Kamis, 15 November 2018

PENYELENGARAAN JASA KONTRUKSI



BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Sektor jasa konstruksi adalah salah satu sektor strategis dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional. Posisi strategis tersebut dapat dilihat dari adanya keterkaitan dengan sektor lain. Jasa konstruksi sesungguhnya merupakan bagian penting dari terbentuknya produk konstruksi, karena jasa konstruksi menjadi arena pertemuan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Pada wilayah penyedia jasa juga bertemu sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan sektor konstruksi seperti pelaku usaha, pekerjanya dan rantai pasok yang menentukan keberhasilan dari proses penyediaan layanan jasa konstruksi, yang menggerakkan pertumbuhan sosial ekonomi.

Oleh karena itu, pengembangan jasa konstruksi menjadi agenda publik yang penting dan strategis bila melihat perkembangan yang terjadi secara cepat dalam konteks globalisasi dan liberalisasi, kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan otonomi daerah, serta kerusakan dan bencana alam. Selain itu, perkembangan jasa konstruksi juga tidak bisa dilepaskan dari konteks proses transformasi politik, budaya, ekonomi, dan birokrasi yang sedang terjadi. Saat ini pengembangan jasa konstruksi dihadapkan pada masalah domestik berupa dinamika penguatan masyarakat sipil sebagai bagian dari proses transisi demokrasi di tingkat daerah dan nasional serta berkembangnya beragam model transaksi dan hubungan antara penyedia dengan pengguna jasa konstruksi dalam lingkup pemerintah dan swasta.

Sejumlah tantangan tersebut membutuhkan upaya penataan dan penguatan kembali pengaturan kelembagaan dan pengelolaan sektor jasa konstruksi, untuk menjamin sektor konstruksi Indonesia dapat tumbuh, berkembang, memiliki nilai tambah yang meningkat secara berkelanjutan, profesionalisme dan daya saing. Salah satu upaya tersebut ditempuh dengan mengevaluasi pelaksanaan dan perbaikan terhadap Undang-

1


Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi”) yang telah berlaku selama 15 (lima belas) tahun. Evaluasi dan perbaikan tersebut ditujukan untuk menjawab sejumlah persoalan saat ini dan ke depan.

Pada prinsipnya, Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengatur jenis, bentuk, dan bidang usaha jasa konstruksi, pengikatan kontrak, tanggungjawab penyedia dan pengguna jasa, penataan partisipasi masyarakat jasa konstruksi, kegagalan bangunan, peran masyarakat jasa konstruksi, pembinaan, penyelesaian sengketa dan ketentuan pidana.

Secara kontekstual akibat perubahan yang terjadi di tingkat masyarakat dan iklim usaha, beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi perlu memperhatikan perkembangan usaha jasa konstuksi di tingkat global. Salah satunya terkait dengan aspek pembagian bidang usaha, dimana Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi membagi bidang usaha ke dalam Arsitek, Sipil, Mekanikal, Elektrikal, dan Tata Lingkungan (ASMET). Pada tingkat global sesuai dengan standar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) usaha jasa konstruksi dibagi berdasarkan Central Product Classification (CPC). CPC menganut bidang usaha berdasarkan produk bukan ilmu yang dikembangkan di perguruan tinggi yang lebih cocok untuk pembagian dunia profesi.

Selain itu, Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum menyentuh kenyataan bahwa jenis pekerjaan atau usaha jasa konstruksi bukan hanya perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan, tetapi sudah berkembang berdasarkan product life cycle. Hal tersebut bukan hanya sekedar konsep tetapi sudah berkembang menjadi realitas dari pasar konstruksi.

Dari sisi penataan kelembagaan pengembangan jasa konstruksi yang menempatkan proses sertifikasi sebagai instrumen mengontrol kualitas pelayanan penyedia jasa konstruksi memerlukan penyesuaian terkait dengan aspek pengembangan prosedur, terutama dalam memperjelas kualitas akuntabilitas dan pembagian peran diantara para pemangku kepentingan di jasa konstruksi. Prosedur yang perlu ditata kembali terkait dengan prosedur registrasi, sertifikasi ataupun akreditasi yang mulai

2


banyak dipertanyakan fungsinya dalam pengembangan usaha jasa konstruksi.
Peningkatan jumlah peristiwa kegagalan bangunan atau konstruksi akhir-akhir ini baik diakibatkan oleh kesalahan proses maupun keadaan di luar kekuasaan manusia antara lain bencana alam, menyisakan persoalan terkait dengan kualitas dan tanggung jawab penyedia dan penggunanya. Aspek ini perlu dipertegas terkait dengan tanggung jawab, serta proses pengawasan dan penilaian, pada saat proses penyelenggaraan konstruksi berlangsung ataupun saat ditemukan atau terjadi kegagalan konstruksi atau bangunan baik yang berakibat pidana maupun tidak. Aspek ini pengaturannya harus memberikan jaminan kepastian hukum.

Dari sisi eksternal saat pembentukan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, tekanan liberalisasi perdagangan mempengaruhi aspek pengaturan terhadap pelaku jasa konstruksi asing. Hal tersebut terlihat dari belum cukupnya aturan yang mengatur mengenai keberadaan perusahaan konstruksi dan tenaga kerja asing yang mengerjakan pekerjaan konstruksi di Indonesia. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian bersama untuk menata kembali tata niaga jasa konstruksi, terutama pengaturan mengenai pasar yang bisa diakses oleh pelaku jasa konstruksi asing serta tenaga kerja yang terlibat.

Aspek penting lainnya dari pengembangan jasa konstruksi yang belum cukup ditekankan dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini adalah keberadaan pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, dan penjaminan akuntabilitas publik karena produk konstruksi sebagian besar terkait langsung dengan kepentingan publik.

Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Meskipun dalam daftar Prolegnas Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas Tahun 2012 dengan judul RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, namun dari sisi perancangan peraturan perundang-undangan, perubahan Undang-Undang ini cenderung ke arah penggantian. Hal ini dengan mempertimbangkan besarnya substansi perubahan yang terjadi serta sudah tidak sesuainya

3


Undang-undang tentang Jasa Konstruksi yang lama dengan tata cara perancangan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 angka 237 disebutkan bahwa: ”Jika suatu Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:

a.    sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah;

b.    materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c.    esensinya berubah,

Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.”

Berdasarkan ketentuan tersebut maka penyusunan RUU perubahan ini diarahkan guna menggantikan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang lama dengan format undang-undang baru sebagai pengganti undang-undang lama.

B. Identifikasi Masalah

Pengaturan jasa konstruksi selama lebih dari kurun waktu 15 (lima belas) tahun belum sepenuhnya berjalan dengan baik dalam pembangunan sektor konstruksi yang kokoh, terutama dalam menghadapi persaingan global. Hal tersebut dapat dilihat dari persoalan yang muncul akibat dari implementasi Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini. Pertama, pemahaman yang belum sama di antara para pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap konsepsi demokratisasi industri konstruksi. Kedua, interpretasi yang berbeda terhadap peran pemerintah, peran masyarakat dalam bentuk lembaga pengembangan jasa konstruksi dan forum jasa konstruksi (seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi/LPJK dan Forum Jasa Konstruksi Nasional/FJKN) dan peran institusi masyarakat (asosiasi, badan sertifikasi, institusi diklat). Ketiga, rumusan yang kurang

efektif            mengenai             ketentuan              bidang/sub-bidang                  usaha,

4


klasifikasi/kualifikasi badan usaha dan tenaga kerja. Keempat, kewenangan dan proses akreditasi dan sertifikasi yang diwarnai oleh konflik kepentingan.

Berpijak pada latar belakang tersebut maka beberapa permasalahan yang akan dimuat dalam Naskah Akademik ini adalah:
1.     Apa yang menjadi isu pokok perlu diubahnya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi?
2.     Apa sajakah ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Jasa Konstruksi dan sejauh mana ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dapat menyelesaikan permasalahan yang menjadi isu pokok perubahan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi?

3.     Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis perubahan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi?
4.     Bagaimanakah jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi?

C.   Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka

tujuan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai berikut:

1.      Menganalisis permasalahan yang menjadi isu pokok perlu diubahnya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.
2.      Menguraikan dan menganalisis ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Jasa Konstruksi.
3.      Menguraikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Jasa Konstruksi.
4.      Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi

muatan RUU tentang Jasa Konstruksi.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai acuan atau referensi dalam menyusun dan membahas RUU tentang Jasa Konstruksi yang akan menjadi salah satu RUU dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019. Perubahan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini akan menjadi landasan hukum yang mampu menjawab

5


tantangan pengelolaan dan pengembangan jasa konstruksi dan kelembagaannya.
D. Metode Penelitian


1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan sifat penelitian deskriptif. Penelitian yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti data sekunder (Soemitro, 1983). Penelitian dilakukan dengan meneliti ketentuan-ketentuan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan dan literatur terkait.


2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah atau negara, meliputi antara lain, peraturan perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, seperti: buku-buku, artikel, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya, termasuk yang dapat diakses melalui internet. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya, yang semuanya dapat disebut bahan referensi atau bahan acuan atau rujukan (Ashshofa, 1998).

Untuk mendukung data sekunder, dilakukan wawancara dengan menggunakan panduan wawancara, dengan beberapa narasumber dan stakeholders yang terkait dengan jasa konstruksi.


3. Teknik Penyajian dan Analisis Data

Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif. Analitis deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan analisis berdasarkan hukum positif maupun teori-teori yang ada. Analisis deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada. Pelaksanaan metode deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai

6


pada tahap pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu sendiri (Soejono dan Abdurrahman, 2003). Sedangkan sifat preskriptif, bahwa penelitian mengemukakan rumusan regulasi yang diharapkan untuk menjadi alternatif penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturannya di masa yang akan datang.






















































7


BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS


A. Kajian Teoretis

Sektor konstruksi telah menjadi salah satu sektor penting dari perekonomian nasional. Di berbagai negara, sektor konstruksi mampu berkontribusi terhadap Gross Fixed Capital Formation (GFCF) sampai 70%-80% dan 5%-9% Gross Domestic Product (GDP). Pentingnya industri konstruksi bagi ekonomi nasional dapat dilihat dari beberapa indikator berikut (Hillebrandt, 1988; World Bank, 1984): (1) Produk Domestik Bruto (PDB). Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt, 1985) mengindikasikan bahwa kontribusi industri konstruksi terhadap PDB berkisar antara 3-10%, umumnya akan lebih rendah di negara berkembang dan lebih tinggi di negara maju. Menurut Bank Dunia (1984), di negara-negara berkembang, industri kontruksi berkontribusi 3-8% terhadap PDB; (2) Kontribusi terhadap investasi, yang diukur dari pembentukan aset tetap (fixed capital formation); dan jumlah penyerapan tenaga kerja. Industri konstruksi Indonesia telah tumbuh sejak awal tahun 1970an. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi industri konstruksi terhadap PDB meningkat dari 3.9% di tahun 1973 menjadi di atas 8% di tahun 1997. Pada tahun 1998 kontribusi industri konstruksi nasional terhadap PDB mengalami penurunan dan berlanjut sampai tahun 2002 hingga menjadi sekitar 6%. Mulai tahun 2003, kontribusi industri konstruksi terhadap PDB mulai menunjukkan tren yang membaik. Data tahun 2005 menunjukkan industri konstruksi terhadap PDB meningkat kembali menjadi 6.35%. Industri konstruksi berkontribusi 60% dari pembentukan aset tetap. Pada sektor tenaga kerja, industri konstruksi berkontribusi sekitar 10% dari total tenaga kerja nasional. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruksi dari awal tahun 1970-an hingga tahun 1997 di atas pertumbuhan tenaga kerja nasional. Setelah periode krisis ekonomi, penyerapan tenaga kerja pada sektor industri konstruksi telah menunjukkan peningkatan, sejalan dengan mulai meningkatnya kembali kontribusi industri konstruksi terhadap PDB.

8


Sebagian besar dari output industri konstruksi adalah barang investasi (Hillebrandt, 1988; Raftery, 1991; Wells, 1986; World Bank, 1984) yang diperlukan untuk memproduksi barang, jasa atau fasilitas seperti: (1) fasilitas untuk produksi lebih lanjut, seperti bangunan pabrik; (2) pembangunan atau peningkatan infrastruktur ekonomi, seperti jalan raya, pelabuhan, jalan kereta; dan (3) investasi sosial, seperti rumah sakit, sekolah. Oleh karena itu, permintaan terhadap output industri konstruksi sangat berfluktuasi. Investasi dapat ditunda atau dipercepat, tergantung dari kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Dalam kondisi depresi ekonomi yang dialami Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, industri konstruksi mengalami dampak yang paling besar. Setelah menikmati pertumbuhan sebesar 12,8% di tahun 1996, industri konstruksi tumbuh hanya sebesar 6,4% di tahun 1997, dan bahkan mengalami kontraksi hampir 40% di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 1998). Tabel input-output BPS (1994) mengindikasikan industri konstruksi memiliki indeks penyebaran 1,24 dan indeks sensitifitas 1,23. Indeks penyebaran menunjukkan keterkaitan kebelakang (backward linkaged), yaitu kesempatan untuk menciptakan investasi bagi sektor lain disebabkan oleh permintaan pada salah satu sektor ekonomi. Indeks sensitivitas mengukur keterkaitan ke depan, yang menunjukkan penyediaan input oleh salah satu sektor ekonomi bagi sektor ekonomi lainnya. Indeks di atas 1,0 menunjukkan stimulasi di atas rata-rata, yang berarti industri konstruksi dapat mendorong pertumbuhan bagi sektor ekonomi lainnya.

1.    Definisi Konstruksi, Jasa Konstruksi, Industri/Sektor Konstruksi. Konstruksi secara umum dipahami sebagai segala bentuk
pembuatan/pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, bendung, jaringan irigasi, gedung, bandara, pelabuhan, instalasi telekomunikasi, industri proses, dan sebagainya) serta pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur (Well, 1986). Namun demikian, konstruksi dapat juga dipahami berdasarkan kerangka perspektif dalam konteks jasa, industri, sektor atau kluster. Menurut Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, jasa konstruksi adalah jasa perencanaan, pelaksanaan, dan

9


pengawasan suatu pekerjaan konstruksi. Sektor konstruksi dikonsepsikan sebagai salah satu sektor ekonomi yang meliputi unsur perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan operasional berupa transformasi dari berbagai input material menjadi suatu bentuk konstruksi (Moavenzadeh, 1978). Industri konstruksi sangat esensial dalam kontribusinya pada proses pembangunan, dimana hasil produk industri konstruksi seperti berbagai sarana, dan prasarana merupakan kebutuhan mutlak pada proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Henriod, 1984). Industri konstruksi secara luas yang terdiri dari pelaksanaan kegiatan di lapangan beserta pihak stakeholder seperti kontraktor, konsultan, material supplier, plant supplier, transport supplier, tenaga kerja, asuransi, dan perbankan dalam suatu transformasi input menjadi suatu produk akhir yang mana dipergunakan untuk mengakomodasi kegiatan sosial maupun bisnis dari society (Bon, 2000).

Sementara, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) definisi sektor konstruksi adalah suatu kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatu dengan lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau sarana kegiatan lainnya. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan, pembuatan, pemasangan/instalasi, pembongkaran, dan perbaikan bangunan. Kegiatan konstruksi dilakukan oleh kontraktor umum (perusahaan konstruksi) maupun oleh kontraktor khusus unit usaha atau individu yang melakukan kegiatan konstruksi untuk dipakai sendiri)

Definisi sektor konstruksi oleh US SIC (United State Standard Industry Classification) adalah bahwa the construction sector comprises establishments primarily engaged in the construction of buildings and other structures, heavy construction (except buildings), additions, alterations, reconstruction, installation, and maintenance and repairs. Establishments engaged in demolition or wrecking of buildings and other structures, clearing of building sites, and sale of materials from demolished structures are also included. This sector also includes those

10


establishments engaged in blasting, test drilling, landfill, leveling, earthmoving, excavating, land drainage, and other land preparation. Sedangkan NAIC (North American Industry Classification) menjelaskan bahwa this sector comprises establishments primarily engaged in constructing, repairing and renovating buildings and engineering works, and in subdividing and developing land. These establishments may operate on their own account or under contract to other establishments. They may produce complete projects or just parts of projects. Establishments often subcontract some or all of the work involved in a project. Establishments may produce new construction, or undertake repairs and renovations to existing structures. A construction establishment may be the only establishment of an enterprise, or one of several establishments of an integrated real estate enterprise engaged in the land assembly, development, financing, building and sale of large projects.

Kerangka teoritis sektor konstruksi menurut Parikesit dan Suraji (2005) terdiri dari industri (usaha) dan perdagangan (pengusahaan) dari suatu produk konstruksi. Modalitas dari sektor konstruksi adalah kapital, sumber daya manusia, teknologi dan model bisnis proses serta informasi, akses pasar, sistem transaksi dan penjaminan kualitas. Pengertian konstruksi secara lebih luas juga dapat dijelaskan dengan pendekatan kluster konstruksi (Suparto, 2006). Kluster konstruksi menggambarkan semua elemen baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan elemen-elemen dalam industri konstruksi. Di Scotlandia (2004), kluster konstruksi dikonsepsikan sebagai representasi dari subyek klien, berbagai tipe pasar konstruksi, institusi yang bertugas meningkatkan kapasitas, layanan pendukung, aktifitas konstruksi, dan rantai suplainya serta para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konstruksi. Barret (2005) menggunakan istilah sistem konstruksi untuk menggambarkan berbagai entitas baik subyek maupun obyek berdasarkan kerangka siklus hidup proyek konstruksi. Menurut Barret (2005) dalam sistem konstruksi terdapat 3 (tiga) arena dimana pemangku kepentingan berperan melakukan perubahan. Pada arena

11


pengetahuan dan perilaku, masyarakat dan pendidikan serta penelitian menjadi medium bagi para pemangku kepentingan. Selanjutnya, pada arena kerangka kerja dan penyelenggaraan konstruksi, pihak industri atau klien, pihak yang mengadakan konstruksi, dan pemerintah serta tim proyek konstruksi menjadi pemangku kepentingan. Dalam hal ini, pemerintah, industri atau klien serta pihak yang mengadakan konstruksi adalah pemangku kepentingan utama sebagai pemantik perubahan.

Dalam dokumen ini, konstruksi Indonesia dapat disederhanakan dengan cara dikonsepsikan sebagai representasi dari obyek (produk), proses bisnis (process) dan pelaku (people) yang bergerak pada tingkat mikro, meso, dan makro dalam ranah domestik maupun global serta terkait dengan beragam pemangku kepentingan. Konstruksi sebagai obyek digambarkan secara berbeda sebagai (1) jenis konstruksi penggunaan, termasuk residential buildings, non-residential buildings, industrial buildings, heavy construction; (2) jenis konstruksi produk yang mencakup highrise buildings, lowrise buildings, process buildings, dan civil and heavy construction; (3) jenis konstruksi campuran yang meliputi shopping and hotels (soho), rumah kantor (rukan), rumah toko (ruko); dan (4) jenis konstruksi campuran seperti buildings and housings, infrastructure dan other construction.

Konstruksi sebagai representasi bisnis dikonsepsikan sebagai aktifitas, cara penyelenggaraan (mode of delivery) dan bentuk suplai. Menurut Europen Union (EU) aktifitas untuk membuat obyek konstruksi tersebut dijelaskan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang disebut sektor konstruksi yaitu (1) site preparation, (2) building of complete constructions or parts thereof; and civil engineering, (3) building installation, (4) building completion, dan (5) renting of construction or demolition equipment with operator. Cara penyelenggaraan dapat bersifat

(1)  traditional seperti design only, construct only, dan supervision only; (2) design-build; (3) plant design-build; EPC/ EPCC/EPCF; (4) (EPC)M/PMC/CM; (5) PPP/BOT, BOO, BOOT, BOL; dan (6) aliansi. Bentuk suplai dari bisnis konstruksi adalah advisory services, studi

12


kelayakan, survey investigation, planning, design (conceptual design, basic design, detail design), checkers, quantity surveyors, procurement, supply (equipment, material, labour, wharehouse, transportation), construction, post construction (operation and maintenance, betterment, rehabilitation, renovation, restoration) dan demolition.

Pelaku konstruksi adalah pemilik, pengguna, penyedia jasa utama dan penyedia jasa penunjang. Pemilik dapat berasal dari pemerintah, private, developer, kontraktor, dan komunitas. Penyedia jasa utama adalah kontraktor dan subkontraktor, konsultan (planning, design, checker), suppliers (equipment, materials, labour). Sedangkan penyedia jasa penunjang adalah insurance, financiers, intermidiary (brokers), legal advisors, warehouse and transportation, dan manufacturers (building materials and equiments).

Pemangku kepentingan (stakehoders) konstruksi terdiri dari main stakeholders (pemilik, pemakai, penyedia (utama dan pendukung)), regulator, other stakeholders misalnya pemerintah Indonesia, lembaga pendukung (pendidikan, keuangan, dll), komisi pengawas persaingan usaha (KPPU), masyarakat (lokal, nasional, global). Setiap bagian dari sistem konstruksi tersebut membutuhkan analisis terhadap isu strategis, dampak, penyebab, strategic thrust, dan indikator. Selanjutnya, secara sederhana sistem dan konteks konstruksi dapat digambarkan sebagai berikut.

2. Sistem Sektor Konstruksi

Sistem konstruksi dapat dijelaskan atas elemen-elemen nilai-nilai dan prinsip-prinsip, infrastruktur legal, pasar konstruksi, kapasitas industri konstruksi, dan faktor-faktor pendukung. Nilai-nilai dalam sistem konstruksi Indonesia adalah (i) moral, integritas, kredibilitas, hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, (ii) transparansi, akuntabilitas, demokratisasi (partisipasi), keadilan, (iii) global universal values: pelestarian lingkungan, gender, kemitraan dan kesederajatan, (iv) good governance: penegakan hukum, responsiveness, konsensus, equality, efektifitas dan efisiensi, vision, (v) tripple bottom lines (sustainable

13


development): - economically efficient; -environmentally sustainable; - socially equitable, dan (vi) kecenderungan perubahan dalam sustainable world dari economic efficiency menjadi resources efficiency; dari sentralisasi menjadi desentralisasi; dari standardisasi menuju diversifikasi. Prinsip-prinsip dalam sistem konstruksi Indonesia adalah bahwa (a) peran pemerintah tetap kuat dalam kebijakan (arah pengembangan; regulasi; perijinan (licensing); pendanaan/mekanisme intervensi pasar; pemberdayaan dan pemihakan kepada yang lemah; (b) demokratisasi dan partisipasi peran masyarakat lebih besar dengan indikator peningkatan peran masyarakat (misalnya LPJKN), peningkatan peran organisasi sejawat (asosiasi pengusaha, asosiasi profesi; badan akreditasi, badan sertifikasi), dan (c) ko-operasi dan kompetisi medan datar bercirikan playing field harus jelas serta integrasi dan sinergi sistem kuat.

Infrastruktur legal dalam sistem konstruksi Indonesia mencakup

(1)     peraturan perundang-undangan (UU, PP, Keputusan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi), (2) governance dan organisasi yang bercirikan kejelasan dan peran pemerintah; peran masyarakat; dan peran lembaga pengembangan jasa konstruksi, (3) data base dan sistem informasi; dan (4) monitoring dan evaluation system. Sedangkan elemen perkembangan pasar konstruksi mencakup (a) struktur perekonomian nasional, (b) kluster industri dan industri konstruksi nasional, (c) playing field industri konstruksi, (d) peran teknologi dan research and development, (e) promoting network: regional dan global linkage. Kapasitas industri konstruksi nasional dalam sistem konstruksi Indonesia meliputi (i) Badan Usaha (BU), (ii) Tenaga kerja (TK), (iii) standar kompetensi (BU dan TK), (iv) Asosiasi (BU dan TK), (v) Sertifikasi (BU dan TK), (vi) Akreditasi (BSI dan Institusi Diklat), (vii) Standardisasi (material, peralatan, dan jasa), (viii) Jaminan Kualitas (ISO 9001, dll.), dan (ix) Sistem perijinan (licencing). Faktor pendukung dalam sistem konstruksi Indonesia adalah (1) peran pembinaan pemerintah, (2) Pengembangan research and development, (3) Insentif pemerintah: access to financial capital; tax incentive.

14


3. Pembinaan Sektor Konstruksi

Pengelolaan sektor konstruksi dilakukan oleh para pelaku usaha dan profesi dari setiap rantai suplai dalam suatu kluster konstruksi. Ranah pengelolaan sektor konstruksi mencakup supply dan demand baik dalam bentuk jasa maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan produk konstruksi. Pengelolaan tersebut mencakup penataan usaha dan pengusahaan. Penataan usaha adalah upaya mengatur usaha-usaha dan profesi-profesi yang menghasilkan barang dan jasa baik terkait dengan sumber daya manusia, kapital, teknologi, model usaha. Sedangkan penataan pengusahaan adalah upaya mengatur tata-niaga terkait dengan investasi atau pasar konstruksi, akses dan cara-cara mengakses pasar konstruksi, bentuk-bentuk dan cara-cara transaksi di pasar konstruksi dan jaminan kualitas atas produk konstruksi.

Konstruksi memiliki lingkup yang amat luas. Konstruksi atau “construction” memiliki definisi sebuah proses untuk menjadikan sesuatu yang dari berbagai masukan yang dibutuhkan. Dalam pengertian yang lebih sempit hasil dari sebuah kegiatan konstruksi adalah berwujud fisik. Kegiatan konstruksi terdiri dari (1) penyelenggaraan kegiatan penyediaan bahan baku, sumber daya manusia, sumber daya keuangan dan teknologi, dan (2) proses dalam mengkombinasikan input produksi tersebut menjadi keluaran.

Barang publik dari kegiatan konstruksi seringkali kita kenal dengan infrastruktur atau prasarana. Sedangkan barang privat adalah hasil kegiatan yang kepemilikannya adalah orang perorang atau badan usaha, baik pemerintah maupun non pemerintah. Dari pembiayaannya, terdapat pula dua kemungkinan kegiatan konstruksi dapat diselenggarakan, yaitu pembiayaan oleh Negara (melalui pemerintah) dan oleh swasta.

Pemerintah memiliki peran strategis dalam pembinaan konstruksi dan investasi. Secara praktis peran pembinaan ini sangat erat kaitannya dengan domain manajemen pemerintah dalam melakukan pengaturan, pengawasan dan pemberdayaan sektor konstruksi. Oleh karena itu,

15


pemerintah perlu menetapkan apa yang menjadi urusan pemerintah kaitannya dengan pembinaan konstruksi dan investasi. Berangkat dari hal ini, maka aspek-aspek penting yang harus menjadi perhatian pemerintah akan lebih jelas.
Secara praktis, domain manajemen pemerintah terkait dengan urusan pembinaan konstruksi dan investasi di sektor konstruksi adalah perdagangan konstruksi (construction trade) dan industri konstruksi (construction industry). Dua subyek ini muncul atas bangkitan dari hubungan permintaan (demand) oleh konsumen (consumer) dan suplai (supply) dari barang dan jasa oleh pelaku usaha konstruksi untuk mewujudkan produk konstruksi. Permintaan tersebut akan menjadi pasar (market) perdagangan konstruksi, sedangkan suplai akan melahirkan pelaku (supplier) atau industri yang memberikan produk, baik barang konstruksi (construction products) maupun jasa konstruksi (construction services) dari sektor konstruksi.
Perdagangan konstruksi akan erat kaitannya dengan pengusahaan (tata niaga) sektor konstruksi, sedangkan industri konstruksi akan kaitannya dengan usaha di sektor konstruksi. Usaha tersebut membutuhkan sarana dan cara-cara usaha termasuk sumberdaya (modalities). Pengusahaan perdagangan konstruksi berkaitan dengan aspek informasi pasar (market information), cara-cara memasuki pasar konstruksi (entry to construction market), transaksi atau pengadaan, serta kebutuhan akuntabilitas publik dari produk barang dan jasa di pasar konstruksi. Sedangkan, industri konstruksi berkaitan dengan usaha di bidang konstruksi, termasuk jasa konstruksi yang membutuhkan dukungan sumberdaya usaha, seperti ketersediaan teknologi, akses kepada kapital pada lembaga keuangan, profesionalitas sumberdaya manusia, efisiensi dan efektifitas proses usaha (business process).

4. Pemangku Kepentingan Usaha & Pengusahaan Sektor Konstruksi Secara umum, pemangku kepentingan (stakeholders) sektor
konstruksi terdiri dari 5 (lima) unsur utama, yaitu (i) regulator, (ii)


16


pemilik, (iii) investor, (iv) penyedia konstruksi, baik barang maupun jasa, dan (v) konsumen produk konstruksi dalam hal ini dapat sebagai pengguna (consumers) maupun pemanfaat (users).

Regulator adalah pihak yang melakukan pengaturan-pengaturan di sektor konstruksi, terutama pengaturan transaksi dan penjaminan mutu. Pemilik adalah pihak yang memiliki informasi pasar serta memberikan akses pasar. Investor adalah pihak yang menyediakan investasi untuk pengadaan produk konstruksi. Sedangkan pihak penyedia jasa (service providers) adalah pihak yang menggunakan kapital, sumber daya manusia, teknologi, dan manajemen untuk menyediakan jasa maupun barang konstruksi. Konsumen adalah pihak yang menggunakan jasa dan barang konstruksi. Pemerintah dapat sebagai pihak pemilik sekaligus pengguna (consumers), sedangkan untuk produk konstruksi yang bersifat publik, maka masyarakat adalah pihak pemanfaat (users).

Namun demikian, secara praktis pemangku kepentingan (stakeholders) sektor konstruksi terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu (i) regulator, (ii) konsumen produk konstruksi dalam hal ini dapat pengguna (consumers) maupun pemanfaat (users), dan (iii) penyedia konstruksi, baik barang maupun jasa. Regulator adalah pihak yang melakukan pengaturan-pengaturan di sektor konstruksi, terutama pengaturan transaksi dan penjaminan mutu. Konsumen adalah pihak yang memiliki informasi pasar serta memberikan akses pasar. Sedangkan pihak penyedia jasa adalah pihak yang menggunakan kapital, sumber daya manusia, teknologi, dan manajemen untuk menyediakan jasa dan barang konstruksi.

Para pemangku kepentingan tersebut akan berbeda cakupan perannya berdasarkan sifat pengadaan barang dan jasa (komoditi) oleh publik (pemerintah) atau swasta. Peran pemangku kepentingan dapat dibedakan atas (i) pengadaan pemerintah untuk komoditi non kompetisi,

(ii)   pengadaan pemerintah untuk komoditi kompetisi, dan (iii) pengadaan swasta untuk komoditi baik kompetisi maupun non kompetisi. Berdasarkan ketiga jenis pengadaan ini, pengaturan pengusahaan

17


perdagangan akan memiliki perbedaan-perbedaan, termasuk pengaturan investasinya.

Pada pengadaan pemerintah (government procurement) untuk komoditi non kompetisi, maka pemerintah akan bertindak sebagai regulator dan konsumen serta sekaligus sebagai investor. Peran pemerintah pada pengadaan publik komoditi non kompetisi sangat besar. Pada kasus ini, pemerintah sebagai regulator dapat melakukan pengaturan proses transaksi dan penjaminan mutu. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan pengaturan pengadaan (transaksi) barang dan jasa pemerintah, sedangkan misalnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung merupakan instrumen untuk penjaminan mutu.

Sedangkan pengadaan pemerintah untuk komoditi kompetisi, pengaturan dapat dilakukan oleh suatu badan regulator independen. Pemerintah memiliki peran menetapkan rumusan-rumusan pengaturan tersebut. Pada posisi ini, pemerintah bertindak sebagai pihak konsumen. Namun demikian, pengaturan transaksi atau pengadaan dan penjaminan mutu, serta informasi dan akses pasar dilakukan berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengadaan ini, investasi dapat dilakukan oleh pihak swasta. Untuk kasus pengadaan pemerintah dengan melibatkan investor swasta, maka pengaturannya dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur. Posisi dan peran pemerintah dalam pengadaan pemerintah, serta pengaturan-pengaturan yang diperlukan sangat penting dalam sektor konstruksi.

Berbeda dengan pengadaan pemerintah, baik komoditi kompetisi maupun non kompetisi, untuk pengadaan swasta untuk komoditi kompetisi maupun non kompetisi, peran pemerintah adalah sebagai regulator. Pada pengadaan jenis ini, swasta atau masyarakat bertindak sebagai konsumen sekaligus sebagai investor. Pengaturan dari pengadaan ini hanya berkaitan dengan penjaminan mutu, sedangkan

18


transaksi, penyediaan informasi, dan akses pasar tidak dilakukan pengaturan-pengaturan. Pada pengadaan swasta, pihak konsumen (swasta dan masyarakat) tidak memiliki kewajiban untuk pengaturan informasi dan akses pasar, termasuk pengaturan untuk transaksi dengan sektor pengusahaan.

Pengadaan pemerintah maupun swasta untuk komoditi kompetisi dan non kompetisi akan selalu bersinggungan dengan permintaan investasi. Pemerintah sebagai konsumen untuk pengadaan publik, pembiayaan pengadaan tersebut dilakukan dengan penyediaan dana sendiri (APBN, Pinjaman atau Kredit Ekspor). Namun demikian, pembiayaan pengadaan pemerintah dapat berasal dari dana investasi swasta, dan dana masyarakat melalui ventura. Sedangkan jika swasta sebagai konsumen produk konstruksi, maka pembiayaan pengadaan tersebut dapat melalui dana sendiri (tabungan, penjualan saham) maupun dana.

5. Produk Sektor Konstruksi

Menurut BPS hasil kegiatan konstruksi dapat mencakup berbagai macam jenis konstruksi. Selanjutnya BPS mengklasifikasikan jenis-jenis konstruksi sebagai berikut:

a. Konstruksi gedung tempat tinggal meliputi rumah, apartemen, kondominium dan sejenisnya;
b. Konstruksi gedung bukan tempat tinggal mencakup perkantoran, kawasan industri/ pabrik, bengkel, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, bioskop, gelanggang olah raga, gedung kesenian/ hiburan, tempat ibadah dan sejenisnya;
c.  Konstruksi bangunan sipil: jalan, tol, jembatan, landasan pesawat terbang, jalan rel dan jembatan kereta api, terowongan, bendungan, waduk, menara air, jaringan irigasi, drainase, sanitasi, tanggul pengendali banjir, teriminal, stasiun, parkir, dermaga, pergudangan, pelabuhan, bandar dan sejenisnya;





19


d. Konstruksi bangunan elektrik dan telekomunikasi: pembangkit tenaga listrik, transmisi, distribusi dan bangunan jaringan komunikasi dan sejenisnya;

e.  Instalasi gedung dan bangunan sipil: instalasi listrik termasuk alat pendingin dan pemanas ruangan, instalasi gas, instalasi air bersih dan air limbah serta saluran drainase dan sejenisnya;

f.   Pengerukan: meliputi pengerukan sungai, rawa, danau dan alur pelayaran, kolam dan kanal pelabuhan baik bersifat pekerjaan ringan, sedang, maupun berat;

g.  Penyiapan lahan untuk pekerjaan konstruksi, termasuk pembongkaran dan penghancuran gedung atau bangunan lainnya serta pembersihan;

h. Penyelesaian konstruksi seperti pemasangan kaca dan aluminium; pengerjaan lantai, dinding dan plafon gedung, pengecatan; pengerjaan interior dan dekorasi dalam penyelesaian akhir; pengerjaan eksterior dan pertamanan pada gedung dan bangunan sipil lainnya;

i.     Penyewaan alat konstruksi dengan operatornya seperti derek lori, molen, buldoser, alat pencampur beton, mesin pancang dan sejenisnya.

Ruang lingkup sektor konstruksi sebagaimana tersebut di atas agak berbeda dengan klasifikasi jenis konstruksi yang digunakan oleh perbankan. Secara umum, perbankan nasional menggunakan klasifikasi jenis konstruksi untuk penyusunan database terkait dengan kredit sebagai berikut:

a.   Konstruksi Perumahan Sederhana

(1)    Konstruksi untuk Perumahan Sederhana

(2)    Konstruksi untuk Perumahan Sederhana Perumnas

(3)    Konstruksi untuk Perumahan Sederhana Lainnya

b.   Konstruksi Penyiapan Tanah Pemukiman Transmigrasi Konstruksi Penyiapan Tanah Pemukiman Transmigrasi (PTPT)

c.    Konstruksi Jalan Raya dan Jembatan

(1)    Konstruksi Jalan Raya dan Jembatan

(2)    Konstruksi Sarana Jalan

20


d.   Konstruksi Listrik

(1)    Konstruksi Listrik Perdesaan

(2)    Konstruksi Bangunan Listrik dan Komunikasi

(3)    Konstruksi Listrik Lainnya

e.   Konstruksi Proyek yang Dibiayai Dengan Pinjaman Dari/Untuk Luar Negeri
Konstruksi Proyek yang Dibiayai Dengan Pinjaman Luar Negeri Dari/Untuk Pembayaran di Luar Negeri
f.     Konstruksi Lainnya

(1)    Konstruksi Perumahan Real Estate

(2)    Konstruksi Apartemen dan Kondominium

(3)    Konstruksi Asrama/ Rumah Kost

(4)    Konstruksi Perkantoran

(5)    Konstruksi Hotel, Penginapan & Peristirahatan

(6)    Konstruksi Shopping Center & Trade Center

(7)    Konstruksi Ruko/Rukan

(8)    Konstruksi Sarana Kesehatan

(9)    Konstruksi Sarana Pendidikan

(10) Konstruksi Ibadah, Olahraga, Rekreasi

(11) Konstruksi Gedung Lainnya

(12) Konstruksi Pabrik/ Kawasan Industri

(13) Konstruksi Gudang

(14) Konstruksi Pelabuhan

(15) Konstruksi Lapangan Udara

(16) Konstruksi Irigasi

(17) Konstruksi Bangunan Sipil Lainnya

(18) Instalasi Prasarana Bangunan Sipil

(19) Konstruksi Pencetakan Sawah

(20) Konstruksi Pasar Inpres

Selain itu, NAIC mengklasifikasikan sektor konstruksi berdasarkan tiga kategori yaitu (1) building, developing and general contracting, (2) heavy construction, dan (3) special trade construction. Adapun rincian untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:

21


a.   Building, Developing and General Contracting

(1)      Land Subdivision and Land Development

(2)      Residential Building

(3)      Single-family Housing

(4)      Multi-family Housing

(5)      Non-residential Building Construction

(6)      Manufacturing and industrial building

(7)      Commercial and institutional building.

b.   Heavy Construction:

(1)      Highway, Street, Bridge, and Tunnel:

(a)    Highway and street;

(b)    Bridge and tunnel.

(2)      Other Heavy Construction:

(a)    Water, sewer, and pipeline;

(b)    Power and communication transmission line;

(c)    Industrial non-building structure;

(3)      All other heavy Construction.

c.    Special Trade Construction

(1)      Plumbing, Heating, and Air-Conditioning.

(2)      Painting and Wall Covering.

(3)      Electrical.

(4)      Masonry, Drywall, Insulation and Tile.

(5)      Carpentry & Floor.

(6)      Roofing, Siding, and Sheet Metal;

(7)      Concrete.

(8)      Water Well Drilling.

(9)      Other Special Trade.

6. Kelembagaan Sektor Konstruksi

Di banyak negara, kelembagaan di sektor konstruksi berfungsi memfasilitasi dan mendorong pengembangan industri konstruksi. Bentuk kelembagaan tersebut bisa organisasi publik (pemerintah) maupun non pemerintah, termasuk asosiasi perusahaan maupun

22


asosiasi profesi terkait dengan sektor konstruksi. Kelembagaan sektor ini dapat berada pada level lokal, nasional, regional, dan internasional. Lembaga yang hampir di setiap negara ada adalah lembaga pengembangan industri konstruksi (Construction Industry Development Board) atau institut untuk industri konstruksi (Construction Industry Institute). Disamping itu, lembaga pelatihan industri konstruksi (Construction Industry Training Board (CITB) atau Construction Industry Training Institute (CITI)) juga merupakan lembaga yang menfasilitasi dan mendorong kegiatan pelatihan (continuing professional development) sumber daya manusia konstruksi. Beberapa contoh kelembagaan di tingkat nasional di negara-negara lain, misalnya CIDB Malaysia, Building and Construction Authority (BCA) di Singapore, Construction Industry Institute (CII) di Amerika, Construction Industry Research and Information Agency (CIRIA) dan Bulding Research Establishment (BRE) di Inggris, Australian Construction Industry Institute (ACII) di Australia, dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Indonesia. Sedangkan di tingkat regional, misalnya, European Construction Institute (ECI) untuk Eropa, dan di tingkat internasional, misalnya International of Construction Research Council (CIB) yang memiliki kantor pusat di Belanda.

Di Indonesia, sektor konstruksi memiliki lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK) di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendorong pengembangan sektor konstruksi, pemerintah juga memiliki lembaga yang melakukan kegiatan pembinaan konstruksi dan investasi (BAPEKIN). Disamping itu pemerintah juga memiliki lembaga pelatihan jasa konstruksi (PUSLATJAKON). Di pihak masyarakat konstruksi, lembaga-lembaga yang terkait dengan sektor konstruksi adalah asosiasi profesi dan badan usaha. Di negara ini, jumlah asosiasi profesi kurang lebih 28 organisasi, sedangkan asosiasi badan usaha adalah 27 organisasi.

7. Para Pihak dalam Jasa Konstruksi

Pelaku sektor konstruksi adalah pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan membangun suatu jenis konstruksi. Kegiatan membangun

23


tersebut adalah suatu proses yang panjang, kompleks dan seringkali terjadi miskoordinasi dan inefisiensi (Hillebrant, 2000). Proses konstruksi secara umum melibatkan pihak-pihak pemangku kepentingan utama, yaitu:

a. Pengguna/pemilik (owner)

Pihak ini menyediakan lahan atau tanah dimana bangunan akan didirikan dan pendanaan yang akan digunakan untuk menyelenggarakan suatu jenis konstruksi (building/infrastructure procurement). Pihak ini dapat berasal dari instansi pemerintah, perusahaan swasta atau individu masyarakat. Pemerintah adalah investor utama untuk penyelenggaraan infrastruktur publik, seperti transportasi, pengairan dan pekerjaan umum serta fasilitas publik lainnya, seperti prasarana pendidikan dan kesehatan serta sosial. BUMN dan Swasta adalah investor untuk penyelenggaraan antara lain bangunan komersial dan real estate serta bangunan industri dan sejenisnya. Sedangkan individu masyarakat adalah investor untuk penyelenggaraan antara lain rumah tinggal atau rumah pribadi.

b. Penyedia Jasa

Merupakan pihak yang bertugas membantu pihak pemilik (investor atau developer) melakukan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dari mulai studi awal, perencanaan, pembuatan, perawatan, penghacuran hinggá pembuatan kembali. Pihak yang terlibat dalam proses studi awal atau perencanaan sering disebut sebagai konsultan, baik yang memberi layanan merencanakan (arsitek), merancang (insinyur perancang) maupun mengawasi pelaksanaan pekerjaan di lapangan (insinyur pengawas).

Sedangkan pihak yang menyediakan jasa pembuatan hingga penghancuran konstruksi dapat berperan sebagai kontraktor umum maupun kontraktor spesialis. Mereka melaksanakan pekerjaan konstruksi atas dasar kontrak dengan pihak pemilik. Kontraktor umum/spesialis tersebut dapat memberi jasa rekayasa (engineering) sekaligus jasa pelaksanaan (constructing) yang disebut dengan kontraktor rancang bangun atau EPC contractor.

24


Di sisi penyedia jasa juga terdapat pihak yang menyediakan bahan atau peralatan yang dibutuhkan oleh kontraktor umum atau spesialis. Vendor/supplier tersebut dapat langsung sebagai pabrikan atau perusahaan yang menjual bahan atau menyewakan peralatan.

8. Penyedia Jasa Perorangan

Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengakui bentuk usaha jasa konstruksi yang dilakukan oleh orang perseorangan, selain juga yang berbentuk badan usaha (Pasal 5 Ayat 1). Dalam prakteknya, usaha jasa konstruksi yang dilakukan oleh orang perseorangan dapat dilihat sebagai suatu kegiatan ekonomi non-formal, karena para pelakunya tidak terdaftar sebagai suatu badan usaha dan juga tidak membayar pajak. Peran usaha jasa konstruksi sektor informal ini dalam kegiatan ekonomi di Indonesia sebetulnya cukup besar, khususnya dalam melaksanakan kegiatan konstruksi sederhana untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan pemeliharaan bangunan perumahan milik masyarakat dan juga penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur dalam skala yang terbatas, seperti infrastruktur perdesaan dan sebagainya. Selain itu kegiatan konstruksi sektor informal ini juga menyediakan kebutuhan bangunan dan pemeliharaannya bagi berbagai sektor usaha kecil dan menengah di masyarakat, misalnya warung, pertokoan, rumah makan, industri rumah tangga, dan sebagainya.

Meskipun tidak terdapat data akurat mengenai berapa besar peran dari sektor informal ini terhadap sektor konstruksi nasional, juga tidak terdapat gambaran berapa banyak tenaga kerja konstruksi yang terlibat dalam sektor ini dan berapa besar nilai aset yang dihasilkan melalui sektor ini, diperkirakan bahwa kontribusi dari usaha jasa konstruksi sektor informal ini terhadap kegiatan jasa konstruksi Indonesia cukup besar. Peran sektor informal usaha jasa konstruksi ini tidak dapat diabaikan, karena sifatnya yang sangat menyentuh kehidupan sejumlah besar masyarakat Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun di perkotaan, dan juga karena kemampuan daya hidupnya yang sangat besar. Khususnya dalam masa-masa sulit krisis ekonomi yang menyebabkan banyak kehilangan pekerjaan diberbagai sektor industri

25


lainnya, sektor informal usaha konstruksi masih tetap mampu memberikan peluang lapangan kerja bagi masyarakat.
Sektor informal usaha konstruksi melibatkan berbagai jenis tenaga kerja, dari mulai pemborong informal dan mandor borong, tukang yang terlatih dan semi-terlatih serta tenaga buruh konstruksi tidak terlatih. Peran sektor ini dalam penyerapan tenaga kerja seharusnya cukup signifikan, meskipun tidak tersedia data yang jelas mengenai hal ini.
Dari sisi teknologi konstruksi, kegiatan konstruksi sektor informal sangat terkait dengan penggunaan teknologi konstruksi nir-rekayasa (non-engineered construction), yaitu teknologi konstruksi yang berdasarkan tradisi masyarakat yang ditularkan dari generasi ke generasi, menggunakan bahan konstruksi lokal dan tenaga kerja lokal. Teknologi ini didasarkan kepada pengetahuan yang dimiliki oleh para mandor dan tukang (tukang kayu, tukang batu dsb.) yang didapat melalui proses belajar secara tradisional dari pengalaman sehari-hari dan dari proses magang informal. Bangunan-bangunan konstruksi nir-rekayasa tidak direncanakan oleh arsitek dan tidak dihitung kekuatan strukturnya oleh insinyur perencana, juga dalam pelaksanaannya tidak melibatkan insinyur konstruksi.

Salah satu fenomena yang perlu mendapat perhatian dari bangunan nir-rekayasa ini adalah berubahnya tradisi membangun perumahan masyarakat, yang tadinya biasa dibangun dengan menggunakan cara dan bahan/material lokal dalam bentuk yang mengandung unsur budaya lokal (vernakular), misalnya rumah panggung dengan bahan kayu atau bambu dengan bentuk atap yang khas sesuai daerah masing-masing, mulai berubah dan bergeser ke arah penggunaan teknologi bangunan yang sekarang ini dapat ditemukan di mana-mana (kontemporer), yaitu teknologi bangunan rumah tembokan menggunakan bahan batu-bata (tanah liat yang dibakar atau bata semen) dan perekat semen yang diperkuat dengan kerangka dari kayu atau beton bertulang (bangunan tembokan bata dengan kekangan).

Pengalaman menujukkan bahwa sangat sering terjadi kegagalan bangunan tembokan yang bersifat getas ini diberbagai kejadian gempa

26


bumi di seluruh tanah air, karena tidak dipenuhinya syarat-syarat minimum bangunan sederhana tahan gempa, seperti penggunaan bahan yang kurang memadai, cara-cara penyambungan baja tulangan, pemasangan bata, sambungan kayu dan sebagainya yang tidak memenuhi syarat minimum. Ini menunjukkan bahwa keahlian membangun dari para tenaga kerja konstruksi sektor informal kita sangat terabaikan dan makin lama makin menurun kualitasnya.

B. Kajian terhadap Asas / Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
Pengelolaan sektor konstruksi harus dapat menjamin integrasi dari seluruh pihak (people) yang terlibat dalam keseluruhan struktur rangkaian rantai suplai agar mampu memberikan nilai tambah secara berkelanjutan melalui tatakelola yang baik dari proses bisnis (process) konstruksi secara efisien, efektif dan cost-effectiveness serta berkeadilan sehingga produktif dalam menghasilkan produk konstruksi (product) berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan sehingga konstruksi menjadi penggerak pembangunan sosio-ekonomi bangsa (construction driven sosio-economic development). Prinsip dan nilai-nilai tersebut adalah jiwa atau ruh bahwa outcome sektor konstruksi adalah kenyamanan lingkungan terbangun baik secara fisik, sosial, budaya, psikologi, dan spiritual bagi masyarakat luas.

Jiwa pengelolaan sektor konstruksi tersebut harus dilandasi oleh asas-asas kejujuran dan keadilan, manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan, pembangunan berkelanjutan, dan kelestarian lingkungan:

(1)      Asas kejujuran dan keadilan mengandung pengertian bahwa sektor konstruksi dikelola secara obyektif sesuai dengan fakta dan informasi yang akurat dan memihak realitas kebenaran serta proporsional;

(2)        Asas manfaat mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi dilaksanakan berlandaskan kemanfaatan yang lebih luas agar mampu menghadirkan terwujudnya nilai tambah sektor konstruksi Indonesia yang optimal bagi para pihak yang terlibat

27


langsung khususnya dan bagi kepentingan bangsa dan negara pada umumnya;
(3)      Asas kesetaraan mengandung pengertian bahwa kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan dengan memperhatikan kesetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

(4)      Asas keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi dan integrasi para pelaku sektor konstruksi baik dengan pihak yang terlibat langsung dalam aktivitas di sektor konstruksi dan selalu berorientasi untuk menjamin tata kehidupan menjadi berkualitas dan bermanfaat tinggi.

(5)      Asas keseimbangan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi dilakukan atas prinsip saling asih, saling asuh, saling asah, dan saling asup dengan demikian setiap pihak yang terkait dengan aktivitas sektor konstruksi akan mendapat perlakuan yang tepat sesuai beban kewajiban dan haknya.
(6)      Asas kemandirian mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya nasional di bidang jasa konstruksi.

(7)      Asas keterbukaan mengandung pengertian bahwa sistem pengelolaan sektor konstruksi dapat diakses oleh masyarakat umum sehingga memberikan peluang bagi masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi karena terwujudnya transparasi dalam pengelolaan sektor konstruksi. Dengan demikian, keterbukaan tersebut memungkinkan para pelaku sektor dapat melaksanakan kewajibannya secara optimal dan mereka mendapat kepastian akan hak. Disamping itu, masyarakat selanjutnya dapat memperoleh kesempatan untuk memberikan koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan.

(8)      Asas kemitraan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi harus dilaksanakan atas hubungan para pelaku yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.

(9)      Asas keamanan dan keselamatan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi harus menjamin para pelaku sektor

28


konstruksi mendapatkan kepastian keamanan (security) dan keselamatan (safety) dalam menjalankan setiap tahapan dari siklus proses konstruksi.

(10) Asas kebebasan mengandung pengertian bahwa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi pengguna jasa memiliki kebebasan untuk memilih penyedia jasa dan juga adanya kebebasan berkontrak antara penyedia jasa dan pengguna jasa.
(11)   Asas pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilaksanakan dengan memikirkan dampak yang ditimbulkan pada lingkungan yang terjaga secara terus menerus menyangkut aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.

(12)   Asas kelestarian lingkungan mengandung pengertian bahwa aktivitas proses konstruksi harus menjamin perlindungan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk konstruksi dilakukan secara bijak demi kelestarian lingkungan hidup.

C.     Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat
Pada praktik penyelenggaraan jasa konstruksi, saat ini usaha jasa

konstruksi terdiri atas 3 jenis usaha yakni (i) jasa konsultansi konstruksi;

(ii)    jasa pelaksana konstruksi; (iii) jasa pelaksana konstruksi terintegrasi. Lebih lanjut lagi, usaha jasa konstruksi dapat dikategorikan kedalam sifat umum dan spesialis. Dalam perkembangan industri konstruksi nasional saat ini, industri konstruksi nasional sedang menghadapi tuntutan dan tekanan yang semakin besar. Globalisasi ekonomi dan keuangan dunia telah mendorong tuntutan kerja sama regional dan global yang semakin meningkat, melalui skema-skema liberalisasi perdagangan jasa konstruksi seperti GATS-WTO dan AFAS-ASEAN. Apabila tidak dilakukan pembenahan terkait penataan kelembagaan dan pengembangan terhadap usaha, tenaga kerja, dan iklim usaha jasa konstruksi secara menyeluruh, maka gelombang globalisasi dengan paket liberalisasi perdagangan jasa konstruksi akan membuat Indonesia semakin tinggi ketergantungannya terhadap pihak asing. Berbagai infrastruktur dan properti akan banyak

29


dibuat oleh industri konstruksi asing yang memiliki daya saing yang lebih tinggi. Akibatnya bangsa Indonesia akan lebih banyak mengeluarkan devisa, dan keamanan dalam negeri (national security) juga akan menjadi lebih rentan.
Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, jenis usaha terbagi menjadi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sesungguhnya merupakan bagian dari siklus proyek. Kemudian, penetapan bidang usaha didasarkan pada bidang pengetahuan atau pendidikan yaitu arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan (ASMET). ASMET ini lebih mencerminkan jenis pekerjaan atau profesi berdasarkan keilmuan bukan pembagian bidang usaha yang berkembang dalam praktek maupun standar yang ditetapkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Padahal perkembangan saat ini, industri jasa konstruksi global mulai tumbuh dengan mengacu pada Central Product Clasification (CPC) yang merupakan standar dari PBB untuk usaha jasa konstruksi. Implikasinya, para pelaku usaha jasa konstruksi Indonesia sulit bersaing dan berbicara banyak di tingkat global. Selanjutnya, pembagian sub-bidang usaha menjadi arsitektur bangunan, arsitektur lansekap, dalam praktek bisnis dan juga pendekatan proyek kurang memiliki fokus jika dikaitkan dengan playing field. Padahal, secara umum dari sisi proyek dan kebutuhan telah terjadi pengembangan berdasarkan product life cycle atau siklus proyek konstruksi yang terbagi ke dalam (i) development/ planning;

(ii)   financing; (iii) Feasibility Study; (iv) Survey/Investigation; (v) Design; (vi) procurement/Construction/supplier; (vii) Supervision; (viii) start-up/operation/ maintenance; dan (ix) demolition. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ada pemikiran untuk pembagian bidang usaha jasa konstruksi menggunakan sistem Central Product Classification (CPC). Adapun pengklasifikasian usaha jasa pelaksana konstruksi berdasarkan CPC meliputi (i) penyiapan lapangan; (ii) instalasi; (iii) konstruksi khusus; (iv)

konstruksi prapabrikasi; (v) penyelesaian bangunan; (vi) penyewaan peralatan; (vii) pekerjaan konstruksi bangunan gedung; (viii) pekerjaan konstruksi bangunan sipil. Sedangkan pengklasifikasian usaha jasa

30


konsultansi konstruksi meliputi (i) arsitektur; (ii) rekayasa; (iii) rekayasa terpadu; (iv) arsitektur lansekap dan perencanan wilayah; (v) jasa konsultansi yang terkait dengan keilmuan dan teknikal. Penataan struktur usaha, dilakukan salah satunya dengan memklusterkan sifat usaha dan klasifikasi usaha sesuai dengan jenis usaha. Sehingga dengan penataan tersebut, dapat mendorong terciptanya kerjasama yang sinergis antar klasifikasi, sifat maupun jenis usaha.

Pembangunan jasa konstruksi nasional juga harus mempertimbangkan masalah market mechanism sektor konstruksi yang ada saat ini terutama dalam mempertemukan prinsip kerja sama dan kompetisi sebagaimana prinsip yang ingin dibangun dalam Pasal 17 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pengembangan jasa konstruksi memerlukan iklim usaha dan playing field yang jelas, datar dan harus dibina bersama oleh para pemangku kepentingan (stakeholders). Playing field harus datar dalam arti bahwa playing field tersebut disediakan untuk suatu kualifikasi usaha yang sama agar terjamin kompetisi yang fair di sektor konstruksi dan tidak terjadi anomali kompetisi antar kualifikasi kecil, menengah, dan besar bermain pada lapangan yang tidak seimbang.

Lebih lanjut lagi, kondisi dimana belum seragamnya perkembangan kemampuan dan kapasitas usaha jasa konstruksi disetiap provinsi merupakan realitas yang harus dipahami oleh seluruh pihak. Untuk itu, pemerintah daerah provinsi harus diberikan ruang untuk membuat kebijakan khusus yang dapat memberikan kesempatan bagi pelaku usaha jasa konstruksi di wilayahnya, khususnya yang memiliki kualifikasi kecil dan menengah untuk dapat berkembang. Ruang tersebut tentunya dibatasi hanya untuk penyelenggaran jasa konstruksi yang bersumber dari keuangan daerah serta yang memiliki kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi sederhana sampai dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang. Adapun kebijakan khusus yang dapat dibuat oleh Pemerintah Daerah, harus tetap memperhatikan dan mengedepankan azas persaingan sehat salah satunya dengan cara mengatur bahwa badan usaha jasa konstruksi dari luar wilayah provinsi untuk melakukan kerjasama

31


operasi dengan badan usaha jasa konstruksi yang berdomisili di wilayah provinsi, mengutamakan penggunaan subpenyedia jasa yang merupakan badan usaha jasa konstruksi di wilayah provinsi, serta mengutamakan penggunaan tenaga kerja konstruksi yang berdomisili di wilayah provinsi.

Terkait pengaturan pasar usaha jasa konstruksi domestik, diperlukan adanya pengaturan mengenai keberadaan badan usaha dan tenaga kerja asing. Karena saat ini, pelaku usaha jasa konstruksi di Indonesia tidak saja berasal dari domestik tetapi juga internasional. Saat ini, cukup banyak badan usaha konstruksi asing, baik yang telah membuka kantor perwakilan maupun yang membentuk perusahaan berbadan hukum di Indonesia. Dengan mulai masuknya pelaku usaha jasa konstruksi asing, berdampak pada meningkatnya persaingan usaha di pasar konstruksi domestik. Keberadaan badan usaha asing ini seharusnya mampu diarahkan agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada badan usaha nasional, karena dengan demikian, daya saing pelaku usaha jasa konstruksi nasional dapat meningkat. Sebagai upaya untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan pengaturan yang dapat menjamin bahwa pelaku usaha jasa konstruksi asing yang masuk ke Indonesia adalah pelaku usaha yang bermodal besar dan memiliki pengusaaan terhadap teknologi tinggi. Kedua persyaratan tersebut, hanya dapat dimiliki oleh badan usaha jasa konstruksi asing yang setara dengan kualifikasi besar. Lebih lanjut lagi, khusus bagi badan usaha jasa konstruksi asing yang membuka kantor perwakilan di Indonesia, ketika melakukan kegiatan usahanya di Indonesia, perlu adanya pengaturan yang menjamin alih pengetahuan dan teknologi dari badan usaha usaha jasa konstruksi asing ke badan usaha jasa konstruksi nasional dapat berlangsung dengan optimal. Alih pengetahuan dan teknologi tersebut, hanya dapat tercapai dengan kerjasama operasi antara badan usaha jasa konstruksi asing dengan badan usaha jasa konstruksi nasional yang didasari oleh kesamaan layanan dan kesetaraan kualifikasi usaha serta tanggung renteng. Sedangkan untuk pelaku usaha jasa konstruksi asing yang membentuk badan usaha dalam rangka penanaman modal asing, hal yang perlu dipastikan adalah, dalam rangka memastikan bahwa pelaku usaha asing adalah pelaku yang membawa

32


modal dan memiliki pengalaman penguasaan teknologi tertentu, maka entitas bisnis yang terbentuk dari hasil penanaman modal asing merupakan badan usaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi besar. Sedangkan untuk, prosentase kepemilikan modal maskimal oleh asing, mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Berkaitan dengan aspek perizinan badan usaha asing, mengingat bahwa kehadiran dari badan usaha jasa konstruksi asing di Indonesia memiliki dampak secara nasional, maka perizinan usaha jasa konstruksi yang melibatkan pelaku usaha asing, sebaiknya dilakukan secara terpusat di tingkat nasional.

Berkaitan dengan kehadiran tenaga kerja konstruksi asing di Indonesia, tentunya harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan nasional terhadap keahlian atau pengetahuan tertentu yang dirasakan masih belum dapat dikuasai oleh tenaga kerja konstruksi nasional. Dengan demikian, diperlukan pengaturan yang menyatakan bahwa tenaga kerja asing hanya dapat bekerja di Indonesia adalah tenaga kerja asing yang disetarakan dengan tenaga kerja nasional pada jenjang jabatan ahli. Hal yang terkait dengan perizinan tenaga kerja asing tersebut, didorong untuk mengikuti ketetentuan peraturan perundangan di sektor ketenagakerjaan. Selain itu, dalam rangka pembinaan jasa konstruksi nasional, pemerintah memiliki kepentingan untuk melakukan pendataan terhadap tenaga kerja konstruksi asing yang bekerja di Indonesia salah satu caranya adalah dengan mewajibkan registrasi tenaga kerja konstruksi asing kepada pemerintah.

Hal yang sama juga harus dilakukan di sisi tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa konstruksi agar terjadi proses transfer teknologi dan keterampilan serta perlakuan yang setara antara tenaga asing dengan lokal. Walaupun itu terkait dengan peraturan perundang-undangan di sektor tenaga kerja, namun iklim usaha jasa konstruksi harus mampu membangun sistem pembinaan sumber daya manusia jasa konstruksi yang lebih dalam dan kuat.

Berkaitan dengan spektrum peran masyarakat jasa konstruksi, perlu dipahami bahwa Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang dibuat pada tahun 1999, memiliki nuansa reformasi yang menyerahkan sebagian

33


urusan pemerintahan kepada masyarakat. Untuk itu lah dibentuk Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), yang merupakan perwakilan dari unsur masyarakat jasa konstruksi yang meliputi asosiasi perusahaan, asosiasi profesi, instansi pemerintah dan pakar/perguruan tinggi. Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, LPJK memiliki 5 tugas antara lain (i) melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi; (ii) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi; (iii) melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja; (iv) melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi; (v) mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Peran dan Usaha Masyarakat Jasa Konstruksi, dasar hukum dibentuknya LPJK adalah dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Pembentukan LPJK melalui ad/art, tidak lepas dari tafsir terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi bahwa LPJK merupakan wujud dari penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi, sehingga pembentukannya pun, dikembalikan kepada masyarakat. Permasalahan pun timbul atas tafsir tersebut, karena pada saat itu, masyarakat membentuk lebih dari satu Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi yang didasari oleh suatu pemahaman bahwa selama dibentuk oleh 4 unsur masyarakat jasa konstruksi, maka Lembaga tersebut sah secara hukum dinyatakan sebagai LPJK menurut Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi.

Pada tahun 2010, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2010, mereformasi LPJK, sehingga pembentukannya didasari kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10 Tahun 2010. Dengan terbitnya peraturan menteri ini, memberikan pemahaman, bahwa meskipun LPJK adalah lembaga sebagai wujud penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi, namun mekanisme pembentukannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, mengingat sesungguhnya LPJK menjalankan fungsi publik. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan

34


untuk mendekatkan LPJK sebagai lembaga negara, namun upaya tersebut terhambat oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, sehingga organisasi LPJK saat ini, masih belum dapat menggambarkan bahwa LPJK menjalankan fungsi publik. Lebih lanjut lagi, beberapa kalangan menilai bahwa potensi adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas LPJK akan tetap ada selama pengurus LPJK merupakan perwakilan kepentingan unsur. Terutama yang berkaitan dengan sertifikasi dan registrasi badan usaha, dimana ada potensi konflik kepentingan dari pelaku usaha yang duduk sebagai pengurus LPJK dalam menjalankan tugas sertifikasi dan registrasi badan usaha, mengingat sertifikat badan usaha adalah salah satu persyaratan untuk dapat masuk kedalam pasar jasa konstruksi nasional. Permasalahan lain yang timbul adalah masih minimnya minat instansi pemerintah untuk menunjuk perwakilannya duduk menjadi pengurus LPJK.

Selain dari aspek permasalahan dasar hukum pembentukan dan tanggung jawab LPJK, permasalahan lain adalah yang berkaitan dengan efektivitas pelaksanaan tugas LPJK yang masih belum optimal. Dari kelima tugas yang diamanatkan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, hanya tugas sertifikasi dan registrasi yang dilakukan secara dominan, tugas lain seperti melakukan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan masih belum optimal dilakukan baik oleh LPJK tingkat nasional maupun LPJK tingkat provinsi. Pengurus LPJK bukan merupakan pengurus waktu penuh untuk melakukan aktivitas kepengurusan LPJK, sehingga pengurus hanya melakukan tugas yang sifatnya mengarahkan sedangkan operasional LPJK dilakukan oleh kesekretariatan lembaga. Berkaitan dengan pendanaan kegiatan layanan oleh LPJK, saat ini LPJK melakukan pengutan kepada masyarakat terhadap layanan yang diberikan yakni sertifikasi dan registrasi. Hasil pungutan tersebut menjadi sumber pendanaan utama bagi penyelenggaraan layanan oleh LPJK. Namun demikian, banyak pihak menilai bahwa pengelolaan dana masyarakat oleh LPJK belum dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal ini disebabkan salah satunya adalah karena LPJK belum menjadi objek bagi pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan, mengingat

35


LPJK belum dapat dianggap sebagai lembaga negara meskipun menjalankan tugas negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.

Selanjutnya adalah mengenai hubungan institusional kelembagaan. Setidaknya ada tiga aspek yang harus dievaluasi, yakni hubungan antara LPJK dengan pemerintah, LPJK dengan masyarakat jasa konstruksi serta hubungan antara LPJK tingkat nasional dan LPJK tingkat provinsi. Ada tiga jenis hubungan antara LPJK dengan pemerintah yakni hubungan kemitraan, hubungan kepentingan dan hubungan regulator-operator. Kemitraan LPJK dengan pemerintah utamanya dilakukan untuk penyelenggaraan tugas pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, dimana pemerintah selaku pembina jasa konstruksi sesungguhnya memiliki tugas yang sama, sehingga diperlukan kemitraan yang sinergis antara lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan lembaga yang menyelenggarakan pembinaan.

Sedangkan hubungan kepentingan memiliki makna bahwa, pemerintah sebagai pengguna jasa memiliki kepentingan terhadap sertifikat yang dihasilkan oleh LPJK utamanya adalah sertifikat badan usaha, sertifikat keterampilan dan sertifikat keahlian. Ketersediaan badan usaha yang mampu dan tenaga kerja kompeten yang bersertifikat adalah faktor kunci bagi terselenggaranya pembangunan infrastruktur nasional. Oleh sebab itu, pemerintah sesungguhnya memiliki kepentingan strategis terhadap LPJK utamanya adalah kebutuhan agar sertifikat yang diterbitkan oleh LPJK betul-betul mencerminkan kemampuan dan profesionalitas usaha dan kompetensi tenaga kerja konstruksi. Aspek yang ketiga dari hubungan antara LPJK dengan pemerintah adalah hubungan regulator-operator, dimana pemerintah sebagai pembina jasa konstruksi merupakan regulator dari jasa konstruksi. LPJK dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengacu kepada peraturan yang dibuat oleh Pemerintah.

Sesungguhnya, untuk mengotimalkan hubungan kemitraan dan hubungan kepentingan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen hubungan regulator-operator. Namun demikian, masih belum jelasnya

36


kepada siapa pengurus LPJK bertanggung jawab, menjadi ruang evaluasi yang sangat penting, karena saat ini LPJK tidak dapat dikatakan bertanggung jawab kepada pemerintah. Meskipun pengurus LPJK dikukuhkan oleh menteri untuk tingkat nasional dan oleh gubernur untuk tingkat provinsi, namun yang menetapkan pengurus LPJK sesungguhnya adalah kelompok unsurnya, sehingga dalam aspek pertanggungjawaban, pengurus LPJK bertanggung jawab kepada kepentingan yang diwakilinya yakni kepentingan kelompok unsur. Hal ini merupakan masalah besar yang harus dicari solusinya, karena dengan sistem yang ada saat ini, disatu sisi LPJK menjalankan tugas negara, namun disisi lain pertanggungjawabannya bukan kepada instrumen negara namun kepada kepentingan golongan.

Berkaitan dengan hubungan antara LPJK tingkat nasional dan tingkat provinsi, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2010 secara jelas dinyatakan pembagian tugas antara LPJK tingkat nasional dan tingkat provinsi, dimana LPJK tingkat nasional melakukan tugas yang berkaitan dengan sertifikasi badan usaha kualifikasi besar dan tenaga kerja ahli utama, sedangkan LPJK tingkat provinsi melakukan tugas sertifikasi badan usaha kecil dan menengah serta tenaga kerja terampil, ahli muda dan ahli madya. LPJK tingkat provinsi dalam melakukan tugasnya, berpedoman kepada petunjuk teknis yang diterbitkan oleh LPJK tingkat nasional dan menggunakan sistem informasi yang dikembangkan oleh LPJK tingkat nasional. Namun demikian, pada aspek pertanggungjawaban, LPJK tingkat provinsi tidak dapat dinyatakan bertanggungjawab kepada LPJK tingkat nasional, karena realitas bahwa LPJK tingkat provinsi tidak dibentuk oleh LPJK tingkat nasional, namun oleh kelompok unsur di tingkat provinsi. Sehingga, LPJK tingkat nasional dan tingkat provinsi sesungguhnya dapat dinyatakan sebagai dua organisasi yang berbeda dan terpisah secara struktural. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan ketidaksinergian antara penyelenggaraan tugas LPJK di tingkat nasional dan di tingkat provinsi. Karena pada suatu saat terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pengurus LPJK di tingkat provinsi, LPJK tingkat nasional tidak memiliki instrumen apapun untuk meluruskan penyimpangan tersebut, kecuali instrumen yang sifatnya pencabutan lisensi unit sertifikasi yang ada

37


diprovinsi, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat jasa konstruksi di tingkat provinsi.
Dengan demikian, penataan peran masyarakat harus dapat menjawab keefektifan kelembagaan yang menampungnya, serta efektifitas pengembangan dan pengawasan jasa konstruksi. Kekurangefektifan tata kelola dan hubungan antara pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah, pengusaha, profesional, dan perguruan tinggi menyebabkan arah pengembangan jasa konstruksi belum menunjukkan arah dan kinerja yang memadai dalam mencapai tujuan pembangunan. Persoalan tersebut bermuara pada penataan kembali peran-peran yang harus dimainkan oleh pemangku kepentingan sesuai peran, tugas dan fungsinya masing-masing. Terutama memetakan kembali posisi peran pemerintah dalam konteks kerangka regulator, donator, operator, dan pembina, serta pengawas. Penetapan kembali akan memperjelas peran pemerintah dan akuntabilitasnya bisa diukur. Kejelasan peran pemerintah tersebut terkait dengan pemberian ruang peran masyarakat untuk pembangunan sektor konstruksi nasional. Lebih lanjut lagi, pergeseran konsepsi peran masyarakat menjadi partisipasi masyarakat adalah keniscayaan, karena dengan konsepsi peran masyarakat memiliki makna bahwa ada kewenangan yang diberikan kepada masyarakat, hal ini dapat berjalan apabila sudah tercapai kematangan masyarakat sipil dalam mengorganisasikan kepentingan kelompoknya. Sedangkan partisipasi memiliki makna yang lebih kearah bagaimana mendorong masyarakat dapat berpartisipasi secara konstruktif terhadap pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi nasional.

Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat melalui asosiasi badan usaha dan asosiasi profesi. partisipasi masyarakat ini perlu mendapat pengaturan terkait posisinya dalam proses pengawasan dan pemberdayaan jasa kontruksi dan dalam kerangka melindungi kepentingan publik. Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi telah mendorong masyarakat untuk membentuk sejumlah asosiasi baik dalam kerangka profesi maupun perusahaan. Persoalan yang mendasar adalah, niatan membentuk asosiasi belum didasari oleh suatu kebutuhan

38


pengembangan diri dalam suatu wadah yang berisi para pelaku usaha atau tenaga kerja. Banyaknya asosiasi yang terbentuk hanya karena didasari adanya kewenangan yang diberikan dalam suatu rangkaian proses sertifikasi dan registrasi. Lebih lanjut lagi, persyaratan dan pengawasan terhadap asosiasi yang diberikan kewenangan tersebut masih belum optimal dilakukan, sehingga asosiasi dengan mudahnya mendapatkan kewenangan dan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kewenangan tersebut menjadi sangat sulit untuk dikendalikan oleh pemerintah, salah satunya adalah karena pemberian lisensi kepada asosiasi diberikan oleh LPJK, dan pemerintah tidak memiliki instrumen apapun untuk mengendalikan hal tersebut.

Meskipun demikian, sesungguhnya banyak pihak menyadari, bahwa sangat penting bagi badan usaha dan tenaga kerja konstruksi untuk bergabung dalam suatu asosiasi, mengingat asosiasi berada pada lini paling depan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, sehingga ketika badan usaha dan tenaga kerja bergabung kepada asosiasi yang memang kredibel, dibentuk dengan berazaskan profesionalisme, maka daya saing badan usaha dan tenaga kerja pun dipercaya dapat meningkat signifikan. Persoalannya adalah bagaimana menata kembali kelembagaan yang menjadi wadah partisipasi masyarakat ini mampu menjadi wadah pengembangan kemampuan usaha dan kompetensi tenaga kerja konstruksi serta sekaligus dapat menjadi sumber pemberi masukan dalam kerangka pembuatan regulasi atau kebijakan publik, terutama menjadi jembatan pembangunan kebijakan konstruksi antara pelaku usaha, profesional, dan pemerintah.

Pemberian kewenangan terhadap lembaga independen dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi perlu dievaluasi kembali peran, tanggungjawab dan kewenangannya agar dapat menjawab persoalan pembinaan dan pembuatan kebijakan dan pengembangan jasa konstruksi. Saat ini dirasakan bahwa keberadaan lembaga ini kurang efektif melakukan pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi. Salah satu kelemahannya adalah berdirinya lembaga ini melompat tidak sesuai dengan tahapan kematangan masyarakat sipil dalam mengorganisasikan kepentingan

39


kelompoknya. Apakah ke depan perlu dilakukan penataan kembali dengan mendorong pemerintah untuk memfasilitasi suatu forum para pemangku kepentingan yang menampung aspirasi dari para pemangku kepentingan untuk kemudian membentuk suatu badan dalam pemerintah yang bertanggung jawab melaksanakan pengembangan jasa kontruksi. Atau adanya penataan kembali tata kelola kelembagaan agar lebih mencerminkan prinsip good governance baik dari sisi proses pengisian pimpinan dan anggotanya serta pendanaannya, sehingga lembaga ini dapat efektif membina sektor jasa konstruksi.

Dalam hal sertifikasi dan registrasi badan usaha, seharusnya organisasi yang melakukan sertifikasi dan registrasi badan usaha harus terhindar dari konflik kepentingan bisnis. Konflik kepentingan terjadi apabila misalnya (i) regulator sekaligus operator; (ii) memperpanjang masa jabatan sendiri; (iii) mensertifikasi dirinya sendiri. Oleh karena itu, peran sertifikasi harus dilakukan suatu badan sertifikasi dan registrasi yang independen. Best practice internasional juga menunjukkan bahwa pemberian sertifikasi ISO kepada badan usaha atau badan/organisasi masyarakat juga tidak diberikan oleh organisasi standar internasional tersebut sendiri, tetapi badan sertifikasi independen. Begitu pula di sektor jasa konstruksi, apabila proses sertifikasi dan registrasi badan usaha jasa konstruksi dilakukan oleh asosiasi badan usaha atau oleh LPJK yang didalamnya adalah perwakilan kepentingan unsur pelaku usaha, dapat memunculkan potensi konflik kepentingan, dan lebih lanjut lagi, dapat menjadi awal bagi praktik kartel dimana dengan menggunakan wewenang tersebut, menghambat pelaku usaha tertentu untuk dapat masuk kedalam pasar jasa konstruksi atau dapat mempermudah pelaku usaha tertentu untuk dapat masuk kedalam pasar jasa konstruksi meskipun tidak memiliki kemampuan usaha yang memadai.

Dalam rangka merekonsepsi LPJK menjadi lembaga negara ada 4 pilihan yakni (i) LPJK sebagai Lembaga Non Struktural dibawah Presiden seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (ii) LPJK sebagai Lembaga non struktural dibawah Kementerian seperti Badan Pengatur Jalan Tol dan Badan

40


Pendukung Sistem Penyediaan Air Minum (iii) LPJK sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian seperti Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (iv) LPJK sebagai auxilarry body seperti otoritas jasa keuangan. Dengan pertimbangan bahwa sebaiknya hanya ada satu institusi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan jasa konstruksi nasional (pembinaan dan pengembangan dalam satu institusi) serta agar ketika terjadi penyalahgunaan wewenang dapat dengan cepat diluruskan oleh pembina jasa konstruksi juga mempertimbangkan bahwa lingkup tugas LPJK adalah sebagai operator kebijakan pengembangan jasa konstruksi sehingga, bentuk lembaga yang paling optimal adalah pembentukkan yang cukup di bawah institusi regulator dari sektor tersebut yakni menteri yang membidangi pekerjaan umum. Selain itu ada 4 keuntungan dengan menjadikan LPJK sebagai lembaga struktural dibawah menteri yakni (i) pembentukan Lembaga dibawah Menteri dapat menggunakan sumber daya (keuangan, aset, SDM, kesekretariatan lembaga) yang dimiliki oleh Menteri

(ii)   memperpendek rantai birokrasi dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi

(iii)   dapat membentuk balai-balai sertifikasi dan registrasi di tingkat daerah

(iv)   partisipasi masyarakat dilakukan secara langsung dengan memberikan masukan dan arahan dalam pelaksanaan kebijakan pembinaan dan pengembangan jasa konstruski.
Adapun konsekuensi dari merekonsepsi LPJK menjadi lembaga non struktural dibawah menteri adalah, nomenklatur yang harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yakni menjadi suatu badan. Badan yang dibentuk dibawah menteri pun harus diselaraskan tugas dan fungsinya dengan unit struktural lainnya di bawah menteri. Hal ini penting agar tidak ada tumpang tindih tugas dan fungsi antara unit dibawah menteri. Mengingat bahwa fungsi pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan sudah dilakukan oleh suatu unit struktural dibawah menteri, maka badan yang akan dibentuk sebagai transformasi LPJK adalah badan yang hanya memiliki urusan sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi.

Berkaitan dengan persyaratan usaha, saat ini pelaku usaha jasa konstruksi masih dibebani dengan banyaknya persyaratan usaha yang

41


cenderung bersifat duplikatif atau bahkan repetitif. Kualifikasi yang seharusnya dipahami sebagai penjenjangan entitas usaha, pada praktiknya digunakan sebagai penjenjangan subklasifikasi usaha, sehingga badan pelaku usaha jasa konstruksi masih harus dibebani pungutan setiap penambahan subklasifikasi usaha atau peningkatan kualifikasi dari subklasifkasi usaha. Meskipun sudah dibebani dengan berbagai birokrasi ketika penerbitan sertifikat badan usaha dan izin usaha jasa konstruksi, pelaku usaha juga harus kembali memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pengguna jasa ketika pengadaan jasa konstruksi utamanya persyaratan pengalaman usaha. Oleh sebab itu, rekonsepsi terhadap persyaratan usaha harus sesegera mungkin dilakukan, karena apabila tidak, dapat menjadi faktor penghambat daya saing badan usaha jasa konstruksi nasional. Salah satu rekonsepsi yang dapat dilakukan adalah dengan menyatakan bahwa sertifikat badan usaha hanya mencantumkan jenis, sifat, klasifikasi dan kualifikasi usaha yang didapatkan dari hasil penilaian terhadap kekayaan bersih, penjualan tahunan dan jumlah tenaga kerja konstruksi yang relevan dengan klasifikasi usaha yang dimiliki.

Dengan demikian, tidak ada lagi penilaian pengalaman ketika pengurusan sertifikat badan usaha. Penilaian terhadap pengalaman, cukup dilakukan pada saat pengadaan jasa konstruksi, hanya saja dengan sistem yang seperti ini, perlu adanya suatu mekanisme pengakuan pengalaman yang dilakukan melalui registrasi pengalaman usaha. Dengan mekanisme registrasi pengalaman usaha, pengguna jasa dapat lebih mudah melakukan penilaian kesesuaian pengalaman karena sudah tersedia basis data pengalaman usaha dari setiap badan usaha jasa konstruksi di Indonesia. Pengalaman usaha yang diregistrasi akan di kelompokkan kedalam produk konstruksi tertentu sesuai dengan konsepsi klasifikasi-subklasifikasi-produk konstruksi yang mengacu kepada central product classification.

Perkembangan usaha di sektor konstruksi juga membutuhkan berbagai sumberdaya dan cara-cara (modalities). Teknologi merupakan salah satu komponen penting dari usaha konstruksi. Peningkatan daya saing industri konstruksi nasional akan sangat membutuhkan dukungan teknologi konstruksi. Oleh karena itu, kebijakan ini akan erat kaitannya

42


dengan penerapan teknologi mutakhir di dunia pada proyek-proyek konstruksi di Indonesia. Disamping itu, inventarisasi terhadap teknologi domestik dan teknologi tepat perlu dilakukan agar dapat dimanfaatkan seluas-luasnya. Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja diarahkan untuk mendorong pelaku sektor konstruksi menerapkan teknologi-teknologi yang sudah ada dan baru tetapi juga menjadi mitra dalam riset dan pengembangan teknologi konstruksi.

Terkait sumber daya manusia, kompetensi sumber daya manusia konstruksi merupakan persyaratan mutlak bagi peningkatan daya saing industri konstruksi nasional. Sebagai gambaran, tenaga kerja konstruksi Indonesia saat ini mencapai 6,339 juta atau sekitar 5,78% dari tenaga kerja nasional. Dari jumlah tersebut, 10% diantaranya merupakan tenaga ahli, 30% merupakan tenaga terampil (skilled labor), dan 60% sisanya merupakan tenaga kerja kurang terampil (unskilled labor). Dari 6,339 juta SDM konstruksi, kurang dari 10% yang telah disertifikasi. Kondisi tersebut dicerminkan dari jumlah sertifikat yang dikeluarkan baru mencapai sekitar 596.897 sertifikat, dengan jumlah sertifikat keahlian sekitar 157.822 sertifikat dan jumlah sertifikat keterampilan sekitar 439.075 sertifikat. Dengan profil ketenagakerjaan nasional yang pada tahun 2015 belum meningkat secara signifikan, tenaga kerja konstruksi nasional harus berhadapan dengan suatu tantangan global diantaranya masyarakat ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan pada awal tahun 2016.

Oleh karena itu, kebijakan pembinaan tenaga kerja konstruksi nasional harus diarahkan untuk meningkatan profesionalitas sumber daya manusia konstruksi Indonesia yang ditandai dengan pemberlakuan sertifikasi kompetensi kerja. Untuk meningkatkan minat tenaga kerja konstruksi memiliki sertifikat kompetensi kerja, pemerintah juga harus dapat menjamin bahwa tenaga kerja konstruksi yang memiliki kompetensi sesuai dengan sertifikat yang dimiliki mendapatkan imbalan yang layak atas layanan yang diberikan berupa standar remunerasi minimal. Selain itu, pemerintah juga perlu menfasilitasi dan mendorong asosiasi profesi dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi dalam menetapkan bakuan kompetensi, penyelenggaraan konvensi, dan proses sertifikasi tenaga ahli

43


dan terampil sektor konstruksi. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan jumlah sumber daya manusia konstruksi nasional yang bersertifikasi keahlian dan keterampilan.

Berkaitan dengan mekanisme pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja konstruksi nasional, sektor konstruksi tentunya harus mengacu kepada peraturan sektoral yang berlaku. Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa baik pelatihan maupun sertifikat tenaga kerja harus dilakukan melalui suatu lembaga pelatihan dan lembaga sertifikasi yang terlisensi. Untuk itu, sesungguhnya proses sertifikasi tenaga kerja harus dilakukan dengan mekanisme pembentukan lembaga sertifikasi profesi yang terlisensi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Adapun badan yang nantinya dibentuk untuk mengelola sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi perlu diamanatkan untuk membentuk lembaga sertifikasi profesi yang nantinya akan dilisensi oleh BNSP. Dengan demikian, unit sertifikasi tenaga kerja konstruksi baik yang dibentuk oleh LPJK maupun yang dibentuk oleh masyarakat jasa konstruksi, yang ada saat ini dan telah beroperasi dengan baik, dapat difungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Peraturan nasional untuk registrasi, sertifikasi, dan akreditasi untuk pengakuan lisensi profesionalitas dari sumber daya manusia konstruksi perlu segera diwujudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dan stagnasi dalam menyiapkan profesionalisme, kehandalan dan daya saing sumber daya manusia konstruksi. Bakuan kompetensi perlu segera disusun oleh setiap asosiasi profesi, termasuk adanya pengukuran atau penilaian profesionalitas dari para profesional Indonesia yang bekerja di sektor konstruksi.

Persaingan usaha di sektor konstruksi menuntut perusahaan jasa konstruksi, kontraktor, dan konsultan memiliki manajemen produksi berkualitas tinggi. Kebijakan ini berkaitan dengan upaya mendorong perusahaan jasa konstruksi untuk melakukan proses produksi dengan efektif dan efisien. Disamping itu, perusahaan jasa konstruksi didorong dan dibina agar secara berkelanjutan dapat (i) meningkatkan kapasitas produksi; (ii) memiliki perangkat inventori yang handal; (iii) satuan kerja

44


yang profesional; dan mengutamakan kualitas proses dan produk. Karena seperti yang diketahui umum, wilayah geografis Indonesia adalah wilayah yang rawan gempa sehingga membutuhkan kualitas konstruksi yang handal. Selama ini terbukti bahwa kualitas dari infrastruktur hasil konstruksi masih kurang baik. Banyak infrastruktur yang mudah hancur dari kejadian bencana gempa seperti yang terjadi di Aceh, Padang, maupun Yogyakarta. Akibatnya, banyak masyarakat yang menjadi korban jiwa karena peristiwa ini.

Berkaitan dengan kegagalan konstruksi baik kegagalan bangunan maupun kegagalan pekerjaan konstruksi, saat ini cukup banyak kasus terjadinya kegagalan tersebut di sektor jasa konstruksi. Beberapa kegagalan juga berakibat pada jatuhnya korban jiwa. Untuk itu dipahami bahwa, kegagalan konstruksi memberikan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. Karena besarnya dampak dari kegagalan konstruksi, ada empat aspek penting dalam suatu pengaturan yang terkait dengan kegagalan yakni aspek definisi, waktu, sebab, dan akibat dari kegagalan itu sendiri. Penyempurnaan pengaturan di keempat aspek tersebut diharapkan dapat mengurangi jumlah dan besarnya kerugian dan dampak dari kegagalan dan atau mengurangi terjadinya kegagalan itu sendiri. Secara definisi, diperlukan redefinisi kegagalan yamg tidak terkait dengan permasalahan ketidaksesuaian spesifikasi dalam masa penyelenggaraan jasa konstruksi sesuai dengan kontrak konstruksi, karena hal tersebut merupakan permasalahan keperdataan. Dengan demikian, kegagalan dibatasi hanya kepada kejadian keruntuhan. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, keruntuhan didefinisikan sebagai keadaan runtuh, kerusakan atau kerobohan. Dengan demikian, pada berbagai infrastruktur pendefinisian keruntuhan masih sangat relevan, seperti jalan misalnya, kerusakan jalan berdasarkan definisi keruntuhan dapat disebut sebagai kegagalan konstruski.

Dari aspek waktu dari terjadinya kondisi kegagalan konstruksi, dapat dibagi menjadi 2 kategori, yakni kegagalan yang terjadi pada saat pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan kegagalan yang terjadi pada saat bangunan telah selesai telah dilakukan serah terima akhir. Berdasarkan

45


aspek penyebab kegagalan, kegagalan dapat dikategorikan menjadi dua faktor penyebab yakni faktor ketidakpatuhan penyelenggara konstruksi terhadap standar keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja serta faktor alam. Berkaitan dengan aspek akibat, dapat dibagi menjadi dua jenis kegagalan, yakni kegagalan yang menimbulkan kerugian keselamatan masyarakat atau yang tidak menimbulkan kerugian masyarakat. Berdasarkan konstruksi berpikir dari 4 aspek tersebut, suatu kegagalan konstruksi dapat dipisahkan mana yang memiliki unsur keperdataan dan mana yang memiliki unsur pidana ketika terjadinya kegagalan tersebut. Dengan sistem tersebut diharapkan dapat (i) mengurangi jumlah kegagalan konstruksi; (ii) mengurangi dampak ekonomi langsung maupun tidak langsung; dan (iii) dampak sosial, misalnya kerusuhan sosial, penggusuran, kehilangan nyawa, kesehatan lingkungan, kemiskinan, pengangguran, dan pengurangan pendapatan.

Terkait dengan banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor konstruksi, beberapa kalangan menilai bahwa beberapa pemeriksaan terhadap kasus pidana korupsi tersebut berpotensi menghambat penyelenggaraan jasa konstrsuki. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu pengaturan yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum agar dalam melakukan pemeriksaan tindak pidana korupsi dalam suatu penyelenggaraan jasa konstruski yang masih berjalan tidak mengganggu berjalannya penyelenggaran jasa konstruksi. Hal ini sangat penting utamanya agar pembangunan infrastruktur tidak terhambat. Selain itu, khusus penyelenggaraan jasa konstruski yang menggunakan anggaran negara, pemeriksaan juga harus dilakukan dengan mengacu kepada hasil pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tentunya kedua hal tersebut dapat dilakukan apabila tidak terjadi operasi tangkap tangan atau terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan. Dengan demikian, ada keseimbangan antara proses pemeriksaan hukum dan kelancaran pembangunan infrastruktur.

Saat ini secara faktual terjadi distorsi antara struktur penyedia jasa konstruksi dan struktur pasar. Secara empiris, struktur penyedia jasa konstruksi 90% adalah didominasi oleh perusahaan kecil dan menengah,

46


sedangkan perusahaan besar hanya berjumlah kurang lebih 10%. Sebaliknya, struktur pasar konstruksi menunjukkan bahwa 60% adalah pasar kelas kecil dan menengah, sedangkan pasar kelas besar adalah 40%. Distorsi terjadi karena 60% pasar diperebutkan oleh 90% perusahaan. Kondisi ini praktis menyebabkan pelaku usaha melakukan segala macam cara untuk merebut pasar, termasuk melakukan KKN dengan pihak pengguna yang memberikan proyek. Oleh karena itu, perlunya dilakukan revitalisasi transformasi konstruksi Indonesia agar ada upaya mereduksi kondisi ini, misalnya dengan (i) penerapan e-procurement untuk proyek-proyek pemerintah, (ii) penegakan hukum dan perundang-undangan, (iii) mendorong perusahaan jasa konstruksi menjadi spesialis, dan (iv) membuka akses bagi masyarakat untuk ikut aktif mengawasi penyelenggaraan proyek.

Peningkatan kapasitas dan akses pasar untuk usaha kecil dan menengah sektor konstruksi juga harus segera dimulai dalam kerangka melakukan upaya agar mereka tetap bertahan kompetitif di era global ini. Peningkatan daya saing dilakukan dengan peningkatan efisiensi dari proses penyelenggaraan konstruksi dan pengembangan teknologi. Efisiensi tersebut dapat diupayakan melalui peningkatan efektifitas regulasi, perancangan yang lebih baik, praktik kontrak konstruksi yang tepat, dan peningkatan manajemen konstruksi. Pengembangan teknologi dapat diupayakan melalui promosi riset dan pengembangan, rasionalisasi dan otomatisasi sistem operasi konstruksi, fasilitasi oleh industri konstruksi terhadap penerapan teknologi dan sistem manajemen konstruksi baru, serta pemberdayaan industri konstruksi melalui pemanfaatan informasi dan teknologi komunikasi.

Penguatan dan penataan jasa konstruksi nasional sangat dibutuhkan sebagai pijakan dasar dalam membangun industri konstruksi yang kokoh dan berdaya saing tinggi serta mandiri dalam menyongsong arus globalisasi. Oleh karena itu, penataan institusi untuk pengembangan industri konstruksi perlu diarahkan menjadi organisasi yang profesional dalam memfasilitasi dan mendorong industri dan perdagangan konstruksi nasional berkelas dunia. Karakter profesional tersebut akan sangat

47


dibutuhkan dalam melakukan misi menciptakan industri konstruksi nasional yang handal, profesional, dan berdaya saing tinggi serta mandiri dan menciptakan pengusahaan (tata niaga) konstruksi Indonesia yang menjamin mekanisme pasar yang adil, pengadaan yang transparan dan hasil yang memiliki akuntabilitas publik tinggi. Globalisasi politik, ekonomi, dan keuangan telah mendorong industri konstruksi di seluruh belahan dunia, termasuk industri konstruksi nasional, menghadapi persaingan global. Kondisi ini memaksa industri tersebut berusaha menjadi pemain kelas dunia. Artinya, industri konstruksi nasional harus mampu bertahan kompetitif di pasar internasional. Secara praktis, industri ini dituntut menunjukkan kinerja yang tinggi, baik disisi inputan, proses, keluaran maupun sistem manajemen. Hal ini bisa dicapai jika industri konstruksi nasional semakin (i) profesional, produktif dan progresif; (ii) berbasis ilmu dan teknologi serta para pekerja yang terampil; (iii) memiliki kapasitas superior dan sinergi melalui kemitraan dan usaha-usaha bersama seluruh pihak pemangku kepentingan; (iv) mampu mengintegrasikan seluruh proses agar tercapai “buildability” yang lebih besar; (v) mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta “cost effectiveness”; (vi) memiliki kecakapan tinggi sebagai industri ekspor.

D. Best Practice Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Beberapa Negara 1. Kanada1
Kanada merupakan salah satu negara maju secara ekonomi yang termasuk G-20. Kanada mempunyai PDB sebesar 1.793.797 tahun 2014, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen tahun 2013. Pemerintah Kanada juga dinilai telah dapat memberikan landasan yang baik bagi penyedia jasa di bidang jasa konstruksi, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri karena memiliki aturan yang jelas dan manajemen pengaturan konstruksi yang baik.




1Hasil Kunjungan Kerja Panja Komisi V DPR RI RUU tentang Jasa Konstruksi ke Kanada,

30 Mei – 7 Juni 2015.


48


Kanada memiliki 17.000 anggota perusahaan untuk menyuarakan kebijakan publik, bidang hukum dan pengembangan standar kontraktor dan mitra profesional bisnis yang bekerja di atau dengan industri konstruksi non-perumahan. Kanada menjadi negara pemain terbesar konstruksi dunia, dengan menguasai pangsa pasar global terutama di Timur Tengah, salah satunya dalam pembangunan megaproyek di Dubai. Bidang yang ditangani, mulai dari jasa engineering dan jasa arsitektur, manajemen proyek, serta barang-barang manufaktur seperti sistem kontrol, bahan bangunan dan bahkan peralatan konstruksi. Gabungan perusahaan manufaktur global kanada yang terbesar adalah The Global Service and Manufacturing Group (GSM Group) yang didalamnya terdapat perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi.

Konstruksi dan industri merupakan salah satu kunci bagi perkembangan ekonomi di Kanada. Sektor industri di Kanada menghasilkan US$170 milyar barang dan jasa atau berkontribusi sekitar 12 persen dalam GDP. Exports sendiri tersebar ke 125 negara di pasar internasional yang menghasilkan $34 milyar. Sektor industri konstruksi mempekerjakan 1,35 juta Kanada atau sekitar 7 persen dari total tenaga kerja Kanada. Setiap tahun, konstruksi berkontribusi sekitar US$ 90 milyar pada kegiatan ekonomi atau 7 persen dari keseluruhan Produk Domestik Bruto Kanada. Pada dekade ke depan, pasar konstruksi Kanada diproyeksikan menjadi ke-5 terbesar di dunia, terutama didorong oleh permintaan global untuk sumber daya alam dan kebutuhan mendesak untuk memodernisasi penuaan infrastruktur nasional Kanada.

Berkaitan dengan pembinaan terhadap Asosiasi, penyedia jasa konstruksi, di Kanada setiap 5 (lima) tahun sekali pemerintah melakukan evaluasi terhadap asosiasi. Apabila terdapat anggaran dan asosiasi tersebut tidak melakukan kewajibannya maka asosiasi tersebut akan mendapatkan sanksi. Asosiasi penyedia jasa konstruksi di Kanada memiliki salah satu tugas yaitu menyusun dokumen-dokumen teknis sebagai guideline anggotanya dalam melaksanakan pekerjaan dan pembuatan kontrak.

Perizinan usaha dibidang konstruksi, di Kanada pemberian ijin usaha dilakukan oleh pemerintah provinsi demikian juga dengan pelatihan tenaga

49


kerja konstruksi, pelatihan dilakukan oleh pemerintah provinsi melalui proses magang. Adapun pembiayaan dalam kegiatan konstruksi, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran pembiayaan pembangunan infrastrukstur kepada pemerintah provinsi berdasarkan usulan dari pemerintah provinsi yang sudah melalui tahapan evaluasi. (rancangan anggaran minimal 10 tahun)

Pemerintah pusat senantiasa memberikan penghargaan kepada pemerintah provinsi dalam menghasilkan produk-produk konstruksi. Berkaitan dengan peran pemerintah dalam pengembangan sektor konstruksi adalah menjamin perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan sehingga dihasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan memenuhi aspek keamanan dan keselamatan. Kanada juga memiliki komite yang mengawasi pekerjaan konstruksi mulai dari pra konstruksi - selesai dengan nama Komite Pengawasan Pekerjaan Konstruksi dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Secara garis besar beberapa hal yang dapat dipelajari dari praktik penyelenggaraan Jasa konstruksi di Kanada sebagai berikut:
a.           Peran Pemerintah

1)        menjamin perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan memenuhi aspek keamanan dan keselamatan.

2)        menyusun dan mendiseminasikan standard-standard untuk pengelolaan dan pemeliharaan, serta kualitas.
3)        menyusun pedoman untuk pelaksanaan kontrak dan subkontrak.
4)        melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengaturan.

b.           Peran Asosiasi

1)           mengembangkan profesionalisme anggotanya

2)           menyusun dokumentasi teknis sebaga guideline anggotanya dalam melaksanakan pekerjaan dan pembuatan kontrak.
3)           memberikan dukungan kepada anggotanya dalam pengembangan dan penerapan teknologi.


50


4)           menjadi jembatan penyampaian aspirasi anggota kepada pemerintah.
c.           Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi

1)           dengan kondisi alam Kanada, yang apabila memasuki musim dingin suhu cukup ekstrim, pekerjaan konstruksi di Kanada mayoritas dikerjakan dalam kurun waktu 6 bulan.
2)           proses pelelangan dilaksanakan secara e-proc yang ditangani oleh satu kementerian tersendiri.
3)           Badan usaha yang dapat mengikuti lelang adalah badan usaha yang sudah terdaftar dan dinyatakan mampu
d.           Pengaturan Badan Usaha Jasa Konstruksi Generalis dan Spesialis

1)           Kontraktor generalis menjadi kontraktor utama (main contractor) dan yang mengikuti pelelangan

2)           Kontraktor generalis dapat mengerjakan pekerjaan spesialis selama memiliki kemampuan yang telah diregister.
3)           Kontraktor spesialis menjadi subkontraktor.


2. Korea Selatan2

Industri Konstruksi di Republik Korea merupakan salah satu leading sector dengan kontribusi 14% terhadap total PDB, dan dapat menyerap 1.8 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Kinerja jasa konstruksi di Korea sangat baik, 99.91% pasar jasa konstruksi di Korea, dikuasai oleh badan usaha jasa konstruksi lokal dan hanya 0.09% yang dilakukan oleh badan usaha

asing. Selain itu, badan usaha jasa konstruksi dari Korea memiliki reputasi yang sangat baik dan memiliki daya saing yang tinggi hal ini dibuktikan dengan kiprah kontraktor asal Korea yang telah berhasil melakukan penetrasi ke dalam pasar jasa konstruksi internasional.
Industri Konstruksi di Korea yang sangat maju tidak lepas dari sistem pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi di Korea yang sangat terintegrasi dan tegas diberikan kepada salah satu Kementerian yakni

  



51


MOLIT. Asosiasi perusahaan di Korea, dibentuk dengan prinsip profesionalisme dan dengan tujuan memberikan dukungan penuh kepada anggotanya dalam rangka mengembangkan teknologi, dan menjadi jembatan aspirasi kepada Pemerintah.

Beberapa lesson learn yang didapat dari keberhasilan Korea dalam membangun Industri Konstruksi yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan penyelenggaraan Jasa Konstruksi antara lain: a. Pengaturan Jasa Konstruksi

1)  Framework Act on the Construction Industry

2)  Construction Technology Promotion Act

a)     Peraturan ini mengatur tenaga ahli konstruksi untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitasnya, dan mempelajari teknologi baru.

b)     Diklat terbagi dalam pendidikan dasar, pendidikan lanjut dan pendidikan berkelanjutan.
c)     Diklat untuk tenaga terampil konstruksi dilakukan di lembaga pendidikan, pemagangan kerja, dan lembaga pelatihan di perusahaan.

d)     Pendidikan tinggi menghasilkan sekitar 5000 insinyur pertahun.

b. Peran Pemerintah

1)     menjamin perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan memenuhi aspek keamanan dan keselamatan.

2)     menyusun dan mendiseminasikan standard-standard untuk pengelolaan dan pemeliharaan, serta kualitas.
3)     menyusun pedoman untuk pelaksanaan kontrak dan subkontak.

4)     menilai dan mengumumkan kapasitas, modal, kinerja, pengalaman badan usaha.
5)     mengawasi pelaksanaan peraturan

6)     mengatasi perbedaan presepsi terhadap peraturan yang berlaku

c.    Kelembagaan Jasa Konstruksi

1)     Di Korea Selatan tidak ada Lembaga Jasa Konstruksi sebagaimana LPJK di Indonesia

52


2)     Pemerintah melalui MOLIT sangat berperan dalam pengembangan jasa konstruksi.
d.   Peran Asosiasi

1)     Mengembangkan profesionalisme anggotanya

2)     Melakukan survey dan penelitian atas kelembagaan dan kebijakan

3)     Melakukan studi promosi industry dan usaha

4)     Mengumpulkan, mengembangkan dan mendiseminasikan statistic dan informasi terkait industry konstruksi
5)     Memberikan dukungan kepada anggotanya dalam pengembangan dan penerapan teknologi.
6)     Menjadi jembatan penyampaian aspirasi anggota kepada pemerintah.

e.  Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi

Di Korea Selatan ada beberapa system pelelangan tergantung pada nilai proyek
1)     Sistem kualifikasi untuk nilai proyek kurang dari KRW 30 miliar

2)     Sistem penawaran harga terendah untuk proyek dengan nilai di atas KRW 30 milliar
3)     Sistem Turn Key untuk nilai proyek di atas KRW 30 milliar

4)     Sistem Alternatif yang memberikan kesempatan alternative detailed design and construction untuk nilai proyek di atas KRW 30 milliar

Banyak paket kontrak yang besar dilaksanakan dengan turn-key dan design-build dan didukung dengan penerapan manajemen konstruksi

f.    Pengaturan Badan Usaha Jasa Konstruksi Generalis dan Spesialis

1)     Kontraktor generalis menjadi main kontraktor dan yang mengikuti pelelangan
2)     Kontraktor generalis dapat mengerjakan pekerjaan spesialis selama memiliki kemampuan yang telah deregister.
3)     Kontraktor spesialis menjadi subkontraktor

g.  Tenaga Konstruksi

1)     Tenaga kpnstruksi dibagi dua menjadi tenaga ahli dan tenaga terampil


53


2)     Tenaga ahli bertanggung jawab atas manajemen konstruksi (perencanaan dan pengelolaan proyek), harus mengikuti ujian kualifikasi nasional dan diregistrasi oleh asosiasi profesi terkait; Sedangkan tenaga terampil bertanggung jawab atas pekerjaan di lapangan, harus mengikuti ujian kualifikasi nasional dan tidak memiliki asosiasi.

3)     Tenaga ahli konstruksi direkruit 2 kali dalam setahun atau sesuai dengan kebutuhan oleh perusahaan swasta.
4)     Tenaga terampil konstruksi bekerja di kontraktor spesialis

h.   Pengembangan Teknologi Konstruksi

1)     Penelitian proyek dilakukan untuk pengembangan teknologi

2)     Investasi yang cukup dialokasikan untuk mengembangkan teknologi inti dalam rangka meningkatkan keselamatan, menciptakan nilai tambah, mempromosikan hasil inovasi, dan menguasai pasar global melalui penguasaan seluruh daur hidup konstruksi dari perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan pembongkaran.

3)     Penerapan hasil inovasi teknologi dilindungi selama 5 tahun dan dapat diperpanjang 3 – 7 tahun.
i.    Standard Keselamatan Konstruksi

1)     Rencana pengelolaan keselamatan diterapkan untuk nilai proyek tertentu
2)     Rencana pengelolaan keselamatan diterapkan sejak tahap perencanaan
3)     Perusahaan yang mengabaikan pengelolaan keselamatan dikenai sanksi
4)     Pemerintah segera melakukan pemeriksaan ketika terjadi kecelakaan/ kegagalan konstruksi
5)     Memerintahkan komisi untuk melakukan investigasi penyebab kecelakaan, mengembangkan langkah-langkah pencegahan dan menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.

6)     Orang yang bertanggung jawab diancam hukuman maksimum 10 tahun penjara atau denda.


54


7)     Sanksi administrative mencakup: pembekuan usaha, denda, penurunan kualifikasi, pelarangan profesi bagi insinyur.
8)     Investigasi dilakukan oleh Komisi Investigasi Kecelakaan Konstruksi, terdiri dari 1 orang ketua dan 12 anggota yang berasal dari pemerintah, swasta, peneliti, dan pakar.

j.    Pembinaan Jasa Konstruksi

1)     Pemerintah tidak menyediakan dana untuk asosiasi jasa konstruksi

2)     Asosiasi dibiayai oleh iuran anggota dan kontribusi dari keuntungan usahanya.
















































55


BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Penataan hukum dan perundangan untuk sektor jasa konstruksi merupakan bagian penting dari proses pengelolaan sektor konstruksi. Pengeloaan jasa konstruksi dapat berkaitan dengan pranata hukum lainnya, seperti ketenagakerjaan, investasi, keterlibatan sektor swasta dalam pengadaan infrastruktur, dan undang-undang sektoral yang saling terkait. Disamping itu, kegiatan konstruksi akan berkaitan juga antara lain dengan Undang-Undang tentang Keinsinyuran, Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang tentang Jalan, Undang-Undang tentang Sumberdaya Air, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berikut ini adalah beberapa undang-undang yang menjadi dasar yuridis bagi sistem hukum pengelolaan sektor konstruksi.

A.     Undang-Undang Terkait

1.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsiyuran (UU tentang Keinsinyuran) ini terdiri dari 15 BAB dan 56 Pasal. Dalam kelima belas bab itu diatur mengenai cakupan keinsinyuran, standar keinsinyuran, Program Profesi Insinyur, registrasi Insinyur, Insinyur asing, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan, hak dan kewajiban, kelembagaan Insinyur, organisasi profesi Insinyur, pembinaan Keinsinyuran, sanksi administratif, ketentuan pidana, dan ketentuan peralihan. Keterkaitan RUU Jasa Konstruksi dengan UU tentang Keinsinyuran sangat erat terutama terkait dengan aspek sumber daya manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang sebagian besar didukung oleh profesi insinyur. Dalam RUU Jasa Konstruksi diatur bahwa tenaga ahli yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai kelanjutan dari sertifikat kompetensi kerja yang dihasilkan

56


dari uji kompetensi, dimana untuk Sertifikasi dan registrasi sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi dalam kualifikasi jenjang jabatan ahli dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Artinya mengikuti undang-undang sektoral atau profesi yang mengaturnya, dalam hal ini adalah tentunya UU tentang Keinsiyuran. Begitu pula menyangkut persyaratan tenaga ahli/insinyur asing serta kelembagaan yang berwenang sertifikasi dan registrasi. Untuk lebih lengkapnya gambaran pengaturan terkait yang terdapat dalam UU tentang Keinsinyuran dijabarkan lebih lanjut di bawah ini.

Gelar Profesi Insinyur (Pasal 7 s.d Pasal 9)

Dalam UU tentang Keinsinyuran, diatur bahwa insinyur sebagai gelar profesi. Untuk memperoleh gelar profesi Insinyur tersebut, seseorang harus lulus dari Program Profesi Insinyur. Syarat untuk dapat mengikuti Program Profesi Insinyur yaitu sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik, baik lulusan perguruan tinggi dalam negeri maupun perguruan tinggi luar negeri yang telah disetarakan.

Dari pengaturan UU tentang Keinsinyuran ini, sarjana selain bidang teknik atau terapan bidang teknik, yaitu sarjana pendidikan bidang teknik atau sarjana bidang sains dapat mengikuti program profesi Insinyur apabila disetarakan dengan sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik melalui program penyetaraan. Yang dimaksud dengan “program penyetaraan” adalah proses penyandingan dan pengintegrasian capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan kerja, dan pengalaman kerja untuk sarjana pendidikan bidang teknik atau sarjana bidang sains yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Program profesi Insinyur dapat diselenggarakan melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau. Rekognisi pembelanjaran lampau adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan nonformal, pendidikan informal, dan/atau pengalaman kerja di dalam sektor pendidikan formal.

Selanjutnya seseorang yang telah memenuhi standar program profesi Insinyur, baik melalui program profesi maupun melalui mekanisme

57


rekognisi pembelajaran lampau, serta lulus program profesi Insinyur berhak mendapatkan sertifikat profesi Insinyur dan dicatat oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan berhak mendapatkan gelar profesi insinyur yang disingkat dengan ”Ir.” dan dicantumkan di depan nama yang berhak menyandangnya. Gelar profesi insinyur diberikan oleh perguruan tinggi penyelenggara program profesi Insinyur yang bekerja sama dengan kementerian terkait dan PII.

Registrasi Insinyur (Pasal 10 s.d. Pasal 17)

Namun, Insinyur untuk dapat melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang dikeluarkan oleh PII. STRI berlaku selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun dengan tetap memenuhi persyaratan di atas dan persyaratan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. Yang dimaksud dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah upaya pemeliharaan kompetensi Insinyur untuk menjalankan praktik keinsinyuran secara berkesinambungan.

Dalam ketentuan mengenai registrasi ini, diatur pula mengenai pengenaan sanksi administratif yaitu apabila Insinyur melakukan praktik keinsinyuran tanpa STRI dan apabila Insinyur yang telah mendapatkan STRI melakukan kegiatan Keinsinyuran yang menimbulkan kerugian materiil maka Insinyur tersebut dikenai sanksi administratif.

Kelembagaan Insinyur (Pasal 30 s.d Pasal 44)

Praktik profesi Insinyur membutuhkan etika dan tanggung jawab profesi, sehingga diperlukan suatu sistem yang mampu menjamin perlindungan baik terhadap profesi Insinyur itu sendiri maupun masyarakat yang terkena dampak dari profesi Insinyur tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka untuk menciptakan sistem yang baik diperlukan kelembagaan Insinyur yang dapat mengatur tata laksana praktik keinsinyuran.

Dalam UU ini mengatur mengenai kelembagaan dalam pelaksanaan Praktik Keinsinyuran, yang terdiri dari Dewan Insinyur Indonesia dan

58


Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Untuk Dewan Insinyur Indonesia ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Presiden dan didanai dengan APBN. Dewan tersebut beranggotakan unsur Pemerintah, industri, perguruan tinggi, PII, dan pemanfaat keinsinyuran.
Fungsi Dewan Insinyur Indonesia meliputi fungsi perumusan kebijakan penyelenggaraan dan pengawasan pelaksanaan Praktik Keinsinyuran, yang cakupan tugasnya antara lain menetapkan kebijakan sistem registrasi Insinyur dan mengusulkan standar Program Profesi Insinyur. Dewan Insinyur Indonesia ini diharapkan dapat dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Sedangkan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) merupakan wadah berhimpunnya Insinyur Indonesia. PII didanai oleh iuran anggota dan sumber pendanaan lain yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. PII dibentuk sebagai pelaksana dari kebijakan umum yang ditetapkan oleh Dewan Insinyur Indonesia.

Kepengurusan PII dibentuk dengan keputusan Kongres berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. PII mempunyai fungsi pelaksanaan Praktik Keinsinyuran, yang cakupan tugasnya antara lain melaksanakan pelayanan Keinsinyuran sesuai dengan standar dan melaksanakan Program Profesi Insinyur bersama dengan perguruan tinggi sesuai dengan standar.

Untuk menjamin kelayakan dan kepatutan Insinyur dalam melaksanakan praktik keinsinyuran, PII menetapkan kode etik Insinyur sebagai pedoman tata laku profesi. Untuk menegakkan kode etik tersebut, PII membentuk majelis kehormatan etik.

Standar Keinsinyuran (Pasal 6)

Sebelum UU tentang Keinsinyuran lahir, Insinyur tersebar dalam berbagai profesi dan kelembagaan masing-masing sehingga belum terdapat suatu standar yang sama mengenai profesi Insinyur. Sehingga dalam UU tentang Keinsinyuran ini diatur pula mengenai standar keinsinyuran yaitu standar layanan Insinyur, standar kompetensi Insinyur, dan standar program profesi. Standar layanan Insinyur adalah tolok ukur yang

59


menjamin efisiensi, efektivitas, dan syarat mutu yang dipergunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan praktik keinsinyuran. Selanjutnya, standar kompetensi Insinyur adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup sikap kerja, pengetahuan, dan keterampilan kerja yang relevan dengan pelaksanaan praktik keinsinyuran. Standar program profesi Insinyur adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman pelaksanaan program profesi Insinyur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan tinggi.

Pengaturan lainnya

Selain pengaturan di atas, UU ini juga mengatur mengenai syarat Insinyur Asing (Pasal 18 s.d Pasal 22) yang akan melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia. Dalam melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia, Insinyur Asing hanya dapat melakukan Praktik Keinsinyuran sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selain itu, mereka harus memiliki surat izin kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memiliki STRI dari PII, serta diwajibkan melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi yang diawasi oleh Dewan Insinyur Indonesia.

Sebagai upaya penegakan hukum dalam UU tentang Keinsinyuran ini juga diatur mengenai sanksi pidana (Pasal 50 dan Pasal 51) baik pidana penjara maupun denda yaitu dikenakan terhadap setiap orang bukan Insinyur yang menjalankan praktik keinsinyuran dan bertindak sebagai Insinyur. Pidana yang diterapkan akan lebih besar apabila tindakan orang yang bukan Insinyur itu mengakibatkan kecelakaan, cacat, hilangnya nyawa seseorang, kegagalan pekerjaan Keinsinyuran, dan/atau hilangnya harta benda.

Demikian pula bagi Insinyur atau Insinyur Asing yang melaksanakan tugas profesi tidak memenuhi standar Keinsinyuran dan mengakibatkan kecelakaan, cacat, hilangnya nyawa seseorang, kegagalan pekerjaan Keinsinyuran, dan/atau hilangnya harta benda dikenakan juga sanksi pidana sesuai dengan UU tentang Keinsinyuran ini.

60


2.           Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman

Dalam penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dinyatakan bahwa pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung. Hal ini terkait dengan pembinaan di sektor jasa konstruksi yang juga merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dan dapat dikerjasamakan dengan lembaga pengembangan yang merupakan unsur dari masyarakat jasa konstruksi.

Selanjutnya dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa perencanaan perumahan (mencakup mencakup rumah sederhana, rumah menengah, dan/atau rumah mewah) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah, yang terdiri atas:
a.    perencanaan dan perancangan rumah; dan

b.    perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan. Perencanaan perumahan tersebut merupakan bagian dari
perencanaan permukiman. Kegiatan perencanaan adalah kegiatan merencanakan kebutuhan ruang untuk setiap unsur rumah dan kebutuhan jenis prasarana yang melekat pada bangunan, dan keterkaitan dengan rumah lain serta prasarana di luar rumah. Sedangkan kegiatan perancangan adalah kegiatan merancang bentuk, ukuran, dan tata letak, bahan bangunan, unsur rumah, serta perhitungan kekuatan konstruksi yang terdiri atas pondasi, dinding, dan atap, serta kebutuhan anggarannya. Kegiatan ini merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan

61


penyelenggaraan jasa konstruksi yang mengacu pada siklus kegiatan konstruksi.
Sejalan dengan RUU jasa konstruksi, dalam pasal 25 dinyatakan bahwa perencanaan dan perancangan rumah dilakukan oleh setiap orang yang memiliki keahlian di bidang perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni setiap orang yang memiliki sertifikat keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kompetensi.

3.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Keterkaitan  Undang-Undang  tentang Rumah  Susun  (UU  tentang

Rusun) dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dapat dilihat dari keterkaitan persyaratan teknis pembangunan rumah susun yang terdapat dalam Pasal 35 huruf b Undang-Undang tentang Rusun dengan penyelenggaran pekerjaan konstruksi yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.

Dalam Pasal 35 Undang-Undang tentang Rusun dinyatakan bahwa persyaratan teknis pembangunan rumah susun meliputi diantaranya keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Sedangkan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Dengan demikian dalam pembangunan rumah susun persyaratan teknis yang harus dipenuhi khususnya terhadap keandalan bangunan persyaratan keselamatan, kesehatan, keanyaman, dan kemudahan perlu disinkronkan dengan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi khususnya ketentuan mengenai keteknikan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja.

Dalam penjelasan Pasal 35 huruf b UU tentang Rusun disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “persyaratan keselamatan” adalah

62


kemampuan bangunan rumah susun untuk mendukung beban muatan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir. “Persyaratan kesehatan” meliputi sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan. “Persyaratan kenyamanan” meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta terhadap pengaruh tingkat getaran dan tingkat kebisingan. “Persyaratan kemudahan” meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan rumah susun serta sarana dan prasarana dalam pemanfaatan bangunan rumah susun. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi hanya dijelaskan ketentuan mengenai keteknikan dan ketenagakerjaan. Dalam penjelasan tersebut dinyatakan bahwa ketentuan tentang keteknikan meliputi: standar konstruksi bangunan, standar mutu hasil pekerjaan, standar mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan standar mutu peralatan. Ketentuan tentang ketenagakerjaan meliputi: persyaratan standar keahlian dan keterampilan yang meliputi bidang dan tingkat keahlian serta keterampilan yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

4.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Hubungan UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU tentang

Lalu Lintas) dengan UU tentang Jasa Konstruksi adalah mengenai bangunan fisik yang di atur dalam UU tentang Lalu Lintas yaitu jalan dan terminal. Jalan diartikan sebagai seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. Dalam Pasal 19 UU tentang Lalu Lintas, jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:

a. fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan; dan


63


b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi kendaraan bermotor.
Pengelompokan jalan menurut kelas jalan tersebut terdiri atas:

a.    jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;

b.    jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;

c.    jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan

d.    jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.

Pasal 22 UU Lalu Lintas juga mengatur mengenai persyaratan laik fungsi jalan yaitu:
(1)  Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi jalan secara teknis dan administratif.
(2)  Penyelenggara jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi jalan sebelum pengoperasian jalan.
(3)  Penyelenggara jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.


64


(4)  Uji kelaikan fungsi jalan dilakukan oleh tim uji laik fungsi jalan yang dibentuk oleh penyelenggara jalan.
(5)  Tim uji laik fungsi jalan terdiri atas unsur penyelenggara jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(6)  Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7)  Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara Pasal 23 dan Pasal 24 mengatur mengenai kewajiban penyelenggara jalan, yaitu:
(1)  Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)  Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)  Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
(4)  Dalam  hal  belum  dapat  dilakukan  perbaikan  Jalan  yang  rusak,

penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.
Bangunan terminal dalam UU tentang Lalu Lintas diartikan sebagai pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal dalam Pasal 34 dibagi menjadi Terminal penumpang tipe A, tipe B, dan tipe C. Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.

65


Untuk penetapan lokasi terminal, UU tentang Lalu Lintas mengatur bahwa penentuan Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan. Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan: (Pasal 37)

a.    tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;

b.    kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;

c.    kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;
d.    kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;

e.    keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;

f.     permintaan angkutan;

g.    kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;

h.    Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau

i.      kelestarian lingkungan hidup.

Pembangunan dan Pengoperasian Terminal diatur dalam Pasal 40. Dalam Pasal 40 tersebut dinyatakan bahwa pembangunan terminal harus dilengkapi dengan:

a.    rancang bangun;

b.    buku kerja rancang bangun;

c.    rencana induk Terminal;

d.    analisis dampak Lalu Lintas; dan

e.    analisis mengenai dampak lingkungan. Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:

a.    perencanaan;

b.    pelaksanaan; dan

c.    pengawasan operasional Terminal.


5.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


66


Keterkaitan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pada kewajiban penyelenggara pekerjaan konstruksi untuk memperhatikan aspek tata lingkungan, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), yaitu:

(1)   Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
(2)   Para pihak dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam Pasal 22 Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:

a.     besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b.     luas wilayah penyebaran dampak;

c.      intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d.     banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e.     sifat kumulatif dampak;

f.       berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

g.     kriteria  lain  sesuai  dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan

teknologi.

Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi termasuk dalam kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting sehingga wajib dilengkapi dengan amdal, karena dapat menimbulkan pengubahan bentuk lahan dan bentang alam serta penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

67


Dalam Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa setiap penyelenggara pekerjaan konstruksi yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan fungsi lingkungan hidup. Adapun penanggulan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan dengan:

a.    pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
b.     pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

c.      penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
d.     cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Sedangkan pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan:
a.     penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;

b.     remediasi;

c.      rehabilitasi;

d.     restorasi; dan/atau

e.     cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Pasal 4 Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU tentang Pajak Pertambahan Nilai), mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a.     penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

68


b.     impor barang kena pajak;

c.      penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d.     pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
e.     pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
f.       ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak;

g.     ekspor barang kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak; dan
h.     ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Sedangkan mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam

Pasal 7 UU tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut:

(1)  Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).

(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a.     ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

b.     ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan

c.      ekspor Jasa Kena Pajak.

Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menegaskan bahwa :
“Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,

1.     Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;

2.     Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
3.     Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,

69


dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan”.

7.    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Pelayaran)
Keterkaitan  antara  Undang-Undang  tentang  Pelayaran  dengan

Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, pada prinsipnya terlihat pada konsepsi dasar yang menyatakan konstruksi meliputi pula konstruksi perkapalan. Hal ini terlihat pada definisi yang luas dari pekerjaan konstruksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Pengertian bentuk fisik lainnya ini yang dapat diartikan bahwa konstruksi itu tidak hanya berbentuk bangunan saja, namun bangunan lainnya yang secara fisik dapat dikerjakan konstruksinya.

Korelasi konstruksi dalam Undang-Undang tentang Pelayaran ini begitu kentara apabila dilihat definisi keselamatan kapal, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 34 Undang-Undang tentang Pelayaran, yaitu keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. Selanjutnya definsi pekerjaan bawah air, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 51 Undang-Undang tentang Pelayaran, yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air.

70


Selanjutnya dalam Pasal 124 ayat (2) huruf b Undang-Undang tentang Pelayaran, menyatakan bahwa salah satu syarat keselamatan kapal adalah konstruksinya.

Dalam pengaturan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ke depan, perlu dipertegas apakah konstruksi kapal yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pelayaran masuk dalam ranah Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Mengingat apabila masuk dalam ranah Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, maka pengaturan mengenai hal-hal yang terdapat Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi meliputi pula konstruksi kapal atau mungkin bangunan fisik lainnya serupa dengan kapal seperti pesawat terbang.

8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Mengingat pekerjaan jasa konstruksi terkait dengan masalah

keruangan, kewilayahan, dan kawasan sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai struktur, pola dan penataan ruang, perencanaan penataang ruang, wilayah dan kawasan, pemanfaatan ruang dan aspek-aspek lain yang terkait yang daitur dalam undang-undang ini. Penataan ruang sendiri diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan (Pasal 4). Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sehingga terwujud keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3).

Pekerjaan konstruksi yang melakukan pemanfaatan ruang, wajib (Pasal 61):
a.     menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

b.     memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;


71


c.    mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d.     memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

9.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
Keterkaitan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah mengenai pelaku usaha jasa konstruksi, yang pada Pasal 5 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha dan oleh karenanya termasuk dalam kategori Wajib Pajak.

Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selanjutnya pada angka 3 juga disebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Oleh karena itu, pelaku usaha jasa konstruksi berhak dan wajib untuk melaksanakan ketentuan mengenai perpajakan yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini, seperti mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, membuat Pembukuan, membuat serta melaporkan Surat Pemberitahuan.


72


10.     Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Perseroan Terbatas)

Keterkaitan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi terlihat pada pengguna dan penyedia jasa konstruksi yang berbadan hukum perseroan terbatas harus mengikuti ketentuan-ketentuan prinsip dari Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, diantaranya kewajiban setiap Perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan, dan prinsip tata kelola Perseroan yang baik (good corporate governance) dalam menjalankan Perseroan. Hal ini untuk menjamin tatakelola perusahaan yang baik dan menjamin pengelolaan usaha yang transparan, akuntabel dan berkeadilan.

Disamping itu, pengguna atau penyedia jasa konstruksi yang berbentuk perseroan terbatas juga harus memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan Pasal 74 ini, perusahaan di bidang jasa konstruksi dituntut memiliki kepekaan sosial dan lingkungan, khususnya terkait dengan kegiatan konstruksi yang hasil akhirnya akan membentuk lingkungan terbangun, namun demikian pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

11. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan

Keterkaitan UU tentang Jalan dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah mengenai pembangunan jalan secara umum. Pengaturan mengenai pembangunan jalan secara umum di atur dalam Pasal 30 UU tentang Jalan yang menyatakan bahwa; a. pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif; b. penyelenggara jalan wajib memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan; c. pembiayaan pembangunan jalan umum menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing; d. dalam hal pemerintah daerah

73


belum mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung jawabnya secara keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan jalan nasional mencakup perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan f. pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk kriteria, persyaratan, standar, prosedur dan manual; penyusunan rencana umum jalan nasional, dan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat. Pembangunan jalan nasional meliputi:

a.    perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional;
b.    pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional; dan

c.    pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional. (Pasal

31)

Pembangunan jalan provinsi meliputi:

a.    perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi;
b.    pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi; dan

c.    pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi. (Pasal 32)

a.    perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten dan jalan desa;
b.    pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten dan jalan desa; dan

c.    pengembangan  dan  pengelolaan  manajemen  pemeliharaan  jalan

kabupaten dan jalan desa. (Pasal 33)

Pembangunan jalan kota meliputi:

a.    perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kota;
b.    pengoperasian dan pemeliharaan jalan kota; dan



74


c.   pengembangan dan pengelolaan manajemen pemeliharaan jalan kota. (Pasal 34)

12.     Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD)

Keterkaitan Undang-Undang tentang PKPD dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah permasalahan pendanaan pembinaan kegiatan jasa konstruksi yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (6) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.

Pada prinsipnya pendanaan yang digunakan oleh daerah dalam melaksanakan tugas pelimpahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan dana dekonsentrasi. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang tentang PKPD, yang menyatakan bahwa pendanaan dalam rangka Dekonsetrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementerian negara/ lembaga kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.

Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dalam Undang-Undang tentang PKPD diatur dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 93. Menurut Pasal 88 Undang-Undang tentang PKPD, Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga. Dalam hal penyaluran dana dekonsentrasi, menurut Pasal 89 disalurkan melalui rekening kas umum negara. Selanjutnya pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan satuan kerja perangkat daerah sebagai pelaksana kegiatan dekonsentrasi. Dalam hal terdapat sissa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi, sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN. Sedangkan dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan dekonsentrasi, saldo tersebut harus disetor ke rekening kas umum negara. Apabila pelaksanaan dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN dan disetor ke rekening kas umum negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

75


Selanjutnya terkait dengan mekanisme pertanggungjawabannya di daerah, menurut Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4), satuan kerja perangkat daerah menyampaikan laporan pelaksnaan kegiatan dekonsentrasi kepada

gubernur. Selanjutnya gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang.
Dalam pengaturan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ke depan, dalam hal mekanisme pendanaan untuk kegiatan pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan pemerintah daerah pada prinsipnya harus mengikuti ketentuan Undang-Undang PKPD yang secara teknis dijelaskan dalam peraturan pelaksana.

13.        Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan)

Terkait dengan pengembangan kompetensi kerja, bagi tenaga kerja dapat dilakukan Pelatihan Kerja. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan memberikan rambu-rambu tentang bagaimana dan siapa yang sebaiknya melakukan pelatihan kerja bagi para tenaga kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja dan dapat dilakukan secara berjenjang. Adapun ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja diatur dengan keputusan menteri (Pasal 10).

Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta, atau kedua lembaga tersebut bekerjasama, baik diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja (Pasal 13). Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan dan wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota (Pasal 14). Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat

76


kerja, yang dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja. Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen dengan peraturan pemerintah (Pasal 18).
Dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan diatur pula mengenai penggunaan tenaga kerja asing (Bab VIII). Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 42 ayat (1). Adapun pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing (Pasal 42 ayat (2). Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu yang ditetapkan dengan keputusan menteri. Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 43). Namun demikian tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan ter tentu yang diatur dengan keputusan menteri (Pasal 46). Hubungan kerja antara penyedia jasa di sektor kontruksi dengan para tenaga kerja merujuk pada ketentuan Bab IX Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang hubungan kerja. Hubungan kerja dapat dibuat melalui perjanjian kerja baik tertulis maupun lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku (Pasal 50). Dalam pelaksanaannya pengaturan mengenai perjanjian kerja diatur secara jelas dalam pasal-pasal tersendiri.

Adapun mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, Pasal 86 menyebutkan bahwa “setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Bahkan Pasal 87 mengaskan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan yang ketentuanya diatur dengan peraturan pemerintah.

77





14.        Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Undang-Undang Tentang Bangunan Gedung)
Objek dari jasa konstruksi antara lain adalah bangunan gedung.

Dalam Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, bangunan gedung didefinisikan sebagai “wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.” Sedangkan penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Adapun pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.

Pengaturan bangunan gedung sendiri bertujuan untuk (Pasal 3) :

1.     mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;
2.     mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;

3.     mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Fungsi bangunan gedung meliputi (Pasal 5):

a.     fungsi hunian yang meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara,
b.     fungsi keagamaan meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng;

c.      fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan.

78


d.     fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.

e.     fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri.

Fungsi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi

yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan (Pasal 6).

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung (Pasal 7). Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan. Persyaratan tata bangunan ditetapkan lebih lanjut dalam rencana tata bangunan dan lingkungan oleh Pemerintah Daerah (Pasal 9).

Sedangkan persyaratan keandalan bangunan gedung meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan yang ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung (Pasal 16). Persyaratan keselamatan bangunan gedung meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir (Pasal 17). Sedangkan Persyaratan kesehatan bangunan gedung meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung (Pasal 21). Persyaratan Kenyamanan meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan (pasal 26). Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan

79


prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung (Pasal 27). Dalam Undang-Undang tentang Bangunan Gedung, penyelenggaraan

bangunan gedung sendiri meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran, dimana penyelenggaranya terdiri atas pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, dan pengguna bangunan gedung (Pasal 34). Masing-masing tahapan kegiatan harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Bangunan Gedung ini, sehingga penyedia jasa konstruksi terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Bangunan Gedung ini sepanjang mengerjakan/menyelenggarakan bangunan gedung. UU ini juga mengatur hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung (Pasal 40 dan 41).

15.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten (Undang-Undang tentang Paten).

Keterkaitan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang Paten dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (3) yaitu bahwa suatu kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Paten disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Paten dinyatakan bahwa Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri dan suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, sehingga terdapat kewajiban untuk memuat ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi mengenai hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten tersebut.


80


16.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Undang-Undang Merek).

Undang-Undang tentang Merek mengatur ketentuan meliputi merek dagang dan merek jasa. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 disebutkan definisi mengenai merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengatur mengenai layanan jasa konsultasi untuk perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Pasal 3 menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

17.        Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi)

Keterkaitan UU tentang Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah pada saat terjadi kontrak antara Pemerintah dengan Kontraktor. Dalam UU tentang Tindak Pidana Korupsi di tentukan bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a.     pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b.     setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

81


bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.      setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d.     setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1).
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang

yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang juga dipidana sama dengan hal tersebut di atas (Pasal 7 ayat (2)).

18. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang (Rahasia Dagang)
Keterkaitan  Undang-Undang  tentang  Rahasia  Dagang  dengan

Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi pada prinsipnya terlihat pada mekanisme pengikatan kontrak konstruksi khususnya pengikatan para pihak yang bersifat tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat

(3). Dalam ketentuan Pasal 17 ayat (3) dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung. Selanjutnya dalam penjelasannya diutarakan, yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah salah satunya pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Rahasia Dagang dinyatakan definisi rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa rahasia dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut

82


bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya. Dalam kaitannya dengan pengikatan kontrak jasa konstruksi dalam keadaan tertentu, pengikatan yang bersifat rahasia dapat dikatakan merupakan rahasia dagang yang harus dilindungi informasinya mengingat informasi tersebut bersifat rahasia yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara.

Selanjutnya keterkaitan antara Undang-Undang tentang Rahasia Dagang dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, pada penggunaan konsep lisensi dalam kegiatan jasa konstruksi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang tentang Rahasia Dagang, definsi lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak rahasia dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Ketentuan mengenai lisensi dalam kegiatan jasa konstruksi perlu disesuaikan dengan pengaturan dengan pengaturan lisensi dalam Undang-Undang tentang Rahasia Dagang, meliputi diantaranya pertama, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dan apabila perjanjian lisensi Rahasia Dagang tidak dicatatkan maka tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Kedua, perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

19.        Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (Undang-Undang Desain Industri)

Keterkaitan UU tentang Desain Industri dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah mengenai desain rancangan bangunan, dalam UU tentang Desain Industri pengertian desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan

83


dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan (Pasal 1 angka 1). Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri (Pasal 1 angka 2).

20. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Keterkaitan Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Sehat dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi telah terlihat kaitannya dalam Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas. Namun demikian dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum diatur secara jelas bentuk larangan pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Sehat.

Dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Sehat, terdapat 4 (empat) kegiatan yang dilarang oleh pelaku usaha, termasuk pula dalam hal ini pelaku usaha pengguna maupun penyedia jasa konstruksi. Adapun 4 (empat) kegiatan tersebut meliputi:

1.     Monopoli;

2.     Monopsoni;

3.     Penguasaan Pasar;

4.     Persekongkolan;

Keempat kegiatan yang dilarang ini dapat dinyatakan untuk diatur, walaupun dalam Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi terdapat pengecualian terhadap kegiatan jasa konstruksi tertentu, yang meliputi:
1.     penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;

2.     pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;

84


3.     pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara;
4.     pekerjaan yang berskala kecil.


21.        Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Keterkaitan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yaitu bahwa konsumen sebagai pengguna jasa dan selaku pemakai akhir dari jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha dan memiliki peranan yang sangat dominan dalam menentukan pilihan jasa yang akan digunakan sehingga pemberdayaan konsumen sangat penting untuk dilakukan agar pengguna jasa memahami hak dan kewajibannya.

Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, para pihak yang terlibat dalam kegiatan jasa konstruksi adalah unsur pengguna dan penyedia jasa. Posisi konsumen dalam perspektif Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai bagian dari pengguna jasa, sehingga pemberdayaan terhadap konsumen diharapkan mampu meningkatkan peran konsumen dalam menentukan standar dari produk konstruksi yang dihasilkan, baik dari segi kualitas mutu (quality assurance), waktu penyerahan (product delivery), maupun harga (cost of product).

Pemahaman bahwa konsumen selaku pengguna jasa belum sepenuhnya menjangkau kepentingan konsumen sebagai pengguna produk akhir dari kegiatan jasa konstruksi sehingga pemberdayaan masyarakat khususnya penyadaran akan hak-hak konsumen dalam menerima dan menggunakan produk konstruksi perlu memperhatikan rujukan kepada Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

Kebutuhan konsumen jasa konstruksi dijabarkan dari hak-hak konsumen secara umum, sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang hak-haknya sebagai berikut :

a. hak untuk mendapatkan produk barang/jasa yang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan;

85


b.   hak untuk mendapatkan ganti rugi;

c.    hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum;

d.   hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat;

e.   hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang; dan

f.     hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen.

Dari sisi ekonomi, bahwa kepuasan konsumen menjadi hal yang

penting dalam pemenuhan demand atas kebutuhan pengguna jasa sebagai konsumen, maka konsumen jasa konstruksi berhak mendapatkan produk konstruksi yang sesuai dengan keinginannya. Pada produk perumahan dan bangunan lainnya seperti ruko, gudang yang ditawarkan developer kepada konsumen melalui brosur harus sesuai dengan apa yang diperjanjikan ditawarkan kepada konsumen. Kebanyakan ketentuan-ketentuan dan persyaratan dalam brosur yang disebarkan pengembang substansinya digolongkan kedalam bentuk klausula baku.

Klausula baku dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen di definisikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Hal yang memprihatinkan dalam klausula adalah pencantuman klausula eksonerasi (exemption clausule) dalam perjanjian. klausula eksonerasi ini mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak pelaku usaha. Pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen melarang dengan tegas pencantuman klausula pada setiap dokumen dan atau penyampaian yang tujuannya merugikan konsumen, bahkan pada ayat 3 ditegaskan bahwa “setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum”.






86


22.   Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase)

Penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 36). Dalam Kaitannya dengan hal tersebut,dengan berlakunya Undang-Undang tentang Arbitrase maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase. Pengertian arbitrase dalam Undang-Undang tentang Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1). Perjanjian arbitrase dalam Undang-Undang tentang Arbitrase merupakan suatu kesepakatan berupa kausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Pasal 1 angka 3).

Alternatif penyelesaian sengketa menurut Undang-Undang tentang Arbitrase adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10).

Undang-Undang tentang Arbitrase mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 2).

Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbal dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan, hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang tentang

87


Arbitrase yang menyatakan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

23.        Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Perbankan)
Keterkaitan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dengan Undang-Undang tentang Perbankan terdapat pada pendanaan dan jaminan yang merupakan bentuk perlindungan terhadap kegiatan jasa konstruksi. Dalam Pasal 13 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra usaha melalui:

a.     perluasan dan peningkatan akses terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan dalam pendanaan,
b.     pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan.
Dalam penjelasan Pasal 13 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa pendanaan berupa modal untuk investasi dan modal kerja dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang terdiri dari bank atau bukan bank sebagai mitra usaha. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf b angka 4 dinyatakan bahwa pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan dapat berupa antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga bukan bank.

Dalam  Pasal  11  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  Undang-Undang  tentang

Perbankan, dinyatakan bahwa:

(1)      Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau

88


sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

(2)      Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Berdasarkan ketentuan tersebut, bank dapat memberikan pendanaan dan pemberian jaminan pendanaan terhadap pelaku jasa konstruksi, baik itu penyedia maupun pengguna jasa konstruksi, dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari 30 % (tiga puluh persen) dari modal bank, dimana penyedia maupun pengguna jasa konstruksi tersebut, mengajukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Untuk memperkuat pengaturan mengenai pembiayaan dan jaminan kegiatan jasa konstruksi ini, seharusnya ketentuan yang telah terdapat dalam penjelasan Pasal 13 dan Pasal 22 tersebut diatur dalam norma pasal, agar keberlakuannya menjadi lebih mengikat dengan mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang tentang Perbankan.

24.     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang Indonesia (Undang-Undang KADIN)

Keterkaitan Undang-Undang tentang KADIN dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah pada harmonisasi pengertian-pengertian atau definisi mengenai pengusaha, perusahaan, usaha, organisasi pengusaha dan organisasi perusahaan.
Dalam Undang-Undang tentang KADIN Pengusaha diartikan sebagai setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan (Pasal 1 huruf b). Perusahaan menurut Undang-Undang tentang KADIN adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus, yang didirikan dan bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 huruf c).


89


Sementara usaha adalah setiap tindakan, perbuatan, atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 huruf d). Organisasi Pengusaha dalam Undang-Undang tentang KADIN adalah wadah persatuan dan kesatuan bagi pengusaha Indonesia yang didirikan secara sah atas dasar kesamaan tujuan, aspirasi, strata kepengurusan, atau ciri-ciri alamiah tertentu (Pasal 1 huruf e). Organisasi Perusahaan adalah wadah persatuan dan kesatuan bagi perusahaan Indonesia yang didirikan secara sah atas dasar kesamaan jenis usaha, mata dagangan, atau jasa yang dihasilkan ataupun yang diperdagangkan (Pasal 1 huruf f).

25. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan (Undang-Undang WDP).

Pengertian daftar perusahaan dalam Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan (Pasal 1 huruf a). Perusahaan menurut Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 huruf b).

Pengusaha menurut Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan adalah setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan dan Usaha adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 huruf c dan huruf d).

Kewajiban pendaftaran perusahaan diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan. Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus

90


perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah (Pasal 5 ayat (2).

26. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Ketentuan mengenai perjanijian kerja dalam KUHPerdata diatur dalam Bab VIIA. Pasal 1601 menyebutkan bahwa “Selain persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuanketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan bila ketentuanketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan kerja.”

Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu (Pasal 1601a). Sedangkan Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan (Pasal 1601b).

Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diperjanjikan bahwa pemborong hanya akan melakukan pekerjaan atau bahwa ia juga akan menyediakan bahan-bahannya (Pasal 1604). Terkait dengan adanya kegagalan bangunan diatur dalam Pasal 1605, Pasal 1606, Pasal 1607, Pasal 1608 dan Pasal 1609.

Pasal 1605: “Dalam hal pemborongan harus menyediakan bahan-bahannya, dan hasil pekerjaannya, karena apa pun juga, musnah sebelum diserahkan, maka kegiatan itu dipikul oleh pemborong kecuali jika pemberi tugas itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut.”

Pasal 1606: “Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah, maka ia hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu sepanjang hal itu terjadi karena kesalahannya.”


91


Pasal 1607: “Jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut dalam pasal yang lalu terjadi di luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan dilakukan, sedangkan pemberi tugas pun tidak lalai untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya cacat.

Pasal 1608: ”Jika pekerjaan yang diborongkan itu dilakukan sebagian demi sebagian atau menurut ukuran, maka hasil pekerjaan dapat diperiksa sebagian demi sebagian; pemeriksaan itu dianggap telah dilakukan terhadap semua bagian yang telah dibayar, jika pemberi tugas itu membayar pemborongan tiap kali menurut ukuran dan apa yang telah diselesaikan.”

Pasal 1609: “Jika sebuah bangunan yang diborongkan dan dibuat dengan suatu harga tertentu, seluruhnya atau sebagian, musnah karena suatu cacat dalam penyusunannya atau karena tanahnya tidak layak, maka para arsitek dan para pemborongnya bertanggung jawab untuk itu selama sepuluh Tahun”.

Penyedia jasa terikat dengan bunyi kontrak terkait harga yang disepakati meskipun dalam pelaksanaanya dapat terjadi perubahan, misalnya karena fluktuasi harga bahan baku. Hal ini secara ekspilist dinyatakan dalam Pasal 1610: “Jika seseorang arsitek atau pemborong telah menyanggupi untuk membuat suatu bangunan secara borongan, menurut suatu rencana yang telah dirundingkan dan ditetapkan bersama dengan pemilik lahan, maka ía tidak dapat menuntut tambahan harga, baik dengan dalih bertambahnya upah buruh atau bahan-bahan bangunan maupun dengan dalih telah dibuatnya perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan yang tidak termaksud dalam rencana tersebut jika perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan itu tidak disetujui secara tertulis dan mengenai harganya tidak diadakan persetujuan dengan pemiliknya (Pasal 1610).

Namun demikian pengguna jasa dimungkinkan untuk memutuskan perjanjian dengan syarat memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada pengguna jasa. Pasal 1611 menyebutkan; “Pemberi tugas, bila

92


menghendakinya dapat memutuskan perjanjian pemborongan itu, walaupun pekerjaan itu telah dimuai, asal ia memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada pemborong atas semua biaya yang telah dikeluarkannya untuk pekerjaan itu dan atas hilangnya keuntungan”.
Dalam hal penyedia jasa meninggal dunia, perjanjian berakhir sesuai dengan ketentuan Pasal 1612. Namun pengguna jasa wajib membayar kepada ahli waris pemborong itu harga hasil pekerjaan yang telah selesai dan harga bahan-bahan bangunan yang telah disiapkan, menurut perbandingan dengan harga yang diperjanjikan dalam perjanjian, asal hasil pekerjaan atau bahan-bahan bangunan tersebut ada manfaatnya bagi pemberi tugas.

Pemegang tanggung jawab atas para tenaga kerja berada pada Penyedia Jasa (pemborong), Pasal 1613 menyebutkan: “Pemborong bertanggung jawab atas tindakan orang-orang yang ia pekerjakan”. Adapun hak dan kewajiban antara para tukang dengan pemborong diatur dalam Pasal 1614 dan paal 1615. Para tukang batu, tukang kayu, tukang besi dan tukang-tukang lainnya yang dipekerjakan untuk mendirikan sebuah bangunan atau membuat suatu barang lain yang diborongkan, dapat mengajukan tuntutan terhadap orang yang mempekerjakan mereka membuat barang itu, tetapi hanya atas sejumlah uang yang harus dibayarkan kepada pemborong pada saat mereka mengajukan tuntutan (Pasal 1614). Para tukang batu, tukang kayu, tukang besi dan tukang-tukang lainnya yang dengan suatu harga tertentu menyanggupi pembuatan sesuatu atas tanggung jawab sendiri secara langsung, terikat pada aturan-aturan yang ditetapkan dalam bagian ini. Mereka adalah pemborong dalam bidang yang mereka kerjakan (Pasal 1615).














93


B. Peraturan Pelaksana Terkait

1.     Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

PP   Nomor 28 Tahun 2000 ini mengatur lebih lanjut tentang Usaha Jasa Konstruksi, Tenaga Kerja Konstruksi, dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi serta kelengkapan sanksi administrative atas pelanggaran dalam ketentuan yang diatur.
Usaha Jasa Konstruksi yang mencakup jenis, bentuk dan bidang usaha; klasifikasi dan kualifikasi usaha; registrasi badan usaha jasa konstruksi, akreditasi asosiasi perusahaan jasa konstruksi; dan perijinan usaha jasa konstruksi.
Dalam bagian tenaga Kerja Konstruksi diatur mengenai sertifikasi keterampilan kerja dan sertifikasi keahlian kerja; klasifikasi, kualifikasi dan registrasi tenaga kerja konstruksi; akreditasi asosiasi profesi dan institusi pendidikan dan pelatihan. Terkait dengan peran masyarakat diatur mengenai forum dan lembaga jasa konstuksi.

PP Nomor 4 Tahun 2010 ini merupakan PP Perubahan atas PP Nomor

28    Tahun 2000 tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Beberapa Perubahan terkait dengan pengaturan dalam PP 28 Tahun 2000 yakni menyangkut:

a.  lingkup layanan jasa konstruksi

Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi dapat dilakukan secara terintegrasi selain terdiri atas rancang bangun (design and build); perencanaan, pengadaan; pelaksanaan terima jadi (engineering, procurement, and construction); dan penyelenggaraan pekerjaan terima jadi (turn-key project); juga dapat berupa penyelenggaraan pekerjaan berbasis kinerja (performance based). Layanan jasa konstruksi yang dilaksanakan secara terintegrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum.




94


b.     bidang usaha

bidang usaha yang semula berbasis ASMET, diubah sesuai dengan jenis usaha. Bidang usaha jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi terdiri atas bidang usaha yang bersifat umum dan spesialis. Sedangkan bidang usaha jasa pelaksana konstruksi, terdiri atas bidang usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu.

Bidang usaha jasa konstruksi yang bersifat umum harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan bangunan konstruksi atau bentuk fisik lain, mulai dari penyiapan lahan sampai dengan penyerahan akhir atau berfungsinya bangunan konstruksi. Bidang usaha jasa konstruksi yang bersifat spesialis harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan bagianb tertentu dari bangunan konstruksi atau bentuk fisik lain. Adapun bidang usaha jasa konstruksi yang bersifat keterampilan harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan subbagian pekerjaan konstruksi dari bagian tertentu bangunan konstruksi dengan menggunakan teknologi sederhana.

c.      sertifikasi berdasarkan kualifikasi dan klasifikasi usaha dan jasa. Badan usaha jasa konstruksi yang memberikan layanan jasa konstruksi harus memiliki sertifikat sesuai klasifikasi dan kualifikasi usaha. Orang perseorangan yang memberikan layanan jasa konstruksi atau orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha yang memberikan layanan jasa konstruksi harus memiliki sertifikat sesuai klasifikasi dan kualifikasi.

Pengaturan mengenai klasifikasi dan kualifikasi usaha dibuat lebih rinci demikian pula terkait dengan tenaga kerja baik tingkat ahli maupun terampil.

d.     ketentuan mengenai akreditasi asosiasi perusahaan jasa konstruksi dihapuskan
e.     bab mengenai pengaturan tenaga kerja konstruksi dihapuskan.

f.       ketentuan mengenai pendanaan kegiatan forum dihapus

g.     ketentuan mengenai lembaga jasa konstruksi diubah menjadi lebih sederhana, dan pengaturan mengenai kelembagaan didelegasikan kepada peraturan Menteri tidak lagi diatur dalam peraturan atau

95


AD/ART lembaga. PP ini juga mengatur pembentukan unit sertfikasi bagi badan usaha dan tenaga kerja, serta kewenangan lembaga untuk member lisensi kepada unit-unit tersebut, dan pembentukan sekretariat di tingkat nasional.

2.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Pada prinsipnya pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi merupakan amanah Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 28 dan Pasal 37 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mengatur mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa, kontrak kerja konstruksi, penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, kegagalan bangunan dan penyelesaian sengketa. Pemilihan penyedia jasa diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang berbunyi sebagai berikut:

1.     Pemilihan penyedia jasa yang meliputi perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi oleh pengguna jasa dapat dilakukan dengan cara pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, atau penunjukan langsung.
2.     Dalam pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna jasa dapat melakukan prakualifikasi dan pasca kualifikasi.

3.     Dalam pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan terbatas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna jasa wajib melakukan prakualifikasi.

4.     Perusahaan nasional yang mengadakan kerja sama dengan perusahaan nasional lainnya dan atau perusahaan asing dapat mengikuti prakualifikasi dan dinilai sebagai perusahaan gabungan.

5.     Dalam pelelangan umum, pelelangan terbatas, atau pemilihan langsung penyedia jasa, pengguna jasa harus mengikutsertakan sekurang-kurangnya 1 (satu) perusahaan nasional.

6.     Dalam pemilihan perencana konstruksi dan pengawas konstruksi dapat disyaratkan adanya kewajiban:

96


a. jaminan penawaran dan jaminan pelaksanaan pekerjaan perencanaan untuk perencana konstruksi; atau
b. jaminan penawaran untuk pengawas konstruksi,

Apabila hal tersebut disepakati oleh pengguna jasa dan penyedia jasa yang mengikuti pemilihan.
Pasal 22 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa:
1.     Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus memuat uraian mengenai:
a.     Para pihak yang meliputi:

(1)      akta badan usaha atau usaha orang perseorangan;

(2)      nama wakil/kuasa badan usaha sesuai kewenangan pada akta badan usaha atau sertifikat keahlian kerja dan sertifikat keterampilan kerja bagi usaha orang perseorangan; dan
(3)      tempat kedudukan dan alamat badan usaha atau usaha orang perseorangan;
b.     Rumusan pekerjaan yang meliputi:

(1)      pokok-pokok pekerjaan yang diperjanjikan;

(2)      volume atau besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan;

(3)      nilai pekerjaan dan ketentuan mengenai penyesuaian nilai pekerjaan akibat fluktuasi harga untuk kontrak kerja konstruksi bertahun jamak;

(4)      tata cara penilaian hasil pekerjaan dan pembayaran; dan

(5)      jangka waktu pelaksanaan;

c.     Pertanggungan dalam kontrak kerja konstruksi meliputi:

(1)      jenis pertanggungan yang menjadi kewajiban penyedia jasa yang berkaitan dengan pembayaran uang muka, pelaksanaan pekerjaan, hasil pekerjaan, tenaga kerja, tuntutan pihak ketiga dan kegagalan bangunan;
(2)      pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam angka (1) memuat:
(a). nilai jaminan;

(b). jangka waktu pertanggungan;

97


(c). prosedur pencairan; dan

(d). hak dan kewajiban masing-masing pihak; dan

(3). Dalam hal penyedia jasa tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kontrak kerja konstruksi, pengguna jasa dapat mencairkan dan selanjutnya menggunakan jaminan dari penyedia jasa sebagai kompensasi pemenuhan kewajiban penyedia jasa;

d.     Tenaga ahli yang meliputi:

(1)      persyaratan klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli;

(2)      prosedur penerimaan dan atau pemberhentian tenaga ahli yang dipekerjakan; dan
(3)      jumlah tenaga ahli sesuai dengan jenis pekerjaan;

e.     Hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak kerja konstruksi meliputi:
(1)      hak dan kewajiban pengguna jasa; dan

(2)      hak dan kewajiban penyedia jasa;

f.      Cara pembayaran memuat:

(1)      volume/besaran fisik;

(2)      cara pembayaran hasil pekerjaan;

(3)      jangka waktu pembayaran;

(4)      denda keterlambatan pembayaran; dan

(5)      jaminan pembayaran;

g.     Ketentuan mengenai cidera janji yang meliputi:

(1).     bentuk cidera janji :

(a).  oleh penyedia jasa yang meliputi:

·      tidak menyelesaikan tugas;

·      tidak memenuhi mutu;

·      tidak memenuhi kuantitas; dan

·      tidak menyerahkan hasil pekerjaan; dan

(b).  oleh pengguna jasa yang meliputi:

·      terlambat membayar;

·      tidak membayar; dan



98


·      terlambat menyerahkan sarana pelaksanaan pekerjaan;

dan

(2). Dalam hal terjadi cidera janji yang dilakukan oleh penyedia jasa atau pengguna jasa, pihak yang dirugikan berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti rugi;

h.     Penyelesaian perselisihan memuat:

(1)      penyelesaian di luar pengadilan melalui alternatif penyelesaian sengketa, atau arbitrase; dan
(2)      penyelesaian melalui pengadilan sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku;
i.      Ketentuan pemutusan kontrak kerja konstruksi memuat:

(1)      bentuk pemutusan yang meliputi pemutusan yang disepakati para pihak atau pemutusan secara sepihak; dan
(2)      hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa sebagai konsekuensi dari pemutusan kontrak kerja konstruksi;
j.      Keadaan memaksa mencakup kesepakatan mengenai:

(1)      risiko khusus;

(2)      macam keadaan memaksa lainnya; dan

(3)      hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa pada keadaan memaksa;
k.     Kewajiban para pihak dalam kegagalan bangunan meliputi:

(1)      jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan bangunan; dan

(2)      bentuk tanggung jawab terhadap kegagalan bangunan;

l.      Perlindungan pekerja memuat:

(1)      kewajiban terhadap pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
(2)      bentuk tanggung jawab dalam perlindungan pekerja; dan

m.   Aspek lingkungan memuat:

(1)      kewajiban terhadap pemenuhan ketentuan undang-undang yang berlaku; dan

99


(2)      bentuk tanggung jawab mengenai gangguan terhadap lingkungan dan manusia.
2.     Kontrak kerja konstruksi harus memuat ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup:
a.     kepemilikan hasil perencanaan, berdasarkan kesepakatan; dan

b.     pemenuhan kewajiban terhadap hak cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh pemegang hak cipta dan hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten sesuai undang-undang tentang hak cipta dan undang-undang tentang hak paten.
3.     Kontrak kerja konstruksi dapat memuat ketentuan tentang insentif yang mencakup persyaratan pemberian insentif, dan bentuk insentif.
4.     Kontrak kerja konstruksi dapat memuat ketentuan tentang sub penyedia jasa dan atau pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan mengenai hal-hal:
a.     pengusulan oleh penyedia jasa dan pemberian izin oleh pengguna jasa untuk sub penyedia jasa/pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan;

b.     tanggung jawab penyedia jasa dalam kaitan penggunaan sub penyedia jasa/pemasok terhadap pemenuhan ketentuan kontrak kerja konstruksi; dan
c.     hak intervensi pengguna jasa dalam hal:

(1).     pembayaran dari penyedia jasa kepada sub penyedia jasa/pemasok terlambat; dan
(2).   sub penyedia jasa/pemasok tidak memenuhi ketentuan kontrak kerja konstruksi.
5.     Pada kontrak kerja konstruksi dengan mempergunakan 2 (dua) bahasa harus dinyatakan secara tegas hanya 1 (satu) bahasa yang mengikat secara hukum.

6.     Kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia.
Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib dimulai dengan tahap

perencanaan yang selanjutnya diikuti dengan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan

100


penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran. Lingkup tahap perencanaan pekerjaan konstruksi meliputi prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik. Sedangkan, lingkup tahap pelaksanaan beserta pengawasan pekerjaan konstruksi meliputi pelaksanaan fisik, pengawasan, uji coba, dan penyerahan hasil akhir pekerjaan.

Pasal 30 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan bahwa untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, penyelenggara pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang:

1.        keteknikan, meliputi persyaratan keselamatan umum, konstruksi bangunan, mutu hasil pekerjaan, mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan mutu peralatan sesuai dengan standar atau norma yang berlaku;
2.        keamanan, keselamatan, dan kesehatan tempat kerja konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.        perlindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4.        tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi mengatur bahwa kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan harus dinyatakan dengan tegas dalam kontrak kerja konstruksi. Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif, yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan.

101


Pasal 49 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi mengatur mengenai penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan yang dapat dilakukan dengan cara:
1.     melalui pihak ketiga yaitu:

a.     mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa);
b.     konsiliasi; atau

2.     arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase Ad Hoc. Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuai kebutuhan.

3.     Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (Peraturan Pemerintah PPJK)

Pada prinsipnya pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi merupakan amanah Pasal 35 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi, lingkup pengaturan pembinaan jasa konstruksi meliputi bentuk pembinaan, pihak yang dibina, penyelenggara pembinaan, serta pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan pembinaan. Pembinaan jasa konstruksi ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Untuk Pemerintah Pusat bertanggung jawab terhadap kegiatan pembinaan yang meliputi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. Sedangkan untuk Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota menyelenggarakan pembinaan jasa konstruksi untuk melaksanakan tugas otonomi daerah mengenai:

a.     pengembangan sumber daya manusia di bidang jasa konstruksi;

b.     peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi;

c.      pengembangan sistem informasi jasa konstruksi;

d.     penelitian dan pengembangan jasa konstruksi;

102


e.     pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota. Terkait dengan pembiayaan pembinaan, dalam Pasal 14 Peraturan

Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi mengatur bahwa pembiayaan yang diperlukan dalam pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sedangkan pembiayaan yang diperlukan untuk pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi diatur sebagai berikut:

a.     Pembinaan yang dilakukan sebagai pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b.     Pembinaan yang dilakukan sebagai pelaksanaan otonomi daerah dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Untuk pembiayaan yang diperlukan untuk pembinaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota diatur sebagai berikut:

a.     Pembinaan yang dilakukan sebagai pelaksanaan tugas pembantuan dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.     Pembinaan yang dilakukan sebagai pelaksanaan tugas otonomi daerah dibebankan kepada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

4.           Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Perpres KKNI)

Keterkaitan Perpres tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yaitu pada bidang pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka kompetensi kerja di bidang jasa konstruksi. Pada Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.



103


Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia terdiri atas 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang terendah sampai dengan jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi. Jenjang kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia termaksud terdiri atas:

a. jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam jabatan operator;
b.    jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis; dan
c.    jenjang 7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam jabatan ahli. Pada Pasal 3 dan Pasal 4 dinyatakan bahwa setiap jenjang kualifikasi

pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia memiliki kesetaraan dengan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan, pelatihan kerja atau pengalaman kerja yang dinyatakan dalam bentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. Selanjutnya dalam Pasal 9 dinyatakan penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia pada setiap sektor atau bidang profesi ditetapkan oleh kementerian atau lembaga yang membidangi sektor

atau bidang profesi yang bersangkutan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada deskripsi jenjang kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran Perpres Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
























104


BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS


A. Landasan Filosofis

Pancasila sebagai dasar negara menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah pernyataan eksplisit dari filosofi bangsa Indonesia dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat adil dan makmur serta sejahtera adalah cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan itu, Pasal 28D ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Cita-cita luhur tersebut selanjutnya di derivasi menjadi landasan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005 – 2025) sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025. Berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang tersebut, Bangsa Indonesia bertekad mewujudkan Visi Indonesia: Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil Dan Makmur. Dalam rangka menggapai visi ini, Bangsa Indonesia memiliki 8 (delapan) misi adalah (1) mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila; (2) mewujudkan bangsa yang berdaya saing; (3) mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (4) mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu; (5) mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (6) mewujudkan Indonesia asri dan lestari; (7) mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; (8)


105


mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
Dalam konteks mewujudkan visi dan misi pembangunan Indonesia tersebut maka dalam proses implementasinya akan selalu bersinggungan dengan aktifitas penyediaan dan pengelolaan aset bangunan fisik baik dalam bentuk infrastruktur dasar, seperti jaringan jalan, perumahan, permukiman, sanitasi maupun gedung-gedung serta bangunan industri. Kegiatan penyediaan dan pengeloaan aset bangunan fisik ini akan menggerakan aktifitas ekonomi yang digerakkan oleh aktivitas jasa konstruksi. Hasil dari aktivitas tersebut akan menghasilkan produk bangunan seperti infrastruktur yang menjadi salah satu indikator utama daya saing bangsa. Disamping itu, hasil akhir dari rangkain kegiatan jasa konstruksi akan membentuk lingkungan terbangun (built environment) dalam suatu ekosistem yang secara langsung akan merefleksikan perwujudan Indonesia yang asri dan lestari.

Produk konstruksi yang dikenal di mancanegara, seperti Candi Borobudur, Jembatan Golden Gate, Tembok Besar China, Monumen Nasional, Istana-Istana Kerajaan, Burj Al Arab, Palm Resort, Arsitektur Bangunan Gedung dan Perumahan di Kawasan Perkotaan dan Perdesaan telah diyakini sebagai refleksi dari peradaban dan kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu, berbicara “konstruksi” tidak hanya terkait dengan aktifitas ekonomi semata, tetapi juga peradaban dan kebudayaan bangsa. Dengan demikian, pengaturan terhadap pengelolaan sektor konstruksi memiliki jangkauan jauh lebih tinggi dari dimensi “usaha jasa” semata, tetapi “usaha” mewujudkan citra tinggi peradaban dan kebudayaan suatu bangsa.

B. Landasan Sosiologis

Konstruksi merupakan kegiatan masyarakat dalam mewujudkan produk bangunan fisik beserta fungsi layanannya yang akan berfungsi sebagai pendukung atau prasarana aktifitas sosial ekonomi masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, konstruksi baik aktifitas maupun produknya memiliki dimensi sosial-

106


ekonomi yang tinggi. Dalam hal ini, konstruksi dapat dijadikan sebagai penggerak pembangunan sosial-ekonomi (construction driven socio-economic development). Disisi lain, produk konstruksi tersebut akan menjadi social overhead capital masyarakat.
Kenyataan empirik alamiah menunjukkan bahwa aktifitas konstruksi tidak hanya melibatkan relasi bisnis dari penyedia jasa konstruksi dan pengguna jasa semata, tetapi selalu membutuhkan interaksi berbagai latar belakang kelompok profesi atau usaha masyarakat, seperti pendana, perencana arsitektur dan keteknikan (engineering), penyedia material, pelaksana (kontraktor), tenaga kerja, penyedia peralatan, pabrikan dan pemakai serta pemanfaat dari hasil konstruksi. Rangkaian kegiatan oleh kelompok profesi dan usaha masyarakat tersebut akan membentuk struktur jaringan rantai suplai barang dan jasa yang menghasilkan suatu produk akhir yaitu bangunan, misal gedung, rumah, jalan, jembatan, bendung, jaringan pipa dan lain sebagainya dengan standar-standar yang telah ditetapkan.

Interaksi masyarakat dalam kerangka hubungan kelompok profesi dan usaha yang saat ini terfragmentasi dan terstratafikasi tersebut tentu saja membutuhkan sistem hukum yang kuat untuk menjamin keadilan atas hak dan kewajiban dalam menyelenggarakan aktifitas konstruksi. Masyarakat membeutuhkan sistem hukum yang dapat memberikan jaminan kepastian (certainty), keamanan (security) dan keselamatan (safety). Doyle & Stern (2006) menjelaskan struktur pemangku kepentingan (stakeholder) konstruksi dan kebutuhannya sesungguhnya berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, sistem hukum pengelolaan aktifitas konstruksi akan memberi kepastian pemenuhan kebutuhan setiap pihak kelompok profesi dan usaha masyarakat melalui ketertiban baik pada ranah usaha, penyelenggaraan maupun pemanfaatan produk konstruksi. Dengan demikian, prinsip-prinsip modalitas interaksi sosial masyarakat seperti saling bekerjasama (networking) yang sinergis (synergy) dalam suatu bingkai saling percaya (trust) harus menjadi dasar sosiologis dalam pengaturan sektor konstruksi.


107


Sektor konstruksi dari sisi ekonomi merupakan salah satu sektor andalan yang menggerakkan perekonomian di masa pemulihan ekonomi, terutama karena sektor ini telah menyerap tenaga kerja yang banyak. Sektor ini juga mampu memberikan stimulus melalui efek pengganda (multiplier effect), khususnya pembangunan infrastruktur, bagi pengembangan sektor-sektor lainnya. Pentingnya sektor konstruksi bagi ekonomi nasional dapat dilihat dari beberapa indikator berikut (Hillebrandt, 1988; World Bank, 1984). Produk Domestik Bruto (PDB). Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt, 1985) mengindikasikan bahwa kontribusi industri konstruksi terhadap PDB berkisar antara 3-10%, umumnya akan lebih rendah di negara berkembang dan lebih tinggi di negara maju. Menurut Bank Dunia (1984), di negara-negara berkembang, sektor konstruksi berkontribusi 3-8% terhadap PDB, kontribusi terhadap investasi, yang diukur dari pembentukan aset tetap (fixed capital formation), dan jumlah penyerapan tenaga kerja.

Sektor konstruksi Indonesia telah tumbuh sejak awal tahun 1970an. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB meningkat dari 3.9% di tahun 1973 menjadi di atas 8% di tahun 1997. Pada tahun 1998 kontribusi sektor konstruksi nasional terhadap PDB mengalami penurunan dan berlanjut sampai tahun 2002 hingga menjadi sekitar 6%. Mulai tahun 2003, kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB mulai menunjukkan tren yang membaik. Data tahun 2005 menunjukkan sektor konstruksi terhadap PDB meningkat kembali menjadi 6.35%.

Sektor konstruksi berkontribusi 60% dari pembentukan aset tetap. Pada sektor tenaga kerja, sektor konstruksi berkontribusi sekitar 10% dari total tenaga kerja nasional. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruki dari awal tahun 1970-an hingga 1997 di atas pertumbuhan tenaga kerja nasional. Setelah periode krisis ekomoni. Penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruksi telah menunjukkan peningkatan, sejalan dengan mulai meningkatnya kembali kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB. Dari 105,8 juta penduduk yang bekerja pada


108


tahun 2005, 44,02% bekerja di sektor pertanian, 12,2% di sektor manufaktur dan 4,6% di sektor konstruksi.
Sebagian besar dari output industri konstruksi adalah barang investasi (Hillebrandt, 1988; Raftery, 1991; Wells, 1986; World Bank, 1984) yang diperlukan untuk memproduksi barang, jasa atau fasilitas seperti (1) fasilitas untuk produksi lebih lanjut, seperti bangunan pabrik, (2) pembangunan atau peningkatan infrastruktur ekonomi, seperti jalan raya, pelabuhan, jalan kereta, dan (3) investasi sosial, seperti rumah sakit, sekolah. Oleh karena itu, permintaan terhadap output industri konstruksi sangat berfluktuasi. Investasi dapat ditunda atau dipercepat, tergantung dari kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Dalam kondisi depresi ekonomi yang dialami Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, industri konstruksi mengalami dampak yang paling besar. Setelah menikmati pertumbuhan sebesar 12.8% di tahun 1996, industri konstruksi tumbuh hanya sebesar 6.4% di tahun 1997, dan bahkan mengalami kontraksi hampir 40% di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 1998).

Tabel input-output BPS (1994) mengindikasikan industri konstruksi memiliki indeks penyebaran 1.24 dan indeks sensitifitas 1.23. Indeks penyebaran menunjukkan keterkaitan kebelakang (backward linkaged), yaitu kesempatan untuk menciptakan investasi bagi sektor lain disebabkan oleh permintaan pada salah satu sektor ekonomi. Indeks sensitifitas mengukur keterkaitan kedepan, yang menunjukkan penyediaan input oleh salah satu sektor ekonomi bagi sektor ekonomi lainnya. Indeks di atas 1.0 menunjukkan stimulus di atas rata-rata, yang berarti sektor konstruksi dapat mendorong pertumbuhan bagi sektor ekonomi lainnya.

Berdasarkan berbagai indikator, ekonomi Indonesia terus berkembang antara 2000-2004 sejak krisis berkepanjangan 1997 yang mempengaruhi setiap sektor, namun masih banyak faktor dalam negeri dan global yang perlu diperhatikan agar pertumbuhan dapat mencapai sasaran pembangunan yang diinginkan. Menurut BPS, Juni 2004 Produk Domestik Bruto (PDP) atas Harga Konstan tahun 2000 mengalami pertumbuhan 6.17% diatas tahun sebelumnya sebesar 5.8%. Perkembangan ekonomi yang sebelumnya terbukti cukup fleksibel terhadap berbagai pengaruh

109


guncangan ekonomi global kini perlu lebih memperhatikan pengembangan pada faktor fundamental yang dapat menjadi risiko utama terhadap kinerja pertumbuhan yang berkelanjutan namun menguntungkan, produktif dan pada akhirnya kompetitif bagi para usaha publik maupun swasta dan sektor industri dalam negeri serta luar negeri di era globalisasi (Porter, 1998). Indikasi manajemen faktor fundamental ekonomi pada masa krisis lalu secara prudent terbukti sangat bermanfaat dalam pengendalian berbagai ketidak-pastian berlaku sehingga tiba saatnya untuk menyediakan dasar bagi pembangunan di sektor strategis yang berbasis Construction Driven Economic Development (Abidin, 2005) sehingga dapat memanfaatkan dan menimbulkan berbagai pertumbuhan tambahan internal-externalities dari sektor konstruksi yang kini siap berkembang dengan potensi dari hasil pertumbuhan 8.17% pada tahun 2003-2004.

Globalisasi ekonomi dan keuangan dunia juga mendorong tuntutan kerja sama regional dan global yang semakin meningkat, melalui skema-skema liberalisasi perdagangan jasa konstruksi seperti GATS-WTO dan AFAS-ASEAN sehingga perlu dilakukan pembenahan terkait penataan kelembagaan dan pengembangan terhadap usaha, tenaga kerja, dan iklim usaha jasa konstruksi secara menyeluruh. Tantangan yang paling signifikan dan harus segera dihadapi adalah masyarakat ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan pada awal tahun 2016. Oleh karena itu, kebijakan pembinaan tenaga kerja konstruksi nasional harus diarahkan untuk meningkatan profesionalitas sumber daya manusia konstruksi Indonesia yang ditandai dengan pemberlakuan sertifikasi kompetensi kerja. Selain itu, pemerintah juga perlu menfasilitasi dan mendorong asosiasi profesi dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi dalam menetapkan bakuan kompetensi, penyelenggaraan konvensi, dan proses sertifikasi tenaga ahli dan terampil sektor konstruksi.

C. Landasan Yuridis

Usulan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan salah satu usulan dari program legislasi nasional (Prolegnas) pada periode keanggotaan 2010-2014. Perubahan terhadap

110


Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi tersebut beberapa kali menjadi prioritas prolegnas tahunan. Pada tahun 2014, Rancangan Undang-Undang ini telah memasuki tahapan harmonisasi namun belum dapat diselesaikan sesuai target sampai berakhirnya masa keanggotaan 2010-2014. pada periode 2015-2019 Rancangan Undang-Undang ini direncanakan masuk dalam program legislasi nasional. Selain itu kurang memadainya Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dalam menjawab tuntutan perubahan praktek bisnis, iklim usaha dan penataan kelembagaan di bidang jasa konstruksi menuntut adanya perubahan atau perbaikan atas Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Hal ini sejalan dengan berubahnya iklim usaha yang terkait dengan perkembangan kebijakan perdagangan bebas, demikian juga dalam aspek kelembagaan terkait dengan perkembangan politik dan sosial masyarakat khususnya pada masyarakat jasa konstruksi.

Jasa konstruksi merupakan suatu kegiatan ekonomi yang memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIV Perubahan Keempat tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 Ayat (4) menyatakan bahwa“ perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Selanjutnya, Pasal 33 Ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. Sebagai suatu sektor ekonomi, penyelenggaraan konstruksi harus dijamin berdasarkan prinsip-prinsip pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 ini.

Pemerintah Indonesia telah menganut prinsip demokratisasi dalam berbangsa dan bernegara. Pada masa-masa awal kemerdekaan sampai tahun 60an, pemerintah bertindak sebagai agen regulator sekaligus operator khususnya melalui perusahaan negara dalam kegiatan konstruksi untuk menyediakan infrastruktur. Selanjutnya, sejak tahun 70an, pemerintah telah membuka ruang keterlibatan pihak swasta untuk berpartisipasi dalam kegiatan konstruksi bagi pembangunan infrastruktur,

111


khususnya bagi konsultan arsitektur dan rekayasa serta kontraktor dan bahkan pemerintah memberi peluang lebih besar bagi swasta sebagai developer untuk pembangunan real estate atau perumahan permukiman termasuk gedung-gedung properti.
Selanjutnya, pasca 1999 Pemerintah telah membuka partisipasi swasta lebih luas menjadi investor tidak hanya untuk penyediaan properti dan perumahan, tetapi juga infrastruktur publik lainnya. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur telah membuka kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur. Dengan demikian, sistem hukum pengelolaan sektor konstruksi telah mengalami perubahan tidak hanya terkait dengan penyediaan jasa konsultansi dan kontraktor, tetapi juga termasuk investasi. Perdebatan tentang permasalahan tender investasi apakah sudah termasuk tender konstruksi bagi proses penyelenggaraan proyek konstruksi tidak bisa diselesaikan dengan konvergensi sistem hukum pengelolaan sektor konstruksi yang ada.

Disamping hal tersebut di atas, pengelolaan sektor konstruksi di Indonesia selama ini dipersepsikan secara sempit sebagai bidang kerja kementeri pekerjaan umum padahal sektor jasa konstruksi juga terkait langsung dengan sektor-sektor lainnya seperti perumahan, energi dan pertambangan, keuangan, dalam negeri, ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi, dan/atau lingkungan hidup.

Kebijakan politik pemerintah melalui desentralisasi dan otonomi daerah juga memiliki implikasi terhadap pengelolaan sektor konstruksi di daerah. Pemerintah daerah melalui peraturan daerah akan berpeluang mengembangkan sistem hukum pengelolaan sektor konstruksi berbasis kepentingan daerah. Kehadiran daerah-daerah dengan APBD besar akan memicu pertumbuhan pasar konstruksi semakin tinggi akibat investasi pemerintah daerah untuk penyediaan infrastruktur dan bangunan-bangunan lainnya. Hal ini juga akan memacu pertumbuhan aktifitas bisnis konstruksi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Disamping itu, kebijakan FDI (Foreign Direct Investment) di era otonomi daerah juga dapat


112


mendorong pertumbuhan aktifitas sektor konstruksi sebagai dampak kehadiran investasi luar negeri tersebut.
Keterbukaan politik partisipasi dan demokratisasi telah melanda Indonesia sejak tahun 1999. Partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sektor konstruksi juga telah secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi melalui diktum peran masyarakat. Peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan otoritarian oleh pemerintah tidak terjadi dalam pengelolaan sektor konstruksi. Namun demikian, ruang partisipasi masyarakat harus diatur sedemikian rupa sehingga menjadi lebih produktif dan menjamin terwujudnya tatakelola yang baik (good governance) serta menghindari pertentangan kepentingan di antara masyarakat sendiri. Dalam konteks partisipasi ini, keterwakilan masyarakat sering menjadi polemik dan menyisakan permasalahan. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sektor konstruksi harus dirumuskan secara jelas tatakelolanya, termasuk definisi terminologi masyarakat dalam perspektif sektor konstruksi harus jelas. Misalnya, penggunaan terminologi dan lingkup masyarakat jasa konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ternyata tidak hanya mereka yang terkait dengan usaha jasa perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, tetapi adalah mereka stakeholder sektor konstruksi.


























113


BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Jangkauan Dan Arah Pengaturan

Pengaturan sektor jasa konstruksi dimaksudkan untuk memberikan landasan atau sistem pengelolaan dan penyelenggaraan jasa konstruksi yang mampu:

a.   memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang berkualitas;
b.   mewujudkan tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c.   mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi;
d.   menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan terbangun;

e.   menjamin tata kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik; dan
f.    menciptakan integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Sektor jasa konstruksi sesungguhnya memiliki outcome atau sasaran akhir terciptanya lingkungan terbangun yang nyaman atau the finest built environment. Oleh karena itu, orientasi pengaturan sektor jasa konstruksi adalah mencapai suatu kondisi lingkungan terbangun yang memberi kenyamanan kepada masyarakat luas. Lingkungan terbangun ini akan memiliki dimensi pelaku, proses dan produk yang berada pada suatu ekosistem. Lingkungan dibentuk oleh suatu produk artefak atau bentuk fisik sebagai keluaran akhir suatu proses pekerjaan konstruksi. Produk konstruksi akan menjadi aset fisik berusia sangat panjang (long lasting

114


artefacts) dan memiliki karakteristik perubahan sangat lambat dengan dampak jangka panjang yang biasanya jauh lebih lama dari jangka waktu proses membuatnya serta terkait dengan perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, hasil akhir pekerjaan konstruksi akan terkait dengan interaksi sosial, psikologi, dan fisik antara individu, kelompok dan aset fisik terbangun lainnya.

Disamping itu, secara konvensional, lingkungan terbangun adalah suatu obyek bangunan hasil dari suatu dekomposisi dari suatu proses konstruksi yang terpisah, seperti perencanaan, disain rekayasa, dan pelaksanaan yang terpisah-pisah dalam suatu rentang waktu yang mulai dan berakhir telah ditetapkan.

Selanjutnya tata kelola jasa konstruksi yang baik (good construction services governance) adalah orientasi dari pengaturan sektor jasa konstruksi. Kondisi ini dibutuhkan ketika struktur rantai suplai dari para pelaku sektor konstruksi datang dari profesi dan latar belakang usaha yang beragam. Tata kelola yang baik dengan prinsip-prinsip utama partisipasi, transparansi, akuntabilitas dari sektor jasa konstruksi diharapkan menjamin pengembangan sektor jasa konstruksi menjadi lebih kokoh, handal dan berdayasaing tinggi. Disamping itu, orientasi ini akan membawa implikasi bahwa pengaturan sektor konstruksi harus dapat menjamin keadilan (fairness) dan kesetaraan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu struktur rangkaian dari kluster konstruksi.

Disamping itu, tata kelola jasa konstruksi yang baik dibutuhkan untuk menjamin arus sumber daya tidak hanya dikuasai oleh orang-perorangan atau golongan tertentu melalui monopoli maupun kartel. Oleh karena itu, setiap tahapan dari siklus layanan jasa konstruksi harus dijamin transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi yang kompetitif dari masyarakat luas.

Kegiatan jasa konstruksi diatur sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan integrasi nilai dari setiap tahapan siklus pekerjaan jasa konstruksi. Dalam konteks ini, subjek yang diatur adalah pihak-pihak yang terikat dalam pengikatan yaitu, penyedia jasa dan pengguna jasa. Hubungan antara pihak ini harus diatur sehingga dapat mencerminkan

115


kesetaraan dan keadilan diantara keduanya, serta dapat melindungi hak dan kewajiban para pihak tersebut. Hak dan kewajiban antara penyedia jasa dan pengguna jasa harus diatur secara jelas terutama yang berimplikasi keluar, seperti dampak terhadap lingkungan sekitar, tanggungjawab kepada pihak-pihak yang terkena dampak selama proses penyelenggaraan, serta jaminan yang jelas atas kesepakatan dalam kerangka hukum perdata. Pengaturan dalam undang-undang ini juga harus mampu menampung bagaimana cara para pihak ini menyelesaikan sengketa baik akibat cedera janji maupun pelanggaran atas hal yang telah disepakati dalam kontrak.

Pengaturan sektor jasa konstruksi perlu juga diarahkan agar sektor jasa konstruksi Indonesia mampu menciptakan nilai tambah kepada masyarakat secara berkelanjutan melalui profesionalisme, sinergi dan daya saing para pelakunya. Dalam hal ini, kegiatan konstruksi yang menghasilkan produk bangunan seperti infrastruktur harus dapat menjadi prasarana yang menfasilitasi pengembangan sektor-sektor ekonomi masyarakat, pengembangan wilayah dimana masyarakat berada, pengembangan modernitas dari masyarakat perkotaan dan perdesaan, serta pengembangan status masyarakat. Dengan demikian, sektor jasa konstruksi perlu diatur sedimikian rupa sehingga baik pelaku, proses maupun produk dapat memberi manfaat terhadap masyarakat luas. Pengurangan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan atas penyelenggaraan kegiatan konstruksi harus dapat diminimalisir oleh para pihak pelaku.

Secara keseluruhan, tujuan pengaturan sektor jasa konstruksi adalah menjamin bahwa pelaku dari setiap bagian struktur suplai penyelenggaraan pekerjaan konstruksi memiliki kapasitas, kompetensi dan daya saing tinggi untuk menjadikan proses penyelenggaraan jasa konstruksi efisien, efektif, dan cost-effectiveness serta berkeadilan sehingga produktif dalam menghasilkan produk jasa konstruksi (infrastruktur & gedung, serta fasilitas fisik lainnya) berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan


116






B. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang

1. Ketentuan Umum

Ketentuan umum dari Rancangan Undang Undang tentang Jasa Konstruksi berisi batasan pengertian atau definisi mengenai: jasa konstruksi, pekerjaan konstruksi, konsultansi konstruksi, pengguna jasa, penyedia jasa, Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi, kontrak kerja konstruksi, standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan, kegagalan pekerjaan konstruksi, kegagalan bangunan, sertifikasi badan usaha, sertifikat badan usaha, sertifikasi kompetensi kerja, sertifikat kompetensi kerja, tanda daftar usaha perseorangan, izin usaha jasa konstruksi, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, setiap orang dan menteri.

Selain itu, dalam Rancangan ini juga berisi redefinisi mengenai:

1.    Pengertian jasa konstruksi menjadi layanan jasa yang meliputi pekerjaan konstruksi dan/atau konsultansi konstruksi. Hal ini berbeda dengan pengertian jasa konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan jasa konstruksi sebagai layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

2.     Pengertian pekerjaan konstruksi menjadi keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembuatan, pengoperasian, pemeliharaan, penghancuran, dan pembuatan kembali. Hal ini berbeda dengan pengertian pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan pekerjaan konstruksi menjadi keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

117


3.     Pengertian pengguna jasa menjadi pemberi atau pemilik Pekerjaan Konstruksi dan/atau Konsultansi Konstruski yang memerlukan layanan Jasa Konstruksi. Hal ini berbeda dengan pengertian pengguna jasa dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.

4.      Pengertian penyedia jasa menjadi pemberi layanan Jasa Konstruksi. Hal ini berbeda dengan pengertian penyedia jasa dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi.

5.      Pengertian kegagalan bangunan menjadi suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis dan/atau manfaat setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi. Hal ini berbeda dengan pengertian kegagalan bangunan dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang mendefinisikan kegagalan bangunan sebagai keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan

penyedia jasa dan/atau pengguna jasa.

Sementara pengertian baru atau definisi baru dalam RUU Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
1.     Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan adalah pedoman keteknikan, keamanan, keselamatan, kesehatan tempat kerja konstruksi, dan perlindungan sosial tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

2.     Kegagalan Pekerjaan Konstruksi adalah suatu keadaan keruntuhan hasil penyelenggaraan Jasa Konstruksi baik secara keseluruhan

118


maupun sebagian yang terjadi dalam proses Pekerjaan Konstruksi sebelum dilaksanakannya penyerahan akhir hasil Pekerjaan Konstruksi.

3.   Sertifikasi Badan Usaha adalah proses pemberian sertifikat atas penilaian untuk mendapatkan pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha di bidang Jasa Konstruksi.

4.   Sertifikat Badan Usaha adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi.

5.   Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi melalui uji kompetensi sesuai standar kompetensi kerja nasional indonesia, standar internasional, dan/atau standar khusus.

6.   Sertifikat Kompetensi Kerja adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi.
7.   Tanda Daftar Usaha Perseorangan adalah izin yang diberikan kepada usaha orang perseorangan untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi.

8.   Izin Usaha Jasa Konstruksi yang selanjutnya disebut Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada badan usaha untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi.
9.   Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10.   Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

11.   Setiap Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan usaha.

12.   Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.

2. Asas, Fungsi, Dan Tujuan

119


Dalam bab ini diatur mengenai asas dalam penyelenggaraan kegiatan Jasa Konstruksi antara lain berasaskan kejujuran dan keadilan, manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, profesionalitas, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan, pembangunan berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.

Asas kejujuran dan keadilan adalah kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya.

Asas manfaat adalah bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional.

Asas kesetaraan adalah bahwa kegiatan jasa konstruksi harus dilaksankanan dengan memperhatikan kesetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

Asas keserasian adalah harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi.
Asas keseimbangan adalah bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa.

Asas profesionalitas adalah adalah penyelenggaraan jasa konstruksi merupakan kegiatan profesi yang menjunjung tinggi nilai profesionalisme.




120


Asas kemandirian adalah penyelenggaraan jasa konstruksi dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya nasional di bidang jasa konstruksi.

Asas keterbukaan adalah ketersediaan informasi yang dapat diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajiban secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan.

Asas kemitraan adalah hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.
Asas keamanan dan keselamatan adalah terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja, serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum.

Asas kebebasan adalah bahwa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi pengguna jasa memiliki kebebasan untuk memilih penyedia jasa dan juga adanya kebebasan berkontrak antara penyedia jasa dan pengguna jasa.
Asas pembangunan berkelanjutan adalah bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilaksanakan dengan memikirkan dampak yang ditimbulkan pada lingkungan yang terjaga secara terus menerus menyangkut aspek ekologi, ekonomi,dan sosial budaya.
Asas berwawasan lingkungan adalah bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Adanya penambahan asas dalam RUU ini dibandingkan dengan asas dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Asas dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat bangsa dan negara.

121


Selanjutnya, dalam bab ini dirumuskan pula mengenai tujuan dari penyelenggaraan kegiatan jasa konstruksi yaitu:
a.   memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang berkualitas;

b.   mewujudkan tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c.   mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi;
d.   menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan terbangun;
e.   menjamin tata kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik; dan
f.    menciptakan integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Tujuan  dalam  RUU  ini  lebih  luas  dibandingkan  dengan

pengaturan tujuan yang ada dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi. Tujuan dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:

a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;

b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatahan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.  mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.

3. Pembinaan

122


Konsep pembinaan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pembinaan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dilakukan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri teknis terkait. Sedangkan pembinaan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dilakukan oleh gubernur dan/atau walikota/bupati.

Pembinaan      Jasa    Konstruksi       yang     menjadi      tanggung      jawab

Pemerintah Pusat meliputi:

a.     penetapan kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi nasional;

b.     penyelenggaraan kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi yang bersifat strategis, lintas negara, lintas provinsi, dan/atau berdampak pada kepentingan nasional; dan

c.     pemantauandan    evaluasipenyelenggaraankebijakan

pengembangan Jasa Konstruksi nasional.

Pembinaan Jasa Konstruksi yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah provinsi meliputi:
a.     penetapan pedoman teknis pelaksanaan kebijakan Jasa Konstruksi nasional di wilayah provinsi;
b.     penyelenggaraan kebijakan Jasa Konstruksi yang berdampak lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi; dan
c.     pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan kebijakan Jasa Konstruksi nasional di wilayah provinsi.
Pembinaan   Jasa   Konstruksi   oleh   pemerintah   daerah

kabupaten/kota meliputi:

a.     penyelenggaraan kebijakan Jasa Konstruksi yang berdampak hanya di wilayah kabupaten/kota; dan
b.     pemantauan  dan  evaluasi  penyelenggaraan  kebijakan  Jasa

Konstruksi nasional di daerah kabupaten/kota.

Pembinaan Jasa Konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada dasarnya bertujuan:
a.    meningkatkan kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja konstruksi nasional;
b.     meningkatkan kemampuan dan kapasitas usaha Jasa Konstruksi

123


nasional;

c.     meningkatkan kualitas dan penggunaan material konstruksi dan teknologi konstruksi dalam negeri;
d.    menciptakan iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa;
e.    menjamin keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta hasil Jasa Konstruksi yang ramah lingkungan; dan

f.      meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi.

Untuk meningkatkan kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja konstruksi nasional, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang Jasa Konstruksi meliputi:

a.    mengembangkan standar kompetensi tenaga kerja konstruksi;

b.     mengembangkan sistem pelatihan tenaga kerja konstruksi nasional;

c.     menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi;

d.    mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi nasional; dan
e.     menetapkan standar remunerasi minimal tenaga kerja konstruksi. Selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas
usaha Jasa Konstruksi nasional, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan usaha di bidang Jasa Konstruksi meliputi:
a.    mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi guna terciptanya kerjasama sinergis antara usaha umum dan spesialis, serta antar usaha kecil, menengah, dan besar;
b.    mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa Konstruksi;

c.     mengembangkan sistem rantai pasok Jasa Konstruksi;

d.    meningkatkan akses badan usaha jasa kontruksi terhadap penjaminan dan permodalan usaha; dan
e.    memberikan dukungan bagi badan usaha Jasa Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional.

124


Untuk meningkatkan kualitas dan penggunaan material konstruksi dan teknologi konstruksi dalam negeri, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan material dan teknologi konstruksi dalam negeri meliputi:
a.   mengembangkan rencana induk penelitian dan pengembangan material dan teknologi konstruksi nasional;
b.   memberikan dukungan pembiayaan bagi penelitian dan pengembangan material dan teknologi konstruksi;
c.     mengembangkan skema kerjasama antara institusi penelitian dan pengembangan dengan seluruh pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;

d.    menetapkan pengembangan teknologi prioritas yang meliputi:

1.  teknologi sederhana tepat guna dan padat karya;

2.  teknologi yang berkaitan dengan posisi geografis Indonesia;

3.  teknologi konstruksi yang ramah lingkungan;

4.  teknologi material baru yang berpotensi tinggi di Indonesia; dan

5.  teknologi dan manajemen pemeliharaan aset infrastruktur; dan

e.    mempromosikan material dan teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh pemangku kepentingan nasional maupun internasional.

Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan penyelenggaraan Jasa Konstruksi meliputi:

a.    mengembangkan prosedur pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi dan pelaksanaan konstruksi;
b.    mengembangkan standar Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa;

c.     mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar pengadilan; dan
d.    mengembangkan   sistem   kinerja   Penyedia   Jasa   dalam

125


penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Selanjutnya untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta hasil Jasa Konstruksi yang ramah lingkungan, Pemerintah Pusat menyusun kebijakan dan menetapkan standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sedangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengembangan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi, meliputi:

a.     memperkuat kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa Konstruksi;

b.    meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; dan
c.     memfasilitasi penyelenggaraan forum Jasa Konstruksi sebagai wadah aspirasi masyarakat Jasa Konstruksi.
Masih dalam lingkup pembinaan, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Jasa Konstruksi meliputi:

a.   tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi sesuai dengan Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan;
b.   tertib persyaratan usaha dan perizinan tata bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan
c. kinerja Penyedia Jasa dalam menyelenggarakan Jasa Konstruksi. Dalam melaksanakan pembinaan, Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah dapat melibatkan Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

4. Usaha Jasa Konstruksi

Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, bidang usaha jasa konstruksi berdasarkan pada disiplin keilmuan yang mencakup pekerjaan arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan (ASMET), sedangkan pada RUU tentang Jasa Konstruksi, struktur usaha

126


Jasa Konstruksi meliputi: a. jenis, sifat, klasifikasi, dan layanan usaha; dan b. bentuk dan kualifikasi usaha. Dari struktur usaha Jasa Konstruksi kemudian diperinci berdasarkan jenis usaha Jasa Konstruksi yang meliputi: a. jasa konsultansi konstruksi; b. jasa pelaksana konstruksi; dan c. jasa pelaksana konstruksi terintegrasi. Klasifikasi usaha Jasa Konstruksi didasarkan pada klasifikasi produk konstruksi yakni pengelompokan usaha Jasa Konstruksi menggunakan skema klasifikasi-subklasifikasi-produk berdasarkan Central Product Classifications (CPC).

Sifat usaha jasa konsultansi konstruksi ada yang bersifat umum dan spesialis. Klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat umum meliputi antara lain: arsitek; rekayasa; rekayasa terpadu; dan arsitektur lanskap dan perencanaan wilayah. Selanjutnya klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat spesialis meliputi antara lain: konsultansi ilmiah dan teknis; dan pengujian dan analisis teknis. Layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa konsultansi konstruksi yang bersifat umum meliputi: pengkajian; perencanaan; perancangan; dan/atau pengawasan. Adapun layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa konsultansi konstruksi yang bersifat spesialis meliputi: survei; pengujian teknis; dan/atau analisis.

Selanjutnya terkait dengan usaha jasa pelaksana konstruksi meliputi usaha yang bersifat umum; dan spesialis. Klasifikasi usaha untuk jasa pelaksana konstruksi yang bersifat umum meliputi bangunan gedung dan bangunan sipil. Klasifikasi usaha untuk jasa pelaksana konstruksi yang bersifat spesialis meliputi antara lain: a penyiapan lapangan; b. instalasi; c. konstruksi khusus; d. konstruksi prapabrikasi; e. penyelesaian bangunan; dan f. penyewaan peralatan.

Layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa pelaksana konstruksi yang bersifat umum meliputi: pembangunan; pemeliharaan; penghancuran; dan/atau pembuatan kembali. Layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa pelaksana konstruksi yang bersifat spesialis meliputi pekerjaan bagian tertentu dari bangunan konstruksi atau


127


bentuk fisik lainnya. Klasifikasi usaha untuk jasa pelaksana konstruksi terintegrasi meliputi bangunan gedung; dan bangunan sipil.

Selain itu terdapat layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa

pelaksana konstruksi terintegrasi meliputi: a. rancang bangun; b. perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan; dan c. penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berbasis kinerja.

Perubahan bidang usaha jasa konstruksi akan mempermudah pemerintah pusat untuk melakukan pengaturan dan pembinaan pada bidang usaha jasa konstruksi. Selain itu, pengklasifikasian ini menyebabkan playing field di bidang Jasa Konstruksi menjadi lebih luas dan beragam, meningkatkan peluang usaha, lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja, serta memudahkan penyetaraan dengan klasifikasi Negara lain.
Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, bentuk usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha, dimana bentuk usaha orang perseorangan hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan berbiaya kecil. Sedangkan untuk pekerjaan konstruksi yang berisiko besar, berteknologi tinggi, dan berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. Pada RUU, terkait bentuk dan kualifikasi usaha, usaha jasa konstruksi berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Adapun kualifikasi usaha bagi badan usaha terdiri atas: kecil; menengah; dan besar. Penetapan kualifikasi usaha tersebut dilaksanakan melalui penilaian terhadap penjualan tahunan; kemampuan keuangan; dan ketersediaan tenaga kerja konstruksi. Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan usaha dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.

Segmentasi Pasar terbagi dalam segmentasi usaha orang perseorangan badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi kecil yang hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko kecil; berteknologi sederhana; dan berbiaya kecil. Selanjutnya, segmentasi pasar usaha badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi

128


menengah yang hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko sedang; berteknologi madya; dan/atau berbiaya sedang. Adapun untuk badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi besar yang berbadan hukum dan perwakilan usaha Jasa Konstruksi asing hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang berisiko besar; berteknologi tinggi; dan/atau berbiaya besar.

Terdapat pengaturan khusus dalam hal penyelenggaraan Jasa Konstruksi menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta memenuhi kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi sederhana sampai dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang, pemerintah daerah provinsi dapat membuat kebijakan khusus meliputi:

a. kerjasama operasi dengan badan usaha Jasa Konstruksi daerah; b. penggunaan subpenyedia jasa daerah; dan/atau c. penggunaan tenaga kerja daerah.

Persyaratan Usaha baik usaha orang perseorangan maupun badan usaha harus memiliki izin usaha. Untuk usaha orang perseorangan wajib memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan. Sedangkan untuk badan usaha Jasa Konstruksi wajib memiliki Izin Usaha. Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha Perseorangan berlaku untuk melaksanakan kegiatan usaha Jasa Konstruksi di seluruh wilayah Republik Indonesia. Pemerintah daerah kabupaten/kota membentuk peraturan di daerah mengenai Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha Perseorangan.

Untuk mendapatkan Tanda Daftar Usaha Perseorangan yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kot, usaha orang perseorangan harus memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja. Sedangkan

untuk mendapatkan Izin Usaha dari pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha harus memiliki Sertifikat Badan Usaha dan penanggung jawab teknik badan usaha yang bersertifikat.

Sertifikat Badan Usaha diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan registrasi oleh badan yang dibentuk dan

129


bertanggungjawab kepada Menteri yang memiliki tugas sertifikasi dan registrasi di bidang Jasa Konstruksi dengan mengajukan permohonan kepada badan tersebut melalui asosiasi badan usaha yang terakreditasi oleh Menteri. Selain itu dalam RUU juga diatur mengenai registrasi pengalaman. Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman usaha, setiap badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi menengah dan besar harus melakukan registrasi pengalaman kepada badan dimaksud.

Pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi belum diatur secara khusus mengenai bentuk usaha yang dilakukan oleh badan usaha asing, sedangkan pada RUU perubahan telah diatur secara khusus mengenai ketentuan persyaratan bagi badan usaha asing atau usaha perseorangan asing yang akan melakukan usaha jasa konstruksi di wilayah Indonesia. Badan usaha asing atau usaha orang perseorangan asing yang akan melakukan usaha Jasa Konstruksi di wilayah Indonesia wajib membentuk: kantor perwakilan atau badan usaha berbadan hukum Indonesia melalui kerjasama modal dengan badan usaha Jasa Konstruksi nasional. Terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh kantor perwakilan yaitu:

a. berbentuk badan usaha dengan kualifikasi yang setara dengan kualifikasi besar;
b.    memiliki sertifikat penyetaraan dari BSRJK;

c.     memiliki izin perwakilan badan usaha Jasa Konstruksi asing yang diberikan oleh Menteri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

d.    dalam setiap kegiatan usaha Jasa Konstruksi di Indonesia, membentuk kerja sama operasi dengan badan usaha Jasa Konstruksi nasional berkualifikasi besar yang memiliki Izin Usaha yang dilakukan dengan prinsip kesetaraan kualifikasi, kesamaan layanan, dan tanggung renteng;

e.    mengutamakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing;


130


f.    mengutamakan penggunaan material dan teknologi konstruksi dalam negeri;
g.    memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan lingkungan, serta memperhatikan kearifan lokal;
h.    melaksanakan proses alih teknologi; dan

i.      melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Adapun badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam rangka kerjasama modal harus memenuhi persyaratan kualifikasi besar dan wajib memiliki Izin Usaha yang diberikan oleh Menteri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan dalam RUU yang mengatur mengenai klasifikasi dan kualifikasi usaha, izin usaha, dan sertifikasi usaha secara lebih terperinci dimaksudkan agar bisa memberikan panduan atau guideline yang lebih jelas dan memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha jasa konstruksi.

Dalam rangka pembinaan terhadap usaha di bidang jasa konstruksi diatur pula pengembangan usaha berkelanjutan atau contiouning business development bagi setiap badan usaha Jasa yang bertujuan untuk bertujuan meningkatkan tata kelola usaha yang baik; dan memiliki tanggung jawab profesional termasuk tanggung jawab badan usaha terhadap masyarakat. Pengembangan usaha berkelanjutan diselenggarakan oleh asosiasi badan usaha Jasa Konstruksi.

5. Pengikatan Pekerjaan Konstruksi

Pengaturan mengenai pengikatan pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi sangat detail mulai dari ketentuan mengenai para pihak, ketentuan mengenai jaminan pembayaran/pembiayaan, bagaimana proses pengikatan antara para pihak dan pengaturan mengenai kontrak kerja konstruksi. ketentuan mengenai para pihak tidak mengalami perubahan mendasar dalam RUU, hanya ditambahkan mengenai siapa saja yang dimaksudkan sebagai pihak pengguna dan penyedia jasa, yakni orang perseorangan atau

131


badan; baik badan usaha dan bukan badan usaha, baik Indonesia maupun asing. ketentuan yang membagi penyedia jasa pada perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi sudah tidak relevan diatur mengingat perubahan pengertian/definisi pekerjaan konstruksi dan tahapannya. Ketentuan mengenai jaminan pembayaran/pembiayaan dipindahkan ke bagian penyelenggaraan pekerjaan konstruksi mengingat relevansinya dengan kewajiban memberikan jaminan pembayaran oleh pengguna jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, tidak ada pembedaan antara proses pengikatan bagi pekerjaan konstruksi yang merupakan pekerjaan yang didanai dengan keuangan negara dengan pekerjaan swasta atau pekerjaan individual. Pengguna jasa baik pemerintah maupun swasta dalam memilih penyedia jasa harus melalui proses pelelangan baik dengan cara pelelangan umum maupun terbatas. Pengaturan mengenai proses pengikatan melalui pelelangan diatur dengan rinci, termasuk persyaratan teknis dan mekanisme pemilihan. Dalam RUU, pengaturan mengenai pengikatan dikembalikan pada aturan hukum perdata, dimana pengikatan merupakan ranah perdata yang memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Sehingga ketentuan mengenai pengikatan antara para pihak berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dinyatakan lain dalam Undang-Undang ini. Pengecualian ini ditujukan untuk pekerjaan konstruksi yang menggunakan keuangan negara yang harus melalui proses pelelangan dalam pemilihan penyedia jasa. Ketentuan mengenai pelelangan tersebut perlu diatur secara garis besar dalam RUU, sedangkan teknis mekanisme, persyaratan dan proses pemilihan dan penetapannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Namun demikian RUU ini memungkinkan penetapan penyedia jasa bagi proyek pemerintah dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung dalam keadaan:

a.   penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;

b.   pekerjaan  yang  kompleks  yang  hanya  dapat  dilaksanakan  oleh

132


penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;
c.   pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara; dan
d.   pekerjaan yang berskala kecil.

Bagi badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama dilarang mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. pengaturan ini dimaksudkan untuk menghindari kecurangan dan persaingan usaha tidak sehat.

Selain itu untuk menghindari adanya monopoli dalam suatu pekerjaan konstruksi dan sistem persaingan usaha yang tidak sehat, pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu pekerjaan konstruksi yang terkait dengan pembangunan sarana kepentingan umum, kecuali jika pemberian pekerjaan tersebut dilakukan dengan melalui pelelangan.

Dalam rangka pengaturan hubungan kerja yang jelas dan adil antara pengguna jasa dan penyedia jasa secara hukum, pengaturan ada pengaturan mengenai kontrak kerja konstruksi. namun mengingat sifat kontrak yang pada dasarnya mengikat sepanjang disepakati para pihak, maka ketentuan dalam RUU hanya mengatur mengenai batasan minimal hal-hal yang harus disepakati dalam suatu kontrak kerja. Adapun bentuk-bentuk kontrak kerja konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan/berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat perkembangan pengikatan dan jenis kontrak berkembang seiring dengan perkembangan usaha jasa konstruksi yang semakin dinamis dan global.

Pengaturan batasan minimal muatan suatu kontrak diatur dalam rangka melindungi kedua belah pihak apabila terjadi sengketa atau terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan serta adanya pihak ketiga atau masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan suatu pekerjaan konstruksi. pengaturan ini dimaksudkan pula agar pihak yang berwenang memiliki dasar pijakan

133


jika terjadi konflik dan sengketa antara para pihak maupun dalam hal adanya penyelenggaraan suatu pekerjaan konstruksi yang mengakibatkan kerugian pihak lain seperti masyarakat dan lingkungan.

Selain beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, beberapa muatan yang harus ditambahkan pada syarat minimal kontrak antara lain:

a.   kewajiban jaminan pembayaran dari pengguna jasa;

b.   kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan bangunan; dan

c.    perlindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, yang memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan konstruksi yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian orang-orang di luar tenaga kerja.

6. Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi

Bab penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi masih tetap dipertahankan dalam RUU ini, namun dibagi ke dalam beberapa bagian yang lebih rinci mencakup bagian Penyedia Jasa dan Sub Penyedia Jasa, Pembiayaan, Standar Keselamatan Konstruksi, dan bagian Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan yang didalamnya terdapat sub bagian yang membicarakan tentang penilai ahli dan jangka waktu dan pertanggungjawaban kegagalan bangunan. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi saat ini masih bersifat general sehingga kurang dapat menjelaskan secara komprehensif hal-hal yang berkaitan dengan penyelengaraan pekerjaan konstruksi.






134


a. Penyedia Jasa dan Subpenyedia Jasa

Penyedia Jasa dan subpenyedia jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi harus sesuai dengan perjanjian dalam kontrak dan memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dilarang memberikan pekerjaan utama kepada subpenyedia jasa kecuali kepada usaha Jasa Konstruksi yang bersifat spesialis. Pemberian pekerjaan utama kepada subpenyedia jasa yang bersifat spesialis harus mendapat persetujuan Pengguna Jasa. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dengan kualifikasi menengah dan/atau besar mengutamakan untuk memberikan pekerjaan penunjang kepada subpenyedia jasa yang bersifat spesialis dengan kualifikasi kecil.

Penyedia Jasa dan subpenyedia jasa wajib memenuhi hak dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi antara Penyedia Jasa dan subpenyedia jasa. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dan/atau subpenyedia jasa wajib menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat biaya, tepat mutu, dan tepat waktu sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi. Setiap orang yang tidak menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat biaya, tepat mutu, dan tepat waktu dapat dikenai ganti kerugian sesuai dengan kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.

b.  Pembiayaan

Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pengguna Jasa wajib menjamin ketersediaan biaya dan melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan tepat waktu. Setiap orang yang tidak menjamin ketersediaan biaya dan melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan tepat waktu dapat dikenai ganti kerugian sesuai dengan kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dapat dibiayai oleh pemerintah, swasta, dan/atau masyarakat sebagai Pengguna Jasa. Pengguna Jasa harus memiliki kemampuan membayar dan

135


bertanggungjawab atas biaya layanan Jasa Konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank. Bukti kemampuan membayar dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran biaya, dan/atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi. Dalam hal Pengguna Jasa adalah Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, pembuktian kemampuan untuk membayar diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan anggaran. Pengguna Jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

c. Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan


Dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan,

dan Kesehatan. Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa dapat memberikan pengesahan atau persetujuan atas:

a.    hasil pengkajian, perencanaan dan/atau perancangan;

b.    rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan kembali;
c.     dilaksanakannya suatu proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan kembali;
d.    penggunaan material dan/atau peralatan; dan/atau

e.    diterimanya hasil layanan Jasa Konstruksi.

Adapun standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi meliputi:
a.    standar mutu bahan;

b.    standar mutu peralatan;

c.     standar prosedur keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja;

d.    standar prosedur pelaksanaan pekerjaan konstruksi;

e.    standar mutu hasil pekerjaan konstruksi;

136


f.      standar operasi dan pemeliharaan;

g.    pedoman perlindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

h.    standar pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan untuk setiap produk konstruksi diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi menteri teknis yang terkait. Dalam menyusun Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan untuk setiap produk konstruksi, Menteri memperhatikan kondisi geografis yang rawan gempa dan kenyamanan lingkungan terbangun.

d. Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan


Dalam hal penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan, Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dapat menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan/atau Kegagalan Bangunan yang ditetapkan oleh penilai ahli ditetapkan oleh badan sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi. Dalam melaksanakan tugas, penilai ahli wajib bekerja dengan prinsip independen dan imparsial. Biaya penilai ahli dalam pelaksanaan tugasnya dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara

d.1. Penilai Ahli


Persyaratan penilai ahli:

a.   memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sekurang-kurangnya pada jenjang jabatan ahli di bidang yang sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan;
b. memiliki       pengalaman      sebagai     perencana,      pelaksana,      dan/atau


137


pengawas pada pekerjaan konstruksi sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan; dan

c. terdaftar di BSRJK sebagai Penilai Ahli.


Adapun penilai ahli mempunyai tugas antara lain:


a.   menetapkan tingkat kepatuhan terhadap standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

b.    menetapkan sebab-sebab terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan;
c.     menetapkan tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan bangunan;
d.    menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan serta tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan;
e.    menetapkan besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan;

f.      menetapkan jangka waktu pembayaran kerugian;

g.     menetapkan adanya indikasi awal tindak pidana bidang konstruksi;

h.    melaporkan hasil penilaiannya kepada BSRJK dan instansi yang mengeluarkan izin membangun, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah melaksanakan tugasnya; dan

i.      memberikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah dan/atau BSRJK dalam rangka pencegahan terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan.

Dalam melaksanakan tugas, penilai ahli berwenang untuk:

a.    menghubungi pihak-pihak terkait, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan;
b.    memperoleh data yang diperlukan;

c.     melakukan pengujian yang diperlukan; dan

138


d.  memasuki lokasi tempat terjadinya Kegagalan Bangunan.


Penyedia Jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan/atau Kegagalan Bangunan yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa atas biaya sendiri. Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan/atau Kegagalan Bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

d.2. Jangka Waktu dan Pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan


Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan rencana umur konstruksi paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak penyerahan akhir layanan Jasa Konstruksi. Pengguna Jasa bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi setelah jangka waktu yang telah ditentukan yang harus dinyatakan dengan tegas dalam Kontrak Kerja Konstruksi. Pengguna Jasa dan/atau pihak lain yang dirugikan akibat Kegagalan Bangunan dapat melaporkan terjadinya suatu Kegagalan Bangunan kepada badan yang dibentuk dalam Undang-Undang dan Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa wajib memberikan ganti kerugian.



7.  Tenaga Kerja Konstruksi

Pengaturan  mengenai tenaga  kerja konstruksi  pada Undang-

Undang tentang Jasa Konstruksi tidak diatur dalam bab tersendiri.

Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi diatur bahwa:

a.    Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian.
b.    Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja.
c.    Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh Badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga

139


tertentu dalam badan Usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian.
d.    Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.

Dalam konsep RUU, pengaturan tenaga kerja konstruksi diatur

dalam bab tersendiri. Tenaga kerja konstruksi dibedakan atas klasifikasi dan kualifikasi. Secara klasifikasi tenaga kerja konstruksi terdiri atas klasifikasi di bidang arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, tata lingkungan, dan manajemen pelaksanaan. Sedangkan secara kualifikasi tenaga kerja konstruksi terdiri atas jenjang jabatan operator, jabatan teknisi atau analis, dan jabatan ahli.

Dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi diatur mengenai pelatihan tenaga kerja konstruksi. Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif, dan efisien dalam rangka mencapai standar kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Pelatihan tenaga kerja konstruksi juga dapat diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi, setiap tenaga kerja yang bekerja di bidang konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja. Sertifikat kompetensi kerja tersebut diberikan kepada tenaga kerja konstruksi yang telah memenuhi standar kompetensi kerja oleh lembaga sertifikasi profesi bidang Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga sertifikasi profesi tersebut dapat dibentuk oleh Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi atau oleh masyarakat Jasa Konstruksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga sertifikasi profesi melakukan registrasi Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan kepada Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Lembaga sertifikasi profesi wajib


140


mengikuti ketentuan pelaksanaan pemberian sertifikat kompetensi kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Registrasi sertifikat kompetensi kerja harus dilakukan melalui asosiasi profesi yang terakreditasi. Akreditasi terhadap asosiasi profesi tersebut diberikan oleh Menteri kepada asosiasi profesi yang memenuhi persyaratan:
a.    jumlah dan sebaran anggota;

b.    pemberdayaan kepada anggota;

c.     pemilihan pengurus secara demokratis;

d.    sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan

e.     melakukan  kewajiban  sesuai  dengan  ketentuan   peraturan

perundangan-undangan.

Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, untuk mendapatkan pengakuan pengalaman profesional, setiap tenaga kerja konstruksi pada kualifikasi jenjang jabatan ahli harus melakukan registrasi kepada Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Registrasi tersebut dibuktikan dengan tanda daftar pengalaman professional yang paling sedikit memuat:

a.       jenis layanan profesional yang diberikan;

b.       nilai pekerjaan konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional;
c.        tahun pelaksanaan pekerjaan; dan

d.       nama Pengguna Jasa;

Setiap tenaga kerja konstruksi yang memiliki sertifikat kompetensi kerja berhak atas imbalan yang layak atas layanan jasa yang diberikan. Imbalan yang layak tersebut bagi tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan operator dan jabatan teknisi atau analis mengacu pada upah minimum yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan imbalan yang layak bagi tenaga kerja konstruksi pada jenjang jabatan ahli mengacu pada standar remunerasi minimal, yang ditetapkan oleh Menteri. Untuk itu, setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang menggunakan


141


layanan profesional tenaga kerja konstruksi pada kualifikasi jenjang jabatan ahli harus memperhatikan standar remunerasi ini.
Selanjutnya terkait dengan tenaga kerja konstruksi, diatur mengenai tenaga kerja konstruksi asing. Tenaga kerja konstruksi asing yang dapat melakukan Pekerjaan Konstruksi di Indonesia, hanya tenaga kerja konstruksi asing pada jabatan ahli dan sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Tenaga kerja konstruksi asing tersebut harus memiliki surat izin kerja tenaga ahli asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mendapat surat izin kerja itu tenaga kerja konstruksi asing pada jabatan ahli harus memiliki surat tanda registrasi tenaga kerja konstruksi asing pada jabatan ahli dari Badan Sertifikasi Registrasi Jasa Konstruksi. Surat tanda registrasi tenaga kerja konstruksi asing itu diberikan berdasarkan surat tanda registrasi atau sertifikat kompetensi tenaga kerja konstruksi asing menurut hukum negaranya.

Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, tenaga kerja konstruksi asing wajib melaksanakan alih pengetahuan dan/atau alih teknologi. Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, tenaga kerja konstruksi yang memberikan layanan Jasa Konstruksi harus bertanggung jawab secara profesional terhadap hasil pekerjaannya. Tanggung jawab tersebut dilaksanakan berdasarkan prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan umum.

8.  Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi


Dalam rangka penyelenggaraan sebagian tugas pengembangan Jasa Konstruksi dibentuk Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa

142


Konstruksi atau yang disingkat BSRJK oleh Menteri. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BSRJK terlepas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan golongan atau kelompok. Karena dibentuk oleh Menteri, maka BSRJK bertanggung jawab kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya BSRJK berkedudukan di ibukota Negara, dan dapat membentuk perwakilan di tingkat Provinsi yang berkududukan di tingkat provinsi.

BSRJK terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dengan jumlah 5 (lima) orang anggota yang diangkat oleh Menteri. Dalam mengangkat anggota BSRJK Menteri membentuk panitia seleksi. Untuk dapat diangkat menjadi anggota BSRJK, seseorang harus memenuhi paling sedikit persyaratan sebagai berikut:

a.        Warga Negara Republik Indonesia;

b.        bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia;

c.        berpengalaman dalam bidang konstruksi sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
d.        tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
e.        tidak dalam rangkap jabatan sebagai pejabat struktural di pemerintahan, jabatan struktural di Perguruan Tinggi, jabatan
struktural perusahaan, dan jabatan struktural di dalam asosiasi profesi maupun asosiasi badan usaha.
Calon anggota BSRJK dapat diusulkan oleh asosiasi badan usaha yang terakreditasi, asosiasi profesi yang terakreditasi, institusi Pengguna Jasa konstruksi yang memenuhi kriteria, dan/ atau perguruan tinggi yang memenuhi kriteria. Masa keanggotaan BSRJK adalah 5 (lima) tahun, serta berhenti atau diberhentikan oleh Menteri dalam hal mengundurkan diri, meninggal dunia, berhalangan tetap atau tidak melaksanakan tugasnya sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan, terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan

143


pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, merangkap jabatan sebagai pejabat struktural di pemerintahan, jabatan struktural perusahaan, atau pengurus asosiasi profesi, atau pengurus asosiasi perusahaan; dan/atau tidak memenuhi persyaratan anggota BSRJK.

Tugas dan wewenang BSRJK meliputi:

a.   menyelenggarakan sertifikasi dan registrasi badan usaha;

b.   menyelenggarakan registrasi pengalaman usaha;

c.   menyelenggarakan sertifikasi penyetaraan badan usaha asing;

d.   menyelenggarakan registrasi penilai ahli;

e.   menetapkan penilai ahli yang terdaftar dalam hal terjadi Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan;
f.    membentuk lembaga sertifikasi profesi bidang Jasa Konstruksi;

g.   menyelenggarakan registrasi Sertifikat Kompetensi Kerja;

h.   menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi asing;

i.     menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional; dan

j.     memberikan  masukan  kepada  Pemerintah  dalam  merumuskan

kebijakan Jasa Konstruksi nasional.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang tersebut, BSRJK berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, BSRJK dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas jasa layanan yang diberikan oleh BSRJK merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang BSRJK, dibentuk sekretariat. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan dan keanggotaan, tugas dan wewenang, panitia seleksi, pembiayaan, serta kesekretariatan BSRJK diatur dengan Peraturan Menteri.

9.  Sistem Informasi Jasa Konstruksi

Dalam rangka menyediakan data dan informasi yang akurat 144


dan terintegrasi dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi dalam RUU diatur pembentukan suatu sistem informasi yang terintegrasi. Sistem informasi yang terintegrasi dimaksud memuat data dan informasi yang berkaitan dengan tugas pembinaan di bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan tugas sertifikasi dan registrasi di bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan oleh BSRJK.

Sistem informasi jasa konstruksi tersebut dikelola oleh Pemerintah Pusat bekerja sama dengan BSRJK. Untuk pembiayaan yang diperlukan dalam pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.

10. Partisipasi Masyarakat

Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan cara mengakses informasi dan keterangan terkait dengan kegiatan kontruksi yang berdampak pada kepentingan masyarakat, melakukan pengaduan, gugatan, dan upaya mendapatkan ganti rugi atau kompensasi terhadap dampak yang ditimbulkan dari kegiatan Jasa Konstruksi, dan membentuk asosiasi profesi dan asosiasi badan usaha di bidang Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain berpartisipasi dalam pengawasan tersebut, masyarakat juga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah bagi perumusan kebijakan Jasa Konstruksi.

Dalam hal terdapat pengaduan masyarakat akan adanya dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, proses pemeriksaan hukum terhadap Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dilakukan dengan tidak mengganggu atau menghentikan proses penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sedangkan untuk pengaduan masyarakat terkait dengan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dibiayai oleh anggaran yang bersumber dari keuangan negara, proses

145


pemeriksaan hukum dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan keuangan dari lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Namun demikian, pengaduan tersebut akan dikecualikan dalam hal terjadi:

a.   kerugian, keamanan, keselamatan dan kesehatan masyarakat akibat Kegagalan Pekerjaan Konstruksi dan/atau Kegagalan Bangunan; dan/atau

b.  tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi.

Selain penyelenggaraan partisipasi masyarakat, partisipasi masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat Jasa Konstruksi melalui forum Jasa Konstruksi.

11. Penyelesaian Sengketa

Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi dimungkinkan adanya sengketa antara para pihak, baik itu penyedia jasa, pengguna jasa, atau masyarakat. Apabaila terjadi sengketa diatur mengenai penyelesaian sengketa para pihak. Prinsip dasar dalam penyelesaian sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi adalah musyawarah para pihak untuk mencapai suatu kemufakatan. Namun demikian, apabila musyawarah para pihak tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi, berupa mediasi, konsiliasi, dewan sengketa, arbitrase, dan/atau pengadilan.

Pihak yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara orang perseorangan, kelompok orang dengan pemberian kuasa, atau kelompok orang tidak dengan pemberian kuasa melalui gugatan perwakilan. Gugatan itu merupakan tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal diketahui masyarakat dirugikan sebagai akibat penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang sekurang-kurangnya

146


mempengaruhi tata kehidupan sosial, ekonomi masyarakat, dan lingkungan hidup, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib berpihak dan bertindak untuk kepentingan masyarakat. Ketentuan mengenai ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

12. Sanksi Administratif

Sanksi administratif dikenakan terhadap pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Dalam RUU ini penentuan sanksi administratif disesuaikan dengan norma yang mengatur kewajiban dan larangan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Beberapa ketentuan sanksi administratif yang dimuat dalam RUU antara lain:

1.     Setiap usaha orang perseorangan yang tidak memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan dikenai sanksi administratif berupa:
a.     peringatan tertulis;

b.     penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c.     denda.

2.     Setiap badan usaha dan badan usaha asing yang tidak memenuhi kewajiban memiliki Izin Usaha dikenai sanksi administratif berupa:

a.     peringatan tertulis;

b.     penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c.     denda.

3.     Setiap asosiasi badan usaha yang tidak melakukan kewajiban akreditasi sebagaimana yang terlah dipersyaratkan dalam Undang-undang ini, dikenai sanksi administratif berupa:

a.   peringatan tertulis;

b.   pembekuan akreditasi;

c.    pencabutan akreditasi; dan/atau

d.   denda.

4.     Setiap badan usaha asing  atau usaha orang perseorangan asing

147


yang akan melakukan usaha Jasa Konstruksi tidak memenuhi persyaratakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dikenai sanksi administratif berupa:

a.     peringatan tertulis;

b.     penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
c.     denda.

5.     Setiap orang yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi untuk pembangunan kepentingan umum kepada Penyedia Jasa yang terafiliasi tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas dikenai sanksi administratif berupa:
a.     peringatan tertulis;

b.     penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;

c.      pembekuan izin;

d.     pencabutan izin; dan/atau

e.     denda.

6.     Setiap Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa yang tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi dikenai sanksi administratif berupa:
a.     peringatan tertulis;

b.     penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;

c.     pembekuan izin;

d.     pencabutan izin; dan/atau

e.     denda.

Sanksi administratif dikenakan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan dan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

13. Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma

148


larangan atau perintah. Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ketentuan pidana hanya mengatur mengenai pengenaan pidana terhadap norma secara umum tanpa mengacu pada norma larangan atau perintah di bab sebelumnya.
Sedangkan dalam RUU ini penentuan ketentuan pidana disesuaikan dengan norma yang mengatur kewajiban dan larangan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Ketentuan pidana yang dimuat dalam RUU yaitu mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaran Jasa Konstruksi berupa pengesahan atau persetujuan atas:

a.       hasil pengkajian, perencanaan dan/atau perancangan;

b.    rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan kembali;
c.    dilaksanakannya suatu proses pembangunan, pemeliharaan, penghancuran, dan/atau pembuatan kembali;
d.    penggunaan material dan/atau peralatan; dan/atau

e.    diterimanya hasil layanan Jasa Konstruksi.

yang tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan sehingga terjadi Kegagalan Pekerjaan Konstruksi atau Kegagalan Bangunan yang mengakibatkan, atau berpotensi mengakibatkan, kerugian masyarakat dan/atau gangguan terhadap keselamatan umum. Terhadap sanksi ketentuan pidana ini dikenai pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai kontrak.

Selain itu juga memuat ketentuan pidana mengenai penyedia jasa yang tidak mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi dan/atau kegagalan bangunan dikenai pidana penjara 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

14. Ketentuan Peralihan

Ketentuan peralihan mengatur mengenai penyesuaian terhadap undang-undang yang sudah ada pada saat undang-undang baru mulai

149


berlaku, agar undang-undang tersebut dapat dilaksanakan dan tidak menimbulkan permasalahan hukum antara lain mengatur mengenai jangka waktu penyesuaian setiap kegiatan, masa transisi pembentukan suatu badan atau lembaga.
Pengaturan masa transisi bahwa Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833) tetap menjalankan tugas sampai dengan terbentuknya badan serifikasi dan registrasi jasa konstruksi oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang ini.

15. Ketentuan Penutup

Bagian ini mengatur mengenai keberlakuan dari Rancangan Undang-Undang ini, dimana ketika RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang dan dinyatakan berlaku, maka:

a.        semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;

b.        Undang-Undang  Nomor  18  Tahun  1999  tentang  Jasa  Konstruksi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Selain itu, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, badan sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini harus dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Sedang untuk peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


150


BAB VI

PENUTUP


A. Simpulan

Jasa konstruksi adalah sektor strategis dalam perjalanan pembangunan bangsa. Posisi strategis tersebut dapat direpresentasikan oleh besaran-besaran keterkaitan ke depan dan ke belakang dengan sektor-sektor lain. Sektor konstruksi memberikan kontribusi sekitar 7-8% dari PDB, dan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 5% jumlah penduduk. Konstruksi sesungguhnya dapat dikonsepsikan sebagai produk, proses, dan pelaku sehingga membentuk ”meso economic system” baik pada ranah cluster, sektor, industri, maupun jasa yang akan berperan dalam membangun sosial ekonomi bangsa (construction driven socio-economic development). Pengembangan jasa konstruksi menjadi keniscayaan atas konteks globalisasi dan liberalisasi, kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan otonomi daerah, kerusakan dan bencana alam ditengah transformasi politik, budaya, ekonomi, dan birokrasi yang sedang terjadi.

Evaluasi terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang diamanahkan oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi menunjukkan keadaan yang tidak menggembirakan. Kondisi jasa konstruksi nasional saat ini jauh dari tujuan tersebut. Sebagian penyebab kondisi buruk pelaksanaan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini adalah kelemahan implementasi dari seluruh stakeholders, namun terdapat beberapa aspek pengaturan itu sendiri yang tidak mendukung pencapaian tujuan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dan perkembangan jasa konstruksi secara umum.

Hal yang sangat relevan terhadap pengaturan ini adalah adanya perbedaan konteks nasional di Tahun 2015 ini dibandingkan dengan pada Tahun 1999 saat Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi diterbitkan. Pada konteks saat ini terdapat isu desentralisasi pemerintahan yang mempengaruhi pembinaan jasa konstruksi nasional. Di samping itu, perkembangan situasi pada tahun-tahun belakangan ini terjadi konflik kepentingan dalam peran masyarakat jasa konstruksi. Sistem kelembagaan LPJK yang sekarang berlaku selain menimbulkan konflik kepentingan, juga

151


menjadikan ketidakjelasan tanggung jawab lembaga ini. Lembaga ini diserahi tugas pengembangan jasa konstruksi yang sangat strategis, namun sistem administrasi, keuangan, serta pertanggungjawabannya sangat minim pengaturannya.
Dalam hal sertifikasi yang bersifat sebagai lisensi, kewenangan publik diberikan kepada pihak yang tidak merepresentasikan institusi publik. Sertifikasi yang oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi merupakan suatu kewajiban (lisensi) adalah juga merupakan salah satu tugas LPJK (peran masyarakat). Masyarakat jasa konstruksi diberi kewenangan untuk mengatur lisensi dirinya sendiri yang tentunya menjadi sarat akan konflik kepentingan.

Salah satu kritik lainnya terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi adalah bahwa kurang tepat dalam memberikan kewenangan pengaturan yang mandiri/independen kepada masyarakat jasa konstruksi yang dinilai belum siap. Masyarakat jasa konstruksi yang profesional hingga saat ini belum terbentuk secara luas, masih didominasi oleh tenaga ahli dan terampil dengan kompetensi yang kurang kompetitif bahkan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Pelimpahan wewenang pengembangan jasa konstruksi kepada masyarakat (lembaga) yang juga mencakup fungsi sertifikasi dan registrasi secara utuh tidak selayaknya dilakukan, bahkan kepada masyarakat yang sudah profesional sekalipun. Fungsi-fungsi yang berkaitan dengan keselamatan dan kepentingan umum/publik tetap perlu dikendalikan oleh pemerintah. Hal ini tidak terkait pada faktor kesiapan masyarakat, namun lebih merupakan konsep pembagian kewenangan publik.

Berdasarkan pada pembahasan di bab-bab sebelumnya dan berdasarkan literatur lainnya, telah dapat diidentifikasi 7 (tujuh) pokok pengaturan yang perlu menjadi fokus atas revisi Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, sebagai berikut:
1.     Dalam konsep RUU ini, diatur struktur usaha jasa konstruksi yang meliputi jenis, sifat, klasifikasi, layanan usaha, bentuk, dan kualifikasi usaha. Untuk Jenis usaha jasa konstruksi meliputi jasa konsultansi konstruksi, jasa pelaksana konstruksi, dan jasa pelaksana konstruksi

152


terintegrasi. Sedangkan sifat usaha jasa konstruksi didasarkan atas jenis usaha jasa konstruksi yang terbagi atas sifat usaha jasa konstruksi umum dan spesialis. Untuk klasifikasi usaha jasa konstruksi didasarkan pada klasifikasi produk konstruksi. Selanjutnya terkait dengan bentuk usaha jasa konstruksi dibedakan pada usaha jasa konstruksi yang berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Dan kualifikasi usaha jasa konstruksi hanya untuk badan usaha yang terdiri atas kualifikasi usaha kecil, menengah, dan besar. Selain itu, dalam konsep usaha jasa konstruksi juga diatur mengenai segmentasi pasar, badan usaha asing dan usaha perseorangan asing, pengembangan usaha berkelanjutan, dan persyaratan usaha yang mencakup tanda daftar usaha perseorangan dan izin usaha, sertifikasi badan usaha, serta registrasi pengalaman.

2.     Pembinaan sektor Jasa Konstruksi menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan dapat melibatkan BSRJK. Bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan antara lain yaitu pengembangan sumber daya manusia, pengembangan usaha jasa konstruksi, pengembangan material dan teknologi konstruksi, pengembangan penyelenggaraan jasa konstruksi, pengembangan standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan konstruksi, serta pengembangan partisipasi masyarakat. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

3.     Pengaturan mengenai pengikatan jasa konstruksi dikembalikan pada aturan hukum perdata, di mana pengikatan merupakan ranah perdata yang memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Sehingga ketentuan mengenai pengikatan antara para pihak berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dinyatakan lain dalam undang-undang ini. Pengecualian ini ditujukan untuk pengikatan jasa konstruksi yang menggunakan keuangan negara yang harus melalui proses pelelangan dalam pemilihan penyedia jasa. Ketentuan mengenai pelelangan

153


tersebut perlu diatur secara garis besar dalam RUU, sedangkan teknis mekanisme, persyaratan, serta proses pemilihan dan penetapannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

4.     RUU ini dalam mengatur penyelenggaraan jasa konstruksi semakin merinci secara umum aspek-aspek yang terkait dengan penyedia jasa dan subpenyedia jasa, pembiayaan, standar keamanan, keselamatan, dan kesehatan konstruksi, serta bagian kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan yang didalamnya terdapat bagian yang membicarakan tentang penilai ahli dan jangka waktu dan pertanggungjawaban kegagalan bangunan. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam UU lama masih bersifat general sehingga kurang dapat menjelaskan secara komprehensif hal-hal yang berkaitan dengan penyelengaraan jasa konstruksi.

5.     Dalam konsep RUU, pengaturan mengenai tenaga kerja konstruksi diatur lebih terperinci. Pemerintah bertanggung jawab atas pengembangan sumber daya manusia yang bertujuan untuk mewujudkan tenaga kerja konstruksi yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas serta memenuhi standar nasional dan internasional. Pengaturan tenaga kerja konstruksi didasarkan atas klasifikasi yang terdiri atas bidang Arsitektur, Sipil, Mekanikal, Elektrikal, Tata Lingkungan, dan Manajemen Pelaksanaan, serta kualifikasi sesuai dengan penjenjangan dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yaitu jenjang jabatan operator, jabatan teknisi atau analis, dan jabatan ahli. Selain itu, dalam pengaturan tenaga kerja konstruksi diatur pula mengenai pelatihan tenaga kerja, sertifikasi kompetensi kerja, registrasi pengalaman profesional, standar remunerasi, dan tenaga kerja konstruksi asing.

6.     Dalam konsep kelembagaan pada rancangan undang-undang ini dibentuk Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi (BSRJK) yang akan menyelenggarakan sebagian tugas pengembangan jasa konstruksi. BSRJK dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri di mana dalam mengangkat anggotanya Menteri harus membentuk panitia seleksi. BSRJK bertugas dan berwenang antara lain yaitu

154


menyelenggarakan sertifikasi dan registrasi yang terkait dengan penyelenggaraan jasa konstruksi, menetapkan penilai ahli, membentuk lembaga sertifikasi profesi bidang jasa konstruksi, dan memberikan masukan kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan jasa konstruksi nasional. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BSRJK didukung oleh sekretariat dan terlepas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan golongan atau kelompok.

7.     Dalam undang-undang sebelumnya, terdapat ketentuan adanya kewajiban dari Pemerintah untuk bertindak dan berpihak apabila diketahui masyarakat dirugikan sebagai akibat penyelenggaraan jasa konstruksi yang mempengaruhi peri kehidupan pokok masyarakat. Dalam konsep yang baru persyaratan mengenai kerugian masyarakat sebagai akibat penyelenggaraan jasa konstruksi yang mempengaruhi peri kehidupan pokok masyarakat sekurang-kurangnya harus mempengaruhi:

a.  tata kehidupan sosial;

b.  ekonomi masyarakat; dan

c.  lingkungan hidup.


B.  Saran

Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek dalam sektor jasa konstruksi, maka RUU ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum dan kebutuhan masyarakat, serta lebih memberikan jaminan kepastian hukum, khususnya kepada masyarakat jasa konstruksi dan masyarakat secara keseluruhan.
















155


DAFTAR PUSTAKA


Ashshofa, Burhan. (1998) Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Barrett, P. (2005) Revaluing Construction: A Global CIB Agenda. Publication 305, International Council for Research and Innovation in Building. Rotterdam, The Netherlands.

Bon, R (2000), Economic Structure and Maturity (Collected Papers in Input-Output Modelling and Application, Ashgate Publishing Company, UK.

Bon, R. (1988), Direct and indirect resource utilization by the construction sector: the case of USA since World War II, Habitat International, 12, 49-74.

Carassus, J (ed) (2004), The Construction Sector System Approach: An International Framework, Report by CIB W055-W065 Construction Industry Comparative Analysis, Project Group, CIB Publication.

Chou, C. dan O. Shy, (1991), Intraindustry trade and the variety of home product,. Canadian Journal of Economics 24.

Egan, J. (1998), Rethinking Construction: The report of the Construction Task Force to the Deputy Prime Minister, John Prescott, on the scope for improving the quality and efficiency of UK construction. London: Department of the Environment, Transport and the Regions.

Field, B and Ofori, G (1988), Construction and Economic Development, Third World Planning Review.

Ganesan (1999), Employment, Technology and Construction Development, Ashgate, UK.

Henriod, (1984), The Construction Industry Issues and Strategis in Developing Countries, World Bank Publication, Geneva.

Hillebrandt, P.M, (1985), Analysis of the British Construction Industry, MacMillan Publishers Ltd, UK.

Ive and Gruneberg (2000), The Economics of the Modern Construction Sector, MacMillan, UK.

156


Kumaraswamy, M., Lizarralde, G., Ofori, G., Styles,P., and Suraji, A., (2007), Industry-Level Perspective of Revaluing Construction: Focus On Developing Countries, CIB World Congress, South Africa, 14-15 May.

Kwakye, A..A (1997), Construction Project Administration in Practice, The Chartered Institute of Building, England.

Latham, M. (1994), Constructing the Team: Final report of the government/industry review of procurement and contractual arrangements in the UK construction industry. London: HMSO.

Lewis, T.M. (2008), Quantifying the GDP-Construction Relationship, in Economics For The Modern Built Environment, Les Ruddock (Ed), Taylor & Francis, London.

Moavenzadeh, F (1978), Construction in developing countries. World Development, Vol. 6, No. 1, pp. 97-116.

Moffatt, Sebastian and Kohler, Niklaus (2008), Conceptualizing the built environment as a social-ecological system, Building Research & Information, 36:3, 248 – 268.

Ofori, G (1990), The Construction Industry, Aspects of Its Economics and Management, Singapore University Press, National University of Singapore.

Ofyer,  N. (2002), Construction Defects Education in Construction Management, ASC Proceedings of the 38th Annual Conference Virginia Polytechnic Institute and State University - Blacksburg, Virginia April 11 – 13.

Parikesit, D., Suraji, A., Purwoto, H. (2005), Sektor Konstruksi dan Pilihan Kebijakan Industri Ke Depan, Paper Presented in the National Conference in Civil Engineering, Atmajaya University, Yogyakarta 11-12 Mei.

Parikesit, D., Suraji, A., Wachid, L., and Kurniawati., (2005), The competence of the Indonesian Construction Industry: Quo Vadis, the

157


National Forum for the Indonesian Construction Industry, Jakarta, 2 December (In Indonesian)

Rabeneck, Andrew (2008), A sketch-plan for construction of built environment theory, Building Research & Information, 36:3.

Ruddock, L & Ruddock, S (2008), The Scope of The Construction Sector: Determining Its Value, in in Economics For The Modern Built Environment, Les Ruddock (Ed), Taylor & Francis, London.

Soemitro, Ronny Hanitijo. (1983), Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Soejono dan Abdurrahman. (2003), Metode Penelitian Hukum. Cetakan kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Suparto, H.G (2006), Industri Konstruksi Indonesia, dalam Konstruksi:

Industri, Pengelolaan dan Rekayasa, KK MRK ITB, Penerbit ITB.

Suraji,  A (2006), Indonesian Construction: Stakeholder Perspective, Proceeding ICCI, Jakarta 8-9 November.

Suraji, A (2006), Indonesian Construction: Where to Go, Paper Presented at the National Seminar for the Construction Services Development Board, Jakarta Agustus.

Suraji, A (2006), Makalah Kebijakan Tranformasi Konstruksi, Prosiding Forum KAKI Yogyakarta, Bandung & Jakarta, BPKSDM Departemen Pekerjaan Umum.

Suraji, A (2008), Transformasi Konstruksi Indonesia, Makalah Kuliah Umum, Program Magister Studi Pembangunan, Insitut Teknologi Bandung.

Suraji,  A (Eds) (2007), Konstruksi Indonesia 2030: Kenyamanan Lingkungan Terbangun: Menciptakan Nilai Tambah Secara Berkelanjutan Dengan Sinergi, Profesionalisme dan Dayasaing, LPJKN, Jakarta.





158


Suraji, A., & Wirahadikusumah, R.D., (2007), Optimasi Peran dan Fungsi LPJK: Menuju Konstruksi Indonesia Kokoh, Handal dan Berdayasaing, Makalah Diskusi, BPKSDM Departemen PU, 21 Juni.



Suraji, A., Parikesit, D., & Mulyono, A.T. (2004), Readiness Assessment of the Indonesian Construction Industry for Global Trade in Services: the Indonesian Experiences, Proceedings of the International Conference on Globalisation Construction, 17-19 Nov, Bangkok.)



Turin, D A (1973), The Construction Industry: Its Economic Significance and its Role in Development, UCERG, London.



Usman, S (2008), Pendekatan Pembangunan Infrastruktur Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Prosiding Diskusi Panel Pembangunan Infrastruktur Bagi Kesejahteraan Masyarakat, Kementeriaan Koordinator Bidang Perekonomian, Yogyakarta 4 Desember.



Wells,  J  (1986),  The  Construction  Industry  in  Developing  Countries:



Alternative Strategies for Development, Croom Helm Ltd, London.



World    Bank, (1984), Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action. The World Bank East Asia Infrastructure Department and Indonesia Country Programme, Jakarta, Indonesia.



















































159

Tidak ada komentar:

Posting Komentar