BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor
jasa konstruksi adalah salah satu sektor strategis dalam mendukung tercapainya
pembangunan nasional. Posisi strategis tersebut dapat dilihat dari adanya
keterkaitan dengan sektor lain. Jasa konstruksi sesungguhnya merupakan bagian
penting dari terbentuknya produk konstruksi, karena jasa konstruksi menjadi
arena pertemuan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Pada wilayah
penyedia jasa juga bertemu sejumlah faktor penting yang mempengaruhi
perkembangan sektor konstruksi seperti pelaku usaha, pekerjanya dan rantai
pasok yang menentukan keberhasilan dari proses penyediaan layanan jasa
konstruksi, yang menggerakkan pertumbuhan sosial ekonomi.
Oleh
karena itu, pengembangan jasa konstruksi menjadi agenda publik yang penting dan
strategis bila melihat perkembangan yang terjadi secara cepat dalam konteks
globalisasi dan liberalisasi, kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan
otonomi daerah, serta kerusakan dan bencana alam. Selain itu, perkembangan jasa
konstruksi juga tidak bisa dilepaskan dari konteks proses transformasi politik,
budaya, ekonomi, dan birokrasi yang sedang terjadi. Saat ini pengembangan jasa
konstruksi dihadapkan pada masalah domestik berupa dinamika penguatan
masyarakat sipil sebagai bagian dari proses transisi demokrasi di tingkat
daerah dan nasional serta berkembangnya beragam model transaksi dan hubungan
antara penyedia dengan pengguna jasa konstruksi dalam lingkup pemerintah dan
swasta.
Sejumlah
tantangan tersebut membutuhkan upaya penataan dan penguatan kembali pengaturan
kelembagaan dan pengelolaan sektor jasa konstruksi, untuk menjamin sektor
konstruksi Indonesia dapat tumbuh, berkembang, memiliki nilai tambah yang
meningkat secara berkelanjutan, profesionalisme dan daya saing. Salah satu
upaya tersebut ditempuh dengan mengevaluasi pelaksanaan dan perbaikan terhadap
Undang-
1
Undang
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (untuk selanjutnya disebut
“Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi”) yang telah berlaku selama 15 (lima
belas) tahun. Evaluasi dan perbaikan tersebut ditujukan untuk menjawab sejumlah
persoalan saat ini dan ke depan.
Pada
prinsipnya, Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengatur jenis, bentuk, dan
bidang usaha jasa konstruksi, pengikatan kontrak, tanggungjawab penyedia dan
pengguna jasa, penataan partisipasi masyarakat jasa konstruksi, kegagalan
bangunan, peran masyarakat jasa konstruksi, pembinaan, penyelesaian sengketa
dan ketentuan pidana.
Secara
kontekstual akibat perubahan yang terjadi di tingkat masyarakat dan iklim
usaha, beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi perlu
memperhatikan perkembangan usaha jasa konstuksi di tingkat global. Salah
satunya terkait dengan aspek pembagian bidang usaha, dimana Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi membagi bidang usaha ke dalam Arsitek, Sipil,
Mekanikal, Elektrikal, dan Tata Lingkungan (ASMET). Pada tingkat global sesuai
dengan standar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) usaha jasa konstruksi dibagi
berdasarkan Central Product Classification (CPC). CPC menganut
bidang usaha berdasarkan produk bukan
ilmu yang dikembangkan di perguruan tinggi yang lebih cocok untuk pembagian
dunia profesi.
Selain
itu, Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum menyentuh kenyataan bahwa
jenis pekerjaan atau usaha jasa konstruksi bukan hanya perencanaan,
penyelenggaraan, dan pengawasan, tetapi sudah berkembang berdasarkan product life cycle. Hal tersebut bukan
hanya sekedar konsep tetapi sudah berkembang menjadi realitas dari pasar
konstruksi.
Dari
sisi penataan kelembagaan pengembangan jasa konstruksi yang menempatkan proses
sertifikasi sebagai instrumen mengontrol kualitas pelayanan penyedia jasa
konstruksi memerlukan penyesuaian terkait dengan aspek pengembangan prosedur,
terutama dalam memperjelas kualitas akuntabilitas dan pembagian peran diantara
para pemangku kepentingan di jasa konstruksi. Prosedur yang perlu ditata
kembali terkait dengan prosedur registrasi, sertifikasi ataupun akreditasi yang
mulai
2
Peningkatan
jumlah peristiwa kegagalan bangunan atau konstruksi akhir-akhir ini baik
diakibatkan oleh kesalahan proses maupun keadaan di luar kekuasaan manusia
antara lain bencana alam, menyisakan persoalan terkait dengan kualitas dan
tanggung jawab penyedia dan penggunanya. Aspek ini perlu dipertegas terkait
dengan tanggung jawab, serta proses pengawasan dan penilaian, pada saat proses
penyelenggaraan konstruksi berlangsung ataupun saat ditemukan atau terjadi
kegagalan konstruksi atau bangunan baik yang berakibat pidana maupun tidak.
Aspek ini pengaturannya harus memberikan jaminan kepastian hukum.
Dari
sisi eksternal saat pembentukan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, tekanan
liberalisasi perdagangan mempengaruhi aspek pengaturan terhadap pelaku jasa
konstruksi asing. Hal tersebut terlihat dari belum cukupnya aturan yang
mengatur mengenai keberadaan perusahaan konstruksi dan tenaga kerja asing yang
mengerjakan pekerjaan konstruksi di Indonesia. Hal ini tentunya harus menjadi
perhatian bersama untuk menata kembali tata niaga jasa konstruksi, terutama
pengaturan mengenai pasar yang bisa diakses oleh pelaku jasa konstruksi asing
serta tenaga kerja yang terlibat.
Aspek
penting lainnya dari pengembangan jasa konstruksi yang belum cukup ditekankan dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini adalah keberadaan pengetahuan dan
teknologi, sumber daya manusia, dan penjaminan akuntabilitas publik karena
produk konstruksi sebagian besar terkait langsung dengan kepentingan publik.
Berdasarkan
permasalahan di atas maka perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Meskipun dalam daftar Prolegnas Rancangan
Undang-Undang (RUU) prioritas Tahun 2012 dengan judul RUU tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, namun dari sisi
perancangan peraturan perundang-undangan, perubahan Undang-Undang ini cenderung
ke arah penggantian. Hal ini dengan mempertimbangkan besarnya substansi
perubahan yang terjadi serta sudah tidak sesuainya
3
Undang-undang
tentang Jasa Konstruksi yang lama dengan tata cara perancangan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam
lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 angka 237 disebutkan bahwa: ”Jika
suatu Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:
a.
sistematika Peraturan
Perundang-undangan berubah;
b. materi Peraturan
Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c.
esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang
diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan
Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.”
Berdasarkan
ketentuan tersebut maka penyusunan RUU perubahan ini diarahkan guna
menggantikan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang lama dengan format
undang-undang baru sebagai pengganti undang-undang lama.
B. Identifikasi Masalah
Pengaturan
jasa konstruksi selama lebih dari kurun waktu 15 (lima belas) tahun belum
sepenuhnya berjalan dengan baik dalam pembangunan sektor konstruksi yang kokoh,
terutama dalam menghadapi persaingan global. Hal tersebut dapat dilihat dari
persoalan yang muncul akibat dari implementasi Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi ini. Pertama, pemahaman
yang belum sama di antara para pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap konsepsi demokratisasi industri konstruksi. Kedua, interpretasi yang berbeda
terhadap peran pemerintah, peran masyarakat dalam bentuk lembaga pengembangan
jasa konstruksi dan forum jasa konstruksi (seperti Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi/LPJK dan Forum Jasa Konstruksi Nasional/FJKN) dan peran institusi
masyarakat (asosiasi, badan sertifikasi, institusi diklat). Ketiga, rumusan yang kurang
efektif mengenai ketentuan bidang/sub-bidang usaha,
4
klasifikasi/kualifikasi
badan usaha dan tenaga kerja. Keempat,
kewenangan dan proses akreditasi dan sertifikasi yang diwarnai oleh konflik
kepentingan.
Berpijak
pada latar belakang tersebut maka beberapa permasalahan yang akan dimuat dalam
Naskah Akademik ini adalah:
1. Apa yang menjadi isu pokok perlu
diubahnya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi?
2. Apa sajakah ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Jasa Konstruksi dan sejauh mana
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dapat menyelesaikan
permasalahan yang menjadi isu pokok perubahan Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi?
3. Apa yang menjadi landasan
filosofis, sosiologis, dan yuridis perubahan Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi?
4. Bagaimanakah jangkauan, arah
pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi?
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan
Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas,
maka
tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai
berikut:
1. Menganalisis permasalahan yang
menjadi isu pokok perlu diubahnya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.
2. Menguraikan dan menganalisis
ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Jasa Konstruksi.
3. Menguraikan landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Jasa Konstruksi.
4.
Merumuskan jangkauan, arah
pengaturan, dan ruang lingkup materi
muatan RUU tentang Jasa Konstruksi.
Sementara
itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai acuan atau
referensi dalam menyusun dan membahas RUU tentang Jasa Konstruksi yang akan
menjadi salah satu RUU dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019. Perubahan
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini akan menjadi landasan hukum yang
mampu menjawab
5
D. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah
penelitian yuridis normatif, dengan sifat penelitian deskriptif. Penelitian
yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan
meneliti data sekunder (Soemitro, 1983). Penelitian dilakukan dengan meneliti
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan dan
literatur terkait.
2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Penelitian
yuridis normatif ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang dimaksud
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum
tersier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena
dikeluarkan oleh pemerintah atau negara, meliputi antara lain, peraturan
perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang
isinya membahas bahan hukum primer, seperti: buku-buku, artikel, laporan
penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya, termasuk yang dapat
diakses melalui internet. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang bersifat
menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, buku pegangan,
almanak dan sebagainya, yang semuanya dapat disebut bahan referensi atau bahan
acuan atau rujukan (Ashshofa, 1998).
Untuk
mendukung data sekunder, dilakukan wawancara dengan menggunakan panduan
wawancara, dengan beberapa narasumber dan stakeholders
yang terkait dengan jasa konstruksi.
3. Teknik Penyajian dan Analisis Data
Hasil
penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif. Analitis
deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan
analisis berdasarkan hukum positif maupun teori-teori yang ada. Analisis
deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada. Pelaksanaan metode
deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai
6
pada
tahap pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan
interpretasi tentang arti data itu sendiri (Soejono dan Abdurrahman, 2003).
Sedangkan sifat preskriptif, bahwa penelitian mengemukakan rumusan regulasi
yang diharapkan untuk menjadi alternatif penyempurnaan norma-norma serta sistem
pengaturannya di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar