BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,
DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Pancasila
sebagai dasar negara menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia adalah pernyataan eksplisit dari filosofi bangsa Indonesia dalam
mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat adil dan makmur serta
sejahtera adalah cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan itu, Pasal 28D ayat (1)
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan ayat
(2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, Pasal 33 ayat (1) menyatakan
bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
Cita-cita
luhur tersebut selanjutnya di derivasi menjadi landasan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (2005 – 2025) sebagaimana dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional tahun 2005-2025. Berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang
tersebut, Bangsa Indonesia bertekad mewujudkan Visi Indonesia: Indonesia Yang
Mandiri, Maju, Adil Dan Makmur. Dalam rangka menggapai visi ini, Bangsa
Indonesia memiliki 8 (delapan) misi adalah (1) mewujudkan masyarakat berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila; (2) mewujudkan bangsa yang berdaya saing; (3) mewujudkan masyarakat
demokratis berlandaskan hukum; (4) mewujudkan Indonesia aman, damai, dan
bersatu; (5) mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (6) mewujudkan
Indonesia asri dan lestari; (7) mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan
yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; (8)
105
Dalam
konteks mewujudkan visi dan misi pembangunan Indonesia tersebut maka dalam
proses implementasinya akan selalu bersinggungan dengan aktifitas penyediaan
dan pengelolaan aset bangunan fisik baik dalam bentuk infrastruktur dasar,
seperti jaringan jalan, perumahan, permukiman, sanitasi maupun gedung-gedung
serta bangunan industri. Kegiatan penyediaan dan pengeloaan aset bangunan fisik
ini akan menggerakan aktifitas ekonomi yang digerakkan oleh aktivitas jasa
konstruksi. Hasil dari aktivitas tersebut akan menghasilkan produk bangunan
seperti infrastruktur yang menjadi salah satu indikator utama daya saing
bangsa. Disamping itu, hasil akhir dari rangkain kegiatan jasa konstruksi akan
membentuk lingkungan terbangun (built
environment) dalam suatu ekosistem yang secara langsung akan merefleksikan
perwujudan Indonesia yang asri dan lestari.
Produk
konstruksi yang dikenal di mancanegara, seperti Candi Borobudur, Jembatan
Golden Gate, Tembok Besar China, Monumen Nasional, Istana-Istana Kerajaan, Burj
Al Arab, Palm Resort, Arsitektur Bangunan Gedung dan Perumahan di Kawasan
Perkotaan dan Perdesaan telah diyakini sebagai refleksi dari peradaban dan
kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu, berbicara “konstruksi” tidak hanya
terkait dengan aktifitas ekonomi semata, tetapi juga peradaban dan kebudayaan
bangsa. Dengan demikian, pengaturan terhadap pengelolaan sektor konstruksi
memiliki jangkauan jauh lebih tinggi dari dimensi “usaha jasa” semata, tetapi
“usaha” mewujudkan citra tinggi peradaban dan kebudayaan suatu bangsa.
B. Landasan Sosiologis
Konstruksi
merupakan kegiatan masyarakat dalam mewujudkan produk bangunan fisik beserta
fungsi layanannya yang akan berfungsi sebagai pendukung atau prasarana
aktifitas sosial ekonomi masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok atau
komunitas. Oleh karena itu, konstruksi baik aktifitas maupun produknya memiliki
dimensi sosial-
106
ekonomi
yang tinggi. Dalam hal ini, konstruksi dapat dijadikan sebagai penggerak
pembangunan sosial-ekonomi (construction
driven socio-economic development).
Disisi lain, produk konstruksi tersebut akan menjadi social overhead capital masyarakat.
Kenyataan
empirik alamiah menunjukkan bahwa aktifitas konstruksi tidak hanya melibatkan
relasi bisnis dari penyedia jasa konstruksi dan pengguna jasa semata, tetapi
selalu membutuhkan interaksi berbagai latar belakang kelompok profesi atau
usaha masyarakat, seperti pendana, perencana arsitektur dan keteknikan (engineering), penyedia material,
pelaksana (kontraktor), tenaga kerja, penyedia peralatan, pabrikan dan pemakai
serta pemanfaat dari hasil konstruksi. Rangkaian kegiatan oleh kelompok profesi
dan usaha masyarakat tersebut akan membentuk struktur jaringan rantai suplai
barang dan jasa yang menghasilkan suatu produk akhir yaitu bangunan, misal
gedung, rumah, jalan, jembatan, bendung, jaringan pipa dan lain sebagainya
dengan standar-standar yang telah ditetapkan.
Interaksi
masyarakat dalam kerangka hubungan kelompok profesi dan usaha yang saat ini
terfragmentasi dan terstratafikasi tersebut tentu saja membutuhkan sistem hukum
yang kuat untuk menjamin keadilan atas hak dan kewajiban dalam menyelenggarakan
aktifitas konstruksi. Masyarakat membeutuhkan sistem hukum yang dapat
memberikan jaminan kepastian (certainty),
keamanan (security) dan keselamatan (safety). Doyle & Stern (2006)
menjelaskan struktur pemangku kepentingan (stakeholder) konstruksi dan
kebutuhannya sesungguhnya berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, sistem hukum
pengelolaan aktifitas konstruksi akan memberi kepastian pemenuhan kebutuhan
setiap pihak kelompok profesi dan usaha masyarakat melalui ketertiban baik pada
ranah usaha, penyelenggaraan maupun pemanfaatan produk konstruksi. Dengan
demikian, prinsip-prinsip modalitas interaksi sosial masyarakat seperti saling
bekerjasama (networking) yang
sinergis (synergy) dalam suatu
bingkai saling percaya (trust) harus
menjadi dasar sosiologis dalam pengaturan sektor konstruksi.
107
Sektor
konstruksi dari sisi ekonomi merupakan salah satu sektor andalan yang menggerakkan
perekonomian di masa pemulihan ekonomi, terutama karena sektor ini telah
menyerap tenaga kerja yang banyak. Sektor ini juga mampu memberikan stimulus
melalui efek pengganda (multiplier effect),
khususnya pembangunan infrastruktur, bagi pengembangan sektor-sektor lainnya.
Pentingnya sektor konstruksi bagi ekonomi nasional dapat dilihat dari beberapa
indikator berikut (Hillebrandt, 1988; World Bank, 1984). Produk Domestik Bruto
(PDB). Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt, 1985) mengindikasikan bahwa
kontribusi industri konstruksi terhadap PDB berkisar antara 3-10%, umumnya akan
lebih rendah di negara berkembang dan lebih tinggi di negara maju. Menurut Bank
Dunia (1984), di negara-negara berkembang, sektor konstruksi berkontribusi 3-8%
terhadap PDB, kontribusi terhadap investasi, yang diukur dari pembentukan aset
tetap (fixed capital formation), dan jumlah penyerapan tenaga kerja.
Sektor
konstruksi Indonesia telah tumbuh sejak awal tahun 1970an. Data dari Biro Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB meningkat
dari 3.9% di tahun 1973 menjadi di atas 8% di tahun 1997. Pada tahun 1998
kontribusi sektor konstruksi nasional terhadap PDB mengalami penurunan dan
berlanjut sampai tahun 2002 hingga menjadi sekitar 6%. Mulai tahun 2003,
kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB mulai menunjukkan tren yang membaik.
Data tahun 2005 menunjukkan sektor konstruksi terhadap PDB meningkat kembali
menjadi 6.35%.
Sektor
konstruksi berkontribusi 60% dari pembentukan aset tetap. Pada sektor tenaga
kerja, sektor konstruksi berkontribusi sekitar 10% dari total tenaga kerja
nasional. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruki dari awal
tahun 1970-an hingga 1997 di atas pertumbuhan tenaga kerja nasional. Setelah
periode krisis ekomoni. Penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruksi telah
menunjukkan peningkatan, sejalan dengan mulai meningkatnya kembali kontribusi
sektor konstruksi terhadap PDB. Dari 105,8 juta penduduk yang bekerja pada
108
tahun
2005, 44,02% bekerja di sektor pertanian, 12,2% di sektor manufaktur dan 4,6%
di sektor konstruksi.
Sebagian
besar dari output industri konstruksi adalah barang investasi (Hillebrandt,
1988; Raftery, 1991; Wells, 1986; World Bank, 1984) yang diperlukan untuk
memproduksi barang, jasa atau fasilitas seperti (1) fasilitas untuk produksi
lebih lanjut, seperti bangunan pabrik, (2) pembangunan atau peningkatan
infrastruktur ekonomi, seperti jalan raya, pelabuhan, jalan kereta, dan (3)
investasi sosial, seperti rumah sakit, sekolah. Oleh karena itu, permintaan
terhadap output industri konstruksi sangat berfluktuasi. Investasi dapat
ditunda atau dipercepat, tergantung dari kondisi ekonomi dan kebijakan
pemerintah. Dalam kondisi depresi ekonomi yang dialami Indonesia mulai
pertengahan tahun 1997, industri konstruksi mengalami dampak yang paling besar.
Setelah menikmati pertumbuhan sebesar 12.8% di tahun 1996, industri konstruksi
tumbuh hanya sebesar 6.4% di tahun 1997, dan bahkan mengalami kontraksi hampir
40% di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 1998).
Tabel
input-output BPS (1994) mengindikasikan industri konstruksi memiliki indeks
penyebaran 1.24 dan indeks sensitifitas 1.23. Indeks penyebaran menunjukkan
keterkaitan kebelakang (backward linkaged),
yaitu kesempatan untuk menciptakan investasi bagi sektor lain disebabkan oleh
permintaan pada salah satu sektor ekonomi. Indeks sensitifitas mengukur
keterkaitan kedepan, yang menunjukkan penyediaan input oleh salah satu sektor
ekonomi bagi sektor ekonomi lainnya. Indeks di atas 1.0 menunjukkan stimulus di
atas rata-rata, yang berarti sektor konstruksi dapat mendorong pertumbuhan bagi
sektor ekonomi lainnya.
Berdasarkan
berbagai indikator, ekonomi Indonesia terus berkembang antara 2000-2004 sejak
krisis berkepanjangan 1997 yang mempengaruhi setiap sektor, namun masih banyak
faktor dalam negeri dan global yang perlu diperhatikan agar pertumbuhan dapat
mencapai sasaran pembangunan yang diinginkan. Menurut BPS, Juni 2004 Produk
Domestik Bruto (PDP) atas Harga Konstan tahun 2000 mengalami pertumbuhan 6.17%
diatas tahun sebelumnya sebesar 5.8%. Perkembangan ekonomi yang sebelumnya
terbukti cukup fleksibel terhadap berbagai pengaruh
109
guncangan
ekonomi global kini perlu lebih memperhatikan pengembangan pada faktor
fundamental yang dapat menjadi risiko utama terhadap kinerja pertumbuhan yang
berkelanjutan namun menguntungkan, produktif dan pada akhirnya kompetitif bagi
para usaha publik maupun swasta dan sektor industri dalam negeri serta luar
negeri di era globalisasi (Porter, 1998). Indikasi manajemen faktor fundamental
ekonomi pada masa krisis lalu secara prudent terbukti sangat bermanfaat dalam
pengendalian berbagai ketidak-pastian berlaku sehingga tiba saatnya untuk
menyediakan dasar bagi pembangunan di sektor strategis yang berbasis Construction Driven Economic Development (Abidin, 2005) sehingga dapat
memanfaatkan dan menimbulkan berbagai
pertumbuhan tambahan internal-externalities dari sektor konstruksi yang kini
siap berkembang dengan potensi dari hasil pertumbuhan 8.17% pada tahun
2003-2004.
Globalisasi
ekonomi dan keuangan dunia juga mendorong tuntutan kerja sama regional dan
global yang semakin meningkat, melalui skema-skema liberalisasi perdagangan
jasa konstruksi seperti GATS-WTO dan AFAS-ASEAN sehingga perlu dilakukan
pembenahan terkait penataan kelembagaan dan pengembangan terhadap usaha, tenaga
kerja, dan iklim usaha jasa konstruksi secara menyeluruh. Tantangan yang paling
signifikan dan harus segera dihadapi adalah masyarakat ekonomi ASEAN yang akan
diberlakukan pada awal tahun 2016. Oleh karena itu, kebijakan pembinaan tenaga
kerja konstruksi nasional harus diarahkan untuk meningkatan profesionalitas
sumber daya manusia konstruksi Indonesia yang ditandai dengan pemberlakuan
sertifikasi kompetensi kerja. Selain itu, pemerintah juga perlu menfasilitasi
dan mendorong asosiasi profesi dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi
dalam menetapkan bakuan kompetensi, penyelenggaraan konvensi, dan proses
sertifikasi tenaga ahli dan terampil sektor konstruksi.
C. Landasan Yuridis
Usulan
perubahan terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan salah satu
usulan dari program legislasi nasional (Prolegnas) pada periode keanggotaan
2010-2014. Perubahan terhadap
110
Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi tersebut beberapa kali menjadi prioritas prolegnas
tahunan. Pada tahun 2014, Rancangan Undang-Undang ini telah memasuki tahapan
harmonisasi namun belum dapat diselesaikan sesuai target sampai berakhirnya
masa keanggotaan 2010-2014. pada periode 2015-2019 Rancangan Undang-Undang ini
direncanakan masuk dalam program legislasi nasional. Selain itu kurang
memadainya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dalam menjawab tuntutan
perubahan praktek bisnis, iklim usaha dan penataan kelembagaan di bidang jasa
konstruksi menuntut adanya perubahan atau perbaikan atas Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi. Hal ini sejalan dengan berubahnya iklim usaha yang terkait
dengan perkembangan kebijakan perdagangan bebas, demikian juga dalam aspek
kelembagaan terkait dengan perkembangan politik dan sosial masyarakat khususnya
pada masyarakat jasa konstruksi.
Jasa
konstruksi merupakan suatu kegiatan ekonomi yang memiliki peran penting dalam
meningkatkan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Undang-Undang
Dasar 1945 Bab XIV Perubahan Keempat tentang Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 Ayat (4) menyatakan bahwa“ perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Selanjutnya,
Pasal 33 Ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. Sebagai suatu sektor
ekonomi, penyelenggaraan konstruksi harus dijamin berdasarkan prinsip-prinsip
pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 ini.
Pemerintah
Indonesia telah menganut prinsip demokratisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Pada masa-masa awal kemerdekaan sampai tahun 60an, pemerintah bertindak sebagai
agen regulator sekaligus operator khususnya melalui perusahaan negara dalam
kegiatan konstruksi untuk menyediakan infrastruktur. Selanjutnya, sejak tahun
70an, pemerintah telah membuka ruang keterlibatan pihak swasta untuk
berpartisipasi dalam kegiatan konstruksi bagi pembangunan infrastruktur,
111
khususnya
bagi konsultan arsitektur dan rekayasa serta kontraktor dan bahkan pemerintah
memberi peluang lebih besar bagi swasta sebagai developer untuk pembangunan
real estate atau perumahan permukiman termasuk gedung-gedung properti.
Selanjutnya,
pasca 1999 Pemerintah telah membuka partisipasi swasta lebih luas menjadi
investor tidak hanya untuk penyediaan properti dan perumahan, tetapi juga
infrastruktur publik lainnya. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur telah
membuka kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur. Dengan
demikian, sistem hukum pengelolaan sektor konstruksi telah mengalami perubahan
tidak hanya terkait dengan penyediaan jasa konsultansi dan kontraktor, tetapi
juga termasuk investasi. Perdebatan tentang permasalahan tender investasi
apakah sudah termasuk tender konstruksi bagi proses penyelenggaraan proyek
konstruksi tidak bisa diselesaikan dengan konvergensi sistem hukum pengelolaan
sektor konstruksi yang ada.
Disamping
hal tersebut di atas, pengelolaan sektor konstruksi di Indonesia selama ini
dipersepsikan secara sempit sebagai bidang kerja kementeri pekerjaan umum
padahal sektor jasa konstruksi juga terkait langsung dengan sektor-sektor
lainnya seperti perumahan, energi dan pertambangan, keuangan, dalam negeri,
ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi, dan/atau lingkungan hidup.
Kebijakan
politik pemerintah melalui desentralisasi dan otonomi daerah juga memiliki
implikasi terhadap pengelolaan sektor konstruksi di daerah. Pemerintah daerah
melalui peraturan daerah akan berpeluang mengembangkan sistem hukum pengelolaan
sektor konstruksi berbasis kepentingan daerah. Kehadiran daerah-daerah dengan APBD
besar akan memicu pertumbuhan pasar konstruksi semakin tinggi akibat investasi
pemerintah daerah untuk penyediaan infrastruktur dan bangunan-bangunan lainnya.
Hal ini juga akan memacu pertumbuhan aktifitas bisnis konstruksi masyarakat di
daerah yang bersangkutan. Disamping itu, kebijakan FDI (Foreign Direct Investment) di era otonomi daerah juga dapat
112
mendorong
pertumbuhan aktifitas sektor konstruksi sebagai dampak kehadiran investasi luar
negeri tersebut.
Keterbukaan
politik partisipasi dan demokratisasi telah melanda Indonesia sejak tahun 1999.
Partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sektor konstruksi juga telah secara
eksplisit diatur dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi melalui diktum
peran masyarakat. Peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan
otoritarian oleh pemerintah tidak terjadi dalam pengelolaan sektor konstruksi.
Namun demikian, ruang partisipasi masyarakat harus diatur sedemikian rupa
sehingga menjadi lebih produktif dan menjamin terwujudnya tatakelola yang baik
(good governance) serta menghindari
pertentangan kepentingan di antara masyarakat sendiri. Dalam konteks
partisipasi ini, keterwakilan masyarakat sering menjadi polemik dan menyisakan
permasalahan. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sektor
konstruksi harus dirumuskan secara jelas tatakelolanya, termasuk definisi
terminologi masyarakat dalam perspektif sektor konstruksi harus jelas.
Misalnya, penggunaan terminologi dan lingkup masyarakat jasa konstruksi dalam
Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ternyata tidak hanya mereka yang terkait
dengan usaha jasa perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, tetapi adalah mereka
stakeholder sektor konstruksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar