi, jasa konstruksi adalah jasa perencanaan, pelaksanaan, dan
9
pengawasan
suatu pekerjaan konstruksi. Sektor konstruksi dikonsepsikan sebagai salah satu
sektor ekonomi yang meliputi unsur perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan
operasional berupa transformasi dari berbagai input material menjadi suatu
bentuk konstruksi (Moavenzadeh, 1978). Industri konstruksi sangat esensial
dalam kontribusinya pada proses pembangunan, dimana hasil produk industri
konstruksi seperti berbagai sarana, dan prasarana merupakan kebutuhan mutlak
pada proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Henriod,
1984). Industri konstruksi secara luas yang terdiri dari pelaksanaan kegiatan
di lapangan beserta pihak stakeholder seperti kontraktor, konsultan, material supplier, plant supplier, transport
supplier, tenaga kerja, asuransi, dan
perbankan dalam suatu transformasi
input menjadi suatu produk akhir yang mana dipergunakan untuk mengakomodasi
kegiatan sosial maupun bisnis dari society
(Bon, 2000).
Sementara,
menurut Badan Pusat Statistik (BPS) definisi sektor konstruksi adalah suatu
kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatu dengan
lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau sarana
kegiatan lainnya. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan,
pembuatan, pemasangan/instalasi, pembongkaran, dan perbaikan bangunan. Kegiatan
konstruksi dilakukan oleh kontraktor umum (perusahaan konstruksi) maupun oleh
kontraktor khusus unit usaha atau individu yang melakukan kegiatan konstruksi
untuk dipakai sendiri)
Definisi
sektor konstruksi oleh US SIC (United State Standard Industry Classification)
adalah bahwa the construction sector
comprises establishments primarily
engaged in the construction of buildings and other structures, heavy
construction (except buildings), additions, alterations, reconstruction,
installation, and maintenance and repairs. Establishments engaged in demolition
or wrecking of buildings and other structures, clearing of building sites, and
sale of materials from demolished structures are also included. This sector
also includes those
10
establishments engaged in
blasting, test drilling, landfill, leveling, earthmoving, excavating, land
drainage, and other land preparation. Sedangkan
NAIC (North American Industry
Classification) menjelaskan bahwa this sector comprises establishments
primarily engaged in constructing,
repairing and renovating buildings and engineering works, and in subdividing
and developing land. These establishments may operate on their own account or
under contract to other establishments. They may produce complete projects or
just parts of projects. Establishments often subcontract some or all of the
work involved in a project. Establishments may produce new construction, or
undertake repairs and renovations to existing structures. A construction
establishment may be the only establishment of an enterprise, or one of several
establishments of an integrated real estate enterprise engaged in the land
assembly, development, financing, building and sale of large projects.
Kerangka
teoritis sektor konstruksi menurut Parikesit dan Suraji (2005) terdiri dari
industri (usaha) dan perdagangan (pengusahaan) dari suatu produk konstruksi.
Modalitas dari sektor konstruksi adalah kapital, sumber daya manusia, teknologi
dan model bisnis proses serta informasi, akses pasar, sistem transaksi dan
penjaminan kualitas. Pengertian konstruksi secara lebih luas juga dapat
dijelaskan dengan pendekatan kluster konstruksi (Suparto, 2006). Kluster
konstruksi menggambarkan semua elemen baik langsung maupun tidak langsung
terkait dengan elemen-elemen dalam industri konstruksi. Di Scotlandia (2004),
kluster konstruksi dikonsepsikan sebagai representasi dari subyek klien, berbagai
tipe pasar konstruksi, institusi yang bertugas meningkatkan kapasitas, layanan
pendukung, aktifitas konstruksi, dan rantai suplainya serta para pihak yang
terlibat dalam penyelenggaraan konstruksi. Barret (2005) menggunakan istilah
sistem konstruksi untuk menggambarkan berbagai entitas baik subyek maupun obyek
berdasarkan kerangka siklus hidup proyek konstruksi. Menurut Barret (2005)
dalam sistem konstruksi terdapat 3 (tiga) arena dimana pemangku kepentingan
berperan melakukan perubahan. Pada arena
11
pengetahuan
dan perilaku, masyarakat dan pendidikan serta penelitian menjadi medium bagi
para pemangku kepentingan. Selanjutnya, pada arena kerangka kerja dan
penyelenggaraan konstruksi, pihak industri atau klien, pihak yang mengadakan
konstruksi, dan pemerintah serta tim proyek konstruksi menjadi pemangku
kepentingan. Dalam hal ini, pemerintah, industri atau klien serta pihak yang
mengadakan konstruksi adalah pemangku kepentingan utama sebagai pemantik
perubahan.
Dalam
dokumen ini, konstruksi Indonesia dapat disederhanakan dengan cara
dikonsepsikan sebagai representasi dari obyek (produk), proses bisnis (process) dan pelaku (people) yang bergerak pada tingkat
mikro, meso, dan makro dalam ranah domestik maupun global serta terkait dengan
beragam pemangku kepentingan. Konstruksi sebagai obyek digambarkan secara
berbeda sebagai (1) jenis konstruksi penggunaan, termasuk residential buildings, non-residential
buildings, industrial buildings, heavy construction; (2) jenis
konstruksi produk yang mencakup highrise buildings, lowrise buildings, process
buildings, dan civil and heavy
construction; (3) jenis konstruksi campuran yang meliputi shopping and hotels (soho), rumah
kantor (rukan), rumah toko (ruko); dan
(4) jenis konstruksi campuran seperti buildings
and housings, infrastructure dan other construction.
Konstruksi
sebagai representasi bisnis dikonsepsikan sebagai aktifitas, cara
penyelenggaraan (mode of delivery)
dan bentuk suplai. Menurut Europen Union
(EU) aktifitas untuk membuat obyek konstruksi tersebut dijelaskan sebagai
bagian dari kegiatan ekonomi yang disebut sektor konstruksi yaitu (1) site preparation, (2) building of complete constructions or parts thereof; and civil engineering, (3) building installation, (4) building completion, dan (5) renting of construction or demolition
equipment with operator. Cara penyelenggaraan dapat bersifat
(1) traditional
seperti design only, construct only,
dan supervision only; (2) design-build; (3) plant design-build; EPC/ EPCC/EPCF; (4) (EPC)M/PMC/CM; (5) PPP/BOT, BOO, BOOT, BOL; dan (6) aliansi.
Bentuk suplai dari bisnis konstruksi adalah advisory
services, studi
12
kelayakan,
survey investigation, planning, design (conceptual design,
basic design, detail design), checkers, quantity surveyors, procurement, supply (equipment, material,
labour, wharehouse, transportation),
construction, post construction (operation and maintenance, betterment, rehabilitation, renovation, restoration) dan demolition.
Pelaku
konstruksi adalah pemilik, pengguna, penyedia jasa utama dan penyedia jasa
penunjang. Pemilik dapat berasal dari pemerintah, private, developer, kontraktor, dan komunitas. Penyedia jasa utama adalah kontraktor dan subkontraktor,
konsultan (planning, design, checker), suppliers (equipment, materials, labour). Sedangkan penyedia jasa penunjang adalah insurance, financiers, intermidiary (brokers), legal advisors, warehouse and transportation, dan manufacturers (building materials and equiments).
Pemangku
kepentingan (stakehoders) konstruksi
terdiri dari main stakeholders (pemilik, pemakai, penyedia
(utama dan pendukung)), regulator, other stakeholders misalnya pemerintah
Indonesia, lembaga pendukung
(pendidikan, keuangan, dll), komisi pengawas persaingan usaha (KPPU),
masyarakat (lokal, nasional, global). Setiap bagian dari sistem konstruksi
tersebut membutuhkan analisis terhadap isu strategis, dampak, penyebab, strategic thrust, dan indikator.
Selanjutnya, secara sederhana sistem dan konteks konstruksi dapat digambarkan
sebagai berikut.
2. Sistem Sektor Konstruksi
Sistem
konstruksi dapat dijelaskan atas elemen-elemen nilai-nilai dan prinsip-prinsip,
infrastruktur legal, pasar konstruksi, kapasitas industri konstruksi, dan
faktor-faktor pendukung. Nilai-nilai dalam sistem konstruksi Indonesia adalah
(i) moral, integritas, kredibilitas, hak asasi manusia, demokrasi, keadilan,
(ii) transparansi, akuntabilitas, demokratisasi (partisipasi), keadilan, (iii) global universal values: pelestarian
lingkungan, gender, kemitraan dan kesederajatan, (iv) good governance:
penegakan hukum, responsiveness,
konsensus, equality, efektifitas dan efisiensi, vision, (v) tripple bottom lines (sustainable
13
development): - economically efficient; -environmentally
sustainable; - socially equitable,
dan (vi) kecenderungan perubahan dalam “sustainable world’ dari economic efficiency menjadi resources efficiency; dari sentralisasi menjadi desentralisasi;
dari standardisasi menuju diversifikasi. Prinsip-prinsip dalam sistem
konstruksi Indonesia adalah bahwa (a) peran pemerintah tetap kuat dalam
kebijakan (arah pengembangan; regulasi; perijinan (licensing); pendanaan/mekanisme intervensi pasar; pemberdayaan dan
pemihakan kepada yang lemah; (b) demokratisasi dan partisipasi peran masyarakat
lebih besar dengan indikator peningkatan peran masyarakat (misalnya LPJKN),
peningkatan peran organisasi sejawat (asosiasi pengusaha, asosiasi profesi;
badan akreditasi, badan sertifikasi), dan (c) ko-operasi dan kompetisi medan
datar bercirikan playing field harus
jelas serta integrasi dan sinergi sistem kuat.
Infrastruktur legal dalam sistem konstruksi Indonesia
mencakup
(1) peraturan perundang-undangan (UU,
PP, Keputusan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi), (2) governance dan organisasi yang bercirikan kejelasan dan peran
pemerintah; peran masyarakat; dan peran lembaga pengembangan jasa konstruksi,
(3) data base dan sistem informasi; dan (4) monitoring
dan evaluation system. Sedangkan elemen perkembangan pasar konstruksi
mencakup (a) struktur perekonomian nasional, (b) kluster industri dan industri
konstruksi nasional, (c) playing field industri
konstruksi, (d) peran teknologi dan
research and development, (e)
promoting network: regional dan
global linkage. Kapasitas
industri konstruksi nasional dalam sistem konstruksi Indonesia meliputi (i)
Badan Usaha (BU), (ii) Tenaga kerja (TK), (iii) standar kompetensi (BU dan TK),
(iv) Asosiasi (BU dan TK), (v) Sertifikasi (BU dan TK), (vi) Akreditasi (BSI
dan Institusi Diklat), (vii) Standardisasi (material, peralatan, dan jasa),
(viii) Jaminan Kualitas (ISO 9001, dll.), dan (ix) Sistem perijinan
(licencing). Faktor pendukung dalam sistem konstruksi Indonesia adalah (1)
peran pembinaan pemerintah, (2) Pengembangan research and development, (3) Insentif pemerintah: access to financial capital; tax
incentive.
14
Pengelolaan
sektor konstruksi dilakukan oleh para pelaku usaha dan profesi dari setiap
rantai suplai dalam suatu kluster konstruksi. Ranah pengelolaan sektor
konstruksi mencakup supply dan demand baik dalam bentuk jasa maupun
barang yang digunakan untuk menghasilkan produk konstruksi. Pengelolaan
tersebut mencakup penataan usaha dan pengusahaan. Penataan usaha adalah upaya
mengatur usaha-usaha dan profesi-profesi yang menghasilkan barang dan jasa baik
terkait dengan sumber daya manusia, kapital, teknologi, model usaha. Sedangkan
penataan pengusahaan adalah upaya mengatur tata-niaga terkait dengan investasi
atau pasar konstruksi, akses dan cara-cara mengakses pasar konstruksi,
bentuk-bentuk dan cara-cara transaksi di pasar konstruksi dan jaminan kualitas
atas produk konstruksi.
Konstruksi
memiliki lingkup yang amat luas. Konstruksi atau “construction” memiliki definisi sebuah proses untuk menjadikan
sesuatu yang dari berbagai masukan yang dibutuhkan. Dalam pengertian yang lebih
sempit hasil dari sebuah kegiatan konstruksi adalah berwujud fisik. Kegiatan
konstruksi terdiri dari (1) penyelenggaraan kegiatan penyediaan bahan baku,
sumber daya manusia, sumber daya keuangan dan teknologi, dan (2) proses dalam
mengkombinasikan input produksi tersebut menjadi keluaran.
Barang
publik dari kegiatan konstruksi seringkali kita kenal dengan infrastruktur atau
prasarana. Sedangkan barang privat adalah hasil kegiatan yang kepemilikannya
adalah orang perorang atau badan usaha, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Dari pembiayaannya, terdapat pula dua kemungkinan kegiatan konstruksi dapat
diselenggarakan, yaitu pembiayaan oleh Negara (melalui pemerintah) dan oleh
swasta.
Pemerintah
memiliki peran strategis dalam pembinaan konstruksi dan investasi. Secara
praktis peran pembinaan ini sangat erat kaitannya dengan domain manajemen
pemerintah dalam melakukan pengaturan, pengawasan dan pemberdayaan sektor
konstruksi. Oleh karena itu,
15
pemerintah
perlu menetapkan apa yang menjadi urusan pemerintah kaitannya dengan pembinaan
konstruksi dan investasi. Berangkat dari hal ini, maka aspek-aspek penting yang
harus menjadi perhatian pemerintah akan lebih jelas.
Secara
praktis, domain manajemen pemerintah terkait dengan urusan pembinaan konstruksi
dan investasi di sektor konstruksi adalah perdagangan konstruksi (construction trade) dan industri
konstruksi (construction industry).
Dua subyek ini muncul atas bangkitan dari hubungan permintaan (demand) oleh konsumen (consumer) dan suplai (supply) dari barang dan jasa oleh pelaku
usaha konstruksi untuk mewujudkan produk konstruksi. Permintaan tersebut akan
menjadi pasar (market) perdagangan
konstruksi, sedangkan suplai akan melahirkan pelaku (supplier) atau industri yang memberikan produk, baik barang
konstruksi (construction products)
maupun jasa konstruksi (construction
services) dari sektor konstruksi.
Perdagangan
konstruksi akan erat kaitannya dengan pengusahaan (tata niaga) sektor
konstruksi, sedangkan industri konstruksi akan kaitannya dengan usaha di sektor
konstruksi. Usaha tersebut membutuhkan sarana dan cara-cara usaha termasuk
sumberdaya (modalities). Pengusahaan
perdagangan konstruksi berkaitan dengan aspek informasi pasar (market information), cara-cara memasuki
pasar konstruksi (entry to construction
market), transaksi atau pengadaan, serta kebutuhan akuntabilitas publik
dari produk barang dan jasa di pasar konstruksi. Sedangkan, industri konstruksi
berkaitan dengan usaha di bidang konstruksi, termasuk jasa konstruksi yang
membutuhkan dukungan sumberdaya usaha, seperti ketersediaan teknologi, akses
kepada kapital pada lembaga keuangan, profesionalitas sumberdaya manusia,
efisiensi dan efektifitas proses usaha (business
process).
4. Pemangku Kepentingan Usaha
& Pengusahaan Sektor Konstruksi Secara umum, pemangku kepentingan (stakeholders) sektor
konstruksi terdiri dari 5 (lima) unsur utama, yaitu (i)
regulator, (ii)
16
pemilik,
(iii) investor, (iv) penyedia konstruksi, baik barang maupun jasa, dan (v)
konsumen produk konstruksi dalam hal ini dapat sebagai pengguna (consumers) maupun pemanfaat (users).
Regulator
adalah pihak yang melakukan pengaturan-pengaturan di sektor konstruksi,
terutama pengaturan transaksi dan penjaminan mutu. Pemilik adalah pihak yang
memiliki informasi pasar serta memberikan akses pasar. Investor adalah pihak
yang menyediakan investasi untuk pengadaan produk konstruksi. Sedangkan pihak
penyedia jasa (service providers)
adalah pihak yang menggunakan kapital, sumber daya manusia, teknologi, dan
manajemen untuk menyediakan jasa maupun barang konstruksi. Konsumen adalah
pihak yang menggunakan jasa dan barang konstruksi. Pemerintah dapat sebagai
pihak pemilik sekaligus pengguna (consumers),
sedangkan untuk produk konstruksi yang bersifat publik, maka masyarakat adalah
pihak pemanfaat (users).
Namun
demikian, secara praktis pemangku kepentingan (stakeholders) sektor konstruksi terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu
(i) regulator, (ii) konsumen produk konstruksi dalam hal ini dapat pengguna (consumers) maupun pemanfaat (users), dan (iii) penyedia konstruksi,
baik barang maupun jasa. Regulator adalah pihak yang melakukan
pengaturan-pengaturan di sektor konstruksi, terutama pengaturan transaksi dan
penjaminan mutu. Konsumen adalah pihak yang memiliki informasi pasar serta
memberikan akses pasar. Sedangkan pihak penyedia jasa adalah pihak yang
menggunakan kapital, sumber daya manusia, teknologi, dan manajemen untuk
menyediakan jasa dan barang konstruksi.
Para
pemangku kepentingan tersebut akan berbeda cakupan perannya berdasarkan sifat
pengadaan barang dan jasa (komoditi) oleh publik (pemerintah) atau swasta.
Peran pemangku kepentingan dapat dibedakan atas (i) pengadaan pemerintah untuk
komoditi non kompetisi,
(ii) pengadaan pemerintah untuk
komoditi kompetisi, dan (iii) pengadaan swasta untuk komoditi baik kompetisi
maupun non kompetisi. Berdasarkan ketiga jenis pengadaan ini, pengaturan
pengusahaan
17
Pada
pengadaan pemerintah (government
procurement) untuk komoditi non kompetisi, maka pemerintah akan bertindak
sebagai regulator dan konsumen serta sekaligus sebagai investor. Peran
pemerintah pada pengadaan publik komoditi non kompetisi sangat besar. Pada
kasus ini, pemerintah sebagai regulator dapat melakukan pengaturan proses transaksi
dan penjaminan mutu. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan pengaturan pengadaan
(transaksi) barang dan jasa pemerintah, sedangkan misalnya, Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung merupakan instrumen untuk penjaminan
mutu.
Sedangkan
pengadaan pemerintah untuk komoditi kompetisi, pengaturan dapat dilakukan oleh
suatu badan regulator independen. Pemerintah memiliki peran menetapkan
rumusan-rumusan pengaturan tersebut. Pada posisi ini, pemerintah bertindak
sebagai pihak konsumen. Namun demikian, pengaturan transaksi atau pengadaan dan
penjaminan mutu, serta informasi dan akses pasar dilakukan berdasarkan
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengadaan ini, investasi dapat
dilakukan oleh pihak swasta. Untuk kasus pengadaan pemerintah dengan melibatkan
investor swasta, maka pengaturannya dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam
Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur. Posisi dan peran pemerintah
dalam pengadaan pemerintah, serta pengaturan-pengaturan yang diperlukan sangat
penting dalam sektor konstruksi.
Berbeda
dengan pengadaan pemerintah, baik komoditi kompetisi maupun non kompetisi,
untuk pengadaan swasta untuk komoditi kompetisi maupun non kompetisi, peran
pemerintah adalah sebagai regulator. Pada pengadaan jenis ini, swasta atau
masyarakat bertindak sebagai konsumen sekaligus sebagai investor. Pengaturan
dari pengadaan ini hanya berkaitan dengan penjaminan mutu, sedangkan
18
transaksi,
penyediaan informasi, dan akses pasar tidak dilakukan pengaturan-pengaturan.
Pada pengadaan swasta, pihak konsumen (swasta dan masyarakat) tidak memiliki
kewajiban untuk pengaturan informasi dan akses pasar, termasuk pengaturan untuk
transaksi dengan sektor pengusahaan.
Pengadaan
pemerintah maupun swasta untuk komoditi kompetisi dan non kompetisi akan selalu
bersinggungan dengan permintaan investasi. Pemerintah sebagai konsumen untuk
pengadaan publik, pembiayaan pengadaan tersebut dilakukan dengan penyediaan
dana sendiri (APBN, Pinjaman atau Kredit Ekspor). Namun demikian, pembiayaan
pengadaan pemerintah dapat berasal dari dana investasi swasta, dan dana
masyarakat melalui ventura. Sedangkan jika swasta sebagai konsumen produk
konstruksi, maka pembiayaan pengadaan tersebut dapat melalui dana sendiri
(tabungan, penjualan saham) maupun dana.
5. Produk Sektor Konstruksi
Menurut
BPS hasil kegiatan konstruksi dapat mencakup berbagai macam jenis konstruksi.
Selanjutnya BPS mengklasifikasikan jenis-jenis konstruksi sebagai berikut:
a.
Konstruksi gedung tempat tinggal meliputi
rumah, apartemen, kondominium dan sejenisnya;
b.
Konstruksi gedung bukan tempat tinggal mencakup perkantoran, kawasan industri/
pabrik, bengkel, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, bioskop,
gelanggang olah raga, gedung kesenian/ hiburan, tempat ibadah dan sejenisnya;
c. Konstruksi bangunan sipil: jalan, tol,
jembatan, landasan pesawat terbang, jalan rel dan jembatan kereta api,
terowongan, bendungan, waduk, menara air, jaringan irigasi, drainase, sanitasi,
tanggul pengendali banjir, teriminal, stasiun, parkir, dermaga, pergudangan,
pelabuhan, bandar dan sejenisnya;
19
d.
Konstruksi bangunan elektrik dan telekomunikasi:
pembangkit tenaga listrik, transmisi, distribusi dan bangunan jaringan
komunikasi dan sejenisnya;
e. Instalasi gedung dan bangunan sipil: instalasi
listrik termasuk alat pendingin dan pemanas ruangan, instalasi gas, instalasi
air bersih dan air limbah serta saluran drainase dan sejenisnya;
f. Pengerukan: meliputi pengerukan sungai, rawa,
danau dan alur pelayaran, kolam dan kanal pelabuhan baik bersifat pekerjaan
ringan, sedang, maupun berat;
g. Penyiapan lahan untuk pekerjaan konstruksi,
termasuk pembongkaran dan penghancuran gedung atau bangunan lainnya serta
pembersihan;
h.
Penyelesaian konstruksi seperti pemasangan kaca dan aluminium; pengerjaan
lantai, dinding dan plafon gedung, pengecatan; pengerjaan interior dan dekorasi
dalam penyelesaian akhir; pengerjaan eksterior dan pertamanan pada gedung dan
bangunan sipil lainnya;
i. Penyewaan alat konstruksi dengan
operatornya seperti derek lori, molen, buldoser, alat pencampur beton, mesin
pancang dan sejenisnya.
Ruang
lingkup sektor konstruksi sebagaimana tersebut di atas agak berbeda dengan
klasifikasi jenis konstruksi yang digunakan oleh perbankan. Secara umum,
perbankan nasional menggunakan klasifikasi jenis konstruksi untuk penyusunan
database terkait dengan kredit sebagai berikut:
a.
Konstruksi Perumahan Sederhana
(1)
Konstruksi untuk Perumahan
Sederhana
(2)
Konstruksi untuk Perumahan
Sederhana Perumnas
(3)
Konstruksi untuk Perumahan
Sederhana Lainnya
b. Konstruksi Penyiapan Tanah
Pemukiman Transmigrasi Konstruksi Penyiapan Tanah Pemukiman Transmigrasi (PTPT)
c.
Konstruksi Jalan Raya dan Jembatan
(1)
Konstruksi Jalan Raya dan Jembatan
(2)
Konstruksi Sarana Jalan
20
(1)
Konstruksi Listrik Perdesaan
(2)
Konstruksi Bangunan Listrik dan
Komunikasi
(3)
Konstruksi Listrik Lainnya
e. Konstruksi Proyek yang Dibiayai
Dengan Pinjaman Dari/Untuk Luar Negeri
Konstruksi Proyek yang Dibiayai
Dengan Pinjaman Luar Negeri Dari/Untuk Pembayaran di Luar Negeri
f.
Konstruksi Lainnya
(1)
Konstruksi Perumahan Real Estate
(2)
Konstruksi Apartemen dan
Kondominium
(3)
Konstruksi Asrama/ Rumah Kost
(4)
Konstruksi Perkantoran
(5)
Konstruksi Hotel, Penginapan &
Peristirahatan
(6)
Konstruksi Shopping Center &
Trade Center
(7)
Konstruksi Ruko/Rukan
(8)
Konstruksi Sarana Kesehatan
(9)
Konstruksi Sarana Pendidikan
(10) Konstruksi Ibadah, Olahraga, Rekreasi
(11) Konstruksi Gedung Lainnya
(12) Konstruksi Pabrik/ Kawasan Industri
(13) Konstruksi Gudang
(14) Konstruksi Pelabuhan
(15) Konstruksi Lapangan Udara
(16) Konstruksi Irigasi
(17) Konstruksi Bangunan Sipil Lainnya
(18) Instalasi Prasarana Bangunan Sipil
(19) Konstruksi Pencetakan Sawah
(20) Konstruksi Pasar Inpres
Selain
itu, NAIC mengklasifikasikan sektor konstruksi berdasarkan tiga kategori yaitu
(1) building, developing and general contracting, (2) heavy construction, dan (3)
special trade construction. Adapun
rincian untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:
21
(1) Land
Subdivision and Land Development
(2) Residential
Building
(3) Single-family
Housing
(4) Multi-family
Housing
(5) Non-residential
Building Construction
(6) Manufacturing
and industrial building
(7)
Commercial and institutional building.
b.
Heavy Construction:
(1) Highway,
Street, Bridge, and Tunnel:
(a) Highway and
street;
(b) Bridge and
tunnel.
(2) Other Heavy
Construction:
(a) Water, sewer,
and pipeline;
(b) Power and
communication transmission line;
(c) Industrial
non-building structure;
(3) All other heavy
Construction.
c.
Special Trade Construction
(1) Plumbing,
Heating, and Air-Conditioning.
(2) Painting and
Wall Covering.
(3) Electrical.
(4) Masonry,
Drywall, Insulation and Tile.
(5) Carpentry &
Floor.
(6) Roofing,
Siding, and Sheet Metal;
(7) Concrete.
(8) Water Well
Drilling.
(9) Other Special
Trade.
6. Kelembagaan Sektor Konstruksi
Di
banyak negara, kelembagaan di sektor konstruksi berfungsi memfasilitasi dan
mendorong pengembangan industri konstruksi. Bentuk kelembagaan tersebut bisa
organisasi publik (pemerintah) maupun non pemerintah, termasuk asosiasi
perusahaan maupun
22
asosiasi
profesi terkait dengan sektor konstruksi. Kelembagaan sektor ini dapat berada
pada level lokal, nasional, regional, dan internasional. Lembaga yang hampir di
setiap negara ada adalah lembaga pengembangan industri konstruksi (Construction Industry Development Board) atau institut untuk industri
konstruksi (Construction Industry
Institute). Disamping itu, lembaga pelatihan industri konstruksi (Construction
Industry Training Board (CITB) atau Construction
Industry Training Institute (CITI))
juga merupakan lembaga yang menfasilitasi dan mendorong kegiatan pelatihan (continuing
professional development) sumber daya manusia konstruksi. Beberapa contoh
kelembagaan di tingkat nasional di negara-negara lain, misalnya CIDB Malaysia, Building and Construction Authority (BCA) di Singapore, Construction Industry Institute (CII) di Amerika, Construction Industry Research and
Information Agency (CIRIA) dan
Bulding Research Establishment (BRE) di Inggris, Australian Construction Industry Institute (ACII) di Australia,
dan Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi di Indonesia. Sedangkan di tingkat regional, misalnya, European Construction Institute (ECI)
untuk Eropa, dan di tingkat internasional, misalnya International of Construction
Research Council (CIB) yang memiliki kantor pusat di Belanda.
Di
Indonesia, sektor konstruksi memiliki lembaga pengembangan jasa konstruksi
(LPJK) di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendorong pengembangan sektor
konstruksi, pemerintah juga memiliki lembaga yang melakukan kegiatan pembinaan
konstruksi dan investasi (BAPEKIN). Disamping itu pemerintah juga memiliki
lembaga pelatihan jasa konstruksi (PUSLATJAKON). Di pihak masyarakat
konstruksi, lembaga-lembaga yang terkait dengan sektor konstruksi adalah
asosiasi profesi dan badan usaha. Di negara ini, jumlah asosiasi profesi kurang
lebih 28 organisasi, sedangkan asosiasi badan usaha adalah 27 organisasi.
7. Para Pihak dalam Jasa Konstruksi
Pelaku
sektor konstruksi adalah pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan membangun
suatu jenis konstruksi. Kegiatan membangun
23
tersebut
adalah suatu proses yang panjang, kompleks dan seringkali terjadi miskoordinasi
dan inefisiensi (Hillebrant, 2000). Proses konstruksi secara umum melibatkan
pihak-pihak pemangku kepentingan utama, yaitu:
a. Pengguna/pemilik (owner)
Pihak
ini menyediakan lahan atau tanah dimana bangunan akan didirikan dan pendanaan
yang akan digunakan untuk menyelenggarakan suatu jenis konstruksi (building/infrastructure procurement). Pihak ini dapat berasal
dari instansi pemerintah, perusahaan
swasta atau individu masyarakat. Pemerintah adalah investor utama untuk
penyelenggaraan infrastruktur publik, seperti transportasi, pengairan dan
pekerjaan umum serta fasilitas publik lainnya, seperti prasarana pendidikan dan
kesehatan serta sosial. BUMN dan Swasta adalah investor untuk penyelenggaraan
antara lain bangunan komersial dan real estate serta bangunan industri dan
sejenisnya. Sedangkan individu masyarakat adalah investor untuk penyelenggaraan
antara lain rumah tinggal atau rumah pribadi.
b. Penyedia Jasa
Merupakan
pihak yang bertugas membantu pihak pemilik (investor atau developer) melakukan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dari
mulai studi awal, perencanaan, pembuatan, perawatan, penghacuran hinggá
pembuatan kembali. Pihak yang terlibat dalam proses studi awal atau perencanaan
sering disebut sebagai konsultan, baik yang memberi layanan merencanakan (arsitek),
merancang (insinyur perancang) maupun mengawasi pelaksanaan pekerjaan di
lapangan (insinyur pengawas).
Sedangkan
pihak yang menyediakan jasa pembuatan hingga penghancuran konstruksi dapat
berperan sebagai kontraktor umum maupun kontraktor spesialis. Mereka
melaksanakan pekerjaan konstruksi atas dasar kontrak dengan pihak pemilik.
Kontraktor umum/spesialis tersebut dapat memberi jasa rekayasa (engineering) sekaligus jasa pelaksanaan
(constructing) yang disebut dengan
kontraktor rancang bangun atau EPC contractor.
24
Di
sisi penyedia jasa juga terdapat pihak yang menyediakan bahan atau peralatan
yang dibutuhkan oleh kontraktor umum atau spesialis. Vendor/supplier tersebut dapat langsung sebagai
pabrikan atau perusahaan yang menjual bahan atau menyewakan peralatan.
8. Penyedia Jasa Perorangan
Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi mengakui bentuk usaha jasa konstruksi yang dilakukan
oleh orang perseorangan, selain juga yang berbentuk badan usaha (Pasal 5 Ayat
1). Dalam prakteknya, usaha jasa konstruksi yang dilakukan oleh orang
perseorangan dapat dilihat sebagai suatu kegiatan ekonomi non-formal, karena
para pelakunya tidak terdaftar sebagai suatu badan usaha dan juga tidak
membayar pajak. Peran usaha jasa konstruksi sektor informal ini dalam kegiatan
ekonomi di Indonesia sebetulnya cukup besar, khususnya dalam melaksanakan
kegiatan konstruksi sederhana untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan
pemeliharaan bangunan perumahan milik masyarakat dan juga penyediaan dan
pemeliharaan infrastruktur dalam skala yang terbatas, seperti infrastruktur
perdesaan dan sebagainya. Selain itu kegiatan konstruksi sektor informal ini
juga menyediakan kebutuhan bangunan dan pemeliharaannya bagi berbagai sektor
usaha kecil dan menengah di masyarakat, misalnya warung, pertokoan, rumah
makan, industri rumah tangga, dan sebagainya.
Meskipun
tidak terdapat data akurat mengenai berapa besar peran dari sektor informal ini
terhadap sektor konstruksi nasional, juga tidak terdapat gambaran berapa banyak
tenaga kerja konstruksi yang terlibat dalam sektor ini dan berapa besar nilai
aset yang dihasilkan melalui sektor ini, diperkirakan bahwa kontribusi dari
usaha jasa konstruksi sektor informal ini terhadap kegiatan jasa konstruksi
Indonesia cukup besar. Peran sektor informal usaha jasa konstruksi ini tidak
dapat diabaikan, karena sifatnya yang sangat menyentuh kehidupan sejumlah besar
masyarakat Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun di perkotaan, dan juga
karena kemampuan daya hidupnya yang sangat besar. Khususnya dalam masa-masa
sulit krisis ekonomi yang menyebabkan banyak kehilangan pekerjaan diberbagai
sektor industri
25
lainnya,
sektor informal usaha konstruksi masih tetap mampu memberikan peluang lapangan
kerja bagi masyarakat.
Sektor
informal usaha konstruksi melibatkan berbagai jenis tenaga kerja, dari mulai
pemborong informal dan mandor borong, tukang yang terlatih dan semi-terlatih
serta tenaga buruh konstruksi tidak terlatih. Peran sektor ini dalam penyerapan
tenaga kerja seharusnya cukup signifikan, meskipun tidak tersedia data yang
jelas mengenai hal ini.
Dari
sisi teknologi konstruksi, kegiatan konstruksi sektor informal sangat terkait
dengan penggunaan teknologi konstruksi nir-rekayasa (non-engineered construction), yaitu teknologi konstruksi yang berdasarkan tradisi masyarakat yang
ditularkan dari generasi ke generasi, menggunakan bahan konstruksi lokal dan
tenaga kerja lokal. Teknologi ini didasarkan kepada pengetahuan yang dimiliki
oleh para mandor dan tukang (tukang kayu, tukang batu dsb.) yang didapat
melalui proses belajar secara tradisional dari pengalaman sehari-hari dan dari
proses magang informal. Bangunan-bangunan konstruksi nir-rekayasa tidak
direncanakan oleh arsitek dan tidak dihitung kekuatan strukturnya oleh insinyur
perencana, juga dalam pelaksanaannya tidak melibatkan insinyur konstruksi.
Salah
satu fenomena yang perlu mendapat perhatian dari bangunan nir-rekayasa ini
adalah berubahnya tradisi membangun perumahan masyarakat, yang tadinya biasa
dibangun dengan menggunakan cara dan bahan/material lokal dalam bentuk yang
mengandung unsur budaya lokal (vernakular), misalnya rumah panggung dengan
bahan kayu atau bambu dengan bentuk atap yang khas sesuai daerah masing-masing,
mulai berubah dan bergeser ke arah penggunaan teknologi bangunan yang sekarang
ini dapat ditemukan di mana-mana (kontemporer), yaitu teknologi bangunan rumah
tembokan menggunakan bahan batu-bata (tanah liat yang dibakar atau bata semen)
dan perekat semen yang diperkuat dengan kerangka dari kayu atau beton bertulang
(bangunan tembokan bata dengan kekangan).
Pengalaman
menujukkan bahwa sangat sering terjadi kegagalan bangunan tembokan yang
bersifat getas ini diberbagai kejadian gempa
26
bumi
di seluruh tanah air, karena tidak dipenuhinya syarat-syarat minimum bangunan
sederhana tahan gempa, seperti penggunaan bahan yang kurang memadai, cara-cara
penyambungan baja tulangan, pemasangan bata, sambungan kayu dan sebagainya yang
tidak memenuhi syarat minimum. Ini menunjukkan bahwa keahlian membangun dari
para tenaga kerja konstruksi sektor informal kita sangat terabaikan dan makin
lama makin menurun kualitasnya.
B.
Kajian terhadap Asas / Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
Pengelolaan
sektor konstruksi harus dapat menjamin integrasi dari seluruh pihak (people) yang terlibat dalam keseluruhan
struktur rangkaian rantai suplai agar mampu memberikan nilai tambah secara
berkelanjutan melalui tatakelola yang baik dari proses bisnis (process) konstruksi secara efisien,
efektif dan cost-effectiveness serta
berkeadilan sehingga produktif dalam menghasilkan produk konstruksi (product) berkualitas, bermanfaat dan
berkelanjutan sehingga konstruksi menjadi penggerak pembangunan sosio-ekonomi
bangsa (construction driven
sosio-economic development). Prinsip dan nilai-nilai tersebut adalah jiwa
atau ruh bahwa outcome sektor
konstruksi adalah kenyamanan lingkungan terbangun baik secara fisik, sosial,
budaya, psikologi, dan spiritual bagi masyarakat luas.
Jiwa
pengelolaan sektor konstruksi tersebut harus dilandasi oleh asas-asas kejujuran
dan keadilan, manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, kemandirian,
keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan, pembangunan
berkelanjutan, dan kelestarian lingkungan:
(1) Asas kejujuran dan keadilan
mengandung pengertian bahwa sektor konstruksi dikelola secara obyektif sesuai
dengan fakta dan informasi yang akurat dan memihak realitas kebenaran serta
proporsional;
(2)
Asas
manfaat mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi dilaksanakan
berlandaskan kemanfaatan yang lebih luas agar mampu menghadirkan terwujudnya
nilai tambah sektor konstruksi Indonesia yang optimal bagi para pihak yang
terlibat
27
(3) Asas kesetaraan mengandung
pengertian bahwa kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan dengan
memperhatikan kesetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa.
(4) Asas keserasian mengandung
pengertian harmoni dalam interaksi dan integrasi para pelaku sektor konstruksi
baik dengan pihak yang terlibat langsung dalam aktivitas di sektor konstruksi
dan selalu berorientasi untuk menjamin tata kehidupan menjadi berkualitas dan
bermanfaat tinggi.
(5) Asas keseimbangan mengandung
pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi dilakukan atas prinsip saling
asih, saling asuh, saling asah, dan saling asup dengan demikian setiap pihak
yang terkait dengan aktivitas sektor konstruksi akan mendapat perlakuan yang
tepat sesuai beban kewajiban dan haknya.
(6) Asas kemandirian mengandung
pengertian bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilakukan dengan
mengoptimalkan sumber daya nasional di bidang jasa konstruksi.
(7) Asas keterbukaan mengandung
pengertian bahwa sistem pengelolaan sektor konstruksi dapat diakses oleh
masyarakat umum sehingga memberikan peluang bagi masyarakat yang mempunyai
kemampuan untuk berpartisipasi karena terwujudnya transparasi dalam pengelolaan
sektor konstruksi. Dengan demikian, keterbukaan tersebut memungkinkan para
pelaku sektor dapat melaksanakan kewajibannya secara optimal dan mereka
mendapat kepastian akan hak. Disamping itu, masyarakat selanjutnya dapat
memperoleh kesempatan untuk memberikan koreksi sehingga dapat dihindari adanya
berbagai kekurangan dan penyimpangan.
(8) Asas kemitraan mengandung
pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi harus dilaksanakan atas hubungan
para pelaku yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.
(9) Asas keamanan dan keselamatan
mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi harus menjamin para
pelaku sektor
28
konstruksi
mendapatkan kepastian keamanan (security)
dan keselamatan (safety) dalam
menjalankan setiap tahapan dari siklus proses konstruksi.
(10)
Asas kebebasan
mengandung pengertian bahwa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi pengguna jasa
memiliki kebebasan untuk memilih penyedia jasa dan juga adanya kebebasan
berkontrak antara penyedia jasa dan pengguna jasa.
(11) Asas pembangunan berkelanjutan
mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilaksanakan dengan
memikirkan dampak yang ditimbulkan pada lingkungan yang terjaga secara terus
menerus menyangkut aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.
(12) Asas kelestarian lingkungan
mengandung pengertian bahwa aktivitas proses konstruksi harus menjamin
perlindungan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk konstruksi
dilakukan secara bijak demi kelestarian lingkungan hidup.
C. Kajian terhadap Praktik
Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat
Pada praktik penyelenggaraan jasa konstruksi, saat ini
usaha jasa
konstruksi terdiri atas 3 jenis usaha yakni (i) jasa konsultansi
konstruksi;
(ii) jasa pelaksana konstruksi; (iii)
jasa pelaksana konstruksi terintegrasi. Lebih lanjut lagi, usaha jasa
konstruksi dapat dikategorikan kedalam sifat umum dan spesialis. Dalam
perkembangan industri konstruksi nasional saat ini, industri konstruksi
nasional sedang menghadapi tuntutan dan tekanan yang semakin besar. Globalisasi
ekonomi dan keuangan dunia telah mendorong tuntutan kerja sama regional dan
global yang semakin meningkat, melalui skema-skema liberalisasi perdagangan
jasa konstruksi seperti GATS-WTO dan AFAS-ASEAN. Apabila tidak dilakukan
pembenahan terkait penataan kelembagaan dan pengembangan terhadap usaha, tenaga
kerja, dan iklim usaha jasa konstruksi secara menyeluruh, maka gelombang
globalisasi dengan paket liberalisasi perdagangan jasa konstruksi akan membuat
Indonesia semakin tinggi ketergantungannya terhadap pihak asing. Berbagai
infrastruktur dan properti akan banyak
29
dibuat
oleh industri konstruksi asing yang memiliki daya saing yang lebih tinggi.
Akibatnya bangsa Indonesia akan lebih banyak mengeluarkan devisa, dan keamanan
dalam negeri (national security) juga
akan menjadi lebih rentan.
Dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, jenis usaha terbagi
menjadi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sesungguhnya merupakan
bagian dari siklus proyek. Kemudian, penetapan bidang usaha didasarkan pada
bidang pengetahuan atau pendidikan yaitu arsitektur, sipil, mekanikal,
elektrikal, dan tata lingkungan (ASMET). ASMET ini lebih mencerminkan jenis
pekerjaan atau profesi berdasarkan keilmuan bukan pembagian bidang usaha yang
berkembang dalam praktek maupun standar yang ditetapkan oleh Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB). Padahal perkembangan saat ini, industri jasa konstruksi
global mulai tumbuh dengan mengacu pada Central
Product Clasification (CPC) yang
merupakan standar dari PBB untuk usaha jasa
konstruksi. Implikasinya, para pelaku usaha jasa konstruksi Indonesia sulit
bersaing dan berbicara banyak di tingkat global. Selanjutnya, pembagian
sub-bidang usaha menjadi arsitektur bangunan, arsitektur lansekap, dalam
praktek bisnis dan juga pendekatan proyek kurang memiliki fokus jika dikaitkan
dengan playing field. Padahal, secara
umum dari sisi proyek dan kebutuhan telah terjadi pengembangan berdasarkan product life cycle atau siklus proyek
konstruksi yang terbagi ke dalam (i)
development/ planning;
(ii)
financing; (iii) Feasibility
Study; (iv) Survey/Investigation; (v) Design; (vi) procurement/Construction/supplier;
(vii) Supervision; (viii) start-up/operation/ maintenance; dan (ix) demolition. Perkembangan terakhir
menunjukkan bahwa ada pemikiran untuk
pembagian bidang usaha jasa konstruksi menggunakan sistem Central Product Classification (CPC). Adapun pengklasifikasian usaha
jasa pelaksana konstruksi berdasarkan CPC meliputi (i) penyiapan lapangan; (ii)
instalasi; (iii) konstruksi khusus; (iv)
konstruksi prapabrikasi; (v)
penyelesaian bangunan; (vi) penyewaan peralatan; (vii) pekerjaan konstruksi
bangunan gedung; (viii) pekerjaan konstruksi bangunan sipil. Sedangkan
pengklasifikasian usaha jasa
30
konsultansi
konstruksi meliputi (i) arsitektur; (ii) rekayasa; (iii) rekayasa terpadu; (iv)
arsitektur lansekap dan perencanan wilayah; (v) jasa konsultansi yang terkait
dengan keilmuan dan teknikal. Penataan struktur usaha, dilakukan salah satunya
dengan memklusterkan sifat usaha dan klasifikasi usaha sesuai dengan jenis
usaha. Sehingga dengan penataan tersebut, dapat mendorong terciptanya kerjasama
yang sinergis antar klasifikasi, sifat maupun jenis usaha.
Pembangunan
jasa konstruksi nasional juga harus mempertimbangkan masalah market mechanism sektor konstruksi yang
ada saat ini terutama dalam mempertemukan prinsip kerja sama dan kompetisi
sebagaimana prinsip yang ingin dibangun dalam Pasal 17 Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pengembangan jasa konstruksi memerlukan iklim
usaha dan playing field yang jelas,
datar dan harus dibina bersama oleh para pemangku kepentingan (stakeholders). Playing field harus datar
dalam arti bahwa playing field tersebut
disediakan untuk suatu kualifikasi
usaha yang sama agar terjamin kompetisi yang fair di sektor konstruksi dan tidak terjadi anomali kompetisi antar
kualifikasi kecil, menengah, dan besar bermain pada lapangan yang tidak
seimbang.
Lebih
lanjut lagi, kondisi dimana belum seragamnya perkembangan kemampuan dan
kapasitas usaha jasa konstruksi disetiap provinsi merupakan realitas yang harus
dipahami oleh seluruh pihak. Untuk itu, pemerintah daerah provinsi harus
diberikan ruang untuk membuat kebijakan khusus yang dapat memberikan kesempatan
bagi pelaku usaha jasa konstruksi di wilayahnya, khususnya yang memiliki kualifikasi
kecil dan menengah untuk dapat berkembang. Ruang tersebut tentunya dibatasi
hanya untuk penyelenggaran jasa konstruksi yang bersumber dari keuangan daerah
serta yang memiliki kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi
sederhana sampai dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang. Adapun
kebijakan khusus yang dapat dibuat oleh Pemerintah Daerah, harus tetap
memperhatikan dan mengedepankan azas persaingan sehat salah satunya dengan cara
mengatur bahwa badan usaha jasa konstruksi dari luar wilayah provinsi untuk
melakukan kerjasama
31
operasi
dengan badan usaha jasa konstruksi yang berdomisili di wilayah provinsi,
mengutamakan penggunaan subpenyedia jasa yang merupakan badan usaha jasa
konstruksi di wilayah provinsi, serta mengutamakan penggunaan tenaga kerja
konstruksi yang berdomisili di wilayah provinsi.
Terkait
pengaturan pasar usaha jasa konstruksi domestik, diperlukan adanya pengaturan
mengenai keberadaan badan usaha dan tenaga kerja asing. Karena saat ini, pelaku
usaha jasa konstruksi di Indonesia tidak saja berasal dari domestik tetapi juga
internasional. Saat ini, cukup banyak badan usaha konstruksi asing, baik yang
telah membuka kantor perwakilan maupun yang membentuk perusahaan berbadan hukum
di Indonesia. Dengan mulai masuknya pelaku usaha jasa konstruksi asing,
berdampak pada meningkatnya persaingan usaha di pasar konstruksi domestik.
Keberadaan badan usaha asing ini seharusnya mampu diarahkan agar memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya kepada badan usaha nasional, karena dengan
demikian, daya saing pelaku usaha jasa konstruksi nasional dapat meningkat.
Sebagai upaya untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan pengaturan yang
dapat menjamin bahwa pelaku usaha jasa konstruksi asing yang masuk ke Indonesia
adalah pelaku usaha yang bermodal besar dan memiliki pengusaaan terhadap
teknologi tinggi. Kedua persyaratan tersebut, hanya dapat dimiliki oleh badan
usaha jasa konstruksi asing yang setara dengan kualifikasi besar. Lebih lanjut
lagi, khusus bagi badan usaha jasa konstruksi asing yang membuka kantor
perwakilan di Indonesia, ketika melakukan kegiatan usahanya di Indonesia, perlu
adanya pengaturan yang menjamin alih pengetahuan dan teknologi dari badan usaha
usaha jasa konstruksi asing ke badan usaha jasa konstruksi nasional dapat
berlangsung dengan optimal. Alih pengetahuan dan teknologi tersebut, hanya
dapat tercapai dengan kerjasama operasi antara badan usaha jasa konstruksi
asing dengan badan usaha jasa konstruksi nasional yang didasari oleh kesamaan
layanan dan kesetaraan kualifikasi usaha serta tanggung renteng. Sedangkan
untuk pelaku usaha jasa konstruksi asing yang membentuk badan usaha dalam
rangka penanaman modal asing, hal yang perlu dipastikan adalah, dalam rangka
memastikan bahwa pelaku usaha asing adalah pelaku yang membawa
32
modal
dan memiliki pengalaman penguasaan teknologi tertentu, maka entitas bisnis yang
terbentuk dari hasil penanaman modal asing merupakan badan usaha jasa
konstruksi yang memiliki kualifikasi besar. Sedangkan untuk, prosentase kepemilikan
modal maskimal oleh asing, mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penanaman modal. Berkaitan dengan aspek perizinan badan usaha asing,
mengingat bahwa kehadiran dari badan usaha jasa konstruksi asing di Indonesia
memiliki dampak secara nasional, maka perizinan usaha jasa konstruksi yang
melibatkan pelaku usaha asing, sebaiknya dilakukan secara terpusat di tingkat
nasional.
Berkaitan
dengan kehadiran tenaga kerja konstruksi asing di Indonesia, tentunya harus
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan nasional terhadap keahlian atau
pengetahuan tertentu yang dirasakan masih belum dapat dikuasai oleh tenaga
kerja konstruksi nasional. Dengan demikian, diperlukan pengaturan yang
menyatakan bahwa tenaga kerja asing hanya dapat bekerja di Indonesia adalah
tenaga kerja asing yang disetarakan dengan tenaga kerja nasional pada jenjang
jabatan ahli. Hal yang terkait dengan perizinan tenaga kerja asing tersebut,
didorong untuk mengikuti ketetentuan peraturan perundangan di sektor
ketenagakerjaan. Selain itu, dalam rangka pembinaan jasa konstruksi nasional,
pemerintah memiliki kepentingan untuk melakukan pendataan terhadap tenaga kerja
konstruksi asing yang bekerja di Indonesia salah satu caranya adalah dengan
mewajibkan registrasi tenaga kerja konstruksi asing kepada pemerintah.
Hal
yang sama juga harus dilakukan di sisi tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa
konstruksi agar terjadi proses transfer teknologi dan keterampilan serta
perlakuan yang setara antara tenaga asing dengan lokal. Walaupun itu terkait
dengan peraturan perundang-undangan di sektor tenaga kerja, namun iklim usaha
jasa konstruksi harus mampu membangun sistem pembinaan sumber daya manusia jasa
konstruksi yang lebih dalam dan kuat.
Berkaitan
dengan spektrum peran masyarakat jasa konstruksi, perlu dipahami bahwa
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang dibuat pada tahun 1999, memiliki
nuansa reformasi yang menyerahkan sebagian
33
urusan
pemerintahan kepada masyarakat. Untuk itu lah dibentuk Lembaga Pengembangan
Jasa Konstruksi (LPJK), yang merupakan perwakilan dari unsur masyarakat jasa
konstruksi yang meliputi asosiasi perusahaan, asosiasi profesi, instansi
pemerintah dan pakar/perguruan tinggi. Dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi, LPJK memiliki 5 tugas antara lain (i) melakukan atau mendorong
penelitian dan pengembangan jasa konstruksi; (ii) menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan jasa konstruksi; (iii) melakukan registrasi tenaga kerja
konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan
dan keahlian kerja; (iv) melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi; (v)
mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang
jasa konstruksi.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Peran dan Usaha Masyarakat
Jasa Konstruksi, dasar hukum dibentuknya LPJK adalah dengan anggaran
dasar/anggaran rumah tangga. Pembentukan LPJK melalui ad/art, tidak lepas dari
tafsir terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi bahwa LPJK merupakan
wujud dari penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi, sehingga
pembentukannya pun, dikembalikan kepada masyarakat. Permasalahan pun timbul
atas tafsir tersebut, karena pada saat itu, masyarakat membentuk lebih dari
satu Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi yang didasari oleh suatu pemahaman
bahwa selama dibentuk oleh 4 unsur masyarakat jasa konstruksi, maka Lembaga
tersebut sah secara hukum dinyatakan sebagai LPJK menurut Undang-Undang Tentang
Jasa Konstruksi.
Pada
tahun 2010, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2010,
mereformasi LPJK, sehingga pembentukannya didasari kepada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 10 Tahun 2010. Dengan terbitnya peraturan menteri ini,
memberikan pemahaman, bahwa meskipun LPJK adalah lembaga sebagai wujud
penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi, namun mekanisme
pembentukannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, mengingat
sesungguhnya LPJK menjalankan fungsi publik. Meskipun berbagai upaya telah
dilakukan
34
untuk
mendekatkan LPJK sebagai lembaga negara, namun upaya tersebut terhambat oleh
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi,
sehingga organisasi LPJK saat ini, masih belum dapat menggambarkan bahwa LPJK
menjalankan fungsi publik. Lebih lanjut lagi, beberapa kalangan menilai bahwa
potensi adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas LPJK akan tetap ada selama
pengurus LPJK merupakan perwakilan kepentingan unsur. Terutama yang berkaitan
dengan sertifikasi dan registrasi badan usaha, dimana ada potensi konflik
kepentingan dari pelaku usaha yang duduk sebagai pengurus LPJK dalam
menjalankan tugas sertifikasi dan registrasi badan usaha, mengingat sertifikat
badan usaha adalah salah satu persyaratan untuk dapat masuk kedalam pasar jasa
konstruksi nasional. Permasalahan lain yang timbul adalah masih minimnya minat
instansi pemerintah untuk menunjuk perwakilannya duduk menjadi pengurus LPJK.
Selain
dari aspek permasalahan dasar hukum pembentukan dan tanggung jawab LPJK,
permasalahan lain adalah yang berkaitan dengan efektivitas pelaksanaan tugas
LPJK yang masih belum optimal. Dari kelima tugas yang diamanatkan Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi, hanya tugas sertifikasi dan registrasi yang dilakukan
secara dominan, tugas lain seperti melakukan pendidikan dan pelatihan serta
penelitian dan pengembangan masih belum optimal dilakukan baik oleh LPJK
tingkat nasional maupun LPJK tingkat provinsi. Pengurus LPJK bukan merupakan
pengurus waktu penuh untuk melakukan aktivitas kepengurusan LPJK, sehingga
pengurus hanya melakukan tugas yang sifatnya mengarahkan sedangkan operasional
LPJK dilakukan oleh kesekretariatan lembaga. Berkaitan dengan pendanaan
kegiatan layanan oleh LPJK, saat ini LPJK melakukan pengutan kepada masyarakat
terhadap layanan yang diberikan yakni sertifikasi dan registrasi. Hasil
pungutan tersebut menjadi sumber pendanaan utama bagi penyelenggaraan layanan
oleh LPJK. Namun demikian, banyak pihak menilai bahwa pengelolaan dana
masyarakat oleh LPJK belum dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal ini
disebabkan salah satunya adalah karena LPJK belum menjadi objek bagi
pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan, mengingat
35
LPJK
belum dapat dianggap sebagai lembaga negara meskipun menjalankan tugas negara
yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.
Selanjutnya
adalah mengenai hubungan institusional kelembagaan. Setidaknya ada tiga aspek
yang harus dievaluasi, yakni hubungan antara LPJK dengan pemerintah, LPJK
dengan masyarakat jasa konstruksi serta hubungan antara LPJK tingkat nasional
dan LPJK tingkat provinsi. Ada tiga jenis hubungan antara LPJK dengan
pemerintah yakni hubungan kemitraan, hubungan kepentingan dan hubungan
regulator-operator. Kemitraan LPJK dengan pemerintah utamanya dilakukan untuk
penyelenggaraan tugas pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan, dimana pemerintah selaku pembina jasa konstruksi sesungguhnya
memiliki tugas yang sama, sehingga diperlukan kemitraan yang sinergis antara
lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan lembaga yang menyelenggarakan
pembinaan.
Sedangkan
hubungan kepentingan memiliki makna bahwa, pemerintah sebagai pengguna jasa
memiliki kepentingan terhadap sertifikat yang dihasilkan oleh LPJK utamanya
adalah sertifikat badan usaha, sertifikat keterampilan dan sertifikat keahlian.
Ketersediaan badan usaha yang mampu dan tenaga kerja kompeten yang
bersertifikat adalah faktor kunci bagi terselenggaranya pembangunan
infrastruktur nasional. Oleh sebab itu, pemerintah sesungguhnya memiliki
kepentingan strategis terhadap LPJK utamanya adalah kebutuhan agar sertifikat
yang diterbitkan oleh LPJK betul-betul mencerminkan kemampuan dan
profesionalitas usaha dan kompetensi tenaga kerja konstruksi. Aspek yang ketiga
dari hubungan antara LPJK dengan pemerintah adalah hubungan regulator-operator,
dimana pemerintah sebagai pembina jasa konstruksi merupakan regulator dari jasa
konstruksi. LPJK dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan oleh
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengacu kepada peraturan yang dibuat oleh
Pemerintah.
Sesungguhnya,
untuk mengotimalkan hubungan kemitraan dan hubungan kepentingan dapat dilakukan
dengan menggunakan instrumen hubungan regulator-operator. Namun demikian, masih
belum jelasnya
36
kepada
siapa pengurus LPJK bertanggung jawab, menjadi ruang evaluasi yang sangat
penting, karena saat ini LPJK tidak dapat dikatakan bertanggung jawab kepada
pemerintah. Meskipun pengurus LPJK dikukuhkan oleh menteri untuk tingkat
nasional dan oleh gubernur untuk tingkat provinsi, namun yang menetapkan
pengurus LPJK sesungguhnya adalah kelompok unsurnya, sehingga dalam aspek
pertanggungjawaban, pengurus LPJK bertanggung jawab kepada kepentingan yang
diwakilinya yakni kepentingan kelompok unsur. Hal ini merupakan masalah besar
yang harus dicari solusinya, karena dengan sistem yang ada saat ini, disatu
sisi LPJK menjalankan tugas negara, namun disisi lain pertanggungjawabannya
bukan kepada instrumen negara namun kepada kepentingan golongan.
Berkaitan
dengan hubungan antara LPJK tingkat nasional dan tingkat provinsi, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 04 Tahun 2010 secara jelas dinyatakan pembagian tugas antara
LPJK tingkat nasional dan tingkat provinsi, dimana LPJK tingkat nasional
melakukan tugas yang berkaitan dengan sertifikasi badan usaha kualifikasi besar
dan tenaga kerja ahli utama, sedangkan LPJK tingkat provinsi melakukan tugas
sertifikasi badan usaha kecil dan menengah serta tenaga kerja terampil, ahli
muda dan ahli madya. LPJK tingkat provinsi dalam melakukan tugasnya, berpedoman
kepada petunjuk teknis yang diterbitkan oleh LPJK tingkat nasional dan
menggunakan sistem informasi yang dikembangkan oleh LPJK tingkat nasional.
Namun demikian, pada aspek pertanggungjawaban, LPJK tingkat provinsi tidak
dapat dinyatakan bertanggungjawab kepada LPJK tingkat nasional, karena realitas
bahwa LPJK tingkat provinsi tidak dibentuk oleh LPJK tingkat nasional, namun
oleh kelompok unsur di tingkat provinsi. Sehingga, LPJK tingkat nasional dan
tingkat provinsi sesungguhnya dapat dinyatakan sebagai dua organisasi yang
berbeda dan terpisah secara struktural. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan
ketidaksinergian antara penyelenggaraan tugas LPJK di tingkat nasional dan di
tingkat provinsi. Karena pada suatu saat terjadi penyimpangan yang dilakukan
oleh pengurus LPJK di tingkat provinsi, LPJK tingkat nasional tidak memiliki
instrumen apapun untuk meluruskan penyimpangan tersebut, kecuali instrumen yang
sifatnya pencabutan lisensi unit sertifikasi yang ada
37
Dengan
demikian, penataan peran masyarakat harus dapat menjawab keefektifan
kelembagaan yang menampungnya, serta efektifitas pengembangan dan pengawasan
jasa konstruksi. Kekurangefektifan tata kelola dan hubungan antara pemangku
kepentingan dalam hal ini pemerintah, pengusaha, profesional, dan perguruan
tinggi menyebabkan arah pengembangan jasa konstruksi belum menunjukkan arah dan
kinerja yang memadai dalam mencapai tujuan pembangunan. Persoalan tersebut
bermuara pada penataan kembali peran-peran yang harus dimainkan oleh pemangku
kepentingan sesuai peran, tugas dan fungsinya masing-masing. Terutama memetakan
kembali posisi peran pemerintah dalam konteks kerangka regulator, donator,
operator, dan pembina, serta pengawas. Penetapan kembali akan memperjelas peran
pemerintah dan akuntabilitasnya bisa diukur. Kejelasan peran pemerintah
tersebut terkait dengan pemberian ruang peran masyarakat untuk pembangunan
sektor konstruksi nasional. Lebih lanjut lagi, pergeseran konsepsi peran
masyarakat menjadi partisipasi masyarakat adalah keniscayaan, karena dengan
konsepsi peran masyarakat memiliki makna bahwa ada kewenangan yang diberikan
kepada masyarakat, hal ini dapat berjalan apabila sudah tercapai kematangan
masyarakat sipil dalam mengorganisasikan kepentingan kelompoknya. Sedangkan
partisipasi memiliki makna yang lebih kearah bagaimana mendorong masyarakat
dapat berpartisipasi secara konstruktif terhadap pembinaan dan pengembangan
jasa konstruksi nasional.
Pertanyaan
lebih lanjut adalah bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat melalui
asosiasi badan usaha dan asosiasi profesi. partisipasi masyarakat ini perlu
mendapat pengaturan terkait posisinya dalam proses pengawasan dan pemberdayaan
jasa kontruksi dan dalam kerangka melindungi kepentingan publik. Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi telah mendorong masyarakat untuk membentuk sejumlah
asosiasi baik dalam kerangka profesi maupun perusahaan. Persoalan yang mendasar
adalah, niatan membentuk asosiasi belum didasari oleh suatu kebutuhan
38
pengembangan
diri dalam suatu wadah yang berisi para pelaku usaha atau tenaga kerja.
Banyaknya asosiasi yang terbentuk hanya karena didasari adanya kewenangan yang
diberikan dalam suatu rangkaian proses sertifikasi dan registrasi. Lebih lanjut
lagi, persyaratan dan pengawasan terhadap asosiasi yang diberikan kewenangan
tersebut masih belum optimal dilakukan, sehingga asosiasi dengan mudahnya
mendapatkan kewenangan dan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kewenangan
tersebut menjadi sangat sulit untuk dikendalikan oleh pemerintah, salah satunya
adalah karena pemberian lisensi kepada asosiasi diberikan oleh LPJK, dan
pemerintah tidak memiliki instrumen apapun untuk mengendalikan hal tersebut.
Meskipun
demikian, sesungguhnya banyak pihak menyadari, bahwa sangat penting bagi badan
usaha dan tenaga kerja konstruksi untuk bergabung dalam suatu asosiasi,
mengingat asosiasi berada pada lini paling depan yang langsung bersentuhan
dengan masyarakat, sehingga ketika badan usaha dan tenaga kerja bergabung
kepada asosiasi yang memang kredibel, dibentuk dengan berazaskan
profesionalisme, maka daya saing badan usaha dan tenaga kerja pun dipercaya
dapat meningkat signifikan. Persoalannya adalah bagaimana menata kembali
kelembagaan yang menjadi wadah partisipasi masyarakat ini mampu menjadi wadah
pengembangan kemampuan usaha dan kompetensi tenaga kerja konstruksi serta
sekaligus dapat menjadi sumber pemberi masukan dalam kerangka pembuatan
regulasi atau kebijakan publik, terutama menjadi jembatan pembangunan kebijakan
konstruksi antara pelaku usaha, profesional, dan pemerintah.
Pemberian
kewenangan terhadap lembaga independen dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi perlu dievaluasi kembali peran, tanggungjawab dan kewenangannya agar
dapat menjawab persoalan pembinaan dan pembuatan kebijakan dan pengembangan
jasa konstruksi. Saat ini dirasakan bahwa keberadaan lembaga ini kurang efektif
melakukan pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi. Salah satu kelemahannya
adalah berdirinya lembaga ini melompat tidak sesuai dengan tahapan kematangan
masyarakat sipil dalam mengorganisasikan kepentingan
39
kelompoknya.
Apakah ke depan perlu dilakukan penataan kembali dengan mendorong pemerintah
untuk memfasilitasi suatu forum para pemangku kepentingan yang menampung
aspirasi dari para pemangku kepentingan untuk kemudian membentuk suatu badan
dalam pemerintah yang bertanggung jawab melaksanakan pengembangan jasa
kontruksi. Atau adanya penataan kembali tata kelola kelembagaan agar lebih
mencerminkan prinsip good governance
baik dari sisi proses pengisian pimpinan dan anggotanya serta pendanaannya,
sehingga lembaga ini dapat efektif membina sektor jasa konstruksi.
Dalam
hal sertifikasi dan registrasi badan usaha, seharusnya organisasi yang
melakukan sertifikasi dan registrasi badan usaha harus terhindar dari konflik
kepentingan bisnis. Konflik kepentingan terjadi apabila misalnya (i) regulator
sekaligus operator; (ii) memperpanjang masa jabatan sendiri; (iii)
mensertifikasi dirinya sendiri. Oleh karena itu, peran sertifikasi harus
dilakukan suatu badan sertifikasi dan registrasi yang independen. Best practice internasional juga
menunjukkan bahwa pemberian sertifikasi ISO kepada badan usaha atau
badan/organisasi masyarakat juga tidak diberikan oleh organisasi standar
internasional tersebut sendiri, tetapi badan sertifikasi independen. Begitu
pula di sektor jasa konstruksi, apabila proses sertifikasi dan registrasi badan
usaha jasa konstruksi dilakukan oleh asosiasi badan usaha atau oleh LPJK yang
didalamnya adalah perwakilan kepentingan unsur pelaku usaha, dapat memunculkan
potensi konflik kepentingan, dan lebih lanjut lagi, dapat menjadi awal bagi
praktik kartel dimana dengan menggunakan wewenang tersebut, menghambat pelaku
usaha tertentu untuk dapat masuk kedalam pasar jasa konstruksi atau dapat
mempermudah pelaku usaha tertentu untuk dapat masuk kedalam pasar jasa
konstruksi meskipun tidak memiliki kemampuan usaha yang memadai.
Dalam
rangka merekonsepsi LPJK menjadi lembaga negara ada 4 pilihan yakni (i) LPJK
sebagai Lembaga Non Struktural dibawah Presiden seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (ii) LPJK
sebagai Lembaga non struktural dibawah Kementerian seperti Badan Pengatur Jalan
Tol dan Badan
40
Pendukung
Sistem Penyediaan Air Minum (iii) LPJK sebagai Lembaga Pemerintah Non
Kementerian seperti Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (iv) LPJK sebagai auxilarry body seperti otoritas jasa
keuangan. Dengan pertimbangan bahwa sebaiknya hanya ada satu institusi yang
bertanggung jawab terhadap pengelolaan jasa konstruksi nasional (pembinaan dan
pengembangan dalam satu institusi) serta agar ketika terjadi penyalahgunaan
wewenang dapat dengan cepat diluruskan oleh pembina jasa konstruksi juga
mempertimbangkan bahwa lingkup tugas LPJK adalah sebagai operator kebijakan
pengembangan jasa konstruksi sehingga, bentuk lembaga yang paling optimal
adalah pembentukkan yang cukup di bawah institusi regulator dari sektor
tersebut yakni menteri yang membidangi pekerjaan umum. Selain itu ada 4
keuntungan dengan menjadikan LPJK sebagai lembaga struktural dibawah menteri
yakni (i) pembentukan Lembaga dibawah Menteri dapat menggunakan sumber daya
(keuangan, aset, SDM, kesekretariatan lembaga) yang dimiliki oleh Menteri
(ii)
memperpendek rantai birokrasi
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi
(iii)
dapat membentuk balai-balai
sertifikasi dan registrasi di tingkat daerah
(iv) partisipasi masyarakat dilakukan
secara langsung dengan memberikan masukan dan arahan dalam pelaksanaan
kebijakan pembinaan dan pengembangan jasa konstruski.
Adapun
konsekuensi dari merekonsepsi LPJK menjadi lembaga non struktural dibawah
menteri adalah, nomenklatur yang harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yakni menjadi suatu badan. Badan yang
dibentuk dibawah menteri pun harus diselaraskan tugas dan fungsinya dengan unit
struktural lainnya di bawah menteri. Hal ini penting agar tidak ada tumpang
tindih tugas dan fungsi antara unit dibawah menteri. Mengingat bahwa fungsi
pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan sudah dilakukan oleh
suatu unit struktural dibawah menteri, maka badan yang akan dibentuk sebagai
transformasi LPJK adalah badan yang hanya memiliki urusan sertifikasi dan
registrasi jasa konstruksi.
Berkaitan
dengan persyaratan usaha, saat ini pelaku usaha jasa konstruksi masih dibebani
dengan banyaknya persyaratan usaha yang
41
cenderung
bersifat duplikatif atau bahkan repetitif. Kualifikasi yang seharusnya dipahami
sebagai penjenjangan entitas usaha, pada praktiknya digunakan sebagai
penjenjangan subklasifikasi usaha, sehingga badan pelaku usaha jasa konstruksi
masih harus dibebani pungutan setiap penambahan subklasifikasi usaha atau
peningkatan kualifikasi dari subklasifkasi usaha. Meskipun sudah dibebani
dengan berbagai birokrasi ketika penerbitan sertifikat badan usaha dan izin
usaha jasa konstruksi, pelaku usaha juga harus kembali memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh pengguna jasa ketika pengadaan jasa konstruksi utamanya
persyaratan pengalaman usaha. Oleh sebab itu, rekonsepsi terhadap persyaratan
usaha harus sesegera mungkin dilakukan, karena apabila tidak, dapat menjadi
faktor penghambat daya saing badan usaha jasa konstruksi nasional. Salah satu
rekonsepsi yang dapat dilakukan adalah dengan menyatakan bahwa sertifikat badan
usaha hanya mencantumkan jenis, sifat, klasifikasi dan kualifikasi usaha yang
didapatkan dari hasil penilaian terhadap kekayaan bersih, penjualan tahunan dan
jumlah tenaga kerja konstruksi yang relevan dengan klasifikasi usaha yang
dimiliki.
Dengan
demikian, tidak ada lagi penilaian pengalaman ketika pengurusan sertifikat
badan usaha. Penilaian terhadap pengalaman, cukup dilakukan pada saat pengadaan
jasa konstruksi, hanya saja dengan sistem yang seperti ini, perlu adanya suatu
mekanisme pengakuan pengalaman yang dilakukan melalui registrasi pengalaman
usaha. Dengan mekanisme registrasi pengalaman usaha, pengguna jasa dapat lebih
mudah melakukan penilaian kesesuaian pengalaman karena sudah tersedia basis
data pengalaman usaha dari setiap badan usaha jasa konstruksi di Indonesia.
Pengalaman usaha yang diregistrasi akan di kelompokkan kedalam produk
konstruksi tertentu sesuai dengan konsepsi klasifikasi-subklasifikasi-produk
konstruksi yang mengacu kepada central
product classification.
Perkembangan
usaha di sektor konstruksi juga membutuhkan berbagai sumberdaya dan cara-cara (modalities). Teknologi merupakan salah
satu komponen penting dari usaha konstruksi. Peningkatan daya saing industri
konstruksi nasional akan sangat membutuhkan dukungan teknologi konstruksi. Oleh
karena itu, kebijakan ini akan erat kaitannya
42
dengan
penerapan teknologi mutakhir di dunia pada proyek-proyek konstruksi di
Indonesia. Disamping itu, inventarisasi terhadap teknologi domestik dan
teknologi tepat perlu dilakukan agar dapat dimanfaatkan seluas-luasnya.
Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja diarahkan untuk mendorong pelaku sektor
konstruksi menerapkan teknologi-teknologi yang sudah ada dan baru tetapi juga
menjadi mitra dalam riset dan pengembangan teknologi konstruksi.
Terkait
sumber daya manusia, kompetensi sumber daya manusia konstruksi merupakan
persyaratan mutlak bagi peningkatan daya saing industri konstruksi nasional.
Sebagai gambaran, tenaga kerja konstruksi Indonesia saat ini mencapai 6,339
juta atau sekitar 5,78% dari tenaga kerja nasional. Dari jumlah tersebut, 10%
diantaranya merupakan tenaga ahli, 30% merupakan tenaga terampil (skilled
labor), dan 60% sisanya merupakan tenaga kerja kurang terampil (unskilled
labor). Dari 6,339 juta SDM konstruksi, kurang dari 10% yang telah disertifikasi.
Kondisi tersebut dicerminkan dari jumlah sertifikat yang dikeluarkan baru
mencapai sekitar 596.897 sertifikat, dengan jumlah sertifikat keahlian sekitar
157.822 sertifikat dan jumlah sertifikat keterampilan sekitar 439.075
sertifikat. Dengan profil ketenagakerjaan nasional yang pada tahun 2015 belum
meningkat secara signifikan, tenaga kerja konstruksi nasional harus berhadapan
dengan suatu tantangan global diantaranya masyarakat ekonomi ASEAN yang akan
diberlakukan pada awal tahun 2016.
Oleh
karena itu, kebijakan pembinaan tenaga kerja konstruksi nasional harus
diarahkan untuk meningkatan profesionalitas sumber daya manusia konstruksi
Indonesia yang ditandai dengan pemberlakuan sertifikasi kompetensi kerja. Untuk
meningkatkan minat tenaga kerja konstruksi memiliki sertifikat kompetensi
kerja, pemerintah juga harus dapat menjamin bahwa tenaga kerja konstruksi yang
memiliki kompetensi sesuai dengan sertifikat yang dimiliki mendapatkan imbalan
yang layak atas layanan yang diberikan berupa standar remunerasi minimal.
Selain itu, pemerintah juga perlu menfasilitasi dan mendorong asosiasi profesi
dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi dalam menetapkan bakuan
kompetensi, penyelenggaraan konvensi, dan proses sertifikasi tenaga ahli
43
dan
terampil sektor konstruksi. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong
peningkatan jumlah sumber daya manusia konstruksi nasional yang bersertifikasi
keahlian dan keterampilan.
Berkaitan
dengan mekanisme pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja konstruksi nasional, sektor
konstruksi tentunya harus mengacu kepada peraturan sektoral yang berlaku.
Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan
bahwa baik pelatihan maupun sertifikat tenaga kerja harus dilakukan melalui
suatu lembaga pelatihan dan lembaga sertifikasi yang terlisensi. Untuk itu,
sesungguhnya proses sertifikasi tenaga kerja harus dilakukan dengan mekanisme
pembentukan lembaga sertifikasi profesi yang terlisensi oleh Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP). Adapun badan yang nantinya dibentuk untuk mengelola
sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi perlu diamanatkan untuk membentuk
lembaga sertifikasi profesi yang nantinya akan dilisensi oleh BNSP. Dengan
demikian, unit sertifikasi tenaga kerja konstruksi baik yang dibentuk oleh LPJK
maupun yang dibentuk oleh masyarakat jasa konstruksi, yang ada saat ini dan
telah beroperasi dengan baik, dapat difungsikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan.
Peraturan
nasional untuk registrasi, sertifikasi, dan akreditasi untuk pengakuan lisensi
profesionalitas dari sumber daya manusia konstruksi perlu segera diwujudkan
agar tidak terjadi tumpang tindih dan stagnasi dalam menyiapkan
profesionalisme, kehandalan dan daya saing sumber daya manusia konstruksi.
Bakuan kompetensi perlu segera disusun oleh setiap asosiasi profesi, termasuk
adanya pengukuran atau penilaian profesionalitas dari para profesional
Indonesia yang bekerja di sektor konstruksi.
Persaingan
usaha di sektor konstruksi menuntut perusahaan jasa konstruksi, kontraktor, dan
konsultan memiliki manajemen produksi berkualitas tinggi. Kebijakan ini
berkaitan dengan upaya mendorong perusahaan jasa konstruksi untuk melakukan
proses produksi dengan efektif dan efisien. Disamping itu, perusahaan jasa
konstruksi didorong dan dibina agar secara berkelanjutan dapat (i) meningkatkan
kapasitas produksi; (ii) memiliki perangkat inventori yang handal; (iii) satuan
kerja
44
yang
profesional; dan mengutamakan kualitas proses dan produk. Karena seperti yang
diketahui umum, wilayah geografis Indonesia adalah wilayah yang rawan gempa
sehingga membutuhkan kualitas konstruksi yang handal. Selama ini terbukti bahwa
kualitas dari infrastruktur hasil konstruksi masih kurang baik. Banyak
infrastruktur yang mudah hancur dari kejadian bencana gempa seperti yang
terjadi di Aceh, Padang, maupun Yogyakarta. Akibatnya, banyak masyarakat yang
menjadi korban jiwa karena peristiwa ini.
Berkaitan
dengan kegagalan konstruksi baik kegagalan bangunan maupun kegagalan pekerjaan
konstruksi, saat ini cukup banyak kasus terjadinya kegagalan tersebut di sektor
jasa konstruksi. Beberapa kegagalan juga berakibat pada jatuhnya korban jiwa.
Untuk itu dipahami bahwa, kegagalan konstruksi memberikan dampak ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Karena besarnya dampak dari kegagalan konstruksi, ada
empat aspek penting dalam suatu pengaturan yang terkait dengan kegagalan yakni
aspek definisi, waktu, sebab, dan akibat dari kegagalan itu sendiri.
Penyempurnaan pengaturan di keempat aspek tersebut diharapkan dapat mengurangi
jumlah dan besarnya kerugian dan dampak dari kegagalan dan atau mengurangi
terjadinya kegagalan itu sendiri. Secara definisi, diperlukan redefinisi
kegagalan yamg tidak terkait dengan permasalahan ketidaksesuaian spesifikasi
dalam masa penyelenggaraan jasa konstruksi sesuai dengan kontrak konstruksi,
karena hal tersebut merupakan permasalahan keperdataan. Dengan demikian,
kegagalan dibatasi hanya kepada kejadian keruntuhan. Berdasarkan kamus besar
bahasa Indonesia, keruntuhan didefinisikan sebagai keadaan runtuh, kerusakan
atau kerobohan. Dengan demikian, pada berbagai infrastruktur pendefinisian
keruntuhan masih sangat relevan, seperti jalan misalnya, kerusakan jalan
berdasarkan definisi keruntuhan dapat disebut sebagai kegagalan konstruski.
Dari
aspek waktu dari terjadinya kondisi kegagalan konstruksi, dapat dibagi menjadi
2 kategori, yakni kegagalan yang terjadi pada saat pelaksanaan pekerjaan
konstruksi dan kegagalan yang terjadi pada saat bangunan telah selesai telah
dilakukan serah terima akhir. Berdasarkan
45
aspek
penyebab kegagalan, kegagalan dapat dikategorikan menjadi dua faktor penyebab
yakni faktor ketidakpatuhan penyelenggara konstruksi terhadap standar keamanan,
keselamatan dan kesehatan kerja serta faktor alam. Berkaitan dengan aspek
akibat, dapat dibagi menjadi dua jenis kegagalan, yakni kegagalan yang
menimbulkan kerugian keselamatan masyarakat atau yang tidak menimbulkan
kerugian masyarakat. Berdasarkan konstruksi berpikir dari 4 aspek tersebut,
suatu kegagalan konstruksi dapat dipisahkan mana yang memiliki unsur
keperdataan dan mana yang memiliki unsur pidana ketika terjadinya kegagalan
tersebut. Dengan sistem tersebut diharapkan dapat (i) mengurangi jumlah
kegagalan konstruksi; (ii) mengurangi dampak ekonomi langsung maupun tidak
langsung; dan (iii) dampak sosial, misalnya kerusuhan sosial, penggusuran,
kehilangan nyawa, kesehatan lingkungan, kemiskinan, pengangguran, dan
pengurangan pendapatan.
Terkait
dengan banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor konstruksi,
beberapa kalangan menilai bahwa beberapa pemeriksaan terhadap kasus pidana
korupsi tersebut berpotensi menghambat penyelenggaraan jasa konstrsuki. Oleh
sebab itu, perlu adanya suatu pengaturan yang dapat digunakan oleh aparat
penegak hukum agar dalam melakukan pemeriksaan tindak pidana korupsi dalam
suatu penyelenggaraan jasa konstruski yang masih berjalan tidak mengganggu
berjalannya penyelenggaran jasa konstruksi. Hal ini sangat penting utamanya
agar pembangunan infrastruktur tidak terhambat. Selain itu, khusus penyelenggaraan
jasa konstruski yang menggunakan anggaran negara, pemeriksaan juga harus
dilakukan dengan mengacu kepada hasil pemeriksaan keuangan negara oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Tentunya kedua hal tersebut dapat dilakukan apabila
tidak terjadi operasi tangkap tangan atau terjadi kegagalan pekerjaan
konstruksi atau kegagalan bangunan. Dengan demikian, ada keseimbangan antara
proses pemeriksaan hukum dan kelancaran pembangunan infrastruktur.
Saat
ini secara faktual terjadi distorsi antara struktur penyedia jasa konstruksi
dan struktur pasar. Secara empiris, struktur penyedia jasa konstruksi 90%
adalah didominasi oleh perusahaan kecil dan menengah,
46
sedangkan
perusahaan besar hanya berjumlah kurang lebih 10%. Sebaliknya, struktur pasar
konstruksi menunjukkan bahwa 60% adalah pasar kelas kecil dan menengah,
sedangkan pasar kelas besar adalah 40%. Distorsi terjadi karena 60% pasar
diperebutkan oleh 90% perusahaan. Kondisi ini praktis menyebabkan pelaku usaha
melakukan segala macam cara untuk merebut pasar, termasuk melakukan KKN dengan
pihak pengguna yang memberikan proyek. Oleh karena itu, perlunya dilakukan
revitalisasi transformasi konstruksi Indonesia agar ada upaya mereduksi kondisi
ini, misalnya dengan (i) penerapan e-procurement
untuk proyek-proyek pemerintah, (ii) penegakan hukum dan perundang-undangan,
(iii) mendorong perusahaan jasa konstruksi menjadi spesialis, dan (iv) membuka
akses bagi masyarakat untuk ikut aktif mengawasi penyelenggaraan proyek.
Peningkatan
kapasitas dan akses pasar untuk usaha kecil dan menengah sektor konstruksi juga
harus segera dimulai dalam kerangka melakukan upaya agar mereka tetap bertahan
kompetitif di era global ini. Peningkatan daya saing dilakukan dengan
peningkatan efisiensi dari proses penyelenggaraan konstruksi dan pengembangan
teknologi. Efisiensi tersebut dapat diupayakan melalui peningkatan efektifitas
regulasi, perancangan yang lebih baik, praktik kontrak konstruksi yang tepat,
dan peningkatan manajemen konstruksi. Pengembangan teknologi dapat diupayakan
melalui promosi riset dan pengembangan, rasionalisasi dan otomatisasi sistem
operasi konstruksi, fasilitasi oleh industri konstruksi terhadap penerapan
teknologi dan sistem manajemen konstruksi baru, serta pemberdayaan industri
konstruksi melalui pemanfaatan informasi dan teknologi komunikasi.
Penguatan
dan penataan jasa konstruksi nasional sangat dibutuhkan sebagai pijakan dasar
dalam membangun industri konstruksi yang kokoh dan berdaya saing tinggi serta
mandiri dalam menyongsong arus globalisasi. Oleh karena itu, penataan institusi
untuk pengembangan industri konstruksi perlu diarahkan menjadi organisasi yang
profesional dalam memfasilitasi dan mendorong industri dan perdagangan
konstruksi nasional berkelas dunia. Karakter profesional tersebut akan sangat
47
dibutuhkan
dalam melakukan misi menciptakan industri konstruksi nasional yang handal,
profesional, dan berdaya saing tinggi serta mandiri dan menciptakan pengusahaan
(tata niaga) konstruksi Indonesia yang menjamin mekanisme pasar yang adil,
pengadaan yang transparan dan hasil yang memiliki akuntabilitas publik tinggi.
Globalisasi politik, ekonomi, dan keuangan telah mendorong industri konstruksi
di seluruh belahan dunia, termasuk industri konstruksi nasional, menghadapi
persaingan global. Kondisi ini memaksa industri tersebut berusaha menjadi
pemain kelas dunia. Artinya, industri konstruksi nasional harus mampu bertahan
kompetitif di pasar internasional. Secara praktis, industri ini dituntut
menunjukkan kinerja yang tinggi, baik disisi inputan, proses, keluaran maupun
sistem manajemen. Hal ini bisa dicapai jika industri konstruksi nasional
semakin (i) profesional, produktif dan progresif; (ii) berbasis ilmu dan
teknologi serta para pekerja yang terampil; (iii) memiliki kapasitas superior
dan sinergi melalui kemitraan dan usaha-usaha bersama seluruh pihak pemangku
kepentingan; (iv) mampu mengintegrasikan seluruh proses agar tercapai “buildability” yang lebih besar; (v)
mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta “cost effectiveness”; (vi) memiliki kecakapan tinggi sebagai
industri ekspor.
D. Best Practice Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi di Beberapa Negara 1. Kanada1
Kanada
merupakan salah satu negara maju secara ekonomi yang termasuk G-20. Kanada
mempunyai PDB sebesar 1.793.797 tahun 2014, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar
2 persen tahun 2013. Pemerintah Kanada juga dinilai telah dapat memberikan
landasan yang baik bagi penyedia jasa di bidang jasa konstruksi, baik yang
berasal dari dalam maupun luar negeri karena memiliki aturan yang jelas dan
manajemen pengaturan konstruksi yang baik.
1Hasil Kunjungan Kerja Panja Komisi V DPR RI RUU tentang
Jasa Konstruksi ke Kanada,
30
Mei – 7 Juni 2015.
48
Kanada
memiliki 17.000 anggota perusahaan untuk menyuarakan kebijakan publik, bidang
hukum dan pengembangan standar kontraktor dan mitra profesional bisnis yang
bekerja di atau dengan industri konstruksi non-perumahan. Kanada menjadi negara
pemain terbesar konstruksi dunia, dengan menguasai pangsa pasar global terutama
di Timur Tengah, salah satunya dalam pembangunan megaproyek di Dubai. Bidang
yang ditangani, mulai dari jasa engineering dan jasa arsitektur, manajemen
proyek, serta barang-barang manufaktur seperti sistem kontrol, bahan bangunan
dan bahkan peralatan konstruksi. Gabungan perusahaan manufaktur global kanada
yang terbesar adalah The Global Service and Manufacturing Group (GSM Group)
yang didalamnya terdapat perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi.
Konstruksi
dan industri merupakan salah satu kunci bagi perkembangan ekonomi di Kanada.
Sektor industri di Kanada menghasilkan US$170 milyar barang dan jasa atau
berkontribusi sekitar 12 persen dalam GDP. Exports sendiri tersebar ke 125
negara di pasar internasional yang menghasilkan $34 milyar. Sektor industri
konstruksi mempekerjakan 1,35 juta Kanada atau sekitar 7 persen dari total
tenaga kerja Kanada. Setiap tahun, konstruksi berkontribusi sekitar US$ 90
milyar pada kegiatan ekonomi atau 7 persen dari keseluruhan Produk Domestik
Bruto Kanada. Pada dekade ke depan, pasar konstruksi Kanada diproyeksikan
menjadi ke-5 terbesar di dunia, terutama didorong oleh permintaan global untuk
sumber daya alam dan kebutuhan mendesak untuk memodernisasi penuaan
infrastruktur nasional Kanada.
Berkaitan
dengan pembinaan terhadap Asosiasi, penyedia jasa konstruksi, di Kanada setiap
5 (lima) tahun sekali pemerintah melakukan evaluasi terhadap asosiasi. Apabila
terdapat anggaran dan asosiasi tersebut tidak melakukan kewajibannya maka
asosiasi tersebut akan mendapatkan sanksi. Asosiasi penyedia jasa konstruksi di
Kanada memiliki salah satu tugas yaitu menyusun dokumen-dokumen teknis sebagai
guideline anggotanya dalam melaksanakan pekerjaan dan pembuatan kontrak.
Perizinan
usaha dibidang konstruksi, di Kanada pemberian ijin usaha dilakukan oleh
pemerintah provinsi demikian juga dengan pelatihan tenaga
49
kerja
konstruksi, pelatihan dilakukan oleh pemerintah provinsi melalui proses magang.
Adapun pembiayaan dalam kegiatan konstruksi, pemerintah pusat mengalokasikan
anggaran pembiayaan pembangunan infrastrukstur kepada pemerintah provinsi
berdasarkan usulan dari pemerintah provinsi yang sudah melalui tahapan
evaluasi. (rancangan anggaran minimal 10 tahun)
Pemerintah
pusat senantiasa memberikan penghargaan kepada pemerintah provinsi dalam
menghasilkan produk-produk konstruksi. Berkaitan dengan peran pemerintah dalam
pengembangan sektor konstruksi adalah menjamin perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan sehingga dihasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan memenuhi
aspek keamanan dan keselamatan. Kanada juga memiliki komite yang mengawasi
pekerjaan konstruksi mulai dari pra konstruksi - selesai dengan nama Komite
Pengawasan Pekerjaan Konstruksi dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Secara
garis besar beberapa hal yang dapat dipelajari dari praktik penyelenggaraan
Jasa konstruksi di Kanada sebagai berikut:
a.
Peran Pemerintah
1)
menjamin
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk menghasilkan produk konstruksi
yang berkualitas dan memenuhi aspek keamanan dan keselamatan.
2)
menyusun
dan mendiseminasikan standard-standard untuk pengelolaan dan pemeliharaan,
serta kualitas.
3)
menyusun
pedoman untuk pelaksanaan kontrak dan subkontrak.
4)
melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengaturan.
b.
Peran Asosiasi
1)
mengembangkan profesionalisme
anggotanya
2)
menyusun
dokumentasi teknis sebaga guideline
anggotanya dalam melaksanakan pekerjaan dan pembuatan kontrak.
3)
memberikan
dukungan kepada anggotanya dalam pengembangan dan penerapan teknologi.
50
c.
Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi
1)
dengan
kondisi alam Kanada, yang apabila memasuki musim dingin suhu cukup ekstrim,
pekerjaan konstruksi di Kanada mayoritas dikerjakan dalam kurun waktu 6 bulan.
2)
proses
pelelangan dilaksanakan secara e-proc yang ditangani oleh satu kementerian tersendiri.
3)
Badan
usaha yang dapat mengikuti lelang adalah badan usaha yang sudah terdaftar dan
dinyatakan mampu
d.
Pengaturan Badan Usaha Jasa
Konstruksi Generalis dan Spesialis
1)
Kontraktor
generalis menjadi kontraktor utama (main
contractor) dan yang mengikuti pelelangan
2)
Kontraktor
generalis dapat mengerjakan pekerjaan spesialis selama memiliki kemampuan yang
telah diregister.
3)
Kontraktor spesialis menjadi
subkontraktor.
2. Korea Selatan2
Industri
Konstruksi di Republik Korea merupakan salah satu leading sector dengan
kontribusi 14% terhadap total PDB, dan dapat menyerap 1.8 juta tenaga kerja
setiap tahunnya. Kinerja jasa konstruksi di Korea sangat baik, 99.91% pasar
jasa konstruksi di Korea, dikuasai oleh badan usaha jasa konstruksi lokal dan
hanya 0.09% yang dilakukan oleh badan usaha
asing. Selain itu, badan usaha
jasa konstruksi dari Korea memiliki reputasi yang sangat baik dan memiliki daya
saing yang tinggi hal ini dibuktikan dengan kiprah kontraktor asal Korea yang
telah berhasil melakukan penetrasi ke dalam pasar jasa konstruksi
internasional.
Industri
Konstruksi di Korea yang sangat maju tidak lepas dari sistem pembinaan dan
pengembangan jasa konstruksi di Korea yang sangat terintegrasi dan tegas
diberikan kepada salah satu Kementerian yakni
51
MOLIT.
Asosiasi perusahaan di Korea, dibentuk dengan prinsip profesionalisme dan
dengan tujuan memberikan dukungan penuh kepada anggotanya dalam rangka
mengembangkan teknologi, dan menjadi jembatan aspirasi kepada Pemerintah.
Beberapa
lesson learn yang didapat dari
keberhasilan Korea dalam membangun Industri Konstruksi yang dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam penyusunan kebijakan penyelenggaraan Jasa Konstruksi antara
lain: a. Pengaturan Jasa Konstruksi
1)
Framework Act on the Construction
Industry
2)
Construction Technology Promotion
Act
a) Peraturan ini mengatur tenaga ahli
konstruksi untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kapasitasnya, dan mempelajari teknologi baru.
b) Diklat terbagi dalam pendidikan
dasar, pendidikan lanjut dan pendidikan berkelanjutan.
c) Diklat untuk tenaga terampil
konstruksi dilakukan di lembaga pendidikan, pemagangan kerja, dan lembaga
pelatihan di perusahaan.
d)
Pendidikan tinggi menghasilkan
sekitar 5000 insinyur pertahun.
b. Peran Pemerintah
1) menjamin perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan untuk menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan
memenuhi aspek keamanan dan keselamatan.
2) menyusun dan mendiseminasikan
standard-standard untuk pengelolaan dan pemeliharaan, serta kualitas.
3)
menyusun pedoman untuk pelaksanaan
kontrak dan subkontak.
4) menilai dan mengumumkan kapasitas,
modal, kinerja, pengalaman badan usaha.
5)
mengawasi pelaksanaan peraturan
6)
mengatasi perbedaan presepsi
terhadap peraturan yang berlaku
c.
Kelembagaan Jasa Konstruksi
1) Di Korea Selatan tidak ada Lembaga
Jasa Konstruksi sebagaimana LPJK di Indonesia
52
d.
Peran Asosiasi
1)
Mengembangkan profesionalisme
anggotanya
2)
Melakukan survey dan penelitian
atas kelembagaan dan kebijakan
3)
Melakukan studi promosi industry
dan usaha
4) Mengumpulkan, mengembangkan dan
mendiseminasikan statistic dan informasi terkait industry konstruksi
5) Memberikan dukungan kepada
anggotanya dalam pengembangan dan penerapan teknologi.
6)
Menjadi jembatan penyampaian
aspirasi anggota kepada pemerintah.
e.
Penyelenggaraan Pekerjaan
Konstruksi
Di Korea Selatan ada beberapa
system pelelangan tergantung pada nilai proyek
1)
Sistem kualifikasi untuk nilai
proyek kurang dari KRW 30 miliar
2) Sistem penawaran harga terendah
untuk proyek dengan nilai di atas KRW 30 milliar
3)
Sistem Turn Key untuk nilai proyek
di atas KRW 30 milliar
4) Sistem Alternatif yang memberikan
kesempatan alternative detailed design and construction untuk nilai proyek di
atas KRW 30 milliar
Banyak
paket kontrak yang besar dilaksanakan dengan turn-key dan design-build dan
didukung dengan penerapan manajemen konstruksi
f.
Pengaturan Badan Usaha Jasa
Konstruksi Generalis dan Spesialis
1) Kontraktor generalis menjadi main
kontraktor dan yang mengikuti pelelangan
2) Kontraktor generalis dapat
mengerjakan pekerjaan spesialis selama memiliki kemampuan yang telah
deregister.
3)
Kontraktor spesialis menjadi
subkontraktor
g.
Tenaga Konstruksi
1) Tenaga kpnstruksi dibagi dua
menjadi tenaga ahli dan tenaga terampil
53
2)
Tenaga
ahli bertanggung jawab atas manajemen konstruksi (perencanaan dan pengelolaan
proyek), harus mengikuti ujian kualifikasi nasional dan diregistrasi oleh
asosiasi profesi terkait; Sedangkan tenaga terampil bertanggung jawab atas
pekerjaan di lapangan, harus mengikuti ujian kualifikasi nasional dan tidak
memiliki asosiasi.
3) Tenaga ahli konstruksi direkruit 2
kali dalam setahun atau sesuai dengan kebutuhan oleh perusahaan swasta.
4)
Tenaga terampil konstruksi bekerja
di kontraktor spesialis
h.
Pengembangan Teknologi Konstruksi
1)
Penelitian proyek dilakukan untuk
pengembangan teknologi
2) Investasi yang cukup dialokasikan
untuk mengembangkan teknologi inti dalam rangka meningkatkan keselamatan,
menciptakan nilai tambah, mempromosikan hasil inovasi, dan menguasai pasar
global melalui penguasaan seluruh daur hidup konstruksi dari perencanaan,
pelaksanaan, pemeliharaan, dan pembongkaran.
3) Penerapan hasil inovasi teknologi
dilindungi selama 5 tahun dan dapat diperpanjang 3 – 7 tahun.
i.
Standard Keselamatan Konstruksi
1) Rencana pengelolaan keselamatan
diterapkan untuk nilai proyek tertentu
2) Rencana pengelolaan keselamatan
diterapkan sejak tahap perencanaan
3) Perusahaan yang mengabaikan
pengelolaan keselamatan dikenai sanksi
4) Pemerintah segera melakukan
pemeriksaan ketika terjadi kecelakaan/ kegagalan konstruksi
5) Memerintahkan komisi untuk
melakukan investigasi penyebab kecelakaan, mengembangkan langkah-langkah
pencegahan dan menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan
tersebut.
6) Orang yang bertanggung jawab
diancam hukuman maksimum 10 tahun penjara atau denda.
54
7) Sanksi administrative mencakup:
pembekuan usaha, denda, penurunan kualifikasi, pelarangan profesi bagi
insinyur.
8) Investigasi dilakukan oleh Komisi
Investigasi Kecelakaan Konstruksi, terdiri dari 1 orang ketua dan 12 anggota
yang berasal dari pemerintah, swasta, peneliti, dan pakar.
j.
Pembinaan Jasa Konstruksi
1)
Pemerintah tidak menyediakan dana
untuk asosiasi jasa konstruksi
2) Asosiasi dibiayai oleh iuran
anggota dan kontribusi dari keuntungan usahanya.
55
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Penataan
hukum dan perundangan untuk sektor jasa konstruksi merupakan bagian penting
dari proses pengelolaan sektor konstruksi. Pengeloaan jasa konstruksi dapat
berkaitan dengan pranata hukum lainnya, seperti ketenagakerjaan, investasi,
keterlibatan sektor swasta dalam pengadaan infrastruktur, dan undang-undang
sektoral yang saling terkait. Disamping itu, kegiatan konstruksi akan berkaitan
juga antara lain dengan Undang-Undang tentang Keinsinyuran, Undang-Undang
tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang tentang Jalan, Undang-Undang tentang
Sumberdaya Air, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, Undang-Undang tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berikut ini adalah beberapa
undang-undang yang menjadi dasar yuridis bagi sistem hukum pengelolaan sektor
konstruksi.
A.
Undang-Undang Terkait
1.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014
tentang Keinsinyuran
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsiyuran (UU tentang Keinsinyuran) ini terdiri
dari 15 BAB dan 56 Pasal. Dalam kelima belas bab itu diatur mengenai cakupan
keinsinyuran, standar keinsinyuran, Program Profesi Insinyur, registrasi
Insinyur, Insinyur asing, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan, hak dan
kewajiban, kelembagaan Insinyur, organisasi profesi Insinyur, pembinaan
Keinsinyuran, sanksi administratif, ketentuan pidana, dan ketentuan peralihan.
Keterkaitan RUU Jasa Konstruksi dengan UU tentang Keinsinyuran sangat erat
terutama terkait dengan aspek sumber daya manusia yang terlibat dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang sebagian besar didukung oleh profesi
insinyur. Dalam RUU Jasa Konstruksi diatur bahwa tenaga ahli yang terlibat
dalam pekerjaan konstruksi harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan
dengan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai kelanjutan dari sertifikat
kompetensi kerja yang dihasilkan
56
dari
uji kompetensi, dimana untuk Sertifikasi dan registrasi sumber daya manusia di
bidang jasa konstruksi dalam kualifikasi jenjang jabatan ahli dilakukan sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Artinya mengikuti
undang-undang sektoral atau profesi yang mengaturnya, dalam hal ini adalah tentunya
UU tentang Keinsiyuran. Begitu pula menyangkut persyaratan tenaga ahli/insinyur
asing serta kelembagaan yang berwenang sertifikasi dan registrasi. Untuk lebih
lengkapnya gambaran pengaturan terkait yang terdapat dalam UU tentang
Keinsinyuran dijabarkan lebih lanjut di bawah ini.
Gelar Profesi Insinyur (Pasal 7 s.d Pasal 9)
Dalam
UU tentang Keinsinyuran, diatur bahwa insinyur sebagai gelar profesi. Untuk
memperoleh gelar profesi Insinyur tersebut, seseorang harus lulus dari Program
Profesi Insinyur. Syarat untuk dapat mengikuti Program Profesi Insinyur yaitu
sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik, baik lulusan
perguruan tinggi dalam negeri maupun perguruan tinggi luar negeri yang telah
disetarakan.
Dari
pengaturan UU tentang Keinsinyuran ini, sarjana selain bidang teknik atau
terapan bidang teknik, yaitu sarjana pendidikan bidang teknik atau sarjana
bidang sains dapat mengikuti program profesi Insinyur apabila disetarakan
dengan sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik melalui program
penyetaraan. Yang dimaksud dengan “program penyetaraan” adalah proses
penyandingan dan pengintegrasian capaian pembelajaran yang diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan kerja, dan pengalaman kerja untuk sarjana pendidikan
bidang teknik atau sarjana bidang sains yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi.
Program
profesi Insinyur dapat diselenggarakan melalui mekanisme rekognisi pembelajaran
lampau. Rekognisi pembelanjaran lampau adalah pengakuan atas capaian
pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan nonformal, pendidikan
informal, dan/atau pengalaman kerja di dalam sektor pendidikan formal.
Selanjutnya
seseorang yang telah memenuhi standar program profesi Insinyur, baik melalui
program profesi maupun melalui mekanisme
57
rekognisi
pembelajaran lampau, serta lulus program profesi Insinyur berhak mendapatkan
sertifikat profesi Insinyur dan dicatat oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
dan berhak mendapatkan gelar profesi insinyur yang disingkat dengan ”Ir.” dan
dicantumkan di depan nama yang berhak menyandangnya. Gelar profesi insinyur
diberikan oleh perguruan tinggi penyelenggara program profesi Insinyur yang
bekerja sama dengan kementerian terkait dan PII.
Registrasi Insinyur (Pasal 10 s.d. Pasal 17)
Namun,
Insinyur untuk dapat melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia harus memiliki
Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang dikeluarkan oleh PII. STRI berlaku
selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun dengan tetap
memenuhi persyaratan di atas dan persyaratan Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan. Yang dimaksud dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
adalah upaya pemeliharaan kompetensi Insinyur untuk menjalankan praktik
keinsinyuran secara berkesinambungan.
Dalam
ketentuan mengenai registrasi ini, diatur pula mengenai pengenaan sanksi
administratif yaitu apabila Insinyur melakukan praktik keinsinyuran tanpa STRI
dan apabila Insinyur yang telah mendapatkan STRI melakukan kegiatan
Keinsinyuran yang menimbulkan kerugian materiil maka Insinyur tersebut dikenai
sanksi administratif.
Kelembagaan Insinyur (Pasal 30 s.d Pasal 44)
Praktik
profesi Insinyur membutuhkan etika dan tanggung jawab profesi, sehingga
diperlukan suatu sistem yang mampu menjamin perlindungan baik terhadap profesi
Insinyur itu sendiri maupun masyarakat yang terkena dampak dari profesi
Insinyur tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka untuk menciptakan sistem yang
baik diperlukan kelembagaan Insinyur yang dapat mengatur tata laksana praktik
keinsinyuran.
Dalam
UU ini mengatur mengenai kelembagaan dalam pelaksanaan Praktik Keinsinyuran,
yang terdiri dari Dewan Insinyur Indonesia dan
58
Persatuan
Insinyur Indonesia (PII). Untuk Dewan Insinyur Indonesia ditetapkan dan
bertanggung jawab kepada Presiden dan didanai dengan APBN. Dewan tersebut
beranggotakan unsur Pemerintah, industri, perguruan tinggi, PII, dan pemanfaat
keinsinyuran.
Fungsi
Dewan Insinyur Indonesia meliputi fungsi perumusan kebijakan penyelenggaraan
dan pengawasan pelaksanaan Praktik Keinsinyuran, yang cakupan tugasnya antara
lain menetapkan kebijakan sistem registrasi Insinyur dan mengusulkan standar
Program Profesi Insinyur. Dewan Insinyur Indonesia ini diharapkan dapat
dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Sedangkan
Persatuan Insinyur Indonesia (PII) merupakan wadah berhimpunnya Insinyur
Indonesia. PII didanai oleh iuran anggota dan sumber pendanaan lain yang sah
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. PII dibentuk sebagai pelaksana
dari kebijakan umum yang ditetapkan oleh Dewan Insinyur Indonesia.
Kepengurusan
PII dibentuk dengan keputusan Kongres berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga. PII mempunyai fungsi pelaksanaan Praktik Keinsinyuran, yang
cakupan tugasnya antara lain melaksanakan pelayanan Keinsinyuran sesuai dengan
standar dan melaksanakan Program Profesi Insinyur bersama dengan perguruan
tinggi sesuai dengan standar.
Untuk
menjamin kelayakan dan kepatutan Insinyur dalam melaksanakan praktik
keinsinyuran, PII menetapkan kode etik Insinyur sebagai pedoman tata laku
profesi. Untuk menegakkan kode etik tersebut, PII membentuk majelis kehormatan
etik.
Standar Keinsinyuran (Pasal 6)
Sebelum
UU tentang Keinsinyuran lahir, Insinyur tersebar dalam berbagai profesi dan
kelembagaan masing-masing sehingga belum terdapat suatu standar yang sama
mengenai profesi Insinyur. Sehingga dalam UU tentang Keinsinyuran ini diatur
pula mengenai standar keinsinyuran yaitu standar layanan Insinyur, standar
kompetensi Insinyur, dan standar program profesi. Standar layanan Insinyur
adalah tolok ukur yang
59
menjamin
efisiensi, efektivitas, dan syarat mutu yang dipergunakan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan praktik keinsinyuran. Selanjutnya, standar kompetensi Insinyur
adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup sikap kerja, pengetahuan, dan
keterampilan kerja yang relevan dengan pelaksanaan praktik keinsinyuran.
Standar program profesi Insinyur adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman pelaksanaan program profesi Insinyur yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan tinggi.
Pengaturan lainnya
Selain
pengaturan di atas, UU ini juga mengatur mengenai syarat Insinyur Asing (Pasal
18 s.d Pasal 22) yang akan melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia. Dalam
melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia, Insinyur Asing hanya dapat
melakukan Praktik Keinsinyuran sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia ilmu
pengetahuan dan teknologi pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Selain itu, mereka harus memiliki surat izin kerja tenaga kerja asing sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memiliki STRI dari PII, serta
diwajibkan melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi yang diawasi oleh
Dewan Insinyur Indonesia.
Sebagai
upaya penegakan hukum dalam UU tentang Keinsinyuran ini juga diatur mengenai
sanksi pidana (Pasal 50 dan Pasal 51) baik pidana penjara maupun denda yaitu
dikenakan terhadap setiap orang bukan Insinyur yang menjalankan praktik
keinsinyuran dan bertindak sebagai Insinyur. Pidana yang diterapkan akan lebih
besar apabila tindakan orang yang bukan Insinyur itu mengakibatkan kecelakaan,
cacat, hilangnya nyawa seseorang, kegagalan pekerjaan Keinsinyuran, dan/atau
hilangnya harta benda.
Demikian
pula bagi Insinyur atau Insinyur Asing yang melaksanakan tugas profesi tidak
memenuhi standar Keinsinyuran dan mengakibatkan kecelakaan, cacat, hilangnya
nyawa seseorang, kegagalan pekerjaan Keinsinyuran, dan/atau hilangnya harta
benda dikenakan juga sanksi pidana sesuai dengan UU tentang Keinsinyuran ini.
60
Dalam
penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman
dinyatakan bahwa pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu
pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat
untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai
tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan
kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi
berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana
lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan,
kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan
perundang-undangan yang mendukung. Hal ini terkait dengan pembinaan di sektor
jasa konstruksi yang juga merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan
pemerintah daerah dan dapat dikerjasamakan dengan lembaga pengembangan yang
merupakan unsur dari masyarakat jasa konstruksi.
Selanjutnya
dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa perencanaan perumahan (mencakup mencakup rumah
sederhana, rumah menengah, dan/atau rumah mewah) dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan rumah, yang terdiri atas:
a.
perencanaan dan perancangan rumah;
dan
b. perencanaan prasarana, sarana, dan
utilitas umum perumahan. Perencanaan perumahan tersebut merupakan bagian dari
perencanaan permukiman. Kegiatan
perencanaan adalah kegiatan merencanakan kebutuhan ruang untuk setiap unsur
rumah dan kebutuhan jenis prasarana yang melekat pada bangunan, dan keterkaitan
dengan rumah lain serta prasarana di luar rumah. Sedangkan kegiatan perancangan
adalah kegiatan merancang bentuk, ukuran, dan tata letak, bahan bangunan, unsur
rumah, serta perhitungan kekuatan konstruksi yang terdiri atas pondasi,
dinding, dan atap, serta kebutuhan anggarannya. Kegiatan ini merupakan salah
satu dari rangkaian kegiatan
61
Sejalan
dengan RUU jasa konstruksi, dalam pasal 25 dinyatakan bahwa perencanaan dan
perancangan rumah dilakukan oleh setiap orang yang memiliki keahlian di bidang
perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, yakni setiap orang yang memiliki sertifikat keahlian yang
dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kompetensi.
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
Tentang Rumah Susun Keterkaitan
Undang-Undang tentang Rumah Susun
(UU tentang
Rusun) dengan Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi dapat dilihat dari keterkaitan persyaratan teknis
pembangunan rumah susun yang terdapat dalam Pasal 35 huruf b Undang-Undang
tentang Rusun dengan penyelenggaran pekerjaan konstruksi yang terdapat dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.
Dalam
Pasal 35 Undang-Undang tentang Rusun dinyatakan bahwa persyaratan teknis
pembangunan rumah susun meliputi diantaranya keandalan bangunan yang meliputi
persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Sedangkan dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang
keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga
kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Dengan
demikian dalam pembangunan rumah susun persyaratan teknis yang harus dipenuhi
khususnya terhadap keandalan bangunan persyaratan keselamatan, kesehatan,
keanyaman, dan kemudahan perlu disinkronkan dengan ketentuan dalam Pasal 23
ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi khususnya ketentuan mengenai
keteknikan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja.
Dalam
penjelasan Pasal 35 huruf b UU tentang Rusun disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “persyaratan keselamatan” adalah
62
kemampuan
bangunan rumah susun untuk mendukung beban muatan serta untuk mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir. “Persyaratan kesehatan” meliputi
sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan.
“Persyaratan kenyamanan” meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar
ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta terhadap pengaruh tingkat
getaran dan tingkat kebisingan. “Persyaratan kemudahan” meliputi kemudahan
hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan rumah susun serta sarana dan prasarana
dalam pemanfaatan bangunan rumah susun. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 23
ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi hanya dijelaskan ketentuan
mengenai keteknikan dan ketenagakerjaan. Dalam penjelasan tersebut dinyatakan
bahwa ketentuan tentang keteknikan meliputi: standar konstruksi bangunan,
standar mutu hasil pekerjaan, standar mutu bahan dan atau komponen bangunan,
dan standar mutu peralatan. Ketentuan tentang ketenagakerjaan meliputi:
persyaratan standar keahlian dan keterampilan yang meliputi bidang dan tingkat
keahlian serta keterampilan yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan
konstruksi.
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Hubungan UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU
tentang
Lalu Lintas) dengan UU tentang
Jasa Konstruksi adalah mengenai bangunan fisik yang di atur dalam UU tentang
Lalu Lintas yaitu jalan dan terminal. Jalan diartikan sebagai seluruh bagian
jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi
lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di
bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan
rel dan jalan kabel. Dalam Pasal 19 UU tentang Lalu Lintas, jalan dikelompokkan
dalam beberapa kelas berdasarkan:
a.
fungsi dan
intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan jalan dan
kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan; dan
63
Pengelompokan jalan menurut kelas jalan tersebut terdiri
atas:
a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri
dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu
dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. jalan kelas II, yaitu jalan
arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan)
ton;
c. jalan kelas III, yaitu jalan
arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan)
ton; dan
d. jalan kelas khusus, yaitu jalan
arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500
(dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas
ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter,
dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
Pasal 22 UU Lalu Lintas juga
mengatur mengenai persyaratan laik fungsi jalan yaitu:
(1) Jalan yang dioperasikan harus
memenuhi persyaratan laik fungsi jalan secara teknis dan administratif.
(2) Penyelenggara jalan wajib
melaksanakan uji kelaikan fungsi jalan sebelum pengoperasian jalan.
(3) Penyelenggara jalan wajib
melakukan uji kelaikan fungsi jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara
berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai
dengan kebutuhan.
64
(4) Uji kelaikan fungsi jalan dilakukan
oleh tim uji laik fungsi jalan yang dibentuk oleh penyelenggara jalan.
(5) Tim uji laik fungsi jalan terdiri
atas unsur penyelenggara jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan jalan, serta Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan
wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7) Uji kelaikan fungsi Jalan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara Pasal 23 dan Pasal 24
mengatur mengenai kewajiban penyelenggara jalan, yaitu:
(1) Penyelenggara Jalan dalam
melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib
menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(2) Penyelenggara Jalan dalam
melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan
instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Penyelenggara Jalan wajib segera
dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas.
(4)
Dalam hal
belum dapat dilakukan
perbaikan Jalan yang
rusak,
penyelenggara Jalan wajib memberi
tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan
Lalu Lintas.
Bangunan
terminal dalam UU tentang Lalu Lintas diartikan sebagai pangkalan Kendaraan Bermotor
Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan
menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. Fungsi,
Klasifikasi, dan Tipe Terminal dalam Pasal 34 dibagi menjadi Terminal penumpang
tipe A, tipe B, dan tipe C. Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.
65
Untuk
penetapan lokasi terminal, UU tentang Lalu Lintas mengatur bahwa penentuan
Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan
Terminal yang merupakan bagian dari rencana induk jaringan lalu lintas dan
angkutan jalan. Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:
(Pasal 37)
a.
tingkat aksesibilitas Pengguna
Jasa angkutan;
b. kesesuaian lahan dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
c. kesesuaian dengan rencana
pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan
lintas;
d.
kesesuaian dengan rencana
pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
e.
keserasian dan keseimbangan dengan
kegiatan lain;
f.
permintaan angkutan;
g.
kelayakan teknis, finansial, dan
ekonomi;
h.
Keamanan dan Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
i.
kelestarian lingkungan hidup.
Pembangunan
dan Pengoperasian Terminal diatur dalam Pasal 40. Dalam Pasal 40 tersebut
dinyatakan bahwa pembangunan terminal harus dilengkapi dengan:
a.
rancang bangun;
b.
buku kerja rancang bangun;
c.
rencana induk Terminal;
d.
analisis dampak Lalu Lintas; dan
e. analisis mengenai dampak
lingkungan. Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
a.
perencanaan;
b.
pelaksanaan; dan
c.
pengawasan operasional Terminal.
5. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
66
Keterkaitan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pada kewajiban penyelenggara
pekerjaan konstruksi untuk memperhatikan aspek tata lingkungan, seperti yang
dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), yaitu:
(1) Penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan
dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat
untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
(2) Para pihak dalam melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kewajiban yang
dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya tertib penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam
Pasal 22 Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dinyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan
terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b.
luas wilayah penyebaran dampak;
c.
intensitas dan lamanya dampak
berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup
lain yang akan terkena dampak;
e.
sifat kumulatif dampak;
f.
berbalik atau tidak berbaliknya
dampak; dan/atau
g.
kriteria lain
sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi termasuk dalam kriteria usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting sehingga wajib dilengkapi dengan amdal, karena dapat
menimbulkan pengubahan bentuk lahan dan bentang alam serta penerapan teknologi
yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
67
Dalam
Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa setiap penyelenggara pekerjaan konstruksi
yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan
fungsi lingkungan hidup. Adapun penanggulan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
b.
pengisolasian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
d.
cara lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Sedangkan pemulihan fungsi lingkungan
hidup dilakukan dengan tahapan:
a.
penghentian sumber pencemaran dan
pembersihan unsur pencemar;
b.
remediasi;
c.
rehabilitasi;
d.
restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah.
Pasal
4 Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (UU tentang Pajak Pertambahan Nilai), mengatur
bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan barang kena pajak di
dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
68
c. penyerahan jasa kena pajak di
dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan barang kena pajak
tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
e. pemanfaatan jasa kena pajak dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
f.
ekspor barang kena pajak berwujud
oleh pengusaha kena pajak;
g. ekspor barang kena pajak tidak
berwujud oleh pengusaha kena pajak; dan
h.
ekspor jasa kena pajak oleh
pengusaha kena pajak.
Sedangkan mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur
dalam
Pasal 7 UU tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagai
berikut:
(1)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai
adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai
sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud; dan
c.
ekspor Jasa Kena Pajak.
Penjelasan Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menegaskan bahwa :
“Pajak Pertambahan Nilai adalah
pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Oleh karena itu,
1.
Barang Kena Pajak Berwujud yang
diekspor;
2. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
3. Jasa Kena Pajak yang diekspor
termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,
69
dikenai
Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol
persen) tidak berarti pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
dikreditkan”.
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran (Pelayaran)
Keterkaitan
antara Undang-Undang tentang
Pelayaran dengan
Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi, pada prinsipnya terlihat pada konsepsi dasar yang menyatakan
konstruksi meliputi pula konstruksi perkapalan. Hal ini terlihat pada definisi
yang luas dari pekerjaan konstruksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 yang
menyatakan bahwa pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian
rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu
bangunan atau bentuk fisik lain. Pengertian bentuk fisik lainnya ini yang dapat
diartikan bahwa konstruksi itu tidak hanya berbentuk bangunan saja, namun
bangunan lainnya yang secara fisik dapat dikerjakan konstruksinya.
Korelasi
konstruksi dalam Undang-Undang tentang Pelayaran ini begitu kentara apabila
dilihat definisi keselamatan kapal, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 34
Undang-Undang tentang Pelayaran, yaitu keadaan kapal yang memenuhi persyaratan
material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata
susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio,
elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan
pemeriksaan dan pengujian. Selanjutnya definsi pekerjaan bawah air, yang
terdapat dalam Pasal 1 angka 51 Undang-Undang tentang Pelayaran, yaitu
pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang
dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus,
yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air.
70
Selanjutnya
dalam Pasal 124 ayat (2) huruf b Undang-Undang tentang Pelayaran, menyatakan
bahwa salah satu syarat keselamatan kapal adalah konstruksinya.
Dalam
pengaturan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ke depan, perlu dipertegas
apakah konstruksi kapal yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pelayaran
masuk dalam ranah Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Mengingat apabila masuk
dalam ranah Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, maka pengaturan mengenai
hal-hal yang terdapat Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi meliputi pula
konstruksi kapal atau mungkin bangunan fisik lainnya serupa dengan kapal
seperti pesawat terbang.
8.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Mengingat pekerjaan
jasa konstruksi terkait dengan masalah
keruangan, kewilayahan, dan
kawasan sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
mengenai struktur, pola dan penataan ruang, perencanaan penataang ruang,
wilayah dan kawasan, pemanfaatan ruang dan aspek-aspek lain yang terkait yang
daitur dalam undang-undang ini. Penataan ruang sendiri diklasifikasikan
berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan (Pasal 4). Penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan sehingga terwujud keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan pelindungan fungsi
ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang (Pasal 3).
Pekerjaan
konstruksi yang melakukan pemanfaatan ruang, wajib (Pasal 61):
a.
menaati rencana tata ruang yang
telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan
izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
71
d. memberikan akses terhadap kawasan
yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
9.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan.
Keterkaitan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah mengenai pelaku usaha jasa konstruksi,
yang pada Pasal 5 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa usaha
jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha dan oleh
karenanya termasuk dalam kategori Wajib Pajak.
Dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa wajib
pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selanjutnya pada angka 3
juga disebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
Oleh
karena itu, pelaku usaha jasa konstruksi berhak dan wajib untuk melaksanakan
ketentuan mengenai perpajakan yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini, seperti mempunyai Nomor Pokok
Wajib Pajak, membuat Pembukuan, membuat serta melaporkan Surat Pemberitahuan.
72
Keterkaitan
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi terlihat pada pengguna dan penyedia jasa konstruksi yang berbadan
hukum perseroan terbatas harus mengikuti ketentuan-ketentuan prinsip dari
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, diantaranya kewajiban setiap
Perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan, dan
prinsip tata kelola Perseroan yang baik (good
corporate governance) dalam menjalankan Perseroan. Hal ini untuk menjamin
tatakelola perusahaan yang baik dan menjamin pengelolaan usaha yang transparan,
akuntabel dan berkeadilan.
Disamping
itu, pengguna atau penyedia jasa konstruksi yang berbentuk perseroan terbatas
juga harus memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan, hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan
Pasal 74 ini, perusahaan di bidang jasa konstruksi dituntut memiliki kepekaan
sosial dan lingkungan, khususnya terkait dengan kegiatan konstruksi yang hasil
akhirnya akan membentuk lingkungan terbangun, namun demikian pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
11. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan
Keterkaitan
UU tentang Jalan dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah mengenai
pembangunan jalan secara umum. Pengaturan mengenai pembangunan jalan secara
umum di atur dalam Pasal 30 UU tentang Jalan yang menyatakan bahwa; a.
pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan laik
fungsi secara teknis dan administratif; b. penyelenggara jalan wajib
memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala
untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan
minimal yang ditetapkan; c. pembiayaan pembangunan jalan umum menjadi tanggung
jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing;
d. dalam hal pemerintah daerah
73
belum
mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung jawabnya secara
keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; e. sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan jalan
nasional mencakup perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian,
dan pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan f. pembentukan peraturan perundang-undangan,
termasuk kriteria, persyaratan, standar, prosedur dan manual; penyusunan
rencana umum jalan nasional, dan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan
memperhatikan masukan dari masyarakat. Pembangunan jalan nasional meliputi:
a. perencanaan teknis, pemrograman
dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional;
b.
pengoperasian dan pemeliharaan
jalan nasional; dan
c.
pengembangan dan pengelolaan
sistem manajemen jalan nasional. (Pasal
31)
Pembangunan jalan provinsi meliputi:
a. perencanaan teknis, pemrograman
dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi;
b.
pengoperasian dan pemeliharaan
jalan provinsi; dan
c. pengembangan dan pengelolaan
sistem manajemen jalan provinsi. (Pasal 32)
a. perencanaan teknis, pemrograman
dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten
dan jalan desa;
b.
pengoperasian dan pemeliharaan
jalan kabupaten dan jalan desa; dan
c.
pengembangan dan
pengelolaan manajemen pemeliharaan
jalan
kabupaten dan jalan desa. (Pasal 33)
Pembangunan jalan kota meliputi:
a. perencanaan teknis, pemrograman
dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kota;
b.
pengoperasian dan pemeliharaan
jalan kota; dan
74
12. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(PKPD)
Keterkaitan
Undang-Undang tentang PKPD dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah
permasalahan pendanaan pembinaan kegiatan jasa konstruksi yang dilimpahkan oleh
Pemerintah kepada pemerintah daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(6) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.
Pada
prinsipnya pendanaan yang digunakan oleh daerah dalam melaksanakan tugas pelimpahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi merupakan dana dekonsentrasi. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang tentang PKPD, yang menyatakan bahwa pendanaan
dalam rangka Dekonsetrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang
Pemerintah melalui kementerian negara/ lembaga kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah di daerah.
Pelaksanaan
Dana Dekonsentrasi dalam Undang-Undang tentang PKPD diatur dalam Pasal 87
sampai dengan Pasal 93. Menurut Pasal 88 Undang-Undang tentang PKPD, Dana
Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang
dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga.
Dalam hal penyaluran dana dekonsentrasi, menurut Pasal 89 disalurkan melalui
rekening kas umum negara. Selanjutnya pada setiap awal tahun anggaran gubernur
menetapkan satuan kerja perangkat daerah sebagai pelaksana kegiatan
dekonsentrasi. Dalam hal terdapat sissa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi,
sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN. Sedangkan dalam hal terdapat
saldo kas atas pelaksanaan dekonsentrasi, saldo tersebut harus disetor ke
rekening kas umum negara. Apabila pelaksanaan dekonsentrasi menghasilkan
penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN dan disetor ke
rekening kas umum negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
75
Selanjutnya
terkait dengan mekanisme pertanggungjawabannya di daerah, menurut Pasal 90 ayat
(3) dan ayat (4), satuan kerja perangkat daerah menyampaikan laporan pelaksnaan
kegiatan dekonsentrasi kepada
gubernur. Selanjutnya gubernur
menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan
Dekonsentrasi kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan
wewenang.
Dalam
pengaturan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ke depan, dalam hal mekanisme
pendanaan untuk kegiatan pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan pemerintah
daerah pada prinsipnya harus mengikuti ketentuan Undang-Undang PKPD yang secara
teknis dijelaskan dalam peraturan pelaksana.
13.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan)
Terkait dengan
pengembangan kompetensi kerja, bagi tenaga kerja dapat dilakukan Pelatihan
Kerja. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan memberikan rambu-rambu tentang
bagaimana dan siapa yang sebaiknya melakukan pelatihan kerja bagi para tenaga
kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang
mengacu pada standar kompetensi kerja dan dapat dilakukan secara berjenjang.
Adapun ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja diatur
dengan keputusan menteri (Pasal 10).
Pelatihan kerja
diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga
pelatihan kerja swasta, atau kedua lembaga tersebut bekerjasama, baik
diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja (Pasal 13). Lembaga
pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan
dan wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota (Pasal 14). Tenaga kerja berhak
memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di
selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja
swasta, atau pelatihan di tempat
76
kerja, yang
dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja. Untuk melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen
dengan peraturan pemerintah (Pasal 18).
Dalam
Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan diatur pula mengenai penggunaan tenaga
kerja asing (Bab VIII). Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk
(Pasal 42 ayat (1). Adapun pemberi kerja orang perseorangan dilarang
mempekerjakan tenaga kerja asing (Pasal 42 ayat (2). Tenaga kerja asing dapat
dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan
waktu tertentu yang ditetapkan dengan keputusan menteri. Pemberi kerja yang menggunakan
tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang
disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 43). Namun demikian
tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan ter tentu yang diatur dengan keputusan menteri (Pasal
46). Hubungan kerja antara penyedia jasa di sektor kontruksi dengan para tenaga
kerja merujuk pada ketentuan Bab IX Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang
hubungan kerja. Hubungan kerja dapat dibuat melalui perjanjian kerja baik
tertulis maupun lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku (Pasal
50). Dalam pelaksanaannya pengaturan mengenai perjanjian kerja diatur secara
jelas dalam pasal-pasal tersendiri.
Adapun mengenai
keselamatan dan kesehatan kerja, Pasal 86 menyebutkan bahwa “setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat
dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Bahkan Pasal 87 mengaskan bahwa
setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan yang ketentuanya
diatur dengan peraturan pemerintah.
77
14.
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Undang-Undang Tentang Bangunan
Gedung)
Objek dari jasa konstruksi antara lain adalah bangunan
gedung.
Dalam Undang-Undang tentang
Bangunan Gedung, bangunan gedung didefinisikan sebagai “wujud fisik hasil
pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun
kegiatan khusus.” Sedangkan penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan
pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi,
serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Adapun pemanfaatan
bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan
fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan
pemeriksaan secara berkala.
Pengaturan bangunan gedung sendiri bertujuan untuk (Pasal
3) :
1. mewujudkan bangunan gedung yang
fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras
dengan lingkungannya;
2. mewujudkan tertib penyelenggaraan
bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;
3. mewujudkan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan bangunan gedung.
Fungsi bangunan gedung meliputi (Pasal 5):
a. fungsi hunian yang meliputi
bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan
rumah tinggal sementara,
b.
fungsi keagamaan meliputi masjid,
gereja, pura, wihara, dan kelenteng;
c. fungsi usaha meliputi bangunan
gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan
rekreasi, terminal, dan penyimpanan.
78
d.
fungsi
sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan,
pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.
e. fungsi khusus meliputi bangunan
gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan
sejenis yang diputuskan oleh menteri.
Fungsi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan
lokasi
yang diatur dalam Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah dan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan (Pasal 6).
Setiap
bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif bangunan gedung
meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung,
dan izin mendirikan bangunan. Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi
persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung (Pasal 7).
Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas
bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian
dampak lingkungan. Persyaratan tata bangunan ditetapkan lebih lanjut dalam
rencana tata bangunan dan lingkungan oleh Pemerintah Daerah (Pasal 9).
Sedangkan
persyaratan keandalan bangunan gedung meliputi persyaratan keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan yang ditetapkan berdasarkan fungsi
bangunan gedung (Pasal 16). Persyaratan keselamatan bangunan gedung meliputi
persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta
kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan
bahaya petir (Pasal 17). Sedangkan Persyaratan kesehatan bangunan gedung
meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan
bahan bangunan gedung (Pasal 21). Persyaratan Kenyamanan meliputi kenyamanan
ruang gerak dan hubungan antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan,
serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan (pasal 26). Persyaratan kemudahan
meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta
kelengkapan
79
prasarana
dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung (Pasal 27). Dalam Undang-Undang
tentang Bangunan Gedung, penyelenggaraan
bangunan gedung sendiri meliputi
kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran, dimana
penyelenggaranya terdiri atas pemilik bangunan gedung, penyedia jasa
konstruksi, dan pengguna bangunan gedung (Pasal 34). Masing-masing tahapan
kegiatan harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang
Bangunan Gedung ini, sehingga penyedia jasa konstruksi terikat dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Bangunan Gedung ini sepanjang
mengerjakan/menyelenggarakan bangunan gedung. UU ini juga mengatur hak dan
kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung (Pasal 40 dan 41).
15.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten (Undang-Undang tentang
Paten).
Keterkaitan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang Paten dinyatakan
dalam Pasal 22 ayat (3) yaitu bahwa suatu kontrak kerja konstruksi untuk
pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan
intelektual. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Paten
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Invensi adalah ide Inventor yang
dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang
teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan
produk atau proses.
Dalam
Pasal 2 Undang-Undang Paten dinyatakan bahwa Paten diberikan untuk Invensi yang
baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri dan
suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang
yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat
diduga sebelumnya, sehingga terdapat kewajiban untuk memuat ketentuan dalam
kontrak kerja konstruksi mengenai hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang
hak paten tersebut.
80
Undang-Undang
tentang Merek mengatur ketentuan meliputi merek dagang dan merek jasa. Dalam
ketentuan Pasal 1 angka 2 disebutkan definisi mengenai merek jasa adalah merek
yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya. Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengatur mengenai layanan jasa
konsultasi untuk perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan
konstruksi.
Pasal
3 menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin
kepada pihak lain untuk menggunakannya.
17.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi)
Keterkaitan
UU tentang Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi
adalah pada saat terjadi kontrak antara Pemerintah dengan Kontraktor. Dalam UU
tentang Tindak Pidana Korupsi di tentukan bahwa dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada
waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b.
setiap orang yang bertugas
mengawasi pembangunan atau penyerahan
81
c. setiap orang yang pada waktu
menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas
mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1).
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau
orang
yang menerima penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan membiarkan perbuatan curang juga dipidana sama dengan hal
tersebut di atas (Pasal 7 ayat (2)).
18. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
Tentang Rahasia Dagang (Rahasia Dagang)
Keterkaitan
Undang-Undang tentang Rahasia
Dagang dengan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi
pada prinsipnya terlihat pada mekanisme pengikatan kontrak konstruksi khususnya
pengikatan para pihak yang bersifat tertentu, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 17 ayat
(3). Dalam ketentuan Pasal 17 ayat
(3) dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat
dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung. Selanjutnya
dalam penjelasannya diutarakan, yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah
salah satunya pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan
keselamatan negara.
Dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Rahasia Dagang dinyatakan definisi
rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang
teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan
usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Kemudian dalam
Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa rahasia dagang mendapat perlindungan apabila
informasi tersebut
82
bersifat
rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya
sebagaimana mestinya. Dalam kaitannya dengan pengikatan kontrak jasa konstruksi
dalam keadaan tertentu, pengikatan yang bersifat rahasia dapat dikatakan
merupakan rahasia dagang yang harus dilindungi informasinya mengingat informasi
tersebut bersifat rahasia yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara.
Selanjutnya
keterkaitan antara Undang-Undang tentang Rahasia Dagang dengan Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi, pada penggunaan konsep lisensi dalam kegiatan jasa
konstruksi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang tentang Rahasia Dagang, definsi
lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak rahasia dagang kepada
pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan
pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang yang
diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Ketentuan
mengenai lisensi dalam kegiatan jasa konstruksi perlu disesuaikan dengan
pengaturan dengan pengaturan lisensi dalam Undang-Undang tentang Rahasia Dagang,
meliputi diantaranya pertama,
perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual, dan apabila perjanjian lisensi Rahasia Dagang tidak dicatatkan
maka tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Kedua, perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat
menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan
yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
19.
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (Undang-Undang Desain Industri)
Keterkaitan
UU tentang Desain Industri dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah
mengenai desain rancangan bangunan, dalam UU tentang Desain Industri pengertian
desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi, atau komposisi
garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang
berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat
diwujudkan
83
dalam
pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu
produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan (Pasal 1 angka 1).
Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri
(Pasal 1 angka 2).
20. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Keterkaitan Undang-Undang tentang Larangan Praktek
Monopoli dan
Persaingan Usaha Sehat dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi telah terlihat kaitannya dalam Pasal 17
ayat (1) yang menyatakan bahwa pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi
dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia
jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas. Namun demikian dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum diatur secara jelas bentuk larangan
pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Sehat.
Dalam
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Sehat, terdapat 4 (empat) kegiatan yang dilarang oleh
pelaku usaha, termasuk pula dalam hal ini pelaku usaha pengguna maupun penyedia
jasa konstruksi. Adapun 4 (empat) kegiatan tersebut meliputi:
1.
Monopoli;
2.
Monopsoni;
3.
Penguasaan Pasar;
4.
Persekongkolan;
Keempat
kegiatan yang dilarang ini dapat dinyatakan untuk diatur, walaupun dalam Pasal
17 ayat (3) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi terdapat pengecualian
terhadap kegiatan jasa konstruksi tertentu, yang meliputi:
1.
penanganan darurat untuk keamanan
dan keselamatan masyarakat;
2. pekerjaan yang kompleks yang hanya
dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat
dilakukan oleh pemegang hak;
84
4.
pekerjaan yang berskala kecil.
21.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Keterkaitan
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi yaitu bahwa konsumen sebagai pengguna jasa dan selaku pemakai akhir
dari jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha dan memiliki peranan yang
sangat dominan dalam menentukan pilihan jasa yang akan digunakan sehingga
pemberdayaan konsumen sangat penting untuk dilakukan agar pengguna jasa
memahami hak dan kewajibannya.
Dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, para pihak yang terlibat dalam kegiatan
jasa konstruksi adalah unsur pengguna dan penyedia jasa. Posisi konsumen dalam
perspektif Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai bagian
dari pengguna jasa, sehingga pemberdayaan terhadap konsumen diharapkan mampu
meningkatkan peran konsumen dalam menentukan standar dari produk konstruksi
yang dihasilkan, baik dari segi kualitas mutu (quality assurance), waktu
penyerahan (product delivery), maupun
harga (cost of product).
Pemahaman
bahwa konsumen selaku pengguna jasa belum sepenuhnya menjangkau kepentingan
konsumen sebagai pengguna produk akhir dari kegiatan jasa konstruksi sehingga
pemberdayaan masyarakat khususnya penyadaran akan hak-hak konsumen dalam
menerima dan menggunakan produk konstruksi perlu memperhatikan rujukan kepada
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Kebutuhan
konsumen jasa konstruksi dijabarkan dari hak-hak konsumen secara umum, sesuai
dengan Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang hak-haknya
sebagai berikut :
a. hak untuk mendapatkan produk
barang/jasa yang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan;
85
c.
hak untuk mendapatkan penyelesaian
hukum;
d.
hak untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang sehat;
e.
hak untuk dilindungi dari akibat
negatif persaingan curang; dan
f.
hak untuk mendapatkan pendidikan
konsumen.
Dari sisi ekonomi, bahwa kepuasan konsumen menjadi hal
yang
penting dalam pemenuhan demand atas kebutuhan pengguna jasa
sebagai konsumen, maka konsumen jasa konstruksi berhak mendapatkan produk
konstruksi yang sesuai dengan keinginannya. Pada produk perumahan dan bangunan
lainnya seperti ruko, gudang yang ditawarkan developer kepada konsumen melalui
brosur harus sesuai dengan apa yang diperjanjikan ditawarkan kepada konsumen.
Kebanyakan ketentuan-ketentuan dan persyaratan dalam brosur yang disebarkan
pengembang substansinya digolongkan kedalam bentuk klausula baku.
Klausula
baku dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen di
definisikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen”. Hal yang memprihatinkan dalam klausula adalah
pencantuman klausula eksonerasi (exemption
clausule) dalam perjanjian. klausula eksonerasi ini mengandung kondisi
membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya
dibebankan kepada pihak pelaku usaha. Pasal 18 Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen melarang dengan tegas pencantuman klausula pada setiap
dokumen dan atau penyampaian yang tujuannya merugikan konsumen, bahkan pada
ayat 3 ditegaskan bahwa “setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
usaha pada dokumen atau perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum”.
86
22. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase)
Penyelesaian
sengketa dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak
yang bersengketa (Pasal 36). Dalam Kaitannya dengan hal tersebut,dengan
berlakunya Undang-Undang tentang Arbitrase maka penyelesaian sengketa dapat
dilakukan melalui arbitrase. Pengertian arbitrase dalam Undang-Undang tentang
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1). Perjanjian arbitrase dalam
Undang-Undang tentang Arbitrase merupakan suatu kesepakatan berupa kausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa (Pasal 1 angka 3).
Alternatif
penyelesaian sengketa menurut Undang-Undang tentang Arbitrase adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10).
Undang-Undang
tentang Arbitrase mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para
pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian
arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat
yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan
diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian
sengketa (Pasal 2).
Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi
di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbal dalam
kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal
terjadi kegagalan bangunan, hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
tentang
87
Arbitrase
yang menyatakan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
23.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Perbankan)
Keterkaitan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Perbankan
terdapat pada pendanaan dan jaminan yang merupakan bentuk perlindungan terhadap
kegiatan jasa konstruksi. Dalam Pasal 13 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi
dinyatakan bahwa untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan
dari mitra usaha melalui:
a. perluasan dan peningkatan akses
terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan dalam pendanaan,
b. pengembangan jenis usaha
pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum
kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari
kegagalan bangunan.
Dalam
penjelasan Pasal 13 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa
pendanaan berupa modal untuk investasi dan modal kerja dapat diperoleh melalui
lembaga keuangan yang terdiri dari bank atau bukan bank sebagai mitra usaha.
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf b angka 4 dinyatakan bahwa
pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan dapat berupa
antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga bukan
bank.
Dalam Pasal 11
ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang
tentang
Perbankan, dinyatakan bahwa:
(1) Bank Indonesia menetapkan
ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau
hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau
88
sekelompok
peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang
sama dengan bank yang bersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari
modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, bank dapat memberikan pendanaan dan pemberian jaminan
pendanaan terhadap pelaku jasa konstruksi, baik itu penyedia maupun pengguna
jasa konstruksi, dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari 30 % (tiga puluh
persen) dari modal bank, dimana penyedia maupun pengguna jasa konstruksi
tersebut, mengajukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Untuk
memperkuat pengaturan mengenai pembiayaan dan jaminan kegiatan jasa konstruksi
ini, seharusnya ketentuan yang telah terdapat dalam penjelasan Pasal 13 dan
Pasal 22 tersebut diatur dalam norma pasal, agar keberlakuannya menjadi lebih
mengikat dengan mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang tentang
Perbankan.
24. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987
Tentang Kamar Dagang Indonesia (Undang-Undang KADIN)
Keterkaitan
Undang-Undang tentang KADIN dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah
pada harmonisasi pengertian-pengertian atau definisi mengenai pengusaha,
perusahaan, usaha, organisasi pengusaha dan organisasi perusahaan.
Dalam
Undang-Undang tentang KADIN Pengusaha diartikan sebagai setiap orang
perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis
perusahaan (Pasal 1 huruf b). Perusahaan menurut Undang-Undang tentang KADIN
adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat
tetap dan terus-menerus, yang didirikan dan bekerja serta berkedudukan dalam
wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau
laba (Pasal 1 huruf c).
89
Sementara
usaha adalah setiap tindakan, perbuatan, atau kegiatan apapun dalam bidang
perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh
keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 huruf d). Organisasi Pengusaha dalam
Undang-Undang tentang KADIN adalah wadah persatuan dan kesatuan bagi pengusaha
Indonesia yang didirikan secara sah atas dasar kesamaan tujuan, aspirasi, strata
kepengurusan, atau ciri-ciri alamiah tertentu (Pasal 1 huruf e). Organisasi
Perusahaan adalah wadah persatuan dan kesatuan bagi perusahaan Indonesia yang
didirikan secara sah atas dasar kesamaan jenis usaha, mata dagangan, atau jasa
yang dihasilkan ataupun yang diperdagangkan (Pasal 1 huruf f).
25. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982
Tentang Wajib Daftar Perusahaan (Undang-Undang WDP).
Pengertian
daftar perusahaan dalam Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah
daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan
Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat
hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh
pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan (Pasal 1 huruf a).
Perusahaan menurut Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah setiap
bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus
menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara
Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1
huruf b).
Pengusaha
menurut Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah setiap orang
perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis
perusahaan dan Usaha adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun
dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan
memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 huruf c dan huruf d).
Kewajiban
pendaftaran perusahaan diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa setiap
perusahaan wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan. Pendaftaran wajib
dilakukan oleh pemilik atau pengurus
90
perusahaan
yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan
surat kuasa yang sah (Pasal 5 ayat (2).
26. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Ketentuan
mengenai perjanijian kerja dalam KUHPerdata diatur dalam Bab VIIA. Pasal 1601
menyebutkan bahwa “Selain persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang
diatur oleh ketentuanketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang
diperjanjikan, dan bila ketentuanketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada,
persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan
mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagi pihak
lain dengan menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan
kerja.”
Perjanjian
kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri
untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah
selama waktu yang tertentu (Pasal 1601a). Sedangkan Perjanjian pemborongan
kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan
diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas,
dengan harga yang telah ditentukan (Pasal 1601b).
Dalam
perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diperjanjikan bahwa pemborong hanya akan
melakukan pekerjaan atau bahwa ia juga akan menyediakan bahan-bahannya (Pasal
1604). Terkait dengan adanya kegagalan bangunan diatur dalam Pasal 1605, Pasal
1606, Pasal 1607, Pasal 1608 dan Pasal 1609.
Pasal 1605: “Dalam hal pemborongan
harus menyediakan bahan-bahannya, dan hasil pekerjaannya, karena apa pun juga,
musnah sebelum diserahkan, maka kegiatan itu dipikul oleh pemborong kecuali
jika pemberi tugas itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut.”
Pasal 1606: “Dalam hal pemborong
hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah, maka ia
hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu sepanjang hal itu terjadi karena
kesalahannya.”
91
Pasal
1607: “Jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut dalam pasal yang lalu terjadi di
luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan dilakukan, sedangkan
pemberi tugas pun tidak lalai untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan
itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali jika
barang itu musnah karena bahan-bahannya cacat.
Pasal 1608: ”Jika pekerjaan yang
diborongkan itu dilakukan sebagian demi sebagian atau menurut ukuran, maka
hasil pekerjaan dapat diperiksa sebagian demi sebagian; pemeriksaan itu
dianggap telah dilakukan terhadap semua bagian yang telah dibayar, jika pemberi
tugas itu membayar pemborongan tiap kali menurut ukuran dan apa yang telah
diselesaikan.”
Pasal 1609: “Jika sebuah bangunan
yang diborongkan dan dibuat dengan suatu harga tertentu, seluruhnya atau
sebagian, musnah karena suatu cacat dalam penyusunannya atau karena tanahnya
tidak layak, maka para arsitek dan para pemborongnya bertanggung jawab untuk
itu selama sepuluh Tahun”.
Penyedia
jasa terikat dengan bunyi kontrak terkait harga yang disepakati meskipun dalam
pelaksanaanya dapat terjadi perubahan, misalnya karena fluktuasi harga bahan
baku. Hal ini secara ekspilist dinyatakan dalam Pasal 1610: “Jika seseorang
arsitek atau pemborong telah menyanggupi untuk membuat suatu bangunan secara
borongan, menurut suatu rencana yang telah dirundingkan dan ditetapkan bersama
dengan pemilik lahan, maka Ãa tidak dapat menuntut tambahan harga, baik dengan
dalih bertambahnya upah buruh atau bahan-bahan bangunan maupun dengan dalih
telah dibuatnya perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan yang tidak termaksud
dalam rencana tersebut jika perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan itu
tidak disetujui secara tertulis dan mengenai harganya tidak diadakan
persetujuan dengan pemiliknya (Pasal 1610).
Namun
demikian pengguna jasa dimungkinkan untuk memutuskan perjanjian dengan syarat
memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada pengguna jasa. Pasal 1611 menyebutkan;
“Pemberi tugas, bila
92
menghendakinya
dapat memutuskan perjanjian pemborongan itu, walaupun pekerjaan itu telah
dimuai, asal ia memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada pemborong atas semua
biaya yang telah dikeluarkannya untuk pekerjaan itu dan atas hilangnya
keuntungan”.
Dalam
hal penyedia jasa meninggal dunia, perjanjian berakhir sesuai dengan ketentuan
Pasal 1612. Namun pengguna jasa wajib membayar kepada ahli waris pemborong itu
harga hasil pekerjaan yang telah selesai dan harga bahan-bahan bangunan yang
telah disiapkan, menurut perbandingan dengan harga yang diperjanjikan dalam
perjanjian, asal hasil pekerjaan atau bahan-bahan bangunan tersebut ada
manfaatnya bagi pemberi tugas.
Pemegang
tanggung jawab atas para tenaga kerja berada pada Penyedia Jasa (pemborong),
Pasal 1613 menyebutkan: “Pemborong bertanggung jawab atas tindakan orang-orang
yang ia pekerjakan”. Adapun hak dan kewajiban antara para tukang dengan
pemborong diatur dalam Pasal 1614 dan paal 1615. Para tukang batu, tukang kayu,
tukang besi dan tukang-tukang lainnya yang dipekerjakan untuk mendirikan sebuah
bangunan atau membuat suatu barang lain yang diborongkan, dapat mengajukan
tuntutan terhadap orang yang mempekerjakan mereka membuat barang itu, tetapi
hanya atas sejumlah uang yang harus dibayarkan kepada pemborong pada saat
mereka mengajukan tuntutan (Pasal 1614). Para tukang batu, tukang kayu, tukang
besi dan tukang-tukang lainnya yang dengan suatu harga tertentu menyanggupi
pembuatan sesuatu atas tanggung jawab sendiri secara langsung, terikat pada
aturan-aturan yang ditetapkan dalam bagian ini. Mereka adalah pemborong dalam
bidang yang mereka kerjakan (Pasal 1615).
93
1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang
Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
PP Nomor 28 Tahun 2000 ini mengatur
lebih lanjut tentang Usaha Jasa Konstruksi, Tenaga Kerja Konstruksi, dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi serta kelengkapan sanksi administrative atas
pelanggaran dalam ketentuan yang diatur.
Usaha
Jasa Konstruksi yang mencakup jenis, bentuk dan bidang usaha; klasifikasi dan
kualifikasi usaha; registrasi badan usaha jasa konstruksi, akreditasi asosiasi
perusahaan jasa konstruksi; dan perijinan usaha jasa konstruksi.
Dalam
bagian tenaga Kerja Konstruksi diatur mengenai sertifikasi keterampilan kerja
dan sertifikasi keahlian kerja; klasifikasi, kualifikasi dan registrasi tenaga
kerja konstruksi; akreditasi asosiasi profesi dan institusi pendidikan dan
pelatihan. Terkait dengan peran masyarakat diatur mengenai forum dan lembaga
jasa konstuksi.
PP Nomor 4 Tahun 2010 ini merupakan PP Perubahan atas PP
Nomor
28 Tahun 2000 tentang Usaha Dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi. Beberapa Perubahan terkait dengan pengaturan dalam
PP 28 Tahun 2000 yakni menyangkut:
a. lingkup layanan
jasa konstruksi
Layanan jasa perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi dapat dilakukan secara terintegrasi
selain terdiri atas rancang bangun (design
and build); perencanaan, pengadaan; pelaksanaan terima jadi (engineering, procurement, and construction);
dan penyelenggaraan pekerjaan terima jadi (turn-key
project); juga dapat berupa penyelenggaraan pekerjaan berbasis kinerja (performance based). Layanan jasa
konstruksi yang dilaksanakan secara terintegrasi tersebut hanya dapat dilakukan
oleh badan usaha yang berbadan hukum.
94
bidang usaha yang semula berbasis
ASMET, diubah sesuai dengan jenis usaha. Bidang usaha jasa perencanaan dan
pengawasan konstruksi terdiri atas bidang usaha yang bersifat umum dan
spesialis. Sedangkan bidang usaha jasa pelaksana konstruksi, terdiri atas
bidang usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu.
Bidang usaha jasa konstruksi yang
bersifat umum harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan bangunan konstruksi
atau bentuk fisik lain, mulai dari penyiapan lahan sampai dengan penyerahan
akhir atau berfungsinya bangunan konstruksi. Bidang usaha jasa konstruksi yang
bersifat spesialis harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan bagianb tertentu dari
bangunan konstruksi atau bentuk fisik lain. Adapun bidang usaha jasa konstruksi
yang bersifat keterampilan harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan subbagian
pekerjaan konstruksi dari bagian tertentu bangunan konstruksi dengan
menggunakan teknologi sederhana.
c. sertifikasi berdasarkan
kualifikasi dan klasifikasi usaha dan jasa. Badan usaha jasa konstruksi yang
memberikan layanan jasa konstruksi harus memiliki sertifikat sesuai klasifikasi
dan kualifikasi usaha. Orang perseorangan yang memberikan layanan jasa
konstruksi atau orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha yang
memberikan layanan jasa konstruksi harus memiliki sertifikat sesuai klasifikasi
dan kualifikasi.
Pengaturan mengenai klasifikasi
dan kualifikasi usaha dibuat lebih rinci demikian pula terkait dengan tenaga
kerja baik tingkat ahli maupun terampil.
d. ketentuan mengenai akreditasi
asosiasi perusahaan jasa konstruksi dihapuskan
e.
bab mengenai pengaturan tenaga
kerja konstruksi dihapuskan.
f.
ketentuan mengenai pendanaan
kegiatan forum dihapus
g. ketentuan mengenai lembaga jasa
konstruksi diubah menjadi lebih sederhana, dan pengaturan mengenai kelembagaan
didelegasikan kepada peraturan Menteri tidak lagi diatur dalam peraturan atau
95
AD/ART
lembaga. PP ini juga mengatur pembentukan unit sertfikasi bagi badan usaha dan
tenaga kerja, serta kewenangan lembaga untuk member lisensi kepada unit-unit
tersebut, dan pembentukan sekretariat di tingkat nasional.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Pada
prinsipnya pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi merupakan amanah Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 28 dan Pasal 37
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mengatur mengenai tata cara
pemilihan penyedia jasa, kontrak kerja konstruksi, penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi, kegagalan bangunan dan penyelesaian sengketa. Pemilihan penyedia
jasa diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pemilihan penyedia jasa yang
meliputi perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi
oleh pengguna jasa dapat dilakukan dengan cara pelelangan umum, pelelangan
terbatas, pemilihan langsung, atau penunjukan langsung.
2. Dalam pemilihan penyedia jasa
dengan cara pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna jasa
dapat melakukan prakualifikasi dan pasca kualifikasi.
3. Dalam pemilihan penyedia jasa
dengan cara pelelangan terbatas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna
jasa wajib melakukan prakualifikasi.
4. Perusahaan nasional yang
mengadakan kerja sama dengan perusahaan nasional lainnya dan atau perusahaan
asing dapat mengikuti prakualifikasi dan dinilai sebagai perusahaan gabungan.
5. Dalam pelelangan umum, pelelangan
terbatas, atau pemilihan langsung penyedia jasa, pengguna jasa harus
mengikutsertakan sekurang-kurangnya 1 (satu) perusahaan nasional.
6. Dalam pemilihan perencana
konstruksi dan pengawas konstruksi dapat disyaratkan adanya kewajiban:
96
b. jaminan penawaran untuk pengawas konstruksi,
Apabila hal tersebut disepakati
oleh pengguna jasa dan penyedia jasa yang mengikuti pemilihan.
Pasal 22 Peraturan Pemerintah
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa:
1. Ketentuan mengenai kontrak kerja
konstruksi sekurang-kurangnya harus memuat uraian mengenai:
a.
Para pihak yang meliputi:
(1)
akta badan usaha atau usaha orang
perseorangan;
(2) nama wakil/kuasa badan usaha
sesuai kewenangan pada akta badan usaha atau sertifikat keahlian kerja dan
sertifikat keterampilan kerja bagi usaha orang perseorangan; dan
(3) tempat kedudukan dan alamat badan
usaha atau usaha orang perseorangan;
b.
Rumusan pekerjaan yang meliputi:
(1)
pokok-pokok pekerjaan yang
diperjanjikan;
(2)
volume atau besaran pekerjaan yang
harus dilaksanakan;
(3) nilai pekerjaan dan ketentuan
mengenai penyesuaian nilai pekerjaan akibat fluktuasi harga untuk kontrak kerja
konstruksi bertahun jamak;
(4)
tata cara penilaian hasil pekerjaan
dan pembayaran; dan
(5)
jangka waktu pelaksanaan;
c.
Pertanggungan dalam kontrak kerja
konstruksi meliputi:
(1) jenis pertanggungan yang menjadi
kewajiban penyedia jasa yang berkaitan dengan pembayaran uang muka, pelaksanaan
pekerjaan, hasil pekerjaan, tenaga kerja, tuntutan pihak ketiga dan kegagalan
bangunan;
(2) pertanggungan sebagaimana dimaksud
dalam angka (1) memuat:
(a). nilai jaminan;
(b). jangka waktu pertanggungan;
97
(d). hak dan kewajiban masing-masing pihak; dan
(3).
Dalam hal penyedia jasa tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kontrak kerja
konstruksi, pengguna jasa dapat mencairkan dan selanjutnya menggunakan jaminan
dari penyedia jasa sebagai kompensasi pemenuhan kewajiban penyedia jasa;
d.
Tenaga ahli yang meliputi:
(1)
persyaratan klasifikasi dan
kualifikasi tenaga ahli;
(2) prosedur penerimaan dan atau
pemberhentian tenaga ahli yang dipekerjakan; dan
(3)
jumlah tenaga ahli sesuai dengan
jenis pekerjaan;
e. Hak dan kewajiban para pihak dalam
kontrak kerja konstruksi meliputi:
(1)
hak dan kewajiban pengguna jasa;
dan
(2)
hak dan kewajiban penyedia jasa;
f.
Cara pembayaran memuat:
(1)
volume/besaran fisik;
(2)
cara pembayaran hasil pekerjaan;
(3)
jangka waktu pembayaran;
(4)
denda keterlambatan pembayaran;
dan
(5)
jaminan pembayaran;
g.
Ketentuan mengenai cidera janji
yang meliputi:
(1).
bentuk cidera janji :
(a). oleh penyedia
jasa yang meliputi:
·
tidak menyelesaikan tugas;
·
tidak memenuhi mutu;
·
tidak memenuhi kuantitas; dan
·
tidak menyerahkan hasil pekerjaan;
dan
(b). oleh pengguna
jasa yang meliputi:
·
terlambat membayar;
·
tidak membayar; dan
98
dan
(2).
Dalam hal terjadi cidera janji yang dilakukan oleh penyedia jasa atau pengguna
jasa, pihak yang dirugikan berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantian
biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil
pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti
rugi;
h.
Penyelesaian perselisihan memuat:
(1) penyelesaian di luar pengadilan
melalui alternatif penyelesaian sengketa, atau arbitrase; dan
(2) penyelesaian melalui pengadilan
sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku;
i.
Ketentuan pemutusan kontrak kerja
konstruksi memuat:
(1) bentuk pemutusan yang meliputi
pemutusan yang disepakati para pihak atau pemutusan secara sepihak; dan
(2) hak dan kewajiban pengguna jasa
dan penyedia jasa sebagai konsekuensi dari pemutusan kontrak kerja konstruksi;
j.
Keadaan memaksa mencakup
kesepakatan mengenai:
(1)
risiko khusus;
(2)
macam keadaan memaksa lainnya; dan
(3) hak dan kewajiban pengguna jasa
dan penyedia jasa pada keadaan memaksa;
k.
Kewajiban para pihak dalam
kegagalan bangunan meliputi:
(1)
jangka waktu pertanggungjawaban
kegagalan bangunan; dan
(2)
bentuk tanggung jawab terhadap
kegagalan bangunan;
l.
Perlindungan pekerja memuat:
(1) kewajiban terhadap pemenuhan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
(2)
bentuk tanggung jawab dalam
perlindungan pekerja; dan
m.
Aspek lingkungan memuat:
(1) kewajiban terhadap pemenuhan
ketentuan undang-undang yang berlaku; dan
99
2. Kontrak kerja konstruksi harus
memuat ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup:
a.
kepemilikan hasil perencanaan,
berdasarkan kesepakatan; dan
b. pemenuhan kewajiban terhadap hak
cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh pemegang hak cipta dan
hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten sesuai undang-undang
tentang hak cipta dan undang-undang tentang hak paten.
3. Kontrak kerja konstruksi dapat
memuat ketentuan tentang insentif yang mencakup persyaratan pemberian insentif,
dan bentuk insentif.
4. Kontrak kerja konstruksi dapat
memuat ketentuan tentang sub penyedia jasa dan atau pemasok bahan dan atau
komponen bangunan dan atau peralatan mengenai hal-hal:
a. pengusulan oleh penyedia jasa dan
pemberian izin oleh pengguna jasa untuk sub penyedia jasa/pemasok bahan dan
atau komponen bangunan dan atau peralatan;
b. tanggung jawab penyedia jasa dalam
kaitan penggunaan sub penyedia jasa/pemasok terhadap pemenuhan ketentuan
kontrak kerja konstruksi; dan
c.
hak intervensi pengguna jasa dalam
hal:
(1). pembayaran dari penyedia jasa
kepada sub penyedia jasa/pemasok terlambat; dan
(2). sub penyedia jasa/pemasok tidak
memenuhi ketentuan kontrak kerja konstruksi.
5. Pada kontrak kerja konstruksi
dengan mempergunakan 2 (dua) bahasa harus dinyatakan secara tegas hanya 1
(satu) bahasa yang mengikat secara hukum.
6. Kontrak kerja konstruksi tunduk
pada hukum yang berlaku di Indonesia.
Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib dimulai dengan
tahap
perencanaan yang selanjutnya
diikuti dengan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing tahap
dilaksanakan melalui kegiatan
100
penyiapan,
pengerjaan, dan pengakhiran. Lingkup tahap perencanaan pekerjaan konstruksi
meliputi prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan
teknik. Sedangkan, lingkup tahap pelaksanaan beserta pengawasan pekerjaan
konstruksi meliputi pelaksanaan fisik, pengawasan, uji coba, dan penyerahan
hasil akhir pekerjaan.
Pasal
30 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan bahwa untuk menjamin terwujudnya tertib
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, penyelenggara pekerjaan konstruksi wajib
memenuhi ketentuan tentang:
1.
keteknikan,
meliputi persyaratan keselamatan umum, konstruksi bangunan, mutu hasil
pekerjaan, mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan mutu peralatan sesuai
dengan standar atau norma yang berlaku;
2.
keamanan,
keselamatan, dan kesehatan tempat kerja konstruksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3.
perlindungan
sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.
tata
lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
34 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi mengatur bahwa
kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara
keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan
kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa
dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Jangka
waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan harus dinyatakan dengan tegas
dalam kontrak kerja konstruksi. Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh
1 (satu) atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya
serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif, yang
harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya
laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan.
101
Pasal
49 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi mengatur
mengenai penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar
pengadilan yang dapat dilakukan dengan cara:
1.
melalui pihak ketiga yaitu:
a. mediasi (yang ditunjuk oleh para
pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa);
b.
konsiliasi; atau
2. arbitrase melalui Lembaga
Arbitrase atau Arbitrase Ad Hoc. Penyelesaian sengketa secara mediasi atau
konsiliasi dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional
aspek tertentu sesuai kebutuhan.
3. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
(Peraturan Pemerintah PPJK)
Pada
prinsipnya pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pembinaan
Jasa Konstruksi merupakan amanah Pasal 35 Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan
Pembinaan Jasa Konstruksi, lingkup pengaturan pembinaan jasa konstruksi meliputi
bentuk pembinaan, pihak yang dibina, penyelenggara pembinaan, serta pembiayaan
yang diperlukan untuk pelaksanaan pembinaan. Pembinaan jasa konstruksi ini
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Untuk Pemerintah Pusat
bertanggung jawab terhadap kegiatan pembinaan yang meliputi pengaturan,
pemberdayaan, dan pengawasan. Sedangkan untuk Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten, dan Pemerintah Kota menyelenggarakan pembinaan jasa konstruksi untuk
melaksanakan tugas otonomi daerah mengenai:
a.
pengembangan sumber daya manusia
di bidang jasa konstruksi;
b.
peningkatan kemampuan teknologi
jasa konstruksi;
c.
pengembangan sistem informasi jasa
konstruksi;
d.
penelitian dan pengembangan jasa
konstruksi;
102
e. pengawasan tata lingkungan yang
bersifat lintas Kabupaten dan Kota. Terkait dengan pembiayaan pembinaan, dalam
Pasal 14 Peraturan
Pemerintah tentang Penyelenggaraan
Pembinaan Jasa Konstruksi mengatur bahwa pembiayaan yang diperlukan dalam
pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dibebankan
kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sedangkan pembiayaan yang
diperlukan untuk pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah
Propinsi diatur sebagai berikut:
a. Pembinaan yang dilakukan sebagai
pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dibebankan kepada dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Pembinaan yang dilakukan sebagai
pelaksanaan otonomi daerah dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Untuk pembiayaan yang diperlukan
untuk pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan
Pemerintah Kota diatur sebagai berikut:
a. Pembinaan yang dilakukan sebagai
pelaksanaan tugas pembantuan dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara;
b. Pembinaan yang dilakukan sebagai
pelaksanaan tugas otonomi daerah dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
4.
Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(Perpres KKNI)
Keterkaitan
Perpres tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dengan Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi yaitu pada bidang pendidikan dan pelatihan sumber daya
manusia dalam rangka kompetensi kerja di bidang jasa konstruksi. Pada Pasal 1
angka 1 dinyatakan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia adalah
kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan,
menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan
kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.
103
Dalam
Pasal 2 disebutkan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia terdiri atas 9
(sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang
terendah sampai dengan jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi. Jenjang
kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia termaksud terdiri atas:
a.
jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam jabatan operator;
b. jenjang 4 sampai dengan jenjang 6
dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis; dan
c. jenjang 7 sampai dengan jenjang 9
dikelompokkan dalam jabatan ahli. Pada Pasal 3 dan Pasal 4 dinyatakan bahwa
setiap jenjang kualifikasi
pada Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia memiliki kesetaraan dengan capaian pembelajaran yang dihasilkan
melalui pendidikan, pelatihan kerja atau pengalaman kerja yang dinyatakan dalam
bentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. Selanjutnya dalam Pasal 9 dinyatakan
penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia pada setiap sektor atau bidang
profesi ditetapkan oleh kementerian atau lembaga yang membidangi sektor
atau bidang profesi yang
bersangkutan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada deskripsi jenjang
kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Perpres Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
104
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,
DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Pancasila
sebagai dasar negara menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia adalah pernyataan eksplisit dari filosofi bangsa Indonesia dalam
mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat adil dan makmur serta
sejahtera adalah cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan itu, Pasal 28D ayat (1)
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan ayat
(2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, Pasal 33 ayat (1) menyatakan
bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
Cita-cita
luhur tersebut selanjutnya di derivasi menjadi landasan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (2005 – 2025) sebagaimana dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional tahun 2005-2025. Berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang
tersebut, Bangsa Indonesia bertekad mewujudkan Visi Indonesia: Indonesia Yang
Mandiri, Maju, Adil Dan Makmur. Dalam rangka menggapai visi ini, Bangsa
Indonesia memiliki 8 (delapan) misi adalah (1) mewujudkan masyarakat berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila; (2) mewujudkan bangsa yang berdaya saing; (3) mewujudkan masyarakat
demokratis berlandaskan hukum; (4) mewujudkan Indonesia aman, damai, dan
bersatu; (5) mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (6) mewujudkan
Indonesia asri dan lestari; (7) mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan
yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; (8)
105
Dalam
konteks mewujudkan visi dan misi pembangunan Indonesia tersebut maka dalam
proses implementasinya akan selalu bersinggungan dengan aktifitas penyediaan
dan pengelolaan aset bangunan fisik baik dalam bentuk infrastruktur dasar,
seperti jaringan jalan, perumahan, permukiman, sanitasi maupun gedung-gedung
serta bangunan industri. Kegiatan penyediaan dan pengeloaan aset bangunan fisik
ini akan menggerakan aktifitas ekonomi yang digerakkan oleh aktivitas jasa
konstruksi. Hasil dari aktivitas tersebut akan menghasilkan produk bangunan
seperti infrastruktur yang menjadi salah satu indikator utama daya saing
bangsa. Disamping itu, hasil akhir dari rangkain kegiatan jasa konstruksi akan
membentuk lingkungan terbangun (built
environment) dalam suatu ekosistem yang secara langsung akan merefleksikan
perwujudan Indonesia yang asri dan lestari.
Produk
konstruksi yang dikenal di mancanegara, seperti Candi Borobudur, Jembatan
Golden Gate, Tembok Besar China, Monumen Nasional, Istana-Istana Kerajaan, Burj
Al Arab, Palm Resort, Arsitektur Bangunan Gedung dan Perumahan di Kawasan
Perkotaan dan Perdesaan telah diyakini sebagai refleksi dari peradaban dan
kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu, berbicara “konstruksi” tidak hanya
terkait dengan aktifitas ekonomi semata, tetapi juga peradaban dan kebudayaan
bangsa. Dengan demikian, pengaturan terhadap pengelolaan sektor konstruksi
memiliki jangkauan jauh lebih tinggi dari dimensi “usaha jasa” semata, tetapi
“usaha” mewujudkan citra tinggi peradaban dan kebudayaan suatu bangsa.
B. Landasan Sosiologis
Konstruksi
merupakan kegiatan masyarakat dalam mewujudkan produk bangunan fisik beserta
fungsi layanannya yang akan berfungsi sebagai pendukung atau prasarana
aktifitas sosial ekonomi masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok atau
komunitas. Oleh karena itu, konstruksi baik aktifitas maupun produknya memiliki
dimensi sosial-
106
ekonomi
yang tinggi. Dalam hal ini, konstruksi dapat dijadikan sebagai penggerak
pembangunan sosial-ekonomi (construction
driven socio-economic development).
Disisi lain, produk konstruksi tersebut akan menjadi social overhead capital masyarakat.
Kenyataan
empirik alamiah menunjukkan bahwa aktifitas konstruksi tidak hanya melibatkan
relasi bisnis dari penyedia jasa konstruksi dan pengguna jasa semata, tetapi
selalu membutuhkan interaksi berbagai latar belakang kelompok profesi atau
usaha masyarakat, seperti pendana, perencana arsitektur dan keteknikan (engineering), penyedia material,
pelaksana (kontraktor), tenaga kerja, penyedia peralatan, pabrikan dan pemakai
serta pemanfaat dari hasil konstruksi. Rangkaian kegiatan oleh kelompok profesi
dan usaha masyarakat tersebut akan membentuk struktur jaringan rantai suplai
barang dan jasa yang menghasilkan suatu produk akhir yaitu bangunan, misal
gedung, rumah, jalan, jembatan, bendung, jaringan pipa dan lain sebagainya
dengan standar-standar yang telah ditetapkan.
Interaksi
masyarakat dalam kerangka hubungan kelompok profesi dan usaha yang saat ini
terfragmentasi dan terstratafikasi tersebut tentu saja membutuhkan sistem hukum
yang kuat untuk menjamin keadilan atas hak dan kewajiban dalam menyelenggarakan
aktifitas konstruksi. Masyarakat membeutuhkan sistem hukum yang dapat
memberikan jaminan kepastian (certainty),
keamanan (security) dan keselamatan (safety). Doyle & Stern (2006)
menjelaskan struktur pemangku kepentingan (stakeholder) konstruksi dan
kebutuhannya sesungguhnya berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, sistem hukum
pengelolaan aktifitas konstruksi akan memberi kepastian pemenuhan kebutuhan
setiap pihak kelompok profesi dan usaha masyarakat melalui ketertiban baik pada
ranah usaha, penyelenggaraan maupun pemanfaatan produk konstruksi. Dengan
demikian, prinsip-prinsip modalitas interaksi sosial masyarakat seperti saling
bekerjasama (networking) yang
sinergis (synergy) dalam suatu
bingkai saling percaya (trust) harus
menjadi dasar sosiologis dalam pengaturan sektor konstruksi.
107
Sektor
konstruksi dari sisi ekonomi merupakan salah satu sektor andalan yang menggerakkan
perekonomian di masa pemulihan ekonomi, terutama karena sektor ini telah
menyerap tenaga kerja yang banyak. Sektor ini juga mampu memberikan stimulus
melalui efek pengganda (multiplier effect),
khususnya pembangunan infrastruktur, bagi pengembangan sektor-sektor lainnya.
Pentingnya sektor konstruksi bagi ekonomi nasional dapat dilihat dari beberapa
indikator berikut (Hillebrandt, 1988; World Bank, 1984). Produk Domestik Bruto
(PDB). Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt, 1985) mengindikasikan bahwa
kontribusi industri konstruksi terhadap PDB berkisar antara 3-10%, umumnya akan
lebih rendah di negara berkembang dan lebih tinggi di negara maju. Menurut Bank
Dunia (1984), di negara-negara berkembang, sektor konstruksi berkontribusi 3-8%
terhadap PDB, kontribusi terhadap investasi, yang diukur dari pembentukan aset
tetap (fixed capital formation), dan jumlah penyerapan tenaga kerja.
Sektor
konstruksi Indonesia telah tumbuh sejak awal tahun 1970an. Data dari Biro Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB meningkat
dari 3.9% di tahun 1973 menjadi di atas 8% di tahun 1997. Pada tahun 1998
kontribusi sektor konstruksi nasional terhadap PDB mengalami penurunan dan
berlanjut sampai tahun 2002 hingga menjadi sekitar 6%. Mulai tahun 2003,
kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB mulai menunjukkan tren yang membaik.
Data tahun 2005 menunjukkan sektor konstruksi terhadap PDB meningkat kembali
menjadi 6.35%.
Sektor
konstruksi berkontribusi 60% dari pembentukan aset tetap. Pada sektor tenaga
kerja, sektor konstruksi berkontribusi sekitar 10% dari total tenaga kerja
nasional. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruki dari awal
tahun 1970-an hingga 1997 di atas pertumbuhan tenaga kerja nasional. Setelah
periode krisis ekomoni. Penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruksi telah
menunjukkan peningkatan, sejalan dengan mulai meningkatnya kembali kontribusi
sektor konstruksi terhadap PDB. Dari 105,8 juta penduduk yang bekerja pada
108
tahun
2005, 44,02% bekerja di sektor pertanian, 12,2% di sektor manufaktur dan 4,6%
di sektor konstruksi.
Sebagian
besar dari output industri konstruksi adalah barang investasi (Hillebrandt,
1988; Raftery, 1991; Wells, 1986; World Bank, 1984) yang diperlukan untuk
memproduksi barang, jasa atau fasilitas seperti (1) fasilitas untuk produksi
lebih lanjut, seperti bangunan pabrik, (2) pembangunan atau peningkatan
infrastruktur ekonomi, seperti jalan raya, pelabuhan, jalan kereta, dan (3)
investasi sosial, seperti rumah sakit, sekolah. Oleh karena itu, permintaan
terhadap output industri konstruksi sangat berfluktuasi. Investasi dapat
ditunda atau dipercepat, tergantung dari kondisi ekonomi dan kebijakan
pemerintah. Dalam kondisi depresi ekonomi yang dialami Indonesia mulai
pertengahan tahun 1997, industri konstruksi mengalami dampak yang paling besar.
Setelah menikmati pertumbuhan sebesar 12.8% di tahun 1996, industri konstruksi
tumbuh hanya sebesar 6.4% di tahun 1997, dan bahkan mengalami kontraksi hampir
40% di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 1998).
Tabel
input-output BPS (1994) mengindikasikan industri konstruksi memiliki indeks
penyebaran 1.24 dan indeks sensitifitas 1.23. Indeks penyebaran menunjukkan
keterkaitan kebelakang (backward linkaged),
yaitu kesempatan untuk menciptakan investasi bagi sektor lain disebabkan oleh
permintaan pada salah satu sektor ekonomi. Indeks sensitifitas mengukur
keterkaitan kedepan, yang menunjukkan penyediaan input oleh salah satu sektor
ekonomi bagi sektor ekonomi lainnya. Indeks di atas 1.0 menunjukkan stimulus di
atas rata-rata, yang berarti sektor konstruksi dapat mendorong pertumbuhan bagi
sektor ekonomi lainnya.
Berdasarkan
berbagai indikator, ekonomi Indonesia terus berkembang antara 2000-2004 sejak
krisis berkepanjangan 1997 yang mempengaruhi setiap sektor, namun masih banyak
faktor dalam negeri dan global yang perlu diperhatikan agar pertumbuhan dapat
mencapai sasaran pembangunan yang diinginkan. Menurut BPS, Juni 2004 Produk
Domestik Bruto (PDP) atas Harga Konstan tahun 2000 mengalami pertumbuhan 6.17%
diatas tahun sebelumnya sebesar 5.8%. Perkembangan ekonomi yang sebelumnya
terbukti cukup fleksibel terhadap berbagai pengaruh
109
guncangan
ekonomi global kini perlu lebih memperhatikan pengembangan pada faktor
fundamental yang dapat menjadi risiko utama terhadap kinerja pertumbuhan yang
berkelanjutan namun menguntungkan, produktif dan pada akhirnya kompetitif bagi
para usaha publik maupun swasta dan sektor industri dalam negeri serta luar
negeri di era globalisasi (Porter, 1998). Indikasi manajemen faktor fundamental
ekonomi pada masa krisis lalu secara prudent terbukti sangat bermanfaat dalam
pengendalian berbagai ketidak-pastian berlaku sehingga tiba saatnya untuk
menyediakan dasar bagi pembangunan di sektor strategis yang berbasis Construction Driven Economic Development (Abidin, 2005) sehingga dapat
memanfaatkan dan menimbulkan berbagai
pertumbuhan tambahan internal-externalities dari sektor konstruksi yang kini
siap berkembang dengan potensi dari hasil pertumbuhan 8.17% pada tahun
2003-2004.
Globalisasi
ekonomi dan keuangan dunia juga mendorong tuntutan kerja sama regional dan
global yang semakin meningkat, melalui skema-skema liberalisasi perdagangan
jasa konstruksi seperti GATS-WTO dan AFAS-ASEAN sehingga perlu dilakukan
pembenahan terkait penataan kelembagaan dan pengembangan terhadap usaha, tenaga
kerja, dan iklim usaha jasa konstruksi secara menyeluruh. Tantangan yang paling
signifikan dan harus segera dihadapi adalah masyarakat ekonomi ASEAN yang akan
diberlakukan pada awal tahun 2016. Oleh karena itu, kebijakan pembinaan tenaga
kerja konstruksi nasional harus diarahkan untuk meningkatan profesionalitas
sumber daya manusia konstruksi Indonesia yang ditandai dengan pemberlakuan
sertifikasi kompetensi kerja. Selain itu, pemerintah juga perlu menfasilitasi
dan mendorong asosiasi profesi dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi
dalam menetapkan bakuan kompetensi, penyelenggaraan konvensi, dan proses
sertifikasi tenaga ahli dan terampil sektor konstruksi.
C. Landasan Yuridis
Usulan
perubahan terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan salah satu
usulan dari program legislasi nasional (Prolegnas) pada periode keanggotaan
2010-2014. Perubahan terhadap
110
Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi tersebut beberapa kali menjadi prioritas prolegnas
tahunan. Pada tahun 2014, Rancangan Undang-Undang ini telah memasuki tahapan
harmonisasi namun belum dapat diselesaikan sesuai target sampai berakhirnya
masa keanggotaan 2010-2014. pada periode 2015-2019 Rancangan Undang-Undang ini
direncanakan masuk dalam program legislasi nasional. Selain itu kurang
memadainya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dalam menjawab tuntutan
perubahan praktek bisnis, iklim usaha dan penataan kelembagaan di bidang jasa
konstruksi menuntut adanya perubahan atau perbaikan atas Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi. Hal ini sejalan dengan berubahnya iklim usaha yang terkait
dengan perkembangan kebijakan perdagangan bebas, demikian juga dalam aspek
kelembagaan terkait dengan perkembangan politik dan sosial masyarakat khususnya
pada masyarakat jasa konstruksi.
Jasa
konstruksi merupakan suatu kegiatan ekonomi yang memiliki peran penting dalam
meningkatkan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Undang-Undang
Dasar 1945 Bab XIV Perubahan Keempat tentang Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 Ayat (4) menyatakan bahwa“ perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Selanjutnya,
Pasal 33 Ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. Sebagai suatu sektor
ekonomi, penyelenggaraan konstruksi harus dijamin berdasarkan prinsip-prinsip
pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 ini.
Pemerintah
Indonesia telah menganut prinsip demokratisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Pada masa-masa awal kemerdekaan sampai tahun 60an, pemerintah bertindak sebagai
agen regulator sekaligus operator khususnya melalui perusahaan negara dalam
kegiatan konstruksi untuk menyediakan infrastruktur. Selanjutnya, sejak tahun
70an, pemerintah telah membuka ruang keterlibatan pihak swasta untuk
berpartisipasi dalam kegiatan konstruksi bagi pembangunan infrastruktur,
111
khususnya
bagi konsultan arsitektur dan rekayasa serta kontraktor dan bahkan pemerintah
memberi peluang lebih besar bagi swasta sebagai developer untuk pembangunan
real estate atau perumahan permukiman termasuk gedung-gedung properti.
Selanjutnya,
pasca 1999 Pemerintah telah membuka partisipasi swasta lebih luas menjadi
investor tidak hanya untuk penyediaan properti dan perumahan, tetapi juga
infrastruktur publik lainnya. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur telah
membuka kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur. Dengan
demikian, sistem hukum pengelolaan sektor konstruksi telah mengalami perubahan
tidak hanya terkait dengan penyediaan jasa konsultansi dan kontraktor, tetapi
juga termasuk investasi. Perdebatan tentang permasalahan tender investasi
apakah sudah termasuk tender konstruksi bagi proses penyelenggaraan proyek
konstruksi tidak bisa diselesaikan dengan konvergensi sistem hukum pengelolaan
sektor konstruksi yang ada.
Disamping
hal tersebut di atas, pengelolaan sektor konstruksi di Indonesia selama ini
dipersepsikan secara sempit sebagai bidang kerja kementeri pekerjaan umum
padahal sektor jasa konstruksi juga terkait langsung dengan sektor-sektor
lainnya seperti perumahan, energi dan pertambangan, keuangan, dalam negeri,
ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi, dan/atau lingkungan hidup.
Kebijakan
politik pemerintah melalui desentralisasi dan otonomi daerah juga memiliki
implikasi terhadap pengelolaan sektor konstruksi di daerah. Pemerintah daerah
melalui peraturan daerah akan berpeluang mengembangkan sistem hukum pengelolaan
sektor konstruksi berbasis kepentingan daerah. Kehadiran daerah-daerah dengan APBD
besar akan memicu pertumbuhan pasar konstruksi semakin tinggi akibat investasi
pemerintah daerah untuk penyediaan infrastruktur dan bangunan-bangunan lainnya.
Hal ini juga akan memacu pertumbuhan aktifitas bisnis konstruksi masyarakat di
daerah yang bersangkutan. Disamping itu, kebijakan FDI (Foreign Direct Investment) di era otonomi daerah juga dapat
112
mendorong
pertumbuhan aktifitas sektor konstruksi sebagai dampak kehadiran investasi luar
negeri tersebut.
Keterbukaan
politik partisipasi dan demokratisasi telah melanda Indonesia sejak tahun 1999.
Partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sektor konstruksi juga telah secara
eksplisit diatur dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi melalui diktum
peran masyarakat. Peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan
otoritarian oleh pemerintah tidak terjadi dalam pengelolaan sektor konstruksi.
Namun demikian, ruang partisipasi masyarakat harus diatur sedemikian rupa
sehingga menjadi lebih produktif dan menjamin terwujudnya tatakelola yang baik
(good governance) serta menghindari
pertentangan kepentingan di antara masyarakat sendiri. Dalam konteks
partisipasi ini, keterwakilan masyarakat sering menjadi polemik dan menyisakan
permasalahan. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sektor
konstruksi harus dirumuskan secara jelas tatakelolanya, termasuk definisi
terminologi masyarakat dalam perspektif sektor konstruksi harus jelas.
Misalnya, penggunaan terminologi dan lingkup masyarakat jasa konstruksi dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ternyata tidak hanya mereka yang terkait
dengan usaha jasa perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, tetapi adalah mereka
stakeholder sektor konstruksi.
113
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Jangkauan Dan Arah Pengaturan
Pengaturan sektor jasa konstruksi dimaksudkan untuk
memberikan landasan atau sistem pengelolaan dan penyelenggaraan jasa konstruksi
yang mampu:
a. memberikan arah
pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha
yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang
berkualitas;
b. mewujudkan
tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan
antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mewujudkan
peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi;
d. menata sistem
Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan
lingkungan terbangun;
e. menjamin tata
kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik; dan
f. menciptakan
integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Sektor jasa konstruksi sesungguhnya memiliki outcome atau sasaran akhir terciptanya
lingkungan terbangun yang nyaman atau the
finest built environment. Oleh
karena itu, orientasi pengaturan sektor jasa konstruksi adalah mencapai suatu kondisi lingkungan terbangun yang memberi
kenyamanan kepada masyarakat luas. Lingkungan terbangun ini akan memiliki
dimensi pelaku, proses dan produk yang berada pada suatu ekosistem. Lingkungan
dibentuk oleh suatu produk artefak atau bentuk fisik sebagai keluaran akhir
suatu proses pekerjaan konstruksi. Produk konstruksi akan menjadi aset fisik
berusia sangat panjang (long lasting
114
artefacts) dan memiliki
karakteristik perubahan sangat lambat dengan
dampak jangka panjang yang biasanya jauh lebih lama dari jangka waktu
proses membuatnya serta terkait dengan perubahan sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat. Dengan demikian, hasil akhir pekerjaan konstruksi akan terkait
dengan interaksi sosial, psikologi, dan fisik antara individu, kelompok dan
aset fisik terbangun lainnya.
Disamping itu, secara konvensional, lingkungan terbangun
adalah suatu obyek bangunan hasil dari suatu dekomposisi dari suatu proses
konstruksi yang terpisah, seperti perencanaan, disain rekayasa, dan pelaksanaan
yang terpisah-pisah dalam suatu rentang waktu yang mulai dan berakhir telah
ditetapkan.
Selanjutnya tata kelola jasa konstruksi yang baik (good construction services governance) adalah orientasi dari pengaturan sektor jasa konstruksi. Kondisi ini dibutuhkan
ketika struktur rantai suplai dari para pelaku sektor konstruksi datang dari
profesi dan latar belakang usaha yang beragam. Tata kelola yang baik dengan
prinsip-prinsip utama partisipasi, transparansi, akuntabilitas dari sektor jasa
konstruksi diharapkan menjamin pengembangan sektor jasa konstruksi menjadi
lebih kokoh, handal dan berdayasaing tinggi. Disamping itu, orientasi ini akan
membawa implikasi bahwa pengaturan sektor konstruksi harus dapat menjamin
keadilan (fairness) dan kesetaraan
hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu struktur rangkaian dari
kluster konstruksi.
Disamping itu, tata kelola jasa konstruksi yang baik
dibutuhkan untuk menjamin arus sumber daya tidak hanya dikuasai oleh
orang-perorangan atau golongan tertentu melalui monopoli maupun kartel. Oleh
karena itu, setiap tahapan dari siklus layanan jasa konstruksi harus dijamin
transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi yang kompetitif dari
masyarakat luas.
Kegiatan jasa konstruksi diatur sedemikian rupa sehingga
mampu menghasilkan integrasi nilai dari setiap tahapan siklus pekerjaan jasa
konstruksi. Dalam konteks ini, subjek yang diatur adalah pihak-pihak yang
terikat dalam pengikatan yaitu, penyedia jasa dan pengguna jasa. Hubungan
antara pihak ini harus diatur sehingga dapat mencerminkan
115
kesetaraan dan keadilan diantara keduanya, serta dapat
melindungi hak dan kewajiban para pihak tersebut. Hak dan kewajiban antara
penyedia jasa dan pengguna jasa harus diatur secara jelas terutama yang
berimplikasi keluar, seperti dampak terhadap lingkungan sekitar, tanggungjawab
kepada pihak-pihak yang terkena dampak selama proses penyelenggaraan, serta
jaminan yang jelas atas kesepakatan dalam kerangka hukum perdata. Pengaturan
dalam undang-undang ini juga harus mampu menampung bagaimana cara para pihak
ini menyelesaikan sengketa baik akibat cedera janji maupun pelanggaran atas hal
yang telah disepakati dalam kontrak.
Pengaturan sektor jasa konstruksi perlu juga diarahkan
agar sektor jasa konstruksi Indonesia mampu menciptakan nilai tambah kepada
masyarakat secara berkelanjutan melalui profesionalisme, sinergi dan daya saing
para pelakunya. Dalam hal ini, kegiatan konstruksi yang menghasilkan produk
bangunan seperti infrastruktur harus dapat menjadi prasarana yang menfasilitasi
pengembangan sektor-sektor ekonomi masyarakat, pengembangan wilayah dimana
masyarakat berada, pengembangan modernitas dari masyarakat perkotaan dan
perdesaan, serta pengembangan status masyarakat. Dengan demikian, sektor jasa
konstruksi perlu diatur sedimikian rupa sehingga baik pelaku, proses maupun
produk dapat memberi manfaat terhadap masyarakat luas. Pengurangan dampak
ekonomi, sosial, dan lingkungan atas penyelenggaraan kegiatan konstruksi harus
dapat diminimalisir oleh para pihak pelaku.
Secara keseluruhan, tujuan pengaturan sektor jasa
konstruksi adalah menjamin bahwa pelaku dari setiap bagian struktur suplai
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi memiliki kapasitas, kompetensi dan daya
saing tinggi untuk menjadikan proses penyelenggaraan jasa konstruksi efisien,
efektif, dan cost-effectiveness serta
berkeadilan sehingga produktif dalam menghasilkan produk jasa konstruksi
(infrastruktur & gedung, serta fasilitas fisik lainnya) berkualitas,
bermanfaat dan berkelanjutan
116
B. Ruang Lingkup Materi Muatan
Undang-Undang
1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum dari Rancangan Undang Undang tentang Jasa
Konstruksi berisi batasan pengertian atau definisi mengenai: jasa konstruksi,
pekerjaan konstruksi, konsultansi konstruksi, pengguna jasa, penyedia jasa,
Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi, kontrak kerja konstruksi,
standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan, kegagalan pekerjaan konstruksi,
kegagalan bangunan, sertifikasi badan usaha, sertifikat badan usaha,
sertifikasi kompetensi kerja, sertifikat kompetensi kerja, tanda daftar usaha
perseorangan, izin usaha jasa konstruksi, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
setiap orang dan menteri.
Selain itu, dalam Rancangan ini
juga berisi redefinisi mengenai:
1. Pengertian jasa
konstruksi menjadi layanan jasa yang meliputi pekerjaan konstruksi dan/atau
konsultansi konstruksi. Hal ini berbeda dengan pengertian jasa konstruksi dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan jasa konstruksi
sebagai layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan
pekerjaan konstruksi.
2. Pengertian
pekerjaan konstruksi menjadi keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi
pembuatan, pengoperasian, pemeliharaan, penghancuran, dan pembuatan kembali.
Hal ini berbeda dengan pengertian pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi yang mendefinisikan pekerjaan konstruksi menjadi keseluruhan
atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal,
dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan
suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
117
3.
Pengertian pengguna jasa menjadi pemberi atau pemilik
Pekerjaan Konstruksi dan/atau Konsultansi Konstruski yang memerlukan layanan
Jasa Konstruksi. Hal ini berbeda dengan pengertian pengguna jasa dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan pengguna jasa adalah
orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik
pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
4. Pengertian
penyedia jasa menjadi pemberi layanan Jasa Konstruksi. Hal ini berbeda dengan
pengertian penyedia jasa dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang
mendefinisikan penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi.
5. Pengertian
kegagalan bangunan menjadi suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak
berfungsinya bangunan, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis
dan/atau manfaat setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi. Hal ini
berbeda dengan pengertian kegagalan bangunan dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi yang mendefinisikan kegagalan bangunan sebagai keadaan bangunan,
yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi
tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau
pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan
penyedia jasa dan/atau pengguna
jasa.
Sementara
pengertian baru atau definisi baru dalam RUU Jasa Konstruksi adalah sebagai
berikut:
1. Standar
Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan adalah pedoman keteknikan, keamanan,
keselamatan, kesehatan tempat kerja konstruksi, dan perlindungan sosial tenaga
kerja, serta tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
2. Kegagalan
Pekerjaan Konstruksi adalah suatu keadaan keruntuhan hasil penyelenggaraan Jasa
Konstruksi baik secara keseluruhan
118
maupun sebagian yang terjadi dalam proses Pekerjaan
Konstruksi sebelum dilaksanakannya penyerahan akhir hasil Pekerjaan Konstruksi.
3. Sertifikasi
Badan Usaha adalah proses pemberian sertifikat atas penilaian untuk mendapatkan
pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha di
bidang Jasa Konstruksi.
4. Sertifikat
Badan Usaha adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi
atas kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi.
5. Sertifikasi
Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi melalui uji
kompetensi sesuai standar kompetensi kerja nasional indonesia, standar
internasional, dan/atau standar khusus.
6. Sertifikat
Kompetensi Kerja adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja
konstruksi.
7. Tanda Daftar
Usaha Perseorangan adalah izin yang diberikan kepada usaha orang perseorangan
untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi.
8. Izin Usaha Jasa
Konstruksi yang selanjutnya disebut Izin Usaha adalah izin yang diberikan
kepada badan usaha untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi.
9. Pemerintah
Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
10. Pemerintah
Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
otonom.
11. Setiap Orang adalah orang
perseorangan dan/atau badan usaha.
12. Menteri adalah
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
2. Asas, Fungsi, Dan Tujuan
119
Dalam bab ini diatur mengenai asas
dalam penyelenggaraan kegiatan Jasa Konstruksi antara lain berasaskan kejujuran
dan keadilan, manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, profesionalitas,
kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan,
pembangunan berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
Asas kejujuran dan keadilan adalah kesadaran akan
fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab
memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya.
Asas manfaat adalah bahwa segala kegiatan jasa konstruksi
harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam
kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektitas yang dapat menjamin
terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan
jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional.
Asas kesetaraan adalah bahwa kegiatan jasa konstruksi
harus dilaksankanan dengan memperhatikan kesetaraan hubungan kerja antara
pengguna jasa dan penyedia jasa.
Asas keserasian adalah harmoni dalam interaksi antara
pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang
berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat
tinggi.
Asas keseimbangan adalah bahwa penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya
keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa
dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin
terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan
peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa.
Asas profesionalitas adalah adalah penyelenggaraan jasa konstruksi
merupakan kegiatan profesi yang menjunjung tinggi nilai profesionalisme.
120
Asas kemandirian adalah
penyelenggaraan jasa konstruksi dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya
nasional di bidang jasa konstruksi.
Asas keterbukaan adalah ketersediaan informasi yang dapat
diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi
dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat
melaksanakan kewajiban secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk
memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya
berbagai kekurangan dan penyimpangan.
Asas kemitraan adalah hubungan kerja para pihak yang
harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.
Asas keamanan dan keselamatan adalah terpenuhinya tertib
penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja,
serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan
kepentingan umum.
Asas kebebasan adalah bahwa dalam penyelenggaraan jasa
konstruksi pengguna jasa memiliki kebebasan untuk memilih penyedia jasa dan
juga adanya kebebasan berkontrak antara penyedia jasa dan pengguna jasa.
Asas pembangunan berkelanjutan adalah bahwa
penyelenggaraan jasa konstruksi dilaksanakan dengan memikirkan dampak yang
ditimbulkan pada lingkungan yang terjaga secara terus menerus menyangkut aspek
ekologi, ekonomi,dan sosial budaya.
Asas berwawasan lingkungan adalah bahwa penyelenggaraan
jasa konstruksi memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan
hidup.
Adanya penambahan asas dalam RUU ini dibandingkan dengan
asas dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Asas dalam Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi adalah asas kejujuran dan keadilan, manfaat,
keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan
keselamatan demi kepentingan masyarakat bangsa dan negara.
121
Selanjutnya, dalam bab ini dirumuskan pula mengenai tujuan
dari penyelenggaraan kegiatan jasa konstruksi yaitu:
a. memberikan arah
pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha
yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang
berkualitas;
b. mewujudkan
tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan
antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mewujudkan
peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi;
d. menata sistem
Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan
kenyamanan lingkungan terbangun;
e. menjamin tata
kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik; dan
f. menciptakan
integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Tujuan dalam
RUU ini lebih
luas dibandingkan dengan
pengaturan
tujuan yang ada dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Tujuan dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa
konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing
tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia
jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatahan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mewujudkan
peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
3. Pembinaan
122
Konsep pembinaan dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Pembinaan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat
dilakukan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri teknis terkait. Sedangkan
pembinaan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dilakukan oleh gubernur
dan/atau walikota/bupati.
Pembinaan Jasa Konstruksi yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat meliputi:
a. penetapan kebijakan pengembangan
Jasa Konstruksi nasional;
b. penyelenggaraan
kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi yang bersifat strategis, lintas negara,
lintas provinsi, dan/atau berdampak pada kepentingan nasional; dan
c. pemantauandan evaluasipenyelenggaraankebijakan
pengembangan Jasa Konstruksi
nasional.
Pembinaan
Jasa Konstruksi yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah provinsi
meliputi:
a. penetapan
pedoman teknis pelaksanaan kebijakan Jasa Konstruksi nasional di wilayah
provinsi;
b. penyelenggaraan
kebijakan Jasa Konstruksi yang berdampak lintas kabupaten/kota di wilayah
provinsi; dan
c. pemantauan dan
evaluasi penyelenggaraan kebijakan Jasa Konstruksi nasional di wilayah
provinsi.
Pembinaan Jasa
Konstruksi oleh pemerintah
daerah
kabupaten/kota meliputi:
a. penyelenggaraan
kebijakan Jasa Konstruksi yang berdampak hanya di wilayah kabupaten/kota; dan
b. pemantauan dan
evaluasi penyelenggaraan kebijakan
Jasa
Konstruksi nasional di daerah
kabupaten/kota.
Pembinaan
Jasa Konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada
dasarnya bertujuan:
a. meningkatkan
kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja konstruksi
nasional;
b. meningkatkan kemampuan dan
kapasitas usaha Jasa Konstruksi
123
c. meningkatkan
kualitas dan penggunaan material konstruksi dan teknologi konstruksi dalam
negeri;
d. menciptakan
iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang transparan,
persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara
Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa;
e. menjamin
keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi serta hasil Jasa Konstruksi yang ramah lingkungan; dan
f. meningkatkan partisipasi
masyarakat di bidang Jasa Konstruksi.
Untuk
meningkatkan kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja
konstruksi nasional, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan sumber
daya manusia di bidang Jasa Konstruksi meliputi:
a. mengembangkan standar kompetensi
tenaga kerja konstruksi;
b. mengembangkan sistem pelatihan
tenaga kerja konstruksi nasional;
c. menyelenggarakan pelatihan tenaga
kerja konstruksi;
d. mengembangkan
sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi nasional; dan
e. menetapkan
standar remunerasi minimal tenaga kerja konstruksi. Selanjutnya untuk
meningkatkan kemampuan dan kapasitas
usaha Jasa
Konstruksi nasional, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan usaha
di bidang Jasa Konstruksi meliputi:
a. mengembangkan
struktur usaha Jasa Konstruksi guna terciptanya kerjasama sinergis antara usaha
umum dan spesialis, serta antar usaha kecil, menengah, dan besar;
b. mengembangkan sistem persyaratan
usaha Jasa Konstruksi;
c. mengembangkan sistem rantai pasok
Jasa Konstruksi;
d. meningkatkan
akses badan usaha jasa kontruksi terhadap penjaminan dan permodalan usaha; dan
e. memberikan
dukungan bagi badan usaha Jasa Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa
Konstruksi internasional.
124
Untuk meningkatkan kualitas dan
penggunaan material konstruksi dan teknologi konstruksi dalam negeri,
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan material dan teknologi
konstruksi dalam negeri meliputi:
a. mengembangkan rencana induk penelitian dan
pengembangan material dan teknologi konstruksi nasional;
b. memberikan dukungan pembiayaan bagi
penelitian dan pengembangan material dan teknologi konstruksi;
c. mengembangkan
skema kerjasama antara institusi penelitian dan pengembangan dengan seluruh
pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
d. menetapkan pengembangan teknologi
prioritas yang meliputi:
1. teknologi sederhana tepat guna dan
padat karya;
2. teknologi yang berkaitan dengan
posisi geografis Indonesia;
3. teknologi konstruksi yang ramah
lingkungan;
4. teknologi material baru yang
berpotensi tinggi di Indonesia; dan
5. teknologi dan manajemen
pemeliharaan aset infrastruktur; dan
e. mempromosikan
material dan teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh pemangku
kepentingan nasional maupun internasional.
Untuk
menciptakan iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang
transparan, persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan
kewajiban antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa, Pemerintah Pusat menetapkan
kebijakan pengembangan penyelenggaraan Jasa Konstruksi meliputi:
a. mengembangkan
prosedur pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi dan pelaksanaan konstruksi;
b. mengembangkan
standar Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban
Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa;
c. mendorong
digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi
di luar pengadilan; dan
d. mengembangkan sistem
kinerja Penyedia Jasa
dalam
125
Selanjutnya
untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta hasil Jasa Konstruksi yang ramah
lingkungan, Pemerintah Pusat menyusun kebijakan dan menetapkan standar
keamanan, keselamatan, dan kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Sedangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi,
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan partisipasi masyarakat di
bidang Jasa Konstruksi, meliputi:
a. memperkuat kapasitas kelembagaan
masyarakat Jasa Konstruksi;
b. meningkatkan
partisipasi masyarakat yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam pengawasan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; dan
c. memfasilitasi
penyelenggaraan forum Jasa Konstruksi sebagai wadah aspirasi masyarakat Jasa
Konstruksi.
Masih
dalam lingkup pembinaan, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Jasa
Konstruksi meliputi:
a. tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi sesuai
dengan Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan;
b. tertib persyaratan usaha dan perizinan tata
bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan
c.
kinerja Penyedia Jasa dalam menyelenggarakan Jasa Konstruksi. Dalam
melaksanakan pembinaan, Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah
Daerah dapat melibatkan Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Sedangkan
ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
4. Usaha Jasa Konstruksi
Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, bidang usaha
jasa konstruksi berdasarkan pada disiplin keilmuan yang mencakup pekerjaan
arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan (ASMET),
sedangkan pada RUU tentang Jasa Konstruksi, struktur usaha
126
Jasa Konstruksi meliputi: a. jenis, sifat, klasifikasi,
dan layanan usaha; dan b. bentuk dan kualifikasi usaha. Dari struktur usaha
Jasa Konstruksi kemudian diperinci berdasarkan jenis usaha Jasa Konstruksi yang
meliputi: a. jasa konsultansi konstruksi; b. jasa pelaksana konstruksi; dan c.
jasa pelaksana konstruksi terintegrasi. Klasifikasi usaha Jasa Konstruksi
didasarkan pada klasifikasi produk konstruksi yakni pengelompokan usaha Jasa
Konstruksi menggunakan skema klasifikasi-subklasifikasi-produk berdasarkan Central Product Classifications (CPC).
Sifat usaha jasa konsultansi konstruksi ada yang bersifat
umum dan spesialis. Klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat
umum meliputi antara lain: arsitek; rekayasa; rekayasa terpadu; dan arsitektur
lanskap dan perencanaan wilayah. Selanjutnya klasifikasi usaha jasa konsultansi
konstruksi yang bersifat spesialis meliputi antara lain: konsultansi ilmiah dan
teknis; dan pengujian dan analisis teknis. Layanan usaha yang dapat diberikan
oleh jasa konsultansi konstruksi yang bersifat umum meliputi: pengkajian;
perencanaan; perancangan; dan/atau pengawasan. Adapun layanan usaha yang dapat
diberikan oleh jasa konsultansi konstruksi yang bersifat spesialis meliputi:
survei; pengujian teknis; dan/atau analisis.
Selanjutnya terkait dengan usaha jasa pelaksana konstruksi
meliputi usaha yang bersifat umum; dan spesialis. Klasifikasi usaha untuk jasa
pelaksana konstruksi yang bersifat umum meliputi bangunan gedung dan bangunan
sipil. Klasifikasi usaha untuk jasa pelaksana konstruksi yang bersifat
spesialis meliputi antara lain: a penyiapan lapangan; b. instalasi; c.
konstruksi khusus; d. konstruksi prapabrikasi; e. penyelesaian bangunan; dan f.
penyewaan peralatan.
Layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa pelaksana
konstruksi yang bersifat umum meliputi: pembangunan; pemeliharaan;
penghancuran; dan/atau pembuatan kembali. Layanan usaha yang dapat diberikan
oleh jasa pelaksana konstruksi yang bersifat spesialis meliputi pekerjaan
bagian tertentu dari bangunan konstruksi atau
127
bentuk fisik lainnya. Klasifikasi usaha untuk jasa
pelaksana konstruksi terintegrasi meliputi bangunan gedung; dan bangunan sipil.
Selain itu terdapat layanan usaha
yang dapat diberikan oleh jasa
pelaksana
konstruksi terintegrasi meliputi: a. rancang bangun; b. perencanaan, pengadaan,
dan pelaksanaan; dan c. penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berbasis kinerja.
Perubahan bidang usaha jasa konstruksi akan mempermudah
pemerintah pusat untuk melakukan pengaturan dan pembinaan pada bidang usaha
jasa konstruksi. Selain itu, pengklasifikasian ini menyebabkan playing field di bidang Jasa Konstruksi
menjadi lebih luas dan beragam, meningkatkan peluang usaha, lapangan kerja dan
penyerapan tenaga kerja, serta memudahkan penyetaraan dengan klasifikasi Negara
lain.
Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi,
bentuk usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan
usaha, dimana bentuk usaha orang perseorangan hanya dapat melaksanakan
pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan berbiaya
kecil. Sedangkan untuk pekerjaan konstruksi yang berisiko besar, berteknologi
tinggi, dan berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang
berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. Pada
RUU, terkait
bentuk dan kualifikasi usaha, usaha jasa konstruksi
berbentuk
usaha orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun
tidak berbadan hukum. Adapun kualifikasi usaha bagi badan usaha terdiri atas:
kecil; menengah; dan besar. Penetapan kualifikasi usaha tersebut dilaksanakan melalui
penilaian terhadap penjualan tahunan; kemampuan keuangan; dan ketersediaan
tenaga kerja konstruksi. Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan usaha
dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.
Segmentasi Pasar terbagi dalam segmentasi usaha orang
perseorangan badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi kecil yang hanya dapat
menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko kecil;
berteknologi sederhana; dan berbiaya kecil. Selanjutnya, segmentasi pasar usaha
badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi
128
menengah yang hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi
pada segmen pasar yang berisiko sedang; berteknologi madya; dan/atau berbiaya
sedang. Adapun untuk badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi besar yang
berbadan hukum dan perwakilan usaha Jasa Konstruksi asing hanya dapat
menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko besar;
berteknologi tinggi; dan/atau berbiaya besar.
Terdapat pengaturan khusus dalam hal penyelenggaraan Jasa
Konstruksi menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta memenuhi
kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi sederhana sampai
dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang, pemerintah daerah
provinsi dapat membuat kebijakan khusus meliputi:
a. kerjasama operasi
dengan badan usaha Jasa Konstruksi daerah; b. penggunaan subpenyedia jasa
daerah; dan/atau c. penggunaan tenaga kerja daerah.
Persyaratan Usaha baik usaha orang perseorangan maupun
badan usaha harus memiliki izin usaha. Untuk usaha orang perseorangan wajib
memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan. Sedangkan untuk badan usaha Jasa
Konstruksi wajib memiliki Izin Usaha. Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha
Perseorangan berlaku untuk melaksanakan kegiatan usaha Jasa Konstruksi di
seluruh wilayah Republik Indonesia. Pemerintah daerah kabupaten/kota membentuk
peraturan di daerah mengenai Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha Perseorangan.
Untuk mendapatkan Tanda Daftar Usaha Perseorangan yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kot, usaha orang perseorangan harus
memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja. Sedangkan
untuk
mendapatkan Izin Usaha dari pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha harus
memiliki Sertifikat Badan Usaha dan penanggung jawab teknik badan usaha yang
bersertifikat.
Sertifikat Badan Usaha diterbitkan melalui suatu proses
sertifikasi dan registrasi oleh badan yang dibentuk dan
129
bertanggungjawab kepada Menteri yang memiliki tugas
sertifikasi dan registrasi di bidang Jasa Konstruksi dengan mengajukan
permohonan kepada badan tersebut melalui asosiasi badan usaha yang
terakreditasi oleh Menteri. Selain itu dalam RUU juga diatur mengenai
registrasi pengalaman. Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman usaha, setiap
badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi menengah dan besar harus melakukan registrasi
pengalaman kepada badan dimaksud.
Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum diatur
secara khusus mengenai bentuk usaha yang dilakukan oleh badan usaha asing,
sedangkan pada RUU perubahan telah diatur secara khusus mengenai ketentuan
persyaratan bagi badan usaha asing atau usaha perseorangan asing yang akan
melakukan usaha jasa konstruksi di wilayah Indonesia. Badan usaha asing atau
usaha orang perseorangan asing yang akan melakukan usaha Jasa Konstruksi di
wilayah Indonesia wajib membentuk: kantor perwakilan atau badan usaha berbadan
hukum Indonesia melalui kerjasama modal dengan badan usaha Jasa Konstruksi
nasional. Terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh kantor
perwakilan yaitu:
a.
berbentuk badan usaha dengan kualifikasi yang setara dengan kualifikasi besar;
b. memiliki sertifikat penyetaraan
dari BSRJK;
c. memiliki izin
perwakilan badan usaha Jasa Konstruksi asing yang diberikan oleh Menteri sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. dalam setiap
kegiatan usaha Jasa Konstruksi di Indonesia, membentuk kerja sama operasi
dengan badan usaha Jasa Konstruksi nasional berkualifikasi besar yang memiliki
Izin Usaha yang dilakukan dengan prinsip kesetaraan kualifikasi, kesamaan
layanan, dan tanggung renteng;
e. mengutamakan
lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing;
130
g. memiliki
teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan lingkungan, serta memperhatikan
kearifan lokal;
h. melaksanakan proses alih
teknologi; dan
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan.
Adapun badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam
rangka kerjasama modal harus memenuhi persyaratan kualifikasi besar dan wajib
memiliki Izin Usaha yang diberikan oleh Menteri sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Peraturan dalam RUU yang mengatur mengenai klasifikasi dan
kualifikasi usaha, izin usaha, dan sertifikasi usaha secara lebih terperinci
dimaksudkan agar bisa memberikan panduan atau guideline yang lebih jelas dan memberikan kepastian hukum bagi para
pelaku usaha jasa konstruksi.
Dalam rangka pembinaan terhadap usaha di bidang jasa
konstruksi diatur pula pengembangan usaha berkelanjutan atau contiouning
business development bagi setiap badan usaha Jasa yang bertujuan untuk
bertujuan meningkatkan tata kelola usaha yang baik; dan memiliki tanggung jawab
profesional termasuk tanggung jawab badan usaha terhadap masyarakat.
Pengembangan usaha berkelanjutan diselenggarakan oleh asosiasi badan usaha Jasa
Konstruksi.
5. Pengikatan Pekerjaan Konstruksi
Pengaturan
mengenai pengikatan pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi sangat detail mulai dari ketentuan mengenai para pihak, ketentuan
mengenai jaminan pembayaran/pembiayaan, bagaimana proses pengikatan antara para
pihak dan pengaturan mengenai kontrak kerja konstruksi. ketentuan mengenai para
pihak tidak mengalami perubahan mendasar dalam RUU, hanya ditambahkan mengenai
siapa saja yang dimaksudkan sebagai pihak pengguna dan penyedia jasa, yakni
orang perseorangan atau
131
badan; baik badan usaha dan bukan badan usaha, baik
Indonesia maupun asing. ketentuan yang membagi penyedia jasa pada perencana,
pelaksana dan pengawas konstruksi sudah tidak relevan diatur mengingat perubahan
pengertian/definisi pekerjaan konstruksi dan tahapannya. Ketentuan mengenai
jaminan pembayaran/pembiayaan dipindahkan ke bagian penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi mengingat relevansinya dengan kewajiban memberikan jaminan
pembayaran oleh pengguna jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, tidak ada pembedaan antara proses
pengikatan bagi pekerjaan konstruksi yang merupakan pekerjaan yang didanai
dengan keuangan negara dengan pekerjaan swasta atau pekerjaan individual.
Pengguna jasa baik pemerintah maupun swasta dalam memilih penyedia jasa harus
melalui proses pelelangan baik dengan cara pelelangan umum maupun terbatas.
Pengaturan mengenai proses pengikatan melalui pelelangan diatur dengan rinci, termasuk
persyaratan teknis dan mekanisme pemilihan. Dalam RUU, pengaturan mengenai
pengikatan dikembalikan pada aturan hukum perdata, dimana pengikatan merupakan
ranah perdata yang memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengikatkan diri
dalam suatu perjanjian. Sehingga ketentuan mengenai pengikatan antara para
pihak berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali
dinyatakan lain dalam Undang-Undang ini. Pengecualian ini ditujukan untuk
pekerjaan konstruksi yang menggunakan keuangan negara yang harus melalui proses
pelelangan dalam pemilihan penyedia jasa. Ketentuan mengenai pelelangan
tersebut perlu diatur secara garis besar dalam RUU, sedangkan teknis mekanisme,
persyaratan dan proses pemilihan dan penetapannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Namun demikian RUU ini memungkinkan penetapan penyedia
jasa bagi proyek pemerintah dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau
penunjukan langsung dalam keadaan:
a. penanganan darurat untuk keamanan
dan keselamatan masyarakat;
b. pekerjaan yang
kompleks yang hanya
dapat dilaksanakan oleh
132
c. pekerjaan yang
perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara; dan
d. pekerjaan yang berskala kecil.
Bagi
badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada
pada kepengurusan yang sama dilarang mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan
konstruksi secara bersamaan. pengaturan ini dimaksudkan untuk menghindari kecurangan
dan persaingan usaha tidak sehat.
Selain
itu untuk menghindari adanya monopoli dalam suatu pekerjaan konstruksi dan
sistem persaingan usaha yang tidak sehat, pengguna jasa dilarang memberikan
pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu
pekerjaan konstruksi yang terkait dengan pembangunan sarana kepentingan umum,
kecuali jika pemberian pekerjaan tersebut dilakukan dengan melalui pelelangan.
Dalam
rangka pengaturan hubungan kerja yang jelas dan adil antara pengguna jasa dan
penyedia jasa secara hukum, pengaturan ada pengaturan mengenai kontrak kerja
konstruksi. namun mengingat sifat kontrak yang pada dasarnya mengikat sepanjang
disepakati para pihak, maka ketentuan dalam RUU hanya mengatur mengenai batasan
minimal hal-hal yang harus disepakati dalam suatu kontrak kerja. Adapun
bentuk-bentuk kontrak kerja konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan
dan dilaksanakan/berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini
mengingat perkembangan pengikatan dan jenis kontrak berkembang seiring dengan
perkembangan usaha jasa konstruksi yang semakin dinamis dan global.
Pengaturan
batasan minimal muatan suatu kontrak diatur dalam rangka melindungi kedua belah
pihak apabila terjadi sengketa atau terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau
kegagalan bangunan serta adanya pihak ketiga atau masyarakat yang dirugikan
akibat penyelenggaraan suatu pekerjaan konstruksi. pengaturan ini dimaksudkan
pula agar pihak yang berwenang memiliki dasar pijakan
133
jika terjadi konflik dan sengketa antara para pihak maupun
dalam hal adanya penyelenggaraan suatu pekerjaan konstruksi yang mengakibatkan
kerugian pihak lain seperti masyarakat dan lingkungan.
Selain
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, beberapa muatan
yang harus ditambahkan pada syarat minimal kontrak antara lain:
a. kewajiban jaminan pembayaran dari
pengguna jasa;
b. kegagalan
pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan yang memuat ketentuan tentang
kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan pekerjaan
konstruksi dan kegagalan bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan
bangunan; dan
c. perlindungan
terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, yang memuat kewajiban para
pihak dalam hal terjadi kegagalan konstruksi yang menimbulkan kerugian atau
menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian orang-orang di luar tenaga kerja.
6. Penyelenggaraan Pekerjaan
Konstruksi
Bab
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi masih tetap dipertahankan dalam RUU ini, namun dibagi ke dalam
beberapa bagian yang lebih rinci mencakup bagian Penyedia Jasa dan Sub Penyedia
Jasa, Pembiayaan, Standar Keselamatan Konstruksi, dan bagian Kegagalan
Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan yang didalamnya terdapat sub bagian
yang membicarakan tentang penilai ahli dan jangka waktu dan pertanggungjawaban
kegagalan bangunan. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi saat ini masih bersifat general sehingga kurang dapat
menjelaskan secara komprehensif hal-hal yang berkaitan dengan penyelengaraan
pekerjaan konstruksi.
134
Penyedia Jasa dan subpenyedia jasa dalam penyelenggaraan
Jasa Konstruksi harus sesuai dengan perjanjian dalam kontrak dan memenuhi
Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan. Dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi, Penyedia Jasa dilarang memberikan pekerjaan utama kepada
subpenyedia jasa kecuali kepada usaha Jasa Konstruksi yang bersifat spesialis.
Pemberian pekerjaan utama kepada subpenyedia jasa yang bersifat spesialis harus
mendapat persetujuan Pengguna Jasa. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi,
Penyedia Jasa dengan kualifikasi menengah dan/atau besar mengutamakan untuk
memberikan pekerjaan penunjang kepada subpenyedia jasa yang bersifat spesialis
dengan kualifikasi kecil.
Penyedia Jasa dan subpenyedia jasa wajib memenuhi hak dan
kewajiban sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi antara Penyedia
Jasa dan subpenyedia jasa. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa
dan/atau subpenyedia jasa wajib menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat
biaya, tepat mutu, dan tepat waktu sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi. Setiap orang yang tidak menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat
biaya, tepat mutu, dan tepat waktu dapat dikenai ganti kerugian sesuai dengan
kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
b. Pembiayaan
Dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pengguna Jasa wajib menjamin ketersediaan biaya
dan melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan Penyedia Jasa
secara tepat jumlah dan tepat waktu. Setiap orang yang tidak menjamin
ketersediaan biaya dan melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan
Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan tepat waktu dapat dikenai ganti kerugian
sesuai dengan kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dapat dibiayai oleh
pemerintah, swasta, dan/atau masyarakat sebagai Pengguna Jasa. Pengguna Jasa
harus memiliki kemampuan membayar dan
135
bertanggungjawab atas biaya layanan Jasa Konstruksi yang didukung
dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan
bukan bank. Bukti kemampuan membayar dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang
disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran biaya,
dan/atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi. Dalam
hal Pengguna Jasa adalah Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, pembuktian
kemampuan untuk membayar diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan
anggaran. Pengguna Jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
c. Standar Keamanan, Keselamatan,
dan Kesehatan
Dalam
setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa wajib
memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan,
dan
Kesehatan. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dan/atau
Pengguna Jasa dapat memberikan pengesahan atau persetujuan atas:
a. hasil pengkajian, perencanaan
dan/atau perancangan;
b. rencana teknis
proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan kembali;
c. dilaksanakannya
suatu proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan
kembali;
d. penggunaan material dan/atau
peralatan; dan/atau
e. diterimanya hasil layanan Jasa
Konstruksi.
Adapun
standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi meliputi:
a. standar mutu bahan;
b. standar mutu peralatan;
c. standar prosedur keamanan,
keselamatan, dan kesehatan kerja;
d. standar prosedur pelaksanaan
pekerjaan konstruksi;
e. standar mutu hasil pekerjaan
konstruksi;
136
g. pedoman
perlindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
h. standar
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Standar
Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan untuk setiap produk konstruksi diatur oleh
Menteri setelah berkoordinasi menteri teknis yang terkait. Dalam menyusun
Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan untuk setiap produk konstruksi,
Menteri memperhatikan kondisi geografis yang rawan gempa dan kenyamanan
lingkungan terbangun.
d. Kegagalan Pekerjaan Konstruksi
dan Kegagalan Bangunan
Dalam
hal penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak memenuhi Standar Keamanan,
Keselamatan, dan Kesehatan, Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dapat menjadi
pihak yang bertanggung jawab terhadap Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan/atau
Kegagalan Bangunan yang ditetapkan oleh penilai ahli ditetapkan oleh badan
sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi. Dalam melaksanakan tugas, penilai
ahli wajib bekerja dengan prinsip independen dan imparsial. Biaya penilai ahli
dalam pelaksanaan tugasnya dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja
negara
d.1. Penilai Ahli
Persyaratan penilai ahli:
a. memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja sekurang-kurangnya pada jenjang jabatan ahli di
bidang yang sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami Kegagalan
Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan;
b. memiliki pengalaman sebagai perencana, pelaksana, dan/atau
137
pengawas pada pekerjaan konstruksi sesuai dengan
klasifikasi produk bangunan yang mengalami Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau
Kegagalan Bangunan; dan
c. terdaftar di BSRJK sebagai
Penilai Ahli.
Adapun penilai ahli mempunyai tugas
antara lain:
a. menetapkan
tingkat kepatuhan terhadap standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. menetapkan
sebab-sebab terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan;
c. menetapkan
tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan bangunan;
d. menetapkan
pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan serta tingkat dan sifat
kesalahan yang dilakukan;
e. menetapkan
besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar oleh
pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan;
f. menetapkan jangka waktu pembayaran
kerugian;
g. menetapkan adanya indikasi awal
tindak pidana bidang konstruksi;
h. melaporkan
hasil penilaiannya kepada BSRJK dan instansi yang mengeluarkan izin membangun,
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah melaksanakan tugasnya; dan
i. memberikan
rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah dan/atau BSRJK dalam rangka pencegahan
terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan.
Dalam melaksanakan tugas, penilai
ahli berwenang untuk:
a. menghubungi
pihak-pihak terkait, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan;
b. memperoleh data yang diperlukan;
c. melakukan pengujian yang
diperlukan; dan
138
Penyedia
Jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan/atau
Kegagalan Bangunan yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa atas biaya sendiri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian Kegagalan Pekerjaan Konstruksi
dan/atau Kegagalan Bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
d.2. Jangka Waktu dan
Pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan
Penyedia
Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu yang
ditentukan sesuai dengan rencana umur konstruksi paling lama 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak penyerahan akhir layanan Jasa Konstruksi. Pengguna Jasa
bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi setelah jangka waktu
yang telah ditentukan yang harus dinyatakan dengan tegas dalam Kontrak Kerja
Konstruksi. Pengguna Jasa dan/atau pihak lain yang dirugikan akibat Kegagalan
Bangunan dapat melaporkan terjadinya suatu Kegagalan Bangunan kepada badan yang
dibentuk dalam Undang-Undang dan Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa wajib
memberikan ganti kerugian.
7.
Tenaga Kerja Konstruksi
Pengaturan mengenai tenaga kerja konstruksi pada Undang-
Undang tentang Jasa Konstruksi
tidak diatur dalam bab tersendiri.
Dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi diatur bahwa:
a. Perencana
konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat
keahlian.
b. Pelaksana
konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan
sertifikat keahlian kerja.
c. Orang
perseorangan yang dipekerjakan oleh Badan usaha sebagai perencana konstruksi
atau pengawas konstruksi atau tenaga
139
d. Tenaga kerja
yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi
harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.
Dalam konsep RUU, pengaturan
tenaga kerja konstruksi diatur
dalam
bab tersendiri. Tenaga kerja konstruksi dibedakan atas klasifikasi dan
kualifikasi. Secara klasifikasi tenaga kerja konstruksi terdiri atas
klasifikasi di bidang arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, tata
lingkungan, dan manajemen pelaksanaan. Sedangkan secara kualifikasi tenaga
kerja konstruksi terdiri atas jenjang jabatan operator, jabatan teknisi atau
analis, dan jabatan ahli.
Dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi diatur mengenai
pelatihan tenaga kerja konstruksi. Pelatihan tenaga kerja konstruksi
diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif, dan
efisien dalam rangka mencapai standar kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Pelatihan tenaga kerja
konstruksi juga dapat diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi, setiap tenaga
kerja yang bekerja di bidang konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi
kerja. Sertifikat kompetensi kerja tersebut diberikan kepada tenaga kerja
konstruksi yang telah memenuhi standar kompetensi kerja oleh lembaga sertifikasi
profesi bidang Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Lembaga sertifikasi profesi tersebut dapat dibentuk oleh
Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi atau oleh masyarakat Jasa
Konstruksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga sertifikasi
profesi melakukan registrasi Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan
kepada Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Lembaga sertifikasi
profesi wajib
140
mengikuti ketentuan pelaksanaan pemberian sertifikat
kompetensi kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Registrasi sertifikat kompetensi kerja harus dilakukan
melalui asosiasi profesi yang terakreditasi. Akreditasi terhadap asosiasi
profesi tersebut diberikan oleh Menteri kepada asosiasi profesi yang memenuhi
persyaratan:
a. jumlah dan sebaran anggota;
b. pemberdayaan kepada anggota;
c. pemilihan pengurus secara
demokratis;
d. sarana dan prasarana di tingkat
pusat dan daerah; dan
e. melakukan kewajiban
sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundangan-undangan.
Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, untuk mendapatkan
pengakuan pengalaman profesional, setiap tenaga kerja konstruksi pada
kualifikasi jenjang jabatan ahli harus melakukan registrasi kepada Badan
Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Registrasi tersebut dibuktikan dengan
tanda daftar pengalaman professional yang paling sedikit memuat:
a. jenis layanan profesional yang
diberikan;
b. nilai pekerjaan
konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional;
c.
tahun
pelaksanaan pekerjaan; dan
d. nama Pengguna Jasa;
Setiap tenaga kerja konstruksi yang memiliki sertifikat
kompetensi kerja berhak atas imbalan yang layak atas layanan jasa yang
diberikan. Imbalan yang layak tersebut bagi tenaga kerja konstruksi pada
jenjang jabatan operator dan jabatan teknisi atau analis mengacu pada upah
minimum yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan imbalan yang layak bagi tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan
ahli mengacu pada standar remunerasi minimal, yang ditetapkan oleh Menteri.
Untuk itu, setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang menggunakan
141
layanan profesional tenaga kerja konstruksi pada
kualifikasi jenjang jabatan ahli harus memperhatikan standar remunerasi ini.
Selanjutnya terkait dengan tenaga kerja konstruksi, diatur
mengenai tenaga kerja konstruksi asing. Tenaga kerja konstruksi asing yang
dapat melakukan Pekerjaan Konstruksi di Indonesia, hanya tenaga kerja
konstruksi asing pada jabatan ahli dan sesuai dengan kebutuhan sumber daya
manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi pembangunan nasional yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Tenaga kerja konstruksi asing tersebut harus memiliki surat
izin kerja tenaga ahli asing sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Untuk mendapat surat izin kerja itu tenaga kerja konstruksi
asing pada jabatan ahli harus memiliki surat tanda registrasi tenaga kerja
konstruksi asing pada jabatan ahli dari Badan Sertifikasi Registrasi Jasa
Konstruksi. Surat tanda registrasi tenaga kerja konstruksi asing itu diberikan
berdasarkan surat tanda registrasi atau sertifikat kompetensi tenaga kerja
konstruksi asing menurut hukum negaranya.
Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, tenaga kerja
konstruksi asing wajib melaksanakan alih pengetahuan dan/atau alih teknologi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan alih ilmu pengetahuan dan teknologi
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, tenaga
kerja konstruksi yang memberikan layanan Jasa Konstruksi harus bertanggung
jawab secara profesional terhadap hasil pekerjaannya. Tanggung jawab tersebut
dilaksanakan berdasarkan prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan,
kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap
mengutamakan kepentingan umum.
8.
Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi
Dalam rangka penyelenggaraan sebagian tugas pengembangan
Jasa Konstruksi dibentuk Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa
142
Konstruksi atau yang disingkat BSRJK oleh Menteri. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, BSRJK terlepas dari pengaruh kekuasaan dan
kepentingan golongan atau kelompok. Karena dibentuk oleh Menteri, maka BSRJK
bertanggung jawab kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya BSRJK
berkedudukan di ibukota Negara, dan dapat membentuk perwakilan di tingkat
Provinsi yang berkududukan di tingkat provinsi.
BSRJK terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dengan jumlah 5 (lima) orang anggota
yang diangkat oleh Menteri. Dalam mengangkat anggota BSRJK Menteri membentuk
panitia seleksi. Untuk dapat diangkat menjadi anggota BSRJK, seseorang harus
memenuhi paling sedikit persyaratan sebagai berikut:
a.
Warga
Negara Republik Indonesia;
b.
bertempat
tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia;
c.
berpengalaman dalam bidang konstruksi sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) tahun;
d.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan Putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
e.
tidak dalam rangkap jabatan sebagai pejabat struktural di
pemerintahan, jabatan struktural di Perguruan Tinggi, jabatan
struktural
perusahaan, dan jabatan struktural di dalam asosiasi profesi maupun asosiasi
badan usaha.
Calon anggota BSRJK dapat diusulkan oleh asosiasi badan
usaha yang terakreditasi, asosiasi profesi yang terakreditasi, institusi
Pengguna Jasa konstruksi yang memenuhi kriteria, dan/ atau perguruan tinggi
yang memenuhi kriteria. Masa keanggotaan BSRJK adalah 5 (lima) tahun, serta
berhenti atau diberhentikan oleh Menteri dalam hal mengundurkan diri, meninggal
dunia, berhalangan tetap atau tidak melaksanakan tugasnya sekurang-kurangnya
selama 6 (enam) bulan, terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan
143
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, merangkap jabatan
sebagai pejabat struktural di pemerintahan, jabatan struktural perusahaan, atau
pengurus asosiasi profesi, atau pengurus asosiasi perusahaan; dan/atau tidak
memenuhi persyaratan anggota BSRJK.
Tugas dan wewenang BSRJK meliputi:
a. menyelenggarakan sertifikasi dan
registrasi badan usaha;
b. menyelenggarakan registrasi
pengalaman usaha;
c. menyelenggarakan sertifikasi
penyetaraan badan usaha asing;
d. menyelenggarakan registrasi
penilai ahli;
e. menetapkan
penilai ahli yang terdaftar dalam hal terjadi Kegagalan Pekerjaan Konstruksi
atau Kegagalan Bangunan;
f. membentuk lembaga sertifikasi
profesi bidang Jasa Konstruksi;
g. menyelenggarakan registrasi
Sertifikat Kompetensi Kerja;
h. menyelenggarakan registrasi tenaga
kerja konstruksi asing;
i. menyelenggarakan registrasi
pengalaman profesional; dan
j. memberikan masukan
kepada Pemerintah dalam
merumuskan
kebijakan Jasa Konstruksi
nasional.
Dalam
melaksanakan tugas dan wewenang tersebut, BSRJK berkoordinasi dengan Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, BSRJK dibiayai
dengan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber lain yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Biaya yang diperoleh dari
masyarakat atas jasa layanan yang diberikan oleh BSRJK merupakan penerimaan
negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang BSRJK, dibentuk
sekretariat. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan dan keanggotaan, tugas
dan wewenang, panitia seleksi, pembiayaan, serta kesekretariatan BSRJK diatur
dengan Peraturan Menteri.
9.
Sistem Informasi Jasa Konstruksi
Dalam
rangka menyediakan data dan informasi yang akurat 144
dan terintegrasi dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi
dalam RUU diatur pembentukan suatu sistem informasi yang terintegrasi. Sistem
informasi yang terintegrasi dimaksud memuat data dan informasi yang berkaitan
dengan tugas pembinaan di bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dan tugas sertifikasi dan registrasi di bidang Jasa
Konstruksi yang dilakukan oleh BSRJK.
Sistem informasi jasa konstruksi tersebut dikelola oleh
Pemerintah Pusat bekerja sama dengan BSRJK. Untuk pembiayaan yang diperlukan
dalam pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi dibebankan kepada anggaran
pendapatan dan belanja negara.
10. Partisipasi Masyarakat
Dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi, masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan cara mengakses informasi dan
keterangan terkait dengan kegiatan kontruksi yang berdampak pada kepentingan
masyarakat, melakukan pengaduan, gugatan, dan upaya mendapatkan ganti rugi atau
kompensasi terhadap dampak yang ditimbulkan dari kegiatan Jasa Konstruksi, dan
membentuk asosiasi profesi dan asosiasi badan usaha di bidang Jasa Konstruksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain berpartisipasi
dalam pengawasan tersebut, masyarakat juga dapat memberikan masukan kepada
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah bagi perumusan kebijakan Jasa
Konstruksi.
Dalam
hal terdapat pengaduan masyarakat akan adanya dugaan pelanggaran dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi, proses pemeriksaan hukum terhadap Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa dilakukan dengan tidak mengganggu atau menghentikan
proses penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sedangkan untuk pengaduan masyarakat
terkait dengan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dibiayai oleh anggaran yang
bersumber dari keuangan negara, proses
145
pemeriksaan hukum dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
keuangan dari lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Namun demikian, pengaduan tersebut akan
dikecualikan dalam hal terjadi:
a. kerugian,
keamanan, keselamatan dan kesehatan masyarakat akibat Kegagalan Pekerjaan
Konstruksi dan/atau Kegagalan Bangunan; dan/atau
b.
tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi.
Selain penyelenggaraan partisipasi masyarakat, partisipasi
masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat Jasa Konstruksi melalui forum Jasa
Konstruksi.
11. Penyelesaian Sengketa
Dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi dimungkinkan adanya sengketa antara para pihak,
baik itu penyedia jasa, pengguna jasa, atau masyarakat. Apabaila terjadi
sengketa diatur mengenai penyelesaian sengketa para pihak. Prinsip dasar dalam
penyelesaian sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi adalah
musyawarah para pihak untuk mencapai suatu kemufakatan. Namun demikian, apabila
musyawarah para pihak tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak dapat
menempuh upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi, berupa mediasi, konsiliasi, dewan sengketa, arbitrase, dan/atau
pengadilan.
Pihak
yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan
gugatan ke pengadilan secara orang perseorangan, kelompok orang dengan
pemberian kuasa, atau kelompok orang tidak dengan pemberian kuasa melalui
gugatan perwakilan. Gugatan itu merupakan tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak
menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam
hal diketahui masyarakat dirugikan sebagai akibat penyelenggaraan Jasa
Konstruksi yang sekurang-kurangnya
146
mempengaruhi tata kehidupan sosial, ekonomi masyarakat,
dan lingkungan hidup, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib
berpihak dan bertindak untuk kepentingan masyarakat. Ketentuan mengenai ini
akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
12. Sanksi Administratif
Sanksi
administratif dikenakan terhadap pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi. Dalam RUU ini penentuan sanksi administratif disesuaikan
dengan norma yang mengatur kewajiban dan larangan dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi. Beberapa ketentuan sanksi administratif yang dimuat dalam
RUU antara lain:
1. Setiap usaha
orang perseorangan yang tidak memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian
sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c. denda.
2. Setiap badan
usaha dan badan usaha asing yang tidak memenuhi kewajiban memiliki Izin Usaha
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian
sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c. denda.
3. Setiap asosiasi
badan usaha yang tidak melakukan kewajiban akreditasi sebagaimana yang terlah
dipersyaratkan dalam Undang-undang ini, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan akreditasi;
c. pencabutan akreditasi; dan/atau
d. denda.
4. Setiap badan usaha asing atau usaha orang perseorangan asing
147
yang akan melakukan usaha Jasa Konstruksi tidak memenuhi
persyaratakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian
sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c. denda.
5. Setiap orang
yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi untuk pembangunan kepentingan umum
kepada Penyedia Jasa yang terafiliasi tanpa melalui pelelangan umum atau
pelelangan terbatas dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan
layanan Jasa Konstruksi;
c. pembekuan izin;
d. pencabutan izin; dan/atau
e. denda.
6. Setiap Penyedia
Jasa dan Pengguna Jasa yang tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, dan
Kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan
layanan Jasa Konstruksi;
c. pembekuan izin;
d. pencabutan izin; dan/atau
e. denda.
Sanksi administratif dikenakan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan dan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pidana
Ketentuan
pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran
terhadap ketentuan yang berisi norma
148
larangan atau perintah. Dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi ketentuan pidana hanya mengatur mengenai pengenaan pidana terhadap
norma secara umum tanpa mengacu pada norma larangan atau perintah di bab
sebelumnya.
Sedangkan
dalam RUU ini penentuan ketentuan pidana disesuaikan dengan norma yang mengatur
kewajiban dan larangan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Ketentuan
pidana yang dimuat dalam RUU yaitu mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan
penyelenggaran Jasa Konstruksi berupa pengesahan atau persetujuan atas:
a. hasil pengkajian, perencanaan
dan/atau perancangan;
b. rencana teknis
proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan kembali;
c. dilaksanakannya
suatu proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan
kembali;
d. penggunaan material dan/atau
peralatan; dan/atau
e. diterimanya hasil layanan Jasa
Konstruksi.
yang
tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan sehingga terjadi
Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan yang mengakibatkan, atau
berpotensi mengakibatkan, kerugian masyarakat dan/atau gangguan terhadap keselamatan
umum. Terhadap sanksi ketentuan pidana ini dikenai pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai
kontrak.
Selain
itu juga memuat ketentuan pidana mengenai penyedia jasa yang tidak mengganti
atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi dan/atau kegagalan bangunan
dikenai pidana penjara 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
14. Ketentuan Peralihan
Ketentuan
peralihan mengatur mengenai penyesuaian terhadap undang-undang yang sudah ada
pada saat undang-undang baru mulai
149
berlaku, agar undang-undang tersebut dapat dilaksanakan
dan tidak menimbulkan permasalahan hukum antara lain mengatur mengenai jangka
waktu penyesuaian setiap kegiatan, masa transisi pembentukan suatu badan atau
lembaga.
Pengaturan
masa transisi bahwa Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3833) tetap menjalankan tugas sampai dengan terbentuknya badan
serifikasi dan registrasi jasa konstruksi oleh Menteri berdasarkan
Undang-Undang ini.
15. Ketentuan Penutup
Bagian ini mengatur mengenai keberlakuan dari Rancangan
Undang-Undang ini, dimana ketika RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang dan
dinyatakan berlaku, maka:
a.
semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
b.
Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3833) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
badan sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini harus dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan. Sedang untuk peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
150
PENUTUP
A. Simpulan
Jasa konstruksi adalah sektor strategis dalam perjalanan
pembangunan bangsa. Posisi strategis tersebut dapat direpresentasikan oleh
besaran-besaran keterkaitan ke depan dan ke belakang dengan sektor-sektor lain.
Sektor konstruksi memberikan kontribusi sekitar 7-8% dari PDB, dan menyediakan
lapangan kerja bagi lebih dari 5% jumlah penduduk. Konstruksi sesungguhnya
dapat dikonsepsikan sebagai produk, proses, dan pelaku sehingga membentuk ”meso economic system” baik pada ranah cluster, sektor, industri, maupun jasa
yang akan berperan dalam membangun sosial ekonomi bangsa (construction driven socio-economic development). Pengembangan jasa konstruksi menjadi keniscayaan atas konteks globalisasi dan liberalisasi,
kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan otonomi daerah, kerusakan dan
bencana alam ditengah transformasi politik, budaya, ekonomi, dan birokrasi yang
sedang terjadi.
Evaluasi terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang
diamanahkan oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi menunjukkan keadaan yang
tidak menggembirakan. Kondisi jasa konstruksi nasional saat ini jauh dari
tujuan tersebut. Sebagian penyebab kondisi buruk pelaksanaan Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi ini adalah kelemahan implementasi dari seluruh stakeholders, namun terdapat beberapa
aspek pengaturan itu sendiri yang tidak mendukung pencapaian tujuan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dan perkembangan jasa konstruksi secara
umum.
Hal yang sangat relevan terhadap pengaturan ini adalah
adanya perbedaan konteks nasional di Tahun 2015 ini dibandingkan dengan pada
Tahun 1999 saat Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi diterbitkan. Pada konteks
saat ini terdapat isu desentralisasi pemerintahan yang mempengaruhi pembinaan
jasa konstruksi nasional. Di samping itu, perkembangan situasi pada tahun-tahun
belakangan ini terjadi konflik kepentingan dalam peran masyarakat jasa
konstruksi. Sistem kelembagaan LPJK yang sekarang berlaku selain menimbulkan
konflik kepentingan, juga
151
menjadikan ketidakjelasan tanggung jawab lembaga ini.
Lembaga ini diserahi tugas pengembangan jasa konstruksi yang sangat strategis,
namun sistem administrasi, keuangan, serta pertanggungjawabannya sangat minim
pengaturannya.
Dalam hal sertifikasi yang bersifat sebagai lisensi,
kewenangan publik diberikan kepada pihak yang tidak merepresentasikan institusi
publik. Sertifikasi yang oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan
suatu kewajiban (lisensi) adalah juga merupakan salah satu tugas LPJK (peran
masyarakat). Masyarakat jasa konstruksi diberi kewenangan untuk mengatur
lisensi dirinya sendiri yang tentunya menjadi sarat akan konflik kepentingan.
Salah satu kritik lainnya terhadap Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi adalah bahwa kurang tepat dalam memberikan kewenangan
pengaturan yang mandiri/independen kepada masyarakat jasa konstruksi yang
dinilai belum siap. Masyarakat jasa konstruksi yang profesional hingga saat ini
belum terbentuk secara luas, masih didominasi oleh tenaga ahli dan terampil
dengan kompetensi yang kurang kompetitif bahkan untuk memenuhi kebutuhan di
dalam negeri. Pelimpahan wewenang pengembangan jasa konstruksi kepada
masyarakat (lembaga) yang juga mencakup fungsi sertifikasi dan registrasi secara
utuh tidak selayaknya dilakukan, bahkan kepada masyarakat yang sudah
profesional sekalipun. Fungsi-fungsi yang berkaitan dengan keselamatan dan
kepentingan umum/publik tetap perlu dikendalikan oleh pemerintah. Hal ini tidak
terkait pada faktor kesiapan masyarakat, namun lebih merupakan konsep pembagian
kewenangan publik.
Berdasarkan pada pembahasan di bab-bab sebelumnya dan
berdasarkan literatur lainnya, telah dapat diidentifikasi 7 (tujuh) pokok
pengaturan yang perlu menjadi fokus atas revisi Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi, sebagai berikut:
1. Dalam konsep
RUU ini, diatur struktur usaha jasa konstruksi yang meliputi jenis, sifat,
klasifikasi, layanan usaha, bentuk, dan kualifikasi usaha. Untuk Jenis usaha
jasa konstruksi meliputi jasa konsultansi konstruksi, jasa pelaksana
konstruksi, dan jasa pelaksana konstruksi
152
terintegrasi. Sedangkan sifat usaha jasa konstruksi
didasarkan atas jenis usaha jasa konstruksi yang terbagi atas sifat usaha jasa
konstruksi umum dan spesialis. Untuk klasifikasi usaha jasa konstruksi
didasarkan pada klasifikasi produk konstruksi. Selanjutnya terkait dengan
bentuk usaha jasa konstruksi dibedakan pada usaha jasa konstruksi yang
berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum. Dan kualifikasi usaha jasa konstruksi hanya untuk
badan usaha yang terdiri atas kualifikasi usaha kecil, menengah, dan besar.
Selain itu, dalam konsep usaha jasa konstruksi juga diatur mengenai segmentasi
pasar, badan usaha asing dan usaha perseorangan asing, pengembangan usaha
berkelanjutan, dan persyaratan usaha yang mencakup tanda daftar usaha
perseorangan dan izin usaha, sertifikasi badan usaha, serta registrasi
pengalaman.
2. Pembinaan
sektor Jasa Konstruksi menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dan dapat melibatkan BSRJK. Bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan
antara lain yaitu pengembangan sumber daya manusia, pengembangan usaha jasa
konstruksi, pengembangan material dan teknologi konstruksi, pengembangan penyelenggaraan
jasa konstruksi, pengembangan standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan
konstruksi, serta pengembangan partisipasi masyarakat. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya juga melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
3. Pengaturan
mengenai pengikatan jasa konstruksi dikembalikan pada aturan hukum perdata, di
mana pengikatan merupakan ranah perdata yang memberikan kebebasan kepada para
pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Sehingga ketentuan mengenai
pengikatan antara para pihak berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan kecuali dinyatakan lain dalam undang-undang ini.
Pengecualian ini ditujukan untuk pengikatan jasa konstruksi yang menggunakan
keuangan negara yang harus melalui proses pelelangan dalam pemilihan penyedia
jasa. Ketentuan mengenai pelelangan
153
tersebut perlu diatur secara garis besar dalam RUU,
sedangkan teknis mekanisme, persyaratan, serta proses pemilihan dan
penetapannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
4. RUU ini dalam
mengatur penyelenggaraan jasa konstruksi semakin merinci secara umum
aspek-aspek yang terkait dengan penyedia jasa dan subpenyedia jasa, pembiayaan,
standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan konstruksi, serta bagian kegagalan
pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan yang didalamnya terdapat bagian
yang membicarakan tentang penilai ahli dan jangka waktu dan pertanggungjawaban
kegagalan bangunan. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam UU lama masih bersifat
general sehingga kurang dapat menjelaskan secara komprehensif hal-hal yang
berkaitan dengan penyelengaraan jasa konstruksi.
5. Dalam konsep
RUU, pengaturan mengenai tenaga kerja konstruksi diatur lebih terperinci.
Pemerintah bertanggung jawab atas pengembangan sumber daya manusia yang
bertujuan untuk mewujudkan tenaga kerja konstruksi yang profesional, kompeten,
disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas serta memenuhi standar
nasional dan internasional. Pengaturan tenaga kerja konstruksi didasarkan atas
klasifikasi yang terdiri atas bidang Arsitektur, Sipil, Mekanikal, Elektrikal,
Tata Lingkungan, dan Manajemen Pelaksanaan, serta kualifikasi sesuai dengan
penjenjangan dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yaitu jenjang
jabatan operator, jabatan teknisi atau analis, dan jabatan ahli. Selain itu,
dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi diatur pula mengenai pelatihan tenaga
kerja, sertifikasi kompetensi kerja, registrasi pengalaman profesional, standar
remunerasi, dan tenaga kerja konstruksi asing.
6. Dalam konsep
kelembagaan pada rancangan undang-undang ini dibentuk Badan Sertifikasi dan
Registrasi Jasa Konstruksi (BSRJK) yang akan menyelenggarakan sebagian tugas
pengembangan jasa konstruksi. BSRJK dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
Menteri di mana dalam mengangkat anggotanya Menteri harus membentuk panitia
seleksi. BSRJK bertugas dan berwenang antara lain yaitu
154
menyelenggarakan sertifikasi dan registrasi yang terkait
dengan penyelenggaraan jasa konstruksi, menetapkan penilai ahli, membentuk
lembaga sertifikasi profesi bidang jasa konstruksi, dan memberikan masukan
kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan jasa konstruksi nasional. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, BSRJK didukung oleh sekretariat dan terlepas
dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan golongan atau kelompok.
7. Dalam
undang-undang sebelumnya, terdapat ketentuan adanya kewajiban dari Pemerintah
untuk bertindak dan berpihak apabila diketahui masyarakat dirugikan sebagai
akibat penyelenggaraan jasa konstruksi yang mempengaruhi peri kehidupan pokok
masyarakat. Dalam konsep yang baru persyaratan mengenai kerugian masyarakat
sebagai akibat penyelenggaraan jasa konstruksi yang mempengaruhi peri kehidupan
pokok masyarakat sekurang-kurangnya harus mempengaruhi:
a. tata kehidupan sosial;
b. ekonomi masyarakat; dan
c. lingkungan hidup.
B.
Saran
Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi
berbagai aspek dalam sektor jasa konstruksi, maka RUU ini diharapkan memenuhi
kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat, serta lebih memberikan jaminan kepastian
hukum, khususnya kepada masyarakat jasa konstruksi dan masyarakat secara
keseluruhan.
155
Ashshofa, Burhan. (1998) Metode
Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Barrett, P. (2005) Revaluing Construction: A Global CIB
Agenda. Publication 305, International Council for Research and Innovation in
Building. Rotterdam, The Netherlands.
Bon, R (2000), Economic Structure and Maturity (Collected
Papers in Input-Output Modelling and Application, Ashgate Publishing Company,
UK.
Bon, R. (1988), Direct and indirect resource utilization
by the construction sector: the case of USA since World War II, Habitat
International, 12, 49-74.
Carassus, J (ed) (2004), The Construction Sector System
Approach: An International Framework, Report by CIB W055-W065 Construction
Industry Comparative Analysis, Project Group, CIB Publication.
Chou, C. dan O. Shy, (1991), Intraindustry trade and the
variety of home product,. Canadian Journal of Economics 24.
Egan, J. (1998), Rethinking Construction: The report of
the Construction Task Force to the Deputy Prime Minister, John Prescott, on the
scope for improving the quality and efficiency of UK construction. London:
Department of the Environment, Transport and the Regions.
Field, B and Ofori, G (1988), Construction and Economic
Development, Third World Planning Review.
Ganesan (1999), Employment, Technology and Construction
Development, Ashgate, UK.
Henriod, (1984), The Construction Industry Issues and
Strategis in Developing Countries, World Bank Publication, Geneva.
Hillebrandt, P.M, (1985), Analysis of the British
Construction Industry, MacMillan Publishers Ltd, UK.
Ive and Gruneberg (2000), The Economics of the Modern
Construction Sector, MacMillan, UK.
156
Kumaraswamy, M., Lizarralde, G.,
Ofori, G., Styles,P., and Suraji, A., (2007), Industry-Level Perspective of
Revaluing Construction: Focus On Developing Countries, CIB World Congress,
South Africa, 14-15 May.
Kwakye, A..A (1997), Construction Project Administration
in Practice, The Chartered Institute of Building, England.
Latham, M. (1994), Constructing the Team:
Final report of the government/industry review of procurement and contractual
arrangements in the UK construction industry. London: HMSO.
Lewis, T.M. (2008), Quantifying the GDP-Construction
Relationship, in Economics For The Modern Built Environment, Les Ruddock (Ed),
Taylor & Francis, London.
Moavenzadeh, F (1978), Construction in developing
countries. World Development, Vol. 6, No. 1, pp. 97-116.
Moffatt, Sebastian and Kohler, Niklaus (2008),
Conceptualizing the built environment as a social-ecological system, Building
Research & Information, 36:3, 248 – 268.
Ofori, G (1990), The Construction Industry, Aspects of Its
Economics and Management, Singapore University Press, National University of
Singapore.
Ofyer, N. (2002), Construction Defects Education in Construction
Management, ASC Proceedings of the 38th Annual Conference Virginia Polytechnic
Institute and State University - Blacksburg, Virginia April 11 – 13.
Parikesit, D., Suraji, A., Purwoto, H. (2005), Sektor
Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Ke Depan, Paper Presented in the
National Conference in Civil Engineering, Atmajaya University, Yogyakarta 11-12
Mei.
Parikesit, D., Suraji, A., Wachid, L., and Kurniawati.,
(2005), The competence of the Indonesian Construction Industry: Quo Vadis, the
157
Rabeneck, Andrew (2008), A sketch-plan for
construction of built environment theory, Building Research & Information,
36:3.
Ruddock, L & Ruddock, S (2008), The Scope of The
Construction Sector: Determining Its Value, in in Economics For The Modern
Built Environment, Les Ruddock (Ed), Taylor & Francis, London.
Soemitro, Ronny Hanitijo. (1983),
Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Soejono
dan Abdurrahman. (2003), Metode Penelitian Hukum. Cetakan kedua. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suparto, H.G (2006), Industri
Konstruksi Indonesia, dalam Konstruksi:
Industri, Pengelolaan dan
Rekayasa, KK MRK ITB, Penerbit ITB.
Suraji, A (2006), Indonesian Construction: Stakeholder Perspective,
Proceeding ICCI, Jakarta 8-9 November.
Suraji, A (2006), Indonesian Construction: Where to Go,
Paper Presented at the National Seminar for the Construction Services
Development Board, Jakarta Agustus.
Suraji, A (2006), Makalah Kebijakan Tranformasi
Konstruksi, Prosiding Forum KAKI Yogyakarta, Bandung & Jakarta, BPKSDM
Departemen Pekerjaan Umum.
Suraji, A (2008), Transformasi Konstruksi Indonesia,
Makalah Kuliah Umum, Program Magister Studi Pembangunan, Insitut Teknologi
Bandung.
Suraji, A (Eds) (2007), Konstruksi Indonesia 2030: Kenyamanan Lingkungan
Terbangun: Menciptakan Nilai Tambah Secara Berkelanjutan Dengan Sinergi,
Profesionalisme dan Dayasaing, LPJKN, Jakarta.
158
Suraji, A., & Wirahadikusumah,
R.D., (2007), Optimasi Peran dan Fungsi LPJK: Menuju Konstruksi Indonesia
Kokoh, Handal dan Berdayasaing, Makalah Diskusi, BPKSDM Departemen PU, 21 Juni.
Suraji, A., Parikesit, D., & Mulyono, A.T. (2004),
Readiness Assessment of the Indonesian Construction Industry for Global Trade
in Services: the Indonesian Experiences, Proceedings of the International
Conference on Globalisation Construction, 17-19 Nov, Bangkok.)
Turin, D A (1973), The Construction Industry: Its Economic
Significance and its Role in Development, UCERG, London.
Usman, S (2008), Pendekatan Pembangunan
Infrastruktur Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Prosiding Diskusi Panel
Pembangunan Infrastruktur Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Kementeriaan
Koordinator Bidang Perekonomian, Yogyakarta 4 Desember.
Wells, J
(1986), The Construction
Industry in Developing
Countries:
Alternative Strategies for
Development, Croom Helm Ltd, London.
World Bank, (1984), Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A
Framework for Policy and Action. The World Bank East Asia Infrastructure
Department and Indonesia Country Programme, Jakarta, Indonesia.
159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar