Kamis, 15 November 2018

PELAKSANAAAN JASA KONTRUKSI BAGIAN 3


BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Penataan hukum dan perundangan untuk sektor jasa konstruksi merupakan bagian penting dari proses pengelolaan sektor konstruksi. Pengeloaan jasa konstruksi dapat berkaitan dengan pranata hukum lainnya, seperti ketenagakerjaan, investasi, keterlibatan sektor swasta dalam pengadaan infrastruktur, dan undang-undang sektoral yang saling terkait. Disamping itu, kegiatan konstruksi akan berkaitan juga antara lain dengan Undang-Undang tentang Keinsinyuran, Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang tentang Jalan, Undang-Undang tentang Sumberdaya Air, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berikut ini adalah beberapa undang-undang yang menjadi dasar yuridis bagi sistem hukum pengelolaan sektor konstruksi.

A.     Undang-Undang Terkait

1.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsiyuran (UU tentang Keinsinyuran) ini terdiri dari 15 BAB dan 56 Pasal. Dalam kelima belas bab itu diatur mengenai cakupan keinsinyuran, standar keinsinyuran, Program Profesi Insinyur, registrasi Insinyur, Insinyur asing, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan, hak dan kewajiban, kelembagaan Insinyur, organisasi profesi Insinyur, pembinaan Keinsinyuran, sanksi administratif, ketentuan pidana, dan ketentuan peralihan. Keterkaitan RUU Jasa Konstruksi dengan UU tentang Keinsinyuran sangat erat terutama terkait dengan aspek sumber daya manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang sebagian besar didukung oleh profesi insinyur. Dalam RUU Jasa Konstruksi diatur bahwa tenaga ahli yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai kelanjutan dari sertifikat kompetensi kerja yang dihasilkan

56


dari uji kompetensi, dimana untuk Sertifikasi dan registrasi sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi dalam kualifikasi jenjang jabatan ahli dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Artinya mengikuti undang-undang sektoral atau profesi yang mengaturnya, dalam hal ini adalah tentunya UU tentang Keinsiyuran. Begitu pula menyangkut persyaratan tenaga ahli/insinyur asing serta kelembagaan yang berwenang sertifikasi dan registrasi. Untuk lebih lengkapnya gambaran pengaturan terkait yang terdapat dalam UU tentang Keinsinyuran dijabarkan lebih lanjut di bawah ini.

Gelar Profesi Insinyur (Pasal 7 s.d Pasal 9)

Dalam UU tentang Keinsinyuran, diatur bahwa insinyur sebagai gelar profesi. Untuk memperoleh gelar profesi Insinyur tersebut, seseorang harus lulus dari Program Profesi Insinyur. Syarat untuk dapat mengikuti Program Profesi Insinyur yaitu sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik, baik lulusan perguruan tinggi dalam negeri maupun perguruan tinggi luar negeri yang telah disetarakan.

Dari pengaturan UU tentang Keinsinyuran ini, sarjana selain bidang teknik atau terapan bidang teknik, yaitu sarjana pendidikan bidang teknik atau sarjana bidang sains dapat mengikuti program profesi Insinyur apabila disetarakan dengan sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik melalui program penyetaraan. Yang dimaksud dengan “program penyetaraan” adalah proses penyandingan dan pengintegrasian capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan kerja, dan pengalaman kerja untuk sarjana pendidikan bidang teknik atau sarjana bidang sains yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Program profesi Insinyur dapat diselenggarakan melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau. Rekognisi pembelanjaran lampau adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan nonformal, pendidikan informal, dan/atau pengalaman kerja di dalam sektor pendidikan formal.

Selanjutnya seseorang yang telah memenuhi standar program profesi Insinyur, baik melalui program profesi maupun melalui mekanisme

57


rekognisi pembelajaran lampau, serta lulus program profesi Insinyur berhak mendapatkan sertifikat profesi Insinyur dan dicatat oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan berhak mendapatkan gelar profesi insinyur yang disingkat dengan ”Ir.” dan dicantumkan di depan nama yang berhak menyandangnya. Gelar profesi insinyur diberikan oleh perguruan tinggi penyelenggara program profesi Insinyur yang bekerja sama dengan kementerian terkait dan PII.

Registrasi Insinyur (Pasal 10 s.d. Pasal 17)

Namun, Insinyur untuk dapat melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang dikeluarkan oleh PII. STRI berlaku selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun dengan tetap memenuhi persyaratan di atas dan persyaratan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. Yang dimaksud dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah upaya pemeliharaan kompetensi Insinyur untuk menjalankan praktik keinsinyuran secara berkesinambungan.

Dalam ketentuan mengenai registrasi ini, diatur pula mengenai pengenaan sanksi administratif yaitu apabila Insinyur melakukan praktik keinsinyuran tanpa STRI dan apabila Insinyur yang telah mendapatkan STRI melakukan kegiatan Keinsinyuran yang menimbulkan kerugian materiil maka Insinyur tersebut dikenai sanksi administratif.

Kelembagaan Insinyur (Pasal 30 s.d Pasal 44)

Praktik profesi Insinyur membutuhkan etika dan tanggung jawab profesi, sehingga diperlukan suatu sistem yang mampu menjamin perlindungan baik terhadap profesi Insinyur itu sendiri maupun masyarakat yang terkena dampak dari profesi Insinyur tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka untuk menciptakan sistem yang baik diperlukan kelembagaan Insinyur yang dapat mengatur tata laksana praktik keinsinyuran.

Dalam UU ini mengatur mengenai kelembagaan dalam pelaksanaan Praktik Keinsinyuran, yang terdiri dari Dewan Insinyur Indonesia dan

58


Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Untuk Dewan Insinyur Indonesia ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Presiden dan didanai dengan APBN. Dewan tersebut beranggotakan unsur Pemerintah, industri, perguruan tinggi, PII, dan pemanfaat keinsinyuran.
Fungsi Dewan Insinyur Indonesia meliputi fungsi perumusan kebijakan penyelenggaraan dan pengawasan pelaksanaan Praktik Keinsinyuran, yang cakupan tugasnya antara lain menetapkan kebijakan sistem registrasi Insinyur dan mengusulkan standar Program Profesi Insinyur. Dewan Insinyur Indonesia ini diharapkan dapat dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Sedangkan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) merupakan wadah berhimpunnya Insinyur Indonesia. PII didanai oleh iuran anggota dan sumber pendanaan lain yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. PII dibentuk sebagai pelaksana dari kebijakan umum yang ditetapkan oleh Dewan Insinyur Indonesia.

Kepengurusan PII dibentuk dengan keputusan Kongres berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. PII mempunyai fungsi pelaksanaan Praktik Keinsinyuran, yang cakupan tugasnya antara lain melaksanakan pelayanan Keinsinyuran sesuai dengan standar dan melaksanakan Program Profesi Insinyur bersama dengan perguruan tinggi sesuai dengan standar.

Untuk menjamin kelayakan dan kepatutan Insinyur dalam melaksanakan praktik keinsinyuran, PII menetapkan kode etik Insinyur sebagai pedoman tata laku profesi. Untuk menegakkan kode etik tersebut, PII membentuk majelis kehormatan etik.

Standar Keinsinyuran (Pasal 6)

Sebelum UU tentang Keinsinyuran lahir, Insinyur tersebar dalam berbagai profesi dan kelembagaan masing-masing sehingga belum terdapat suatu standar yang sama mengenai profesi Insinyur. Sehingga dalam UU tentang Keinsinyuran ini diatur pula mengenai standar keinsinyuran yaitu standar layanan Insinyur, standar kompetensi Insinyur, dan standar program profesi. Standar layanan Insinyur adalah tolok ukur yang

59


menjamin efisiensi, efektivitas, dan syarat mutu yang dipergunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan praktik keinsinyuran. Selanjutnya, standar kompetensi Insinyur adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup sikap kerja, pengetahuan, dan keterampilan kerja yang relevan dengan pelaksanaan praktik keinsinyuran. Standar program profesi Insinyur adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman pelaksanaan program profesi Insinyur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan tinggi.

Pengaturan lainnya

Selain pengaturan di atas, UU ini juga mengatur mengenai syarat Insinyur Asing (Pasal 18 s.d Pasal 22) yang akan melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia. Dalam melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia, Insinyur Asing hanya dapat melakukan Praktik Keinsinyuran sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selain itu, mereka harus memiliki surat izin kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memiliki STRI dari PII, serta diwajibkan melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi yang diawasi oleh Dewan Insinyur Indonesia.

Sebagai upaya penegakan hukum dalam UU tentang Keinsinyuran ini juga diatur mengenai sanksi pidana (Pasal 50 dan Pasal 51) baik pidana penjara maupun denda yaitu dikenakan terhadap setiap orang bukan Insinyur yang menjalankan praktik keinsinyuran dan bertindak sebagai Insinyur. Pidana yang diterapkan akan lebih besar apabila tindakan orang yang bukan Insinyur itu mengakibatkan kecelakaan, cacat, hilangnya nyawa seseorang, kegagalan pekerjaan Keinsinyuran, dan/atau hilangnya harta benda.

Demikian pula bagi Insinyur atau Insinyur Asing yang melaksanakan tugas profesi tidak memenuhi standar Keinsinyuran dan mengakibatkan kecelakaan, cacat, hilangnya nyawa seseorang, kegagalan pekerjaan Keinsinyuran, dan/atau hilangnya harta benda dikenakan juga sanksi pidana sesuai dengan UU tentang Keinsinyuran ini.

60


2.           Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman

Dalam penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dinyatakan bahwa pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung. Hal ini terkait dengan pembinaan di sektor jasa konstruksi yang juga merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dan dapat dikerjasamakan dengan lembaga pengembangan yang merupakan unsur dari masyarakat jasa konstruksi.

Selanjutnya dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa perencanaan perumahan (mencakup mencakup rumah sederhana, rumah menengah, dan/atau rumah mewah) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah, yang terdiri atas:
a.    perencanaan dan perancangan rumah; dan

b.    perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan. Perencanaan perumahan tersebut merupakan bagian dari
perencanaan permukiman. Kegiatan perencanaan adalah kegiatan merencanakan kebutuhan ruang untuk setiap unsur rumah dan kebutuhan jenis prasarana yang melekat pada bangunan, dan keterkaitan dengan rumah lain serta prasarana di luar rumah. Sedangkan kegiatan perancangan adalah kegiatan merancang bentuk, ukuran, dan tata letak, bahan bangunan, unsur rumah, serta perhitungan kekuatan konstruksi yang terdiri atas pondasi, dinding, dan atap, serta kebutuhan anggarannya. Kegiatan ini merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan

61


penyelenggaraan jasa konstruksi yang mengacu pada siklus kegiatan konstruksi.
Sejalan dengan RUU jasa konstruksi, dalam pasal 25 dinyatakan bahwa perencanaan dan perancangan rumah dilakukan oleh setiap orang yang memiliki keahlian di bidang perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni setiap orang yang memiliki sertifikat keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kompetensi.

3.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Keterkaitan  Undang-Undang  tentang Rumah  Susun  (UU  tentang

Rusun) dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dapat dilihat dari keterkaitan persyaratan teknis pembangunan rumah susun yang terdapat dalam Pasal 35 huruf b Undang-Undang tentang Rusun dengan penyelenggaran pekerjaan konstruksi yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.

Dalam Pasal 35 Undang-Undang tentang Rusun dinyatakan bahwa persyaratan teknis pembangunan rumah susun meliputi diantaranya keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Sedangkan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Dengan demikian dalam pembangunan rumah susun persyaratan teknis yang harus dipenuhi khususnya terhadap keandalan bangunan persyaratan keselamatan, kesehatan, keanyaman, dan kemudahan perlu disinkronkan dengan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi khususnya ketentuan mengenai keteknikan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja.

Dalam penjelasan Pasal 35 huruf b UU tentang Rusun disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “persyaratan keselamatan” adalah

62


kemampuan bangunan rumah susun untuk mendukung beban muatan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir. “Persyaratan kesehatan” meliputi sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan. “Persyaratan kenyamanan” meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta terhadap pengaruh tingkat getaran dan tingkat kebisingan. “Persyaratan kemudahan” meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan rumah susun serta sarana dan prasarana dalam pemanfaatan bangunan rumah susun. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi hanya dijelaskan ketentuan mengenai keteknikan dan ketenagakerjaan. Dalam penjelasan tersebut dinyatakan bahwa ketentuan tentang keteknikan meliputi: standar konstruksi bangunan, standar mutu hasil pekerjaan, standar mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan standar mutu peralatan. Ketentuan tentang ketenagakerjaan meliputi: persyaratan standar keahlian dan keterampilan yang meliputi bidang dan tingkat keahlian serta keterampilan yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

4.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Hubungan UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU tentang

Lalu Lintas) dengan UU tentang Jasa Konstruksi adalah mengenai bangunan fisik yang di atur dalam UU tentang Lalu Lintas yaitu jalan dan terminal. Jalan diartikan sebagai seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. Dalam Pasal 19 UU tentang Lalu Lintas, jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:

a. fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan; dan


63


b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi kendaraan bermotor.
Pengelompokan jalan menurut kelas jalan tersebut terdiri atas:

a.    jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;

b.    jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;

c.    jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan

d.    jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.

Pasal 22 UU Lalu Lintas juga mengatur mengenai persyaratan laik fungsi jalan yaitu:
(1)  Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi jalan secara teknis dan administratif.
(2)  Penyelenggara jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi jalan sebelum pengoperasian jalan.
(3)  Penyelenggara jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.


64


(4)  Uji kelaikan fungsi jalan dilakukan oleh tim uji laik fungsi jalan yang dibentuk oleh penyelenggara jalan.
(5)  Tim uji laik fungsi jalan terdiri atas unsur penyelenggara jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(6)  Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7)  Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara Pasal 23 dan Pasal 24 mengatur mengenai kewajiban penyelenggara jalan, yaitu:
(1)  Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)  Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)  Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
(4)  Dalam  hal  belum  dapat  dilakukan  perbaikan  Jalan  yang  rusak,

penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.
Bangunan terminal dalam UU tentang Lalu Lintas diartikan sebagai pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal dalam Pasal 34 dibagi menjadi Terminal penumpang tipe A, tipe B, dan tipe C. Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.

65


Untuk penetapan lokasi terminal, UU tentang Lalu Lintas mengatur bahwa penentuan Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan. Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan: (Pasal 37)

a.    tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;

b.    kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;

c.    kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;
d.    kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;

e.    keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;

f.     permintaan angkutan;

g.    kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;

h.    Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau

i.      kelestarian lingkungan hidup.

Pembangunan dan Pengoperasian Terminal diatur dalam Pasal 40. Dalam Pasal 40 tersebut dinyatakan bahwa pembangunan terminal harus dilengkapi dengan:

a.    rancang bangun;

b.    buku kerja rancang bangun;

c.    rencana induk Terminal;

d.    analisis dampak Lalu Lintas; dan

e.    analisis mengenai dampak lingkungan. Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:

a.    perencanaan;

b.    pelaksanaan; dan

c.    pengawasan operasional Terminal.


5.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


66


Keterkaitan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pada kewajiban penyelenggara pekerjaan konstruksi untuk memperhatikan aspek tata lingkungan, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), yaitu:

(1)   Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
(2)   Para pihak dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam Pasal 22 Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:

a.     besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b.     luas wilayah penyebaran dampak;

c.      intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d.     banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e.     sifat kumulatif dampak;

f.       berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

g.     kriteria  lain  sesuai  dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan

teknologi.

Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi termasuk dalam kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting sehingga wajib dilengkapi dengan amdal, karena dapat menimbulkan pengubahan bentuk lahan dan bentang alam serta penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

67


Dalam Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa setiap penyelenggara pekerjaan konstruksi yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan fungsi lingkungan hidup. Adapun penanggulan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan dengan:

a.    pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
b.     pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

c.      penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
d.     cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Sedangkan pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan:
a.     penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;

b.     remediasi;

c.      rehabilitasi;

d.     restorasi; dan/atau

e.     cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Pasal 4 Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU tentang Pajak Pertambahan Nilai), mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a.     penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

68


b.     impor barang kena pajak;

c.      penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d.     pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
e.     pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
f.       ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak;

g.     ekspor barang kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak; dan
h.     ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Sedangkan mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam

Pasal 7 UU tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut:

(1)  Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).

(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a.     ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

b.     ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan

c.      ekspor Jasa Kena Pajak.

Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menegaskan bahwa :
“Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,

1.     Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;

2.     Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
3.     Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,

69


dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan”.

7.    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Pelayaran)
Keterkaitan  antara  Undang-Undang  tentang  Pelayaran  dengan

Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, pada prinsipnya terlihat pada konsepsi dasar yang menyatakan konstruksi meliputi pula konstruksi perkapalan. Hal ini terlihat pada definisi yang luas dari pekerjaan konstruksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Pengertian bentuk fisik lainnya ini yang dapat diartikan bahwa konstruksi itu tidak hanya berbentuk bangunan saja, namun bangunan lainnya yang secara fisik dapat dikerjakan konstruksinya.

Korelasi konstruksi dalam Undang-Undang tentang Pelayaran ini begitu kentara apabila dilihat definisi keselamatan kapal, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 34 Undang-Undang tentang Pelayaran, yaitu keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. Selanjutnya definsi pekerjaan bawah air, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 51 Undang-Undang tentang Pelayaran, yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air.

70


Selanjutnya dalam Pasal 124 ayat (2) huruf b Undang-Undang tentang Pelayaran, menyatakan bahwa salah satu syarat keselamatan kapal adalah konstruksinya.

Dalam pengaturan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ke depan, perlu dipertegas apakah konstruksi kapal yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pelayaran masuk dalam ranah Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Mengingat apabila masuk dalam ranah Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, maka pengaturan mengenai hal-hal yang terdapat Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi meliputi pula konstruksi kapal atau mungkin bangunan fisik lainnya serupa dengan kapal seperti pesawat terbang.

8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Mengingat pekerjaan jasa konstruksi terkait dengan masalah

keruangan, kewilayahan, dan kawasan sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai struktur, pola dan penataan ruang, perencanaan penataang ruang, wilayah dan kawasan, pemanfaatan ruang dan aspek-aspek lain yang terkait yang daitur dalam undang-undang ini. Penataan ruang sendiri diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan (Pasal 4). Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sehingga terwujud keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3).

Pekerjaan konstruksi yang melakukan pemanfaatan ruang, wajib (Pasal 61):
a.     menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

b.     memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;


71


c.    mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d.     memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

9.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
Keterkaitan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah mengenai pelaku usaha jasa konstruksi, yang pada Pasal 5 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha dan oleh karenanya termasuk dalam kategori Wajib Pajak.

Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selanjutnya pada angka 3 juga disebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Oleh karena itu, pelaku usaha jasa konstruksi berhak dan wajib untuk melaksanakan ketentuan mengenai perpajakan yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini, seperti mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, membuat Pembukuan, membuat serta melaporkan Surat Pemberitahuan.


72


10.     Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Perseroan Terbatas)

Keterkaitan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi terlihat pada pengguna dan penyedia jasa konstruksi yang berbadan hukum perseroan terbatas harus mengikuti ketentuan-ketentuan prinsip dari Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, diantaranya kewajiban setiap Perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan, dan prinsip tata kelola Perseroan yang baik (good corporate governance) dalam menjalankan Perseroan. Hal ini untuk menjamin tatakelola perusahaan yang baik dan menjamin pengelolaan usaha yang transparan, akuntabel dan berkeadilan.

Disamping itu, pengguna atau penyedia jasa konstruksi yang berbentuk perseroan terbatas juga harus memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan Pasal 74 ini, perusahaan di bidang jasa konstruksi dituntut memiliki kepekaan sosial dan lingkungan, khususnya terkait dengan kegiatan konstruksi yang hasil akhirnya akan membentuk lingkungan terbangun, namun demikian pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

11. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan

Keterkaitan UU tentang Jalan dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah mengenai pembangunan jalan secara umum. Pengaturan mengenai pembangunan jalan secara umum di atur dalam Pasal 30 UU tentang Jalan yang menyatakan bahwa; a. pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif; b. penyelenggara jalan wajib memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan; c. pembiayaan pembangunan jalan umum menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing; d. dalam hal pemerintah daerah

73


belum mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung jawabnya secara keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan jalan nasional mencakup perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan f. pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk kriteria, persyaratan, standar, prosedur dan manual; penyusunan rencana umum jalan nasional, dan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat. Pembangunan jalan nasional meliputi:

a.    perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional;
b.    pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional; dan

c.    pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional. (Pasal

31)

Pembangunan jalan provinsi meliputi:

a.    perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi;
b.    pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi; dan

c.    pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi. (Pasal 32)

a.    perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten dan jalan desa;
b.    pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten dan jalan desa; dan

c.    pengembangan  dan  pengelolaan  manajemen  pemeliharaan  jalan

kabupaten dan jalan desa. (Pasal 33)

Pembangunan jalan kota meliputi:

a.    perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kota;
b.    pengoperasian dan pemeliharaan jalan kota; dan



74


c.   pengembangan dan pengelolaan manajemen pemeliharaan jalan kota. (Pasal 34)

12.     Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD)

Keterkaitan Undang-Undang tentang PKPD dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah permasalahan pendanaan pembinaan kegiatan jasa konstruksi yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (6) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.

Pada prinsipnya pendanaan yang digunakan oleh daerah dalam melaksanakan tugas pelimpahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan dana dekonsentrasi. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang tentang PKPD, yang menyatakan bahwa pendanaan dalam rangka Dekonsetrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementerian negara/ lembaga kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.

Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dalam Undang-Undang tentang PKPD diatur dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 93. Menurut Pasal 88 Undang-Undang tentang PKPD, Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga. Dalam hal penyaluran dana dekonsentrasi, menurut Pasal 89 disalurkan melalui rekening kas umum negara. Selanjutnya pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan satuan kerja perangkat daerah sebagai pelaksana kegiatan dekonsentrasi. Dalam hal terdapat sissa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi, sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN. Sedangkan dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan dekonsentrasi, saldo tersebut harus disetor ke rekening kas umum negara. Apabila pelaksanaan dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN dan disetor ke rekening kas umum negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

75


Selanjutnya terkait dengan mekanisme pertanggungjawabannya di daerah, menurut Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4), satuan kerja perangkat daerah menyampaikan laporan pelaksnaan kegiatan dekonsentrasi kepada

gubernur. Selanjutnya gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang.
Dalam pengaturan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ke depan, dalam hal mekanisme pendanaan untuk kegiatan pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan pemerintah daerah pada prinsipnya harus mengikuti ketentuan Undang-Undang PKPD yang secara teknis dijelaskan dalam peraturan pelaksana.

13.        Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan)

Terkait dengan pengembangan kompetensi kerja, bagi tenaga kerja dapat dilakukan Pelatihan Kerja. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan memberikan rambu-rambu tentang bagaimana dan siapa yang sebaiknya melakukan pelatihan kerja bagi para tenaga kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja dan dapat dilakukan secara berjenjang. Adapun ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja diatur dengan keputusan menteri (Pasal 10).

Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta, atau kedua lembaga tersebut bekerjasama, baik diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja (Pasal 13). Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan dan wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota (Pasal 14). Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat

76


kerja, yang dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja. Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen dengan peraturan pemerintah (Pasal 18).
Dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan diatur pula mengenai penggunaan tenaga kerja asing (Bab VIII). Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 42 ayat (1). Adapun pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing (Pasal 42 ayat (2). Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu yang ditetapkan dengan keputusan menteri. Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 43). Namun demikian tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan ter tentu yang diatur dengan keputusan menteri (Pasal 46). Hubungan kerja antara penyedia jasa di sektor kontruksi dengan para tenaga kerja merujuk pada ketentuan Bab IX Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang hubungan kerja. Hubungan kerja dapat dibuat melalui perjanjian kerja baik tertulis maupun lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku (Pasal 50). Dalam pelaksanaannya pengaturan mengenai perjanjian kerja diatur secara jelas dalam pasal-pasal tersendiri.

Adapun mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, Pasal 86 menyebutkan bahwa “setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Bahkan Pasal 87 mengaskan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan yang ketentuanya diatur dengan peraturan pemerintah.

77





14.        Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Undang-Undang Tentang Bangunan Gedung)
Objek dari jasa konstruksi antara lain adalah bangunan gedung.

Dalam Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, bangunan gedung didefinisikan sebagai “wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.” Sedangkan penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Adapun pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.

Pengaturan bangunan gedung sendiri bertujuan untuk (Pasal 3) :

1.     mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;
2.     mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;

3.     mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Fungsi bangunan gedung meliputi (Pasal 5):

a.     fungsi hunian yang meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara,
b.     fungsi keagamaan meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng;

c.      fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan.

78


d.     fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.

e.     fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri.

Fungsi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi

yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan (Pasal 6).

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung (Pasal 7). Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan. Persyaratan tata bangunan ditetapkan lebih lanjut dalam rencana tata bangunan dan lingkungan oleh Pemerintah Daerah (Pasal 9).

Sedangkan persyaratan keandalan bangunan gedung meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan yang ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung (Pasal 16). Persyaratan keselamatan bangunan gedung meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir (Pasal 17). Sedangkan Persyaratan kesehatan bangunan gedung meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung (Pasal 21). Persyaratan Kenyamanan meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan (pasal 26). Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan

79


prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung (Pasal 27). Dalam Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, penyelenggaraan

bangunan gedung sendiri meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran, dimana penyelenggaranya terdiri atas pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, dan pengguna bangunan gedung (Pasal 34). Masing-masing tahapan kegiatan harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Bangunan Gedung ini, sehingga penyedia jasa konstruksi terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Bangunan Gedung ini sepanjang mengerjakan/menyelenggarakan bangunan gedung. UU ini juga mengatur hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung (Pasal 40 dan 41).

15.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten (Undang-Undang tentang Paten).

Keterkaitan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang Paten dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (3) yaitu bahwa suatu kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Paten disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Paten dinyatakan bahwa Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri dan suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, sehingga terdapat kewajiban untuk memuat ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi mengenai hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten tersebut.


80


16.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Undang-Undang Merek).

Undang-Undang tentang Merek mengatur ketentuan meliputi merek dagang dan merek jasa. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 disebutkan definisi mengenai merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengatur mengenai layanan jasa konsultasi untuk perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Pasal 3 menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

17.        Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi)

Keterkaitan UU tentang Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah pada saat terjadi kontrak antara Pemerintah dengan Kontraktor. Dalam UU tentang Tindak Pidana Korupsi di tentukan bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a.     pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b.     setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

81


bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.      setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d.     setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1).
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang

yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang juga dipidana sama dengan hal tersebut di atas (Pasal 7 ayat (2)).

18. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang (Rahasia Dagang)
Keterkaitan  Undang-Undang  tentang  Rahasia  Dagang  dengan

Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi pada prinsipnya terlihat pada mekanisme pengikatan kontrak konstruksi khususnya pengikatan para pihak yang bersifat tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat

(3). Dalam ketentuan Pasal 17 ayat (3) dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung. Selanjutnya dalam penjelasannya diutarakan, yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah salah satunya pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Rahasia Dagang dinyatakan definisi rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa rahasia dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut

82


bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya. Dalam kaitannya dengan pengikatan kontrak jasa konstruksi dalam keadaan tertentu, pengikatan yang bersifat rahasia dapat dikatakan merupakan rahasia dagang yang harus dilindungi informasinya mengingat informasi tersebut bersifat rahasia yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara.

Selanjutnya keterkaitan antara Undang-Undang tentang Rahasia Dagang dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, pada penggunaan konsep lisensi dalam kegiatan jasa konstruksi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang tentang Rahasia Dagang, definsi lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak rahasia dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Ketentuan mengenai lisensi dalam kegiatan jasa konstruksi perlu disesuaikan dengan pengaturan dengan pengaturan lisensi dalam Undang-Undang tentang Rahasia Dagang, meliputi diantaranya pertama, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dan apabila perjanjian lisensi Rahasia Dagang tidak dicatatkan maka tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Kedua, perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

19.        Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (Undang-Undang Desain Industri)

Keterkaitan UU tentang Desain Industri dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah mengenai desain rancangan bangunan, dalam UU tentang Desain Industri pengertian desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan

83


dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan (Pasal 1 angka 1). Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri (Pasal 1 angka 2).

20. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Keterkaitan Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Sehat dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi telah terlihat kaitannya dalam Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas. Namun demikian dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum diatur secara jelas bentuk larangan pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Sehat.

Dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Sehat, terdapat 4 (empat) kegiatan yang dilarang oleh pelaku usaha, termasuk pula dalam hal ini pelaku usaha pengguna maupun penyedia jasa konstruksi. Adapun 4 (empat) kegiatan tersebut meliputi:

1.     Monopoli;

2.     Monopsoni;

3.     Penguasaan Pasar;

4.     Persekongkolan;

Keempat kegiatan yang dilarang ini dapat dinyatakan untuk diatur, walaupun dalam Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi terdapat pengecualian terhadap kegiatan jasa konstruksi tertentu, yang meliputi:
1.     penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;

2.     pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;

84


3.     pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara;
4.     pekerjaan yang berskala kecil.


21.        Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Keterkaitan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yaitu bahwa konsumen sebagai pengguna jasa dan selaku pemakai akhir dari jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha dan memiliki peranan yang sangat dominan dalam menentukan pilihan jasa yang akan digunakan sehingga pemberdayaan konsumen sangat penting untuk dilakukan agar pengguna jasa memahami hak dan kewajibannya.

Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, para pihak yang terlibat dalam kegiatan jasa konstruksi adalah unsur pengguna dan penyedia jasa. Posisi konsumen dalam perspektif Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai bagian dari pengguna jasa, sehingga pemberdayaan terhadap konsumen diharapkan mampu meningkatkan peran konsumen dalam menentukan standar dari produk konstruksi yang dihasilkan, baik dari segi kualitas mutu (quality assurance), waktu penyerahan (product delivery), maupun harga (cost of product).

Pemahaman bahwa konsumen selaku pengguna jasa belum sepenuhnya menjangkau kepentingan konsumen sebagai pengguna produk akhir dari kegiatan jasa konstruksi sehingga pemberdayaan masyarakat khususnya penyadaran akan hak-hak konsumen dalam menerima dan menggunakan produk konstruksi perlu memperhatikan rujukan kepada Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

Kebutuhan konsumen jasa konstruksi dijabarkan dari hak-hak konsumen secara umum, sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang hak-haknya sebagai berikut :

a. hak untuk mendapatkan produk barang/jasa yang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan;

85


b.   hak untuk mendapatkan ganti rugi;

c.    hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum;

d.   hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat;

e.   hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang; dan

f.     hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen.

Dari sisi ekonomi, bahwa kepuasan konsumen menjadi hal yang

penting dalam pemenuhan demand atas kebutuhan pengguna jasa sebagai konsumen, maka konsumen jasa konstruksi berhak mendapatkan produk konstruksi yang sesuai dengan keinginannya. Pada produk perumahan dan bangunan lainnya seperti ruko, gudang yang ditawarkan developer kepada konsumen melalui brosur harus sesuai dengan apa yang diperjanjikan ditawarkan kepada konsumen. Kebanyakan ketentuan-ketentuan dan persyaratan dalam brosur yang disebarkan pengembang substansinya digolongkan kedalam bentuk klausula baku.

Klausula baku dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen di definisikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Hal yang memprihatinkan dalam klausula adalah pencantuman klausula eksonerasi (exemption clausule) dalam perjanjian. klausula eksonerasi ini mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak pelaku usaha. Pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen melarang dengan tegas pencantuman klausula pada setiap dokumen dan atau penyampaian yang tujuannya merugikan konsumen, bahkan pada ayat 3 ditegaskan bahwa “setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum”.






86


22.   Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase)

Penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 36). Dalam Kaitannya dengan hal tersebut,dengan berlakunya Undang-Undang tentang Arbitrase maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase. Pengertian arbitrase dalam Undang-Undang tentang Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1). Perjanjian arbitrase dalam Undang-Undang tentang Arbitrase merupakan suatu kesepakatan berupa kausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Pasal 1 angka 3).

Alternatif penyelesaian sengketa menurut Undang-Undang tentang Arbitrase adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10).

Undang-Undang tentang Arbitrase mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 2).

Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbal dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan, hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang tentang

87


Arbitrase yang menyatakan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

23.        Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Perbankan)
Keterkaitan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Perbankan terdapat pada pendanaan dan jaminan yang merupakan bentuk perlindungan terhadap kegiatan jasa konstruksi. Dalam Pasal 13 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra usaha melalui:

a.     perluasan dan peningkatan akses terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan dalam pendanaan,
b.     pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan.
Dalam penjelasan Pasal 13 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa pendanaan berupa modal untuk investasi dan modal kerja dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang terdiri dari bank atau bukan bank sebagai mitra usaha. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf b angka 4 dinyatakan bahwa pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan dapat berupa antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga bukan bank.

Dalam  Pasal  11  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  Undang-Undang  tentang

Perbankan, dinyatakan bahwa:

(1)      Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau

88


sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

(2)      Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Berdasarkan ketentuan tersebut, bank dapat memberikan pendanaan dan pemberian jaminan pendanaan terhadap pelaku jasa konstruksi, baik itu penyedia maupun pengguna jasa konstruksi, dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari 30 % (tiga puluh persen) dari modal bank, dimana penyedia maupun pengguna jasa konstruksi tersebut, mengajukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Untuk memperkuat pengaturan mengenai pembiayaan dan jaminan kegiatan jasa konstruksi ini, seharusnya ketentuan yang telah terdapat dalam penjelasan Pasal 13 dan Pasal 22 tersebut diatur dalam norma pasal, agar keberlakuannya menjadi lebih mengikat dengan mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang tentang Perbankan.

24.     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang Indonesia (Undang-Undang KADIN)

Keterkaitan Undang-Undang tentang KADIN dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah pada harmonisasi pengertian-pengertian atau definisi mengenai pengusaha, perusahaan, usaha, organisasi pengusaha dan organisasi perusahaan.
Dalam Undang-Undang tentang KADIN Pengusaha diartikan sebagai setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan (Pasal 1 huruf b). Perusahaan menurut Undang-Undang tentang KADIN adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus, yang didirikan dan bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 huruf c).


89


Sementara usaha adalah setiap tindakan, perbuatan, atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 huruf d). Organisasi Pengusaha dalam Undang-Undang tentang KADIN adalah wadah persatuan dan kesatuan bagi pengusaha Indonesia yang didirikan secara sah atas dasar kesamaan tujuan, aspirasi, strata kepengurusan, atau ciri-ciri alamiah tertentu (Pasal 1 huruf e). Organisasi Perusahaan adalah wadah persatuan dan kesatuan bagi perusahaan Indonesia yang didirikan secara sah atas dasar kesamaan jenis usaha, mata dagangan, atau jasa yang dihasilkan ataupun yang diperdagangkan (Pasal 1 huruf f).

25. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan (Undang-Undang WDP).

Pengertian daftar perusahaan dalam Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan (Pasal 1 huruf a). Perusahaan menurut Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 huruf b).

Pengusaha menurut Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan dan Usaha adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 huruf c dan huruf d).

Kewajiban pendaftaran perusahaan diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan. Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus

90


perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah (Pasal 5 ayat (2).

26. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Ketentuan mengenai perjanijian kerja dalam KUHPerdata diatur dalam Bab VIIA. Pasal 1601 menyebutkan bahwa “Selain persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuanketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan bila ketentuanketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan kerja.”

Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu (Pasal 1601a). Sedangkan Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan (Pasal 1601b).

Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diperjanjikan bahwa pemborong hanya akan melakukan pekerjaan atau bahwa ia juga akan menyediakan bahan-bahannya (Pasal 1604). Terkait dengan adanya kegagalan bangunan diatur dalam Pasal 1605, Pasal 1606, Pasal 1607, Pasal 1608 dan Pasal 1609.

Pasal 1605: “Dalam hal pemborongan harus menyediakan bahan-bahannya, dan hasil pekerjaannya, karena apa pun juga, musnah sebelum diserahkan, maka kegiatan itu dipikul oleh pemborong kecuali jika pemberi tugas itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut.”

Pasal 1606: “Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah, maka ia hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu sepanjang hal itu terjadi karena kesalahannya.”


91


Pasal 1607: “Jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut dalam pasal yang lalu terjadi di luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan dilakukan, sedangkan pemberi tugas pun tidak lalai untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya cacat.

Pasal 1608: ”Jika pekerjaan yang diborongkan itu dilakukan sebagian demi sebagian atau menurut ukuran, maka hasil pekerjaan dapat diperiksa sebagian demi sebagian; pemeriksaan itu dianggap telah dilakukan terhadap semua bagian yang telah dibayar, jika pemberi tugas itu membayar pemborongan tiap kali menurut ukuran dan apa yang telah diselesaikan.”

Pasal 1609: “Jika sebuah bangunan yang diborongkan dan dibuat dengan suatu harga tertentu, seluruhnya atau sebagian, musnah karena suatu cacat dalam penyusunannya atau karena tanahnya tidak layak, maka para arsitek dan para pemborongnya bertanggung jawab untuk itu selama sepuluh Tahun”.

Penyedia jasa terikat dengan bunyi kontrak terkait harga yang disepakati meskipun dalam pelaksanaanya dapat terjadi perubahan, misalnya karena fluktuasi harga bahan baku. Hal ini secara ekspilist dinyatakan dalam Pasal 1610: “Jika seseorang arsitek atau pemborong telah menyanggupi untuk membuat suatu bangunan secara borongan, menurut suatu rencana yang telah dirundingkan dan ditetapkan bersama dengan pemilik lahan, maka ía tidak dapat menuntut tambahan harga, baik dengan dalih bertambahnya upah buruh atau bahan-bahan bangunan maupun dengan dalih telah dibuatnya perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan yang tidak termaksud dalam rencana tersebut jika perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan itu tidak disetujui secara tertulis dan mengenai harganya tidak diadakan persetujuan dengan pemiliknya (Pasal 1610).

Namun demikian pengguna jasa dimungkinkan untuk memutuskan perjanjian dengan syarat memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada pengguna jasa. Pasal 1611 menyebutkan; “Pemberi tugas, bila

92


menghendakinya dapat memutuskan perjanjian pemborongan itu, walaupun pekerjaan itu telah dimuai, asal ia memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada pemborong atas semua biaya yang telah dikeluarkannya untuk pekerjaan itu dan atas hilangnya keuntungan”.
Dalam hal penyedia jasa meninggal dunia, perjanjian berakhir sesuai dengan ketentuan Pasal 1612. Namun pengguna jasa wajib membayar kepada ahli waris pemborong itu harga hasil pekerjaan yang telah selesai dan harga bahan-bahan bangunan yang telah disiapkan, menurut perbandingan dengan harga yang diperjanjikan dalam perjanjian, asal hasil pekerjaan atau bahan-bahan bangunan tersebut ada manfaatnya bagi pemberi tugas.

Pemegang tanggung jawab atas para tenaga kerja berada pada Penyedia Jasa (pemborong), Pasal 1613 menyebutkan: “Pemborong bertanggung jawab atas tindakan orang-orang yang ia pekerjakan”. Adapun hak dan kewajiban antara para tukang dengan pemborong diatur dalam Pasal 1614 dan paal 1615. Para tukang batu, tukang kayu, tukang besi dan tukang-tukang lainnya yang dipekerjakan untuk mendirikan sebuah bangunan atau membuat suatu barang lain yang diborongkan, dapat mengajukan tuntutan terhadap orang yang mempekerjakan mereka membuat barang itu, tetapi hanya atas sejumlah uang yang harus dibayarkan kepada pemborong pada saat mereka mengajukan tuntutan (Pasal 1614). Para tukang batu, tukang kayu, tukang besi dan tukang-tukang lainnya yang dengan suatu harga tertentu menyanggupi pembuatan sesuatu atas tanggung jawab sendiri secara langsung, terikat pada aturan-aturan yang ditetapkan dalam bagian ini. Mereka adalah pemborong dalam bidang yang mereka kerjakan (Pasal 1615).














93


B. Peraturan Pelaksana Terkait

1.     Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

PP   Nomor 28 Tahun 2000 ini mengatur lebih lanjut tentang Usaha Jasa Konstruksi, Tenaga Kerja Konstruksi, dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi serta kelengkapan sanksi administrative atas pelanggaran dalam ketentuan yang diatur.
Usaha Jasa Konstruksi yang mencakup jenis, bentuk dan bidang usaha; klasifikasi dan kualifikasi usaha; registrasi badan usaha jasa konstruksi, akreditasi asosiasi perusahaan jasa konstruksi; dan perijinan usaha jasa konstruksi.
Dalam bagian tenaga Kerja Konstruksi diatur mengenai sertifikasi keterampilan kerja dan sertifikasi keahlian kerja; klasifikasi, kualifikasi dan registrasi tenaga kerja konstruksi; akreditasi asosiasi profesi dan institusi pendidikan dan pelatihan. Terkait dengan peran masyarakat diatur mengenai forum dan lembaga jasa konstuksi.

PP Nomor 4 Tahun 2010 ini merupakan PP Perubahan atas PP Nomor

28    Tahun 2000 tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Beberapa Perubahan terkait dengan pengaturan dalam PP 28 Tahun 2000 yakni menyangkut:

a.  lingkup layanan jasa konstruksi

Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi dapat dilakukan secara terintegrasi selain terdiri atas rancang bangun (design and build); perencanaan, pengadaan; pelaksanaan terima jadi (engineering, procurement, and construction); dan penyelenggaraan pekerjaan terima jadi (turn-key project); juga dapat berupa penyelenggaraan pekerjaan berbasis kinerja (performance based). Layanan jasa konstruksi yang dilaksanakan secara terintegrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum.




94


b.     bidang usaha

bidang usaha yang semula berbasis ASMET, diubah sesuai dengan jenis usaha. Bidang usaha jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi terdiri atas bidang usaha yang bersifat umum dan spesialis. Sedangkan bidang usaha jasa pelaksana konstruksi, terdiri atas bidang usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu.

Bidang usaha jasa konstruksi yang bersifat umum harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan bangunan konstruksi atau bentuk fisik lain, mulai dari penyiapan lahan sampai dengan penyerahan akhir atau berfungsinya bangunan konstruksi. Bidang usaha jasa konstruksi yang bersifat spesialis harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan bagianb tertentu dari bangunan konstruksi atau bentuk fisik lain. Adapun bidang usaha jasa konstruksi yang bersifat keterampilan harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan subbagian pekerjaan konstruksi dari bagian tertentu bangunan konstruksi dengan menggunakan teknologi sederhana.

c.      sertifikasi berdasarkan kualifikasi dan klasifikasi usaha dan jasa. Badan usaha jasa konstruksi yang memberikan layanan jasa konstruksi harus memiliki sertifikat sesuai klasifikasi dan kualifikasi usaha. Orang perseorangan yang memberikan layanan jasa konstruksi atau orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha yang memberikan layanan jasa konstruksi harus memiliki sertifikat sesuai klasifikasi dan kualifikasi.

Pengaturan mengenai klasifikasi dan kualifikasi usaha dibuat lebih rinci demikian pula terkait dengan tenaga kerja baik tingkat ahli maupun terampil.

d.     ketentuan mengenai akreditasi asosiasi perusahaan jasa konstruksi dihapuskan
e.     bab mengenai pengaturan tenaga kerja konstruksi dihapuskan.

f.       ketentuan mengenai pendanaan kegiatan forum dihapus

g.     ketentuan mengenai lembaga jasa konstruksi diubah menjadi lebih sederhana, dan pengaturan mengenai kelembagaan didelegasikan kepada peraturan Menteri tidak lagi diatur dalam peraturan atau

95


AD/ART lembaga. PP ini juga mengatur pembentukan unit sertfikasi bagi badan usaha dan tenaga kerja, serta kewenangan lembaga untuk member lisensi kepada unit-unit tersebut, dan pembentukan sekretariat di tingkat nasional.

2.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Pada prinsipnya pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi merupakan amanah Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 28 dan Pasal 37 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mengatur mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa, kontrak kerja konstruksi, penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, kegagalan bangunan dan penyelesaian sengketa. Pemilihan penyedia jasa diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang berbunyi sebagai berikut:

1.     Pemilihan penyedia jasa yang meliputi perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi oleh pengguna jasa dapat dilakukan dengan cara pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, atau penunjukan langsung.
2.     Dalam pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna jasa dapat melakukan prakualifikasi dan pasca kualifikasi.

3.     Dalam pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan terbatas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna jasa wajib melakukan prakualifikasi.

4.     Perusahaan nasional yang mengadakan kerja sama dengan perusahaan nasional lainnya dan atau perusahaan asing dapat mengikuti prakualifikasi dan dinilai sebagai perusahaan gabungan.

5.     Dalam pelelangan umum, pelelangan terbatas, atau pemilihan langsung penyedia jasa, pengguna jasa harus mengikutsertakan sekurang-kurangnya 1 (satu) perusahaan nasional.

6.     Dalam pemilihan perencana konstruksi dan pengawas konstruksi dapat disyaratkan adanya kewajiban:

96


a. jaminan penawaran dan jaminan pelaksanaan pekerjaan perencanaan untuk perencana konstruksi; atau
b. jaminan penawaran untuk pengawas konstruksi,

Apabila hal tersebut disepakati oleh pengguna jasa dan penyedia jasa yang mengikuti pemilihan.
Pasal 22 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa:
1.     Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus memuat uraian mengenai:
a.     Para pihak yang meliputi:

(1)      akta badan usaha atau usaha orang perseorangan;

(2)      nama wakil/kuasa badan usaha sesuai kewenangan pada akta badan usaha atau sertifikat keahlian kerja dan sertifikat keterampilan kerja bagi usaha orang perseorangan; dan
(3)      tempat kedudukan dan alamat badan usaha atau usaha orang perseorangan;
b.     Rumusan pekerjaan yang meliputi:

(1)      pokok-pokok pekerjaan yang diperjanjikan;

(2)      volume atau besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan;

(3)      nilai pekerjaan dan ketentuan mengenai penyesuaian nilai pekerjaan akibat fluktuasi harga untuk kontrak kerja konstruksi bertahun jamak;

(4)      tata cara penilaian hasil pekerjaan dan pembayaran; dan

(5)      jangka waktu pelaksanaan;

c.     Pertanggungan dalam kontrak kerja konstruksi meliputi:

(1)      jenis pertanggungan yang menjadi kewajiban penyedia jasa yang berkaitan dengan pembayaran uang muka, pelaksanaan pekerjaan, hasil pekerjaan, tenaga kerja, tuntutan pihak ketiga dan kegagalan bangunan;
(2)      pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam angka (1) memuat:
(a). nilai jaminan;

(b). jangka waktu pertanggungan;

97


(c). prosedur pencairan; dan

(d). hak dan kewajiban masing-masing pihak; dan

(3). Dalam hal penyedia jasa tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kontrak kerja konstruksi, pengguna jasa dapat mencairkan dan selanjutnya menggunakan jaminan dari penyedia jasa sebagai kompensasi pemenuhan kewajiban penyedia jasa;

d.     Tenaga ahli yang meliputi:

(1)      persyaratan klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli;

(2)      prosedur penerimaan dan atau pemberhentian tenaga ahli yang dipekerjakan; dan
(3)      jumlah tenaga ahli sesuai dengan jenis pekerjaan;

e.     Hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak kerja konstruksi meliputi:
(1)      hak dan kewajiban pengguna jasa; dan

(2)      hak dan kewajiban penyedia jasa;

f.      Cara pembayaran memuat:

(1)      volume/besaran fisik;

(2)      cara pembayaran hasil pekerjaan;

(3)      jangka waktu pembayaran;

(4)      denda keterlambatan pembayaran; dan

(5)      jaminan pembayaran;

g.     Ketentuan mengenai cidera janji yang meliputi:

(1).     bentuk cidera janji :

(a).  oleh penyedia jasa yang meliputi:

·      tidak menyelesaikan tugas;

·      tidak memenuhi mutu;

·      tidak memenuhi kuantitas; dan

·      tidak menyerahkan hasil pekerjaan; dan

(b).  oleh pengguna jasa yang meliputi:

·      terlambat membayar;

·      tidak membayar; dan



98


·      terlambat menyerahkan sarana pelaksanaan pekerjaan;

dan

(2). Dalam hal terjadi cidera janji yang dilakukan oleh penyedia jasa atau pengguna jasa, pihak yang dirugikan berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti rugi;

h.     Penyelesaian perselisihan memuat:

(1)      penyelesaian di luar pengadilan melalui alternatif penyelesaian sengketa, atau arbitrase; dan
(2)      penyelesaian melalui pengadilan sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku;
i.      Ketentuan pemutusan kontrak kerja konstruksi memuat:

(1)      bentuk pemutusan yang meliputi pemutusan yang disepakati para pihak atau pemutusan secara sepihak; dan
(2)      hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa sebagai konsekuensi dari pemutusan kontrak kerja konstruksi;
j.      Keadaan memaksa mencakup kesepakatan mengenai:

(1)      risiko khusus;

(2)      macam keadaan memaksa lainnya; dan

(3)      hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa pada keadaan memaksa;
k.     Kewajiban para pihak dalam kegagalan bangunan meliputi:

(1)      jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan bangunan; dan

(2)      bentuk tanggung jawab terhadap kegagalan bangunan;

l.      Perlindungan pekerja memuat:

(1)      kewajiban terhadap pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
(2)      bentuk tanggung jawab dalam perlindungan pekerja; dan

m.   Aspek lingkungan memuat:

(1)      kewajiban terhadap pemenuhan ketentuan undang-undang yang berlaku; dan

99


(2)      bentuk tanggung jawab mengenai gangguan terhadap lingkungan dan manusia.
2.     Kontrak kerja konstruksi harus memuat ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup:
a.     kepemilikan hasil perencanaan, berdasarkan kesepakatan; dan

b.     pemenuhan kewajiban terhadap hak cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh pemegang hak cipta dan hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten sesuai undang-undang tentang hak cipta dan undang-undang tentang hak paten.
3.     Kontrak kerja konstruksi dapat memuat ketentuan tentang insentif yang mencakup persyaratan pemberian insentif, dan bentuk insentif.
4.     Kontrak kerja konstruksi dapat memuat ketentuan tentang sub penyedia jasa dan atau pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan mengenai hal-hal:
a.     pengusulan oleh penyedia jasa dan pemberian izin oleh pengguna jasa untuk sub penyedia jasa/pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan;

b.     tanggung jawab penyedia jasa dalam kaitan penggunaan sub penyedia jasa/pemasok terhadap pemenuhan ketentuan kontrak kerja konstruksi; dan
c.     hak intervensi pengguna jasa dalam hal:

(1).     pembayaran dari penyedia jasa kepada sub penyedia jasa/pemasok terlambat; dan
(2).   sub penyedia jasa/pemasok tidak memenuhi ketentuan kontrak kerja konstruksi.
5.     Pada kontrak kerja konstruksi dengan mempergunakan 2 (dua) bahasa harus dinyatakan secara tegas hanya 1 (satu) bahasa yang mengikat secara hukum.

6.     Kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia.
Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib dimulai dengan tahap

perencanaan yang selanjutnya diikuti dengan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan

100


penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran. Lingkup tahap perencanaan pekerjaan konstruksi meliputi prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik. Sedangkan, lingkup tahap pelaksanaan beserta pengawasan pekerjaan konstruksi meliputi pelaksanaan fisik, pengawasan, uji coba, dan penyerahan hasil akhir pekerjaan.

Pasal 30 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan bahwa untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, penyelenggara pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang:

1.        keteknikan, meliputi persyaratan keselamatan umum, konstruksi bangunan, mutu hasil pekerjaan, mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan mutu peralatan sesuai dengan standar atau norma yang berlaku;
2.        keamanan, keselamatan, dan kesehatan tempat kerja konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.        perlindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4.        tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi mengatur bahwa kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan harus dinyatakan dengan tegas dalam kontrak kerja konstruksi. Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif, yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan.

101


Pasal 49 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi mengatur mengenai penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan yang dapat dilakukan dengan cara:
1.     melalui pihak ketiga yaitu:

a.     mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa);
b.     konsiliasi; atau

2.     arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase Ad Hoc. Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuai kebutuhan.

3.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (Peraturan Pemerintah PPJK)

Pada prinsipnya pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi merupakan amanah Pasal 35 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi, lingkup pengaturan pembinaan jasa konstruksi meliputi bentuk pembinaan, pihak yang dibina, penyelenggara pembinaan, serta pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan pembinaan. Pembinaan jasa konstruksi ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Untuk Pemerintah Pusat bertanggung jawab terhadap kegiatan pembinaan yang meliputi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. Sedangkan untuk Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota menyelenggarakan pembinaan jasa konstruksi untuk melaksanakan tugas otonomi daerah mengenai:

a.     pengembangan sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi;

b.     peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi;

c.      pengembangan sistem informasi jasa konstruksi;

d.     penelitian dan pengembangan jasa konstruksi;

102


e.     pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota. Terkait dengan pembiayaan pembinaan, dalam Pasal 14 Peraturan

Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi mengatur bahwa pembiayaan yang diperlukan dalam pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sedangkan pembiayaan yang diperlukan untuk pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi diatur sebagai berikut:

a.     Pembinaan yang dilakukan sebagai pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b.     Pembinaan yang dilakukan sebagai pelaksanaan otonomi daerah dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Untuk pembiayaan yang diperlukan untuk pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota diatur sebagai berikut:

a.     Pembinaan yang dilakukan sebagai pelaksanaan tugas pembantuan dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.     Pembinaan yang dilakukan sebagai pelaksanaan tugas otonomi daerah dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

4.           Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Perpres KKNI)

Keterkaitan Perpres tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yaitu pada bidang pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka kompetensi kerja di bidang jasa konstruksi. Pada Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.



103


Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia terdiri atas 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang terendah sampai dengan jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi. Jenjang kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia termaksud terdiri atas:



a. jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam jabatan operator;

b.    jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis; dan

c.    jenjang 7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam jabatan ahli. Pada Pasal 3 dan Pasal 4 dinyatakan bahwa setiap jenjang kualifikasi



pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia memiliki kesetaraan dengan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan, pelatihan kerja atau pengalaman kerja yang dinyatakan dalam bentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. Selanjutnya dalam Pasal 9 dinyatakan penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia pada setiap sektor atau bidang profesi ditetapkan oleh kementerian atau lembaga yang membidangi sektor



atau bidang profesi yang bersangkutan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada deskripsi jenjang kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran Perpres Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar