Kamis, 15 November 2018

PELAKSANAAN JASA KONTRUKSI BAGIAN 2


BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS


A. Kajian Teoretis

Sektor konstruksi telah menjadi salah satu sektor penting dari perekonomian nasional. Di berbagai negara, sektor konstruksi mampu berkontribusi terhadap Gross Fixed Capital Formation (GFCF) sampai 70%-80% dan 5%-9% Gross Domestic Product (GDP). Pentingnya industri konstruksi bagi ekonomi nasional dapat dilihat dari beberapa indikator berikut (Hillebrandt, 1988; World Bank, 1984): (1) Produk Domestik Bruto (PDB). Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt, 1985) mengindikasikan bahwa kontribusi industri konstruksi terhadap PDB berkisar antara 3-10%, umumnya akan lebih rendah di negara berkembang dan lebih tinggi di negara maju. Menurut Bank Dunia (1984), di negara-negara berkembang, industri kontruksi berkontribusi 3-8% terhadap PDB; (2) Kontribusi terhadap investasi, yang diukur dari pembentukan aset tetap (fixed capital formation); dan jumlah penyerapan tenaga kerja. Industri konstruksi Indonesia telah tumbuh sejak awal tahun 1970an. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi industri konstruksi terhadap PDB meningkat dari 3.9% di tahun 1973 menjadi di atas 8% di tahun 1997. Pada tahun 1998 kontribusi industri konstruksi nasional terhadap PDB mengalami penurunan dan berlanjut sampai tahun 2002 hingga menjadi sekitar 6%. Mulai tahun 2003, kontribusi industri konstruksi terhadap PDB mulai menunjukkan tren yang membaik. Data tahun 2005 menunjukkan industri konstruksi terhadap PDB meningkat kembali menjadi 6.35%. Industri konstruksi berkontribusi 60% dari pembentukan aset tetap. Pada sektor tenaga kerja, industri konstruksi berkontribusi sekitar 10% dari total tenaga kerja nasional. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruksi dari awal tahun 1970-an hingga tahun 1997 di atas pertumbuhan tenaga kerja nasional. Setelah periode krisis ekonomi, penyerapan tenaga kerja pada sektor industri konstruksi telah menunjukkan peningkatan, sejalan dengan mulai meningkatnya kembali kontribusi industri konstruksi terhadap PDB.

8


Sebagian besar dari output industri konstruksi adalah barang investasi (Hillebrandt, 1988; Raftery, 1991; Wells, 1986; World Bank, 1984) yang diperlukan untuk memproduksi barang, jasa atau fasilitas seperti: (1) fasilitas untuk produksi lebih lanjut, seperti bangunan pabrik; (2) pembangunan atau peningkatan infrastruktur ekonomi, seperti jalan raya, pelabuhan, jalan kereta; dan (3) investasi sosial, seperti rumah sakit, sekolah. Oleh karena itu, permintaan terhadap output industri konstruksi sangat berfluktuasi. Investasi dapat ditunda atau dipercepat, tergantung dari kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Dalam kondisi depresi ekonomi yang dialami Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, industri konstruksi mengalami dampak yang paling besar. Setelah menikmati pertumbuhan sebesar 12,8% di tahun 1996, industri konstruksi tumbuh hanya sebesar 6,4% di tahun 1997, dan bahkan mengalami kontraksi hampir 40% di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 1998). Tabel input-output BPS (1994) mengindikasikan industri konstruksi memiliki indeks penyebaran 1,24 dan indeks sensitifitas 1,23. Indeks penyebaran menunjukkan keterkaitan kebelakang (backward linkaged), yaitu kesempatan untuk menciptakan investasi bagi sektor lain disebabkan oleh permintaan pada salah satu sektor ekonomi. Indeks sensitivitas mengukur keterkaitan ke depan, yang menunjukkan penyediaan input oleh salah satu sektor ekonomi bagi sektor ekonomi lainnya. Indeks di atas 1,0 menunjukkan stimulasi di atas rata-rata, yang berarti industri konstruksi dapat mendorong pertumbuhan bagi sektor ekonomi lainnya.

1.    Definisi Konstruksi, Jasa Konstruksi, Industri/Sektor Konstruksi. Konstruksi secara umum dipahami sebagai segala bentuk
pembuatan/pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, bendung, jaringan irigasi, gedung, bandara, pelabuhan, instalasi telekomunikasi, industri proses, dan sebagainya) serta pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur (Well, 1986). Namun demikian, konstruksi dapat juga dipahami berdasarkan kerangka perspektif dalam konteks jasa, industri, sektor atau kluster. Menurut Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, jasa konstruksi adalah jasa perencanaan, pelaksanaan, dan

9


pengawasan suatu pekerjaan konstruksi. Sektor konstruksi dikonsepsikan sebagai salah satu sektor ekonomi yang meliputi unsur perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan operasional berupa transformasi dari berbagai input material menjadi suatu bentuk konstruksi (Moavenzadeh, 1978). Industri konstruksi sangat esensial dalam kontribusinya pada proses pembangunan, dimana hasil produk industri konstruksi seperti berbagai sarana, dan prasarana merupakan kebutuhan mutlak pada proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Henriod, 1984). Industri konstruksi secara luas yang terdiri dari pelaksanaan kegiatan di lapangan beserta pihak stakeholder seperti kontraktor, konsultan, material supplier, plant supplier, transport supplier, tenaga kerja, asuransi, dan perbankan dalam suatu transformasi input menjadi suatu produk akhir yang mana dipergunakan untuk mengakomodasi kegiatan sosial maupun bisnis dari society (Bon, 2000).

Sementara, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) definisi sektor konstruksi adalah suatu kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatu dengan lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau sarana kegiatan lainnya. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan, pembuatan, pemasangan/instalasi, pembongkaran, dan perbaikan bangunan. Kegiatan konstruksi dilakukan oleh kontraktor umum (perusahaan konstruksi) maupun oleh kontraktor khusus unit usaha atau individu yang melakukan kegiatan konstruksi untuk dipakai sendiri)

Definisi sektor konstruksi oleh US SIC (United State Standard Industry Classification) adalah bahwa the construction sector comprises establishments primarily engaged in the construction of buildings and other structures, heavy construction (except buildings), additions, alterations, reconstruction, installation, and maintenance and repairs. Establishments engaged in demolition or wrecking of buildings and other structures, clearing of building sites, and sale of materials from demolished structures are also included. This sector also includes those

10


establishments engaged in blasting, test drilling, landfill, leveling, earthmoving, excavating, land drainage, and other land preparation. Sedangkan NAIC (North American Industry Classification) menjelaskan bahwa this sector comprises establishments primarily engaged in constructing, repairing and renovating buildings and engineering works, and in subdividing and developing land. These establishments may operate on their own account or under contract to other establishments. They may produce complete projects or just parts of projects. Establishments often subcontract some or all of the work involved in a project. Establishments may produce new construction, or undertake repairs and renovations to existing structures. A construction establishment may be the only establishment of an enterprise, or one of several establishments of an integrated real estate enterprise engaged in the land assembly, development, financing, building and sale of large projects.

Kerangka teoritis sektor konstruksi menurut Parikesit dan Suraji (2005) terdiri dari industri (usaha) dan perdagangan (pengusahaan) dari suatu produk konstruksi. Modalitas dari sektor konstruksi adalah kapital, sumber daya manusia, teknologi dan model bisnis proses serta informasi, akses pasar, sistem transaksi dan penjaminan kualitas. Pengertian konstruksi secara lebih luas juga dapat dijelaskan dengan pendekatan kluster konstruksi (Suparto, 2006). Kluster konstruksi menggambarkan semua elemen baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan elemen-elemen dalam industri konstruksi. Di Scotlandia (2004), kluster konstruksi dikonsepsikan sebagai representasi dari subyek klien, berbagai tipe pasar konstruksi, institusi yang bertugas meningkatkan kapasitas, layanan pendukung, aktifitas konstruksi, dan rantai suplainya serta para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konstruksi. Barret (2005) menggunakan istilah sistem konstruksi untuk menggambarkan berbagai entitas baik subyek maupun obyek berdasarkan kerangka siklus hidup proyek konstruksi. Menurut Barret (2005) dalam sistem konstruksi terdapat 3 (tiga) arena dimana pemangku kepentingan berperan melakukan perubahan. Pada arena

11


pengetahuan dan perilaku, masyarakat dan pendidikan serta penelitian menjadi medium bagi para pemangku kepentingan. Selanjutnya, pada arena kerangka kerja dan penyelenggaraan konstruksi, pihak industri atau klien, pihak yang mengadakan konstruksi, dan pemerintah serta tim proyek konstruksi menjadi pemangku kepentingan. Dalam hal ini, pemerintah, industri atau klien serta pihak yang mengadakan konstruksi adalah pemangku kepentingan utama sebagai pemantik perubahan.

Dalam dokumen ini, konstruksi Indonesia dapat disederhanakan dengan cara dikonsepsikan sebagai representasi dari obyek (produk), proses bisnis (process) dan pelaku (people) yang bergerak pada tingkat mikro, meso, dan makro dalam ranah domestik maupun global serta terkait dengan beragam pemangku kepentingan. Konstruksi sebagai obyek digambarkan secara berbeda sebagai (1) jenis konstruksi penggunaan, termasuk residential buildings, non-residential buildings, industrial buildings, heavy construction; (2) jenis konstruksi produk yang mencakup highrise buildings, lowrise buildings, process buildings, dan civil and heavy construction; (3) jenis konstruksi campuran yang meliputi shopping and hotels (soho), rumah kantor (rukan), rumah toko (ruko); dan (4) jenis konstruksi campuran seperti buildings and housings, infrastructure dan other construction.

Konstruksi sebagai representasi bisnis dikonsepsikan sebagai aktifitas, cara penyelenggaraan (mode of delivery) dan bentuk suplai. Menurut Europen Union (EU) aktifitas untuk membuat obyek konstruksi tersebut dijelaskan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang disebut sektor konstruksi yaitu (1) site preparation, (2) building of complete constructions or parts thereof; and civil engineering, (3) building installation, (4) building completion, dan (5) renting of construction or demolition equipment with operator. Cara penyelenggaraan dapat bersifat

(1)  traditional seperti design only, construct only, dan supervision only; (2) design-build; (3) plant design-build; EPC/ EPCC/EPCF; (4) (EPC)M/PMC/CM; (5) PPP/BOT, BOO, BOOT, BOL; dan (6) aliansi. Bentuk suplai dari bisnis konstruksi adalah advisory services, studi

12


kelayakan, survey investigation, planning, design (conceptual design, basic design, detail design), checkers, quantity surveyors, procurement, supply (equipment, material, labour, wharehouse, transportation), construction, post construction (operation and maintenance, betterment, rehabilitation, renovation, restoration) dan demolition.

Pelaku konstruksi adalah pemilik, pengguna, penyedia jasa utama dan penyedia jasa penunjang. Pemilik dapat berasal dari pemerintah, private, developer, kontraktor, dan komunitas. Penyedia jasa utama adalah kontraktor dan subkontraktor, konsultan (planning, design, checker), suppliers (equipment, materials, labour). Sedangkan penyedia jasa penunjang adalah insurance, financiers, intermidiary (brokers), legal advisors, warehouse and transportation, dan manufacturers (building materials and equiments).

Pemangku kepentingan (stakehoders) konstruksi terdiri dari main stakeholders (pemilik, pemakai, penyedia (utama dan pendukung)), regulator, other stakeholders misalnya pemerintah Indonesia, lembaga pendukung (pendidikan, keuangan, dll), komisi pengawas persaingan usaha (KPPU), masyarakat (lokal, nasional, global). Setiap bagian dari sistem konstruksi tersebut membutuhkan analisis terhadap isu strategis, dampak, penyebab, strategic thrust, dan indikator. Selanjutnya, secara sederhana sistem dan konteks konstruksi dapat digambarkan sebagai berikut.

2. Sistem Sektor Konstruksi

Sistem konstruksi dapat dijelaskan atas elemen-elemen nilai-nilai dan prinsip-prinsip, infrastruktur legal, pasar konstruksi, kapasitas industri konstruksi, dan faktor-faktor pendukung. Nilai-nilai dalam sistem konstruksi Indonesia adalah (i) moral, integritas, kredibilitas, hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, (ii) transparansi, akuntabilitas, demokratisasi (partisipasi), keadilan, (iii) global universal values: pelestarian lingkungan, gender, kemitraan dan kesederajatan, (iv) good governance: penegakan hukum, responsiveness, konsensus, equality, efektifitas dan efisiensi, vision, (v) tripple bottom lines (sustainable

13


development): - economically efficient; -environmentally sustainable; - socially equitable, dan (vi) kecenderungan perubahan dalam sustainable world dari economic efficiency menjadi resources efficiency; dari sentralisasi menjadi desentralisasi; dari standardisasi menuju diversifikasi. Prinsip-prinsip dalam sistem konstruksi Indonesia adalah bahwa (a) peran pemerintah tetap kuat dalam kebijakan (arah pengembangan; regulasi; perijinan (licensing); pendanaan/mekanisme intervensi pasar; pemberdayaan dan pemihakan kepada yang lemah; (b) demokratisasi dan partisipasi peran masyarakat lebih besar dengan indikator peningkatan peran masyarakat (misalnya LPJKN), peningkatan peran organisasi sejawat (asosiasi pengusaha, asosiasi profesi; badan akreditasi, badan sertifikasi), dan (c) ko-operasi dan kompetisi medan datar bercirikan playing field harus jelas serta integrasi dan sinergi sistem kuat.

Infrastruktur legal dalam sistem konstruksi Indonesia mencakup

(1)     peraturan perundang-undangan (UU, PP, Keputusan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi), (2) governance dan organisasi yang bercirikan kejelasan dan peran pemerintah; peran masyarakat; dan peran lembaga pengembangan jasa konstruksi, (3) data base dan sistem informasi; dan (4) monitoring dan evaluation system. Sedangkan elemen perkembangan pasar konstruksi mencakup (a) struktur perekonomian nasional, (b) kluster industri dan industri konstruksi nasional, (c) playing field industri konstruksi, (d) peran teknologi dan research and development, (e) promoting network: regional dan global linkage. Kapasitas industri konstruksi nasional dalam sistem konstruksi Indonesia meliputi (i) Badan Usaha (BU), (ii) Tenaga kerja (TK), (iii) standar kompetensi (BU dan TK), (iv) Asosiasi (BU dan TK), (v) Sertifikasi (BU dan TK), (vi) Akreditasi (BSI dan Institusi Diklat), (vii) Standardisasi (material, peralatan, dan jasa), (viii) Jaminan Kualitas (ISO 9001, dll.), dan (ix) Sistem perijinan (licencing). Faktor pendukung dalam sistem konstruksi Indonesia adalah (1) peran pembinaan pemerintah, (2) Pengembangan research and development, (3) Insentif pemerintah: access to financial capital; tax incentive.

14


3. Pembinaan Sektor Konstruksi

Pengelolaan sektor konstruksi dilakukan oleh para pelaku usaha dan profesi dari setiap rantai suplai dalam suatu kluster konstruksi. Ranah pengelolaan sektor konstruksi mencakup supply dan demand baik dalam bentuk jasa maupun barang yang digunakan untuk menghasilkan produk konstruksi. Pengelolaan tersebut mencakup penataan usaha dan pengusahaan. Penataan usaha adalah upaya mengatur usaha-usaha dan profesi-profesi yang menghasilkan barang dan jasa baik terkait dengan sumber daya manusia, kapital, teknologi, model usaha. Sedangkan penataan pengusahaan adalah upaya mengatur tata-niaga terkait dengan investasi atau pasar konstruksi, akses dan cara-cara mengakses pasar konstruksi, bentuk-bentuk dan cara-cara transaksi di pasar konstruksi dan jaminan kualitas atas produk konstruksi.

Konstruksi memiliki lingkup yang amat luas. Konstruksi atau “construction” memiliki definisi sebuah proses untuk menjadikan sesuatu yang dari berbagai masukan yang dibutuhkan. Dalam pengertian yang lebih sempit hasil dari sebuah kegiatan konstruksi adalah berwujud fisik. Kegiatan konstruksi terdiri dari (1) penyelenggaraan kegiatan penyediaan bahan baku, sumber daya manusia, sumber daya keuangan dan teknologi, dan (2) proses dalam mengkombinasikan input produksi tersebut menjadi keluaran.

Barang publik dari kegiatan konstruksi seringkali kita kenal dengan infrastruktur atau prasarana. Sedangkan barang privat adalah hasil kegiatan yang kepemilikannya adalah orang perorang atau badan usaha, baik pemerintah maupun non pemerintah. Dari pembiayaannya, terdapat pula dua kemungkinan kegiatan konstruksi dapat diselenggarakan, yaitu pembiayaan oleh Negara (melalui pemerintah) dan oleh swasta.

Pemerintah memiliki peran strategis dalam pembinaan konstruksi dan investasi. Secara praktis peran pembinaan ini sangat erat kaitannya dengan domain manajemen pemerintah dalam melakukan pengaturan, pengawasan dan pemberdayaan sektor konstruksi. Oleh karena itu,

15


pemerintah perlu menetapkan apa yang menjadi urusan pemerintah kaitannya dengan pembinaan konstruksi dan investasi. Berangkat dari hal ini, maka aspek-aspek penting yang harus menjadi perhatian pemerintah akan lebih jelas.
Secara praktis, domain manajemen pemerintah terkait dengan urusan pembinaan konstruksi dan investasi di sektor konstruksi adalah perdagangan konstruksi (construction trade) dan industri konstruksi (construction industry). Dua subyek ini muncul atas bangkitan dari hubungan permintaan (demand) oleh konsumen (consumer) dan suplai (supply) dari barang dan jasa oleh pelaku usaha konstruksi untuk mewujudkan produk konstruksi. Permintaan tersebut akan menjadi pasar (market) perdagangan konstruksi, sedangkan suplai akan melahirkan pelaku (supplier) atau industri yang memberikan produk, baik barang konstruksi (construction products) maupun jasa konstruksi (construction services) dari sektor konstruksi.
Perdagangan konstruksi akan erat kaitannya dengan pengusahaan (tata niaga) sektor konstruksi, sedangkan industri konstruksi akan kaitannya dengan usaha di sektor konstruksi. Usaha tersebut membutuhkan sarana dan cara-cara usaha termasuk sumberdaya (modalities). Pengusahaan perdagangan konstruksi berkaitan dengan aspek informasi pasar (market information), cara-cara memasuki pasar konstruksi (entry to construction market), transaksi atau pengadaan, serta kebutuhan akuntabilitas publik dari produk barang dan jasa di pasar konstruksi. Sedangkan, industri konstruksi berkaitan dengan usaha di bidang konstruksi, termasuk jasa konstruksi yang membutuhkan dukungan sumberdaya usaha, seperti ketersediaan teknologi, akses kepada kapital pada lembaga keuangan, profesionalitas sumberdaya manusia, efisiensi dan efektifitas proses usaha (business process).

4. Pemangku Kepentingan Usaha & Pengusahaan Sektor Konstruksi Secara umum, pemangku kepentingan (stakeholders) sektor
konstruksi terdiri dari 5 (lima) unsur utama, yaitu (i) regulator, (ii)


16


pemilik, (iii) investor, (iv) penyedia konstruksi, baik barang maupun jasa, dan (v) konsumen produk konstruksi dalam hal ini dapat sebagai pengguna (consumers) maupun pemanfaat (users).

Regulator adalah pihak yang melakukan pengaturan-pengaturan di sektor konstruksi, terutama pengaturan transaksi dan penjaminan mutu. Pemilik adalah pihak yang memiliki informasi pasar serta memberikan akses pasar. Investor adalah pihak yang menyediakan investasi untuk pengadaan produk konstruksi. Sedangkan pihak penyedia jasa (service providers) adalah pihak yang menggunakan kapital, sumber daya manusia, teknologi, dan manajemen untuk menyediakan jasa maupun barang konstruksi. Konsumen adalah pihak yang menggunakan jasa dan barang konstruksi. Pemerintah dapat sebagai pihak pemilik sekaligus pengguna (consumers), sedangkan untuk produk konstruksi yang bersifat publik, maka masyarakat adalah pihak pemanfaat (users).

Namun demikian, secara praktis pemangku kepentingan (stakeholders) sektor konstruksi terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu (i) regulator, (ii) konsumen produk konstruksi dalam hal ini dapat pengguna (consumers) maupun pemanfaat (users), dan (iii) penyedia konstruksi, baik barang maupun jasa. Regulator adalah pihak yang melakukan pengaturan-pengaturan di sektor konstruksi, terutama pengaturan transaksi dan penjaminan mutu. Konsumen adalah pihak yang memiliki informasi pasar serta memberikan akses pasar. Sedangkan pihak penyedia jasa adalah pihak yang menggunakan kapital, sumber daya manusia, teknologi, dan manajemen untuk menyediakan jasa dan barang konstruksi.

Para pemangku kepentingan tersebut akan berbeda cakupan perannya berdasarkan sifat pengadaan barang dan jasa (komoditi) oleh publik (pemerintah) atau swasta. Peran pemangku kepentingan dapat dibedakan atas (i) pengadaan pemerintah untuk komoditi non kompetisi,

(ii)   pengadaan pemerintah untuk komoditi kompetisi, dan (iii) pengadaan swasta untuk komoditi baik kompetisi maupun non kompetisi. Berdasarkan ketiga jenis pengadaan ini, pengaturan pengusahaan

17


perdagangan akan memiliki perbedaan-perbedaan, termasuk pengaturan investasinya.

Pada pengadaan pemerintah (government procurement) untuk komoditi non kompetisi, maka pemerintah akan bertindak sebagai regulator dan konsumen serta sekaligus sebagai investor. Peran pemerintah pada pengadaan publik komoditi non kompetisi sangat besar. Pada kasus ini, pemerintah sebagai regulator dapat melakukan pengaturan proses transaksi dan penjaminan mutu. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan pengaturan pengadaan (transaksi) barang dan jasa pemerintah, sedangkan misalnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung merupakan instrumen untuk penjaminan mutu.

Sedangkan pengadaan pemerintah untuk komoditi kompetisi, pengaturan dapat dilakukan oleh suatu badan regulator independen. Pemerintah memiliki peran menetapkan rumusan-rumusan pengaturan tersebut. Pada posisi ini, pemerintah bertindak sebagai pihak konsumen. Namun demikian, pengaturan transaksi atau pengadaan dan penjaminan mutu, serta informasi dan akses pasar dilakukan berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengadaan ini, investasi dapat dilakukan oleh pihak swasta. Untuk kasus pengadaan pemerintah dengan melibatkan investor swasta, maka pengaturannya dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur. Posisi dan peran pemerintah dalam pengadaan pemerintah, serta pengaturan-pengaturan yang diperlukan sangat penting dalam sektor konstruksi.

Berbeda dengan pengadaan pemerintah, baik komoditi kompetisi maupun non kompetisi, untuk pengadaan swasta untuk komoditi kompetisi maupun non kompetisi, peran pemerintah adalah sebagai regulator. Pada pengadaan jenis ini, swasta atau masyarakat bertindak sebagai konsumen sekaligus sebagai investor. Pengaturan dari pengadaan ini hanya berkaitan dengan penjaminan mutu, sedangkan

18


transaksi, penyediaan informasi, dan akses pasar tidak dilakukan pengaturan-pengaturan. Pada pengadaan swasta, pihak konsumen (swasta dan masyarakat) tidak memiliki kewajiban untuk pengaturan informasi dan akses pasar, termasuk pengaturan untuk transaksi dengan sektor pengusahaan.

Pengadaan pemerintah maupun swasta untuk komoditi kompetisi dan non kompetisi akan selalu bersinggungan dengan permintaan investasi. Pemerintah sebagai konsumen untuk pengadaan publik, pembiayaan pengadaan tersebut dilakukan dengan penyediaan dana sendiri (APBN, Pinjaman atau Kredit Ekspor). Namun demikian, pembiayaan pengadaan pemerintah dapat berasal dari dana investasi swasta, dan dana masyarakat melalui ventura. Sedangkan jika swasta sebagai konsumen produk konstruksi, maka pembiayaan pengadaan tersebut dapat melalui dana sendiri (tabungan, penjualan saham) maupun dana.

5. Produk Sektor Konstruksi

Menurut BPS hasil kegiatan konstruksi dapat mencakup berbagai macam jenis konstruksi. Selanjutnya BPS mengklasifikasikan jenis-jenis konstruksi sebagai berikut:

a. Konstruksi gedung tempat tinggal meliputi rumah, apartemen, kondominium dan sejenisnya;
b. Konstruksi gedung bukan tempat tinggal mencakup perkantoran, kawasan industri/ pabrik, bengkel, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, bioskop, gelanggang olah raga, gedung kesenian/ hiburan, tempat ibadah dan sejenisnya;
c.  Konstruksi bangunan sipil: jalan, tol, jembatan, landasan pesawat terbang, jalan rel dan jembatan kereta api, terowongan, bendungan, waduk, menara air, jaringan irigasi, drainase, sanitasi, tanggul pengendali banjir, teriminal, stasiun, parkir, dermaga, pergudangan, pelabuhan, bandar dan sejenisnya;





19


d. Konstruksi bangunan elektrik dan telekomunikasi: pembangkit tenaga listrik, transmisi, distribusi dan bangunan jaringan komunikasi dan sejenisnya;

e.  Instalasi gedung dan bangunan sipil: instalasi listrik termasuk alat pendingin dan pemanas ruangan, instalasi gas, instalasi air bersih dan air limbah serta saluran drainase dan sejenisnya;

f.   Pengerukan: meliputi pengerukan sungai, rawa, danau dan alur pelayaran, kolam dan kanal pelabuhan baik bersifat pekerjaan ringan, sedang, maupun berat;

g.  Penyiapan lahan untuk pekerjaan konstruksi, termasuk pembongkaran dan penghancuran gedung atau bangunan lainnya serta pembersihan;

h. Penyelesaian konstruksi seperti pemasangan kaca dan aluminium; pengerjaan lantai, dinding dan plafon gedung, pengecatan; pengerjaan interior dan dekorasi dalam penyelesaian akhir; pengerjaan eksterior dan pertamanan pada gedung dan bangunan sipil lainnya;

i.     Penyewaan alat konstruksi dengan operatornya seperti derek lori, molen, buldoser, alat pencampur beton, mesin pancang dan sejenisnya.

Ruang lingkup sektor konstruksi sebagaimana tersebut di atas agak berbeda dengan klasifikasi jenis konstruksi yang digunakan oleh perbankan. Secara umum, perbankan nasional menggunakan klasifikasi jenis konstruksi untuk penyusunan database terkait dengan kredit sebagai berikut:

a.   Konstruksi Perumahan Sederhana

(1)    Konstruksi untuk Perumahan Sederhana

(2)    Konstruksi untuk Perumahan Sederhana Perumnas

(3)    Konstruksi untuk Perumahan Sederhana Lainnya

b.   Konstruksi Penyiapan Tanah Pemukiman Transmigrasi Konstruksi Penyiapan Tanah Pemukiman Transmigrasi (PTPT)

c.    Konstruksi Jalan Raya dan Jembatan

(1)    Konstruksi Jalan Raya dan Jembatan

(2)    Konstruksi Sarana Jalan

20


d.   Konstruksi Listrik

(1)    Konstruksi Listrik Perdesaan

(2)    Konstruksi Bangunan Listrik dan Komunikasi

(3)    Konstruksi Listrik Lainnya

e.   Konstruksi Proyek yang Dibiayai Dengan Pinjaman Dari/Untuk Luar Negeri
Konstruksi Proyek yang Dibiayai Dengan Pinjaman Luar Negeri Dari/Untuk Pembayaran di Luar Negeri
f.     Konstruksi Lainnya

(1)    Konstruksi Perumahan Real Estate

(2)    Konstruksi Apartemen dan Kondominium

(3)    Konstruksi Asrama/ Rumah Kost

(4)    Konstruksi Perkantoran

(5)    Konstruksi Hotel, Penginapan & Peristirahatan

(6)    Konstruksi Shopping Center & Trade Center

(7)    Konstruksi Ruko/Rukan

(8)    Konstruksi Sarana Kesehatan

(9)    Konstruksi Sarana Pendidikan

(10) Konstruksi Ibadah, Olahraga, Rekreasi

(11) Konstruksi Gedung Lainnya

(12) Konstruksi Pabrik/ Kawasan Industri

(13) Konstruksi Gudang

(14) Konstruksi Pelabuhan

(15) Konstruksi Lapangan Udara

(16) Konstruksi Irigasi

(17) Konstruksi Bangunan Sipil Lainnya

(18) Instalasi Prasarana Bangunan Sipil

(19) Konstruksi Pencetakan Sawah

(20) Konstruksi Pasar Inpres

Selain itu, NAIC mengklasifikasikan sektor konstruksi berdasarkan tiga kategori yaitu (1) building, developing and general contracting, (2) heavy construction, dan (3) special trade construction. Adapun rincian untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:

21


a.   Building, Developing and General Contracting

(1)      Land Subdivision and Land Development

(2)      Residential Building

(3)      Single-family Housing

(4)      Multi-family Housing

(5)      Non-residential Building Construction

(6)      Manufacturing and industrial building

(7)      Commercial and institutional building.

b.   Heavy Construction:

(1)      Highway, Street, Bridge, and Tunnel:

(a)    Highway and street;

(b)    Bridge and tunnel.

(2)      Other Heavy Construction:

(a)    Water, sewer, and pipeline;

(b)    Power and communication transmission line;

(c)    Industrial non-building structure;

(3)      All other heavy Construction.

c.    Special Trade Construction

(1)      Plumbing, Heating, and Air-Conditioning.

(2)      Painting and Wall Covering.

(3)      Electrical.

(4)      Masonry, Drywall, Insulation and Tile.

(5)      Carpentry & Floor.

(6)      Roofing, Siding, and Sheet Metal;

(7)      Concrete.

(8)      Water Well Drilling.

(9)      Other Special Trade.

6. Kelembagaan Sektor Konstruksi

Di banyak negara, kelembagaan di sektor konstruksi berfungsi memfasilitasi dan mendorong pengembangan industri konstruksi. Bentuk kelembagaan tersebut bisa organisasi publik (pemerintah) maupun non pemerintah, termasuk asosiasi perusahaan maupun

22


asosiasi profesi terkait dengan sektor konstruksi. Kelembagaan sektor ini dapat berada pada level lokal, nasional, regional, dan internasional. Lembaga yang hampir di setiap negara ada adalah lembaga pengembangan industri konstruksi (Construction Industry Development Board) atau institut untuk industri konstruksi (Construction Industry Institute). Disamping itu, lembaga pelatihan industri konstruksi (Construction Industry Training Board (CITB) atau Construction Industry Training Institute (CITI)) juga merupakan lembaga yang menfasilitasi dan mendorong kegiatan pelatihan (continuing professional development) sumber daya manusia konstruksi. Beberapa contoh kelembagaan di tingkat nasional di negara-negara lain, misalnya CIDB Malaysia, Building and Construction Authority (BCA) di Singapore, Construction Industry Institute (CII) di Amerika, Construction Industry Research and Information Agency (CIRIA) dan Bulding Research Establishment (BRE) di Inggris, Australian Construction Industry Institute (ACII) di Australia, dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Indonesia. Sedangkan di tingkat regional, misalnya, European Construction Institute (ECI) untuk Eropa, dan di tingkat internasional, misalnya International of Construction Research Council (CIB) yang memiliki kantor pusat di Belanda.

Di Indonesia, sektor konstruksi memiliki lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK) di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendorong pengembangan sektor konstruksi, pemerintah juga memiliki lembaga yang melakukan kegiatan pembinaan konstruksi dan investasi (BAPEKIN). Disamping itu pemerintah juga memiliki lembaga pelatihan jasa konstruksi (PUSLATJAKON). Di pihak masyarakat konstruksi, lembaga-lembaga yang terkait dengan sektor konstruksi adalah asosiasi profesi dan badan usaha. Di negara ini, jumlah asosiasi profesi kurang lebih 28 organisasi, sedangkan asosiasi badan usaha adalah 27 organisasi.

7. Para Pihak dalam Jasa Konstruksi

Pelaku sektor konstruksi adalah pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan membangun suatu jenis konstruksi. Kegiatan membangun

23


tersebut adalah suatu proses yang panjang, kompleks dan seringkali terjadi miskoordinasi dan inefisiensi (Hillebrant, 2000). Proses konstruksi secara umum melibatkan pihak-pihak pemangku kepentingan utama, yaitu:

a. Pengguna/pemilik (owner)

Pihak ini menyediakan lahan atau tanah dimana bangunan akan didirikan dan pendanaan yang akan digunakan untuk menyelenggarakan suatu jenis konstruksi (building/infrastructure procurement). Pihak ini dapat berasal dari instansi pemerintah, perusahaan swasta atau individu masyarakat. Pemerintah adalah investor utama untuk penyelenggaraan infrastruktur publik, seperti transportasi, pengairan dan pekerjaan umum serta fasilitas publik lainnya, seperti prasarana pendidikan dan kesehatan serta sosial. BUMN dan Swasta adalah investor untuk penyelenggaraan antara lain bangunan komersial dan real estate serta bangunan industri dan sejenisnya. Sedangkan individu masyarakat adalah investor untuk penyelenggaraan antara lain rumah tinggal atau rumah pribadi.

b. Penyedia Jasa

Merupakan pihak yang bertugas membantu pihak pemilik (investor atau developer) melakukan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dari mulai studi awal, perencanaan, pembuatan, perawatan, penghacuran hinggá pembuatan kembali. Pihak yang terlibat dalam proses studi awal atau perencanaan sering disebut sebagai konsultan, baik yang memberi layanan merencanakan (arsitek), merancang (insinyur perancang) maupun mengawasi pelaksanaan pekerjaan di lapangan (insinyur pengawas).

Sedangkan pihak yang menyediakan jasa pembuatan hingga penghancuran konstruksi dapat berperan sebagai kontraktor umum maupun kontraktor spesialis. Mereka melaksanakan pekerjaan konstruksi atas dasar kontrak dengan pihak pemilik. Kontraktor umum/spesialis tersebut dapat memberi jasa rekayasa (engineering) sekaligus jasa pelaksanaan (constructing) yang disebut dengan kontraktor rancang bangun atau EPC contractor.

24


Di sisi penyedia jasa juga terdapat pihak yang menyediakan bahan atau peralatan yang dibutuhkan oleh kontraktor umum atau spesialis. Vendor/supplier tersebut dapat langsung sebagai pabrikan atau perusahaan yang menjual bahan atau menyewakan peralatan.

8. Penyedia Jasa Perorangan

Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengakui bentuk usaha jasa konstruksi yang dilakukan oleh orang perseorangan, selain juga yang berbentuk badan usaha (Pasal 5 Ayat 1). Dalam prakteknya, usaha jasa konstruksi yang dilakukan oleh orang perseorangan dapat dilihat sebagai suatu kegiatan ekonomi non-formal, karena para pelakunya tidak terdaftar sebagai suatu badan usaha dan juga tidak membayar pajak. Peran usaha jasa konstruksi sektor informal ini dalam kegiatan ekonomi di Indonesia sebetulnya cukup besar, khususnya dalam melaksanakan kegiatan konstruksi sederhana untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan pemeliharaan bangunan perumahan milik masyarakat dan juga penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur dalam skala yang terbatas, seperti infrastruktur perdesaan dan sebagainya. Selain itu kegiatan konstruksi sektor informal ini juga menyediakan kebutuhan bangunan dan pemeliharaannya bagi berbagai sektor usaha kecil dan menengah di masyarakat, misalnya warung, pertokoan, rumah makan, industri rumah tangga, dan sebagainya.

Meskipun tidak terdapat data akurat mengenai berapa besar peran dari sektor informal ini terhadap sektor konstruksi nasional, juga tidak terdapat gambaran berapa banyak tenaga kerja konstruksi yang terlibat dalam sektor ini dan berapa besar nilai aset yang dihasilkan melalui sektor ini, diperkirakan bahwa kontribusi dari usaha jasa konstruksi sektor informal ini terhadap kegiatan jasa konstruksi Indonesia cukup besar. Peran sektor informal usaha jasa konstruksi ini tidak dapat diabaikan, karena sifatnya yang sangat menyentuh kehidupan sejumlah besar masyarakat Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun di perkotaan, dan juga karena kemampuan daya hidupnya yang sangat besar. Khususnya dalam masa-masa sulit krisis ekonomi yang menyebabkan banyak kehilangan pekerjaan diberbagai sektor industri

25


lainnya, sektor informal usaha konstruksi masih tetap mampu memberikan peluang lapangan kerja bagi masyarakat.
Sektor informal usaha konstruksi melibatkan berbagai jenis tenaga kerja, dari mulai pemborong informal dan mandor borong, tukang yang terlatih dan semi-terlatih serta tenaga buruh konstruksi tidak terlatih. Peran sektor ini dalam penyerapan tenaga kerja seharusnya cukup signifikan, meskipun tidak tersedia data yang jelas mengenai hal ini.
Dari sisi teknologi konstruksi, kegiatan konstruksi sektor informal sangat terkait dengan penggunaan teknologi konstruksi nir-rekayasa (non-engineered construction), yaitu teknologi konstruksi yang berdasarkan tradisi masyarakat yang ditularkan dari generasi ke generasi, menggunakan bahan konstruksi lokal dan tenaga kerja lokal. Teknologi ini didasarkan kepada pengetahuan yang dimiliki oleh para mandor dan tukang (tukang kayu, tukang batu dsb.) yang didapat melalui proses belajar secara tradisional dari pengalaman sehari-hari dan dari proses magang informal. Bangunan-bangunan konstruksi nir-rekayasa tidak direncanakan oleh arsitek dan tidak dihitung kekuatan strukturnya oleh insinyur perencana, juga dalam pelaksanaannya tidak melibatkan insinyur konstruksi.

Salah satu fenomena yang perlu mendapat perhatian dari bangunan nir-rekayasa ini adalah berubahnya tradisi membangun perumahan masyarakat, yang tadinya biasa dibangun dengan menggunakan cara dan bahan/material lokal dalam bentuk yang mengandung unsur budaya lokal (vernakular), misalnya rumah panggung dengan bahan kayu atau bambu dengan bentuk atap yang khas sesuai daerah masing-masing, mulai berubah dan bergeser ke arah penggunaan teknologi bangunan yang sekarang ini dapat ditemukan di mana-mana (kontemporer), yaitu teknologi bangunan rumah tembokan menggunakan bahan batu-bata (tanah liat yang dibakar atau bata semen) dan perekat semen yang diperkuat dengan kerangka dari kayu atau beton bertulang (bangunan tembokan bata dengan kekangan).

Pengalaman menujukkan bahwa sangat sering terjadi kegagalan bangunan tembokan yang bersifat getas ini diberbagai kejadian gempa

26


bumi di seluruh tanah air, karena tidak dipenuhinya syarat-syarat minimum bangunan sederhana tahan gempa, seperti penggunaan bahan yang kurang memadai, cara-cara penyambungan baja tulangan, pemasangan bata, sambungan kayu dan sebagainya yang tidak memenuhi syarat minimum. Ini menunjukkan bahwa keahlian membangun dari para tenaga kerja konstruksi sektor informal kita sangat terabaikan dan makin lama makin menurun kualitasnya.

B. Kajian terhadap Asas / Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
Pengelolaan sektor konstruksi harus dapat menjamin integrasi dari seluruh pihak (people) yang terlibat dalam keseluruhan struktur rangkaian rantai suplai agar mampu memberikan nilai tambah secara berkelanjutan melalui tatakelola yang baik dari proses bisnis (process) konstruksi secara efisien, efektif dan cost-effectiveness serta berkeadilan sehingga produktif dalam menghasilkan produk konstruksi (product) berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan sehingga konstruksi menjadi penggerak pembangunan sosio-ekonomi bangsa (construction driven sosio-economic development). Prinsip dan nilai-nilai tersebut adalah jiwa atau ruh bahwa outcome sektor konstruksi adalah kenyamanan lingkungan terbangun baik secara fisik, sosial, budaya, psikologi, dan spiritual bagi masyarakat luas.

Jiwa pengelolaan sektor konstruksi tersebut harus dilandasi oleh asas-asas kejujuran dan keadilan, manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan, pembangunan berkelanjutan, dan kelestarian lingkungan:

(1)      Asas kejujuran dan keadilan mengandung pengertian bahwa sektor konstruksi dikelola secara obyektif sesuai dengan fakta dan informasi yang akurat dan memihak realitas kebenaran serta proporsional;

(2)        Asas manfaat mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi dilaksanakan berlandaskan kemanfaatan yang lebih luas agar mampu menghadirkan terwujudnya nilai tambah sektor konstruksi Indonesia yang optimal bagi para pihak yang terlibat

27


langsung khususnya dan bagi kepentingan bangsa dan negara pada umumnya;
(3)      Asas kesetaraan mengandung pengertian bahwa kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan dengan memperhatikan kesetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

(4)      Asas keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi dan integrasi para pelaku sektor konstruksi baik dengan pihak yang terlibat langsung dalam aktivitas di sektor konstruksi dan selalu berorientasi untuk menjamin tata kehidupan menjadi berkualitas dan bermanfaat tinggi.

(5)      Asas keseimbangan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi dilakukan atas prinsip saling asih, saling asuh, saling asah, dan saling asup dengan demikian setiap pihak yang terkait dengan aktivitas sektor konstruksi akan mendapat perlakuan yang tepat sesuai beban kewajiban dan haknya.
(6)      Asas kemandirian mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya nasional di bidang jasa konstruksi.

(7)      Asas keterbukaan mengandung pengertian bahwa sistem pengelolaan sektor konstruksi dapat diakses oleh masyarakat umum sehingga memberikan peluang bagi masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi karena terwujudnya transparasi dalam pengelolaan sektor konstruksi. Dengan demikian, keterbukaan tersebut memungkinkan para pelaku sektor dapat melaksanakan kewajibannya secara optimal dan mereka mendapat kepastian akan hak. Disamping itu, masyarakat selanjutnya dapat memperoleh kesempatan untuk memberikan koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan.

(8)      Asas kemitraan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi harus dilaksanakan atas hubungan para pelaku yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.

(9)      Asas keamanan dan keselamatan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sektor konstruksi harus menjamin para pelaku sektor

28


konstruksi mendapatkan kepastian keamanan (security) dan keselamatan (safety) dalam menjalankan setiap tahapan dari siklus proses konstruksi.

(10) Asas kebebasan mengandung pengertian bahwa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi pengguna jasa memiliki kebebasan untuk memilih penyedia jasa dan juga adanya kebebasan berkontrak antara penyedia jasa dan pengguna jasa.
(11)   Asas pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan jasa konstruksi dilaksanakan dengan memikirkan dampak yang ditimbulkan pada lingkungan yang terjaga secara terus menerus menyangkut aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.

(12)   Asas kelestarian lingkungan mengandung pengertian bahwa aktivitas proses konstruksi harus menjamin perlindungan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk konstruksi dilakukan secara bijak demi kelestarian lingkungan hidup.

C.     Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat
Pada praktik penyelenggaraan jasa konstruksi, saat ini usaha jasa

konstruksi terdiri atas 3 jenis usaha yakni (i) jasa konsultansi konstruksi;

(ii)    jasa pelaksana konstruksi; (iii) jasa pelaksana konstruksi terintegrasi. Lebih lanjut lagi, usaha jasa konstruksi dapat dikategorikan kedalam sifat umum dan spesialis. Dalam perkembangan industri konstruksi nasional saat ini, industri konstruksi nasional sedang menghadapi tuntutan dan tekanan yang semakin besar. Globalisasi ekonomi dan keuangan dunia telah mendorong tuntutan kerja sama regional dan global yang semakin meningkat, melalui skema-skema liberalisasi perdagangan jasa konstruksi seperti GATS-WTO dan AFAS-ASEAN. Apabila tidak dilakukan pembenahan terkait penataan kelembagaan dan pengembangan terhadap usaha, tenaga kerja, dan iklim usaha jasa konstruksi secara menyeluruh, maka gelombang globalisasi dengan paket liberalisasi perdagangan jasa konstruksi akan membuat Indonesia semakin tinggi ketergantungannya terhadap pihak asing. Berbagai infrastruktur dan properti akan banyak

29


dibuat oleh industri konstruksi asing yang memiliki daya saing yang lebih tinggi. Akibatnya bangsa Indonesia akan lebih banyak mengeluarkan devisa, dan keamanan dalam negeri (national security) juga akan menjadi lebih rentan.
Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, jenis usaha terbagi menjadi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sesungguhnya merupakan bagian dari siklus proyek. Kemudian, penetapan bidang usaha didasarkan pada bidang pengetahuan atau pendidikan yaitu arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan (ASMET). ASMET ini lebih mencerminkan jenis pekerjaan atau profesi berdasarkan keilmuan bukan pembagian bidang usaha yang berkembang dalam praktek maupun standar yang ditetapkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Padahal perkembangan saat ini, industri jasa konstruksi global mulai tumbuh dengan mengacu pada Central Product Clasification (CPC) yang merupakan standar dari PBB untuk usaha jasa konstruksi. Implikasinya, para pelaku usaha jasa konstruksi Indonesia sulit bersaing dan berbicara banyak di tingkat global. Selanjutnya, pembagian sub-bidang usaha menjadi arsitektur bangunan, arsitektur lansekap, dalam praktek bisnis dan juga pendekatan proyek kurang memiliki fokus jika dikaitkan dengan playing field. Padahal, secara umum dari sisi proyek dan kebutuhan telah terjadi pengembangan berdasarkan product life cycle atau siklus proyek konstruksi yang terbagi ke dalam (i) development/ planning;

(ii)   financing; (iii) Feasibility Study; (iv) Survey/Investigation; (v) Design; (vi) procurement/Construction/supplier; (vii) Supervision; (viii) start-up/operation/ maintenance; dan (ix) demolition. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ada pemikiran untuk pembagian bidang usaha jasa konstruksi menggunakan sistem Central Product Classification (CPC). Adapun pengklasifikasian usaha jasa pelaksana konstruksi berdasarkan CPC meliputi (i) penyiapan lapangan; (ii) instalasi; (iii) konstruksi khusus; (iv)

konstruksi prapabrikasi; (v) penyelesaian bangunan; (vi) penyewaan peralatan; (vii) pekerjaan konstruksi bangunan gedung; (viii) pekerjaan konstruksi bangunan sipil. Sedangkan pengklasifikasian usaha jasa

30


konsultansi konstruksi meliputi (i) arsitektur; (ii) rekayasa; (iii) rekayasa terpadu; (iv) arsitektur lansekap dan perencanan wilayah; (v) jasa konsultansi yang terkait dengan keilmuan dan teknikal. Penataan struktur usaha, dilakukan salah satunya dengan memklusterkan sifat usaha dan klasifikasi usaha sesuai dengan jenis usaha. Sehingga dengan penataan tersebut, dapat mendorong terciptanya kerjasama yang sinergis antar klasifikasi, sifat maupun jenis usaha.

Pembangunan jasa konstruksi nasional juga harus mempertimbangkan masalah market mechanism sektor konstruksi yang ada saat ini terutama dalam mempertemukan prinsip kerja sama dan kompetisi sebagaimana prinsip yang ingin dibangun dalam Pasal 17 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pengembangan jasa konstruksi memerlukan iklim usaha dan playing field yang jelas, datar dan harus dibina bersama oleh para pemangku kepentingan (stakeholders). Playing field harus datar dalam arti bahwa playing field tersebut disediakan untuk suatu kualifikasi usaha yang sama agar terjamin kompetisi yang fair di sektor konstruksi dan tidak terjadi anomali kompetisi antar kualifikasi kecil, menengah, dan besar bermain pada lapangan yang tidak seimbang.

Lebih lanjut lagi, kondisi dimana belum seragamnya perkembangan kemampuan dan kapasitas usaha jasa konstruksi disetiap provinsi merupakan realitas yang harus dipahami oleh seluruh pihak. Untuk itu, pemerintah daerah provinsi harus diberikan ruang untuk membuat kebijakan khusus yang dapat memberikan kesempatan bagi pelaku usaha jasa konstruksi di wilayahnya, khususnya yang memiliki kualifikasi kecil dan menengah untuk dapat berkembang. Ruang tersebut tentunya dibatasi hanya untuk penyelenggaran jasa konstruksi yang bersumber dari keuangan daerah serta yang memiliki kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi sederhana sampai dengan madya, dan berbiaya kecil sampai dengan sedang. Adapun kebijakan khusus yang dapat dibuat oleh Pemerintah Daerah, harus tetap memperhatikan dan mengedepankan azas persaingan sehat salah satunya dengan cara mengatur bahwa badan usaha jasa konstruksi dari luar wilayah provinsi untuk melakukan kerjasama

31


operasi dengan badan usaha jasa konstruksi yang berdomisili di wilayah provinsi, mengutamakan penggunaan subpenyedia jasa yang merupakan badan usaha jasa konstruksi di wilayah provinsi, serta mengutamakan penggunaan tenaga kerja konstruksi yang berdomisili di wilayah provinsi.

Terkait pengaturan pasar usaha jasa konstruksi domestik, diperlukan adanya pengaturan mengenai keberadaan badan usaha dan tenaga kerja asing. Karena saat ini, pelaku usaha jasa konstruksi di Indonesia tidak saja berasal dari domestik tetapi juga internasional. Saat ini, cukup banyak badan usaha konstruksi asing, baik yang telah membuka kantor perwakilan maupun yang membentuk perusahaan berbadan hukum di Indonesia. Dengan mulai masuknya pelaku usaha jasa konstruksi asing, berdampak pada meningkatnya persaingan usaha di pasar konstruksi domestik. Keberadaan badan usaha asing ini seharusnya mampu diarahkan agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada badan usaha nasional, karena dengan demikian, daya saing pelaku usaha jasa konstruksi nasional dapat meningkat. Sebagai upaya untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan pengaturan yang dapat menjamin bahwa pelaku usaha jasa konstruksi asing yang masuk ke Indonesia adalah pelaku usaha yang bermodal besar dan memiliki pengusaaan terhadap teknologi tinggi. Kedua persyaratan tersebut, hanya dapat dimiliki oleh badan usaha jasa konstruksi asing yang setara dengan kualifikasi besar. Lebih lanjut lagi, khusus bagi badan usaha jasa konstruksi asing yang membuka kantor perwakilan di Indonesia, ketika melakukan kegiatan usahanya di Indonesia, perlu adanya pengaturan yang menjamin alih pengetahuan dan teknologi dari badan usaha usaha jasa konstruksi asing ke badan usaha jasa konstruksi nasional dapat berlangsung dengan optimal. Alih pengetahuan dan teknologi tersebut, hanya dapat tercapai dengan kerjasama operasi antara badan usaha jasa konstruksi asing dengan badan usaha jasa konstruksi nasional yang didasari oleh kesamaan layanan dan kesetaraan kualifikasi usaha serta tanggung renteng. Sedangkan untuk pelaku usaha jasa konstruksi asing yang membentuk badan usaha dalam rangka penanaman modal asing, hal yang perlu dipastikan adalah, dalam rangka memastikan bahwa pelaku usaha asing adalah pelaku yang membawa

32


modal dan memiliki pengalaman penguasaan teknologi tertentu, maka entitas bisnis yang terbentuk dari hasil penanaman modal asing merupakan badan usaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi besar. Sedangkan untuk, prosentase kepemilikan modal maskimal oleh asing, mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Berkaitan dengan aspek perizinan badan usaha asing, mengingat bahwa kehadiran dari badan usaha jasa konstruksi asing di Indonesia memiliki dampak secara nasional, maka perizinan usaha jasa konstruksi yang melibatkan pelaku usaha asing, sebaiknya dilakukan secara terpusat di tingkat nasional.

Berkaitan dengan kehadiran tenaga kerja konstruksi asing di Indonesia, tentunya harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan nasional terhadap keahlian atau pengetahuan tertentu yang dirasakan masih belum dapat dikuasai oleh tenaga kerja konstruksi nasional. Dengan demikian, diperlukan pengaturan yang menyatakan bahwa tenaga kerja asing hanya dapat bekerja di Indonesia adalah tenaga kerja asing yang disetarakan dengan tenaga kerja nasional pada jenjang jabatan ahli. Hal yang terkait dengan perizinan tenaga kerja asing tersebut, didorong untuk mengikuti ketetentuan peraturan perundangan di sektor ketenagakerjaan. Selain itu, dalam rangka pembinaan jasa konstruksi nasional, pemerintah memiliki kepentingan untuk melakukan pendataan terhadap tenaga kerja konstruksi asing yang bekerja di Indonesia salah satu caranya adalah dengan mewajibkan registrasi tenaga kerja konstruksi asing kepada pemerintah.

Hal yang sama juga harus dilakukan di sisi tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa konstruksi agar terjadi proses transfer teknologi dan keterampilan serta perlakuan yang setara antara tenaga asing dengan lokal. Walaupun itu terkait dengan peraturan perundang-undangan di sektor tenaga kerja, namun iklim usaha jasa konstruksi harus mampu membangun sistem pembinaan sumber daya manusia jasa konstruksi yang lebih dalam dan kuat.

Berkaitan dengan spektrum peran masyarakat jasa konstruksi, perlu dipahami bahwa Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang dibuat pada tahun 1999, memiliki nuansa reformasi yang menyerahkan sebagian

33


urusan pemerintahan kepada masyarakat. Untuk itu lah dibentuk Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), yang merupakan perwakilan dari unsur masyarakat jasa konstruksi yang meliputi asosiasi perusahaan, asosiasi profesi, instansi pemerintah dan pakar/perguruan tinggi. Dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, LPJK memiliki 5 tugas antara lain (i) melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi; (ii) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi; (iii) melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja; (iv) melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi; (v) mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Peran dan Usaha Masyarakat Jasa Konstruksi, dasar hukum dibentuknya LPJK adalah dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Pembentukan LPJK melalui ad/art, tidak lepas dari tafsir terhadap Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi bahwa LPJK merupakan wujud dari penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi, sehingga pembentukannya pun, dikembalikan kepada masyarakat. Permasalahan pun timbul atas tafsir tersebut, karena pada saat itu, masyarakat membentuk lebih dari satu Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi yang didasari oleh suatu pemahaman bahwa selama dibentuk oleh 4 unsur masyarakat jasa konstruksi, maka Lembaga tersebut sah secara hukum dinyatakan sebagai LPJK menurut Undang-Undang Tentang Jasa Konstruksi.

Pada tahun 2010, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2010, mereformasi LPJK, sehingga pembentukannya didasari kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10 Tahun 2010. Dengan terbitnya peraturan menteri ini, memberikan pemahaman, bahwa meskipun LPJK adalah lembaga sebagai wujud penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi, namun mekanisme pembentukannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, mengingat sesungguhnya LPJK menjalankan fungsi publik. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan

34


untuk mendekatkan LPJK sebagai lembaga negara, namun upaya tersebut terhambat oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, sehingga organisasi LPJK saat ini, masih belum dapat menggambarkan bahwa LPJK menjalankan fungsi publik. Lebih lanjut lagi, beberapa kalangan menilai bahwa potensi adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas LPJK akan tetap ada selama pengurus LPJK merupakan perwakilan kepentingan unsur. Terutama yang berkaitan dengan sertifikasi dan registrasi badan usaha, dimana ada potensi konflik kepentingan dari pelaku usaha yang duduk sebagai pengurus LPJK dalam menjalankan tugas sertifikasi dan registrasi badan usaha, mengingat sertifikat badan usaha adalah salah satu persyaratan untuk dapat masuk kedalam pasar jasa konstruksi nasional. Permasalahan lain yang timbul adalah masih minimnya minat instansi pemerintah untuk menunjuk perwakilannya duduk menjadi pengurus LPJK.

Selain dari aspek permasalahan dasar hukum pembentukan dan tanggung jawab LPJK, permasalahan lain adalah yang berkaitan dengan efektivitas pelaksanaan tugas LPJK yang masih belum optimal. Dari kelima tugas yang diamanatkan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, hanya tugas sertifikasi dan registrasi yang dilakukan secara dominan, tugas lain seperti melakukan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan masih belum optimal dilakukan baik oleh LPJK tingkat nasional maupun LPJK tingkat provinsi. Pengurus LPJK bukan merupakan pengurus waktu penuh untuk melakukan aktivitas kepengurusan LPJK, sehingga pengurus hanya melakukan tugas yang sifatnya mengarahkan sedangkan operasional LPJK dilakukan oleh kesekretariatan lembaga. Berkaitan dengan pendanaan kegiatan layanan oleh LPJK, saat ini LPJK melakukan pengutan kepada masyarakat terhadap layanan yang diberikan yakni sertifikasi dan registrasi. Hasil pungutan tersebut menjadi sumber pendanaan utama bagi penyelenggaraan layanan oleh LPJK. Namun demikian, banyak pihak menilai bahwa pengelolaan dana masyarakat oleh LPJK belum dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal ini disebabkan salah satunya adalah karena LPJK belum menjadi objek bagi pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan, mengingat

35


LPJK belum dapat dianggap sebagai lembaga negara meskipun menjalankan tugas negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi.

Selanjutnya adalah mengenai hubungan institusional kelembagaan. Setidaknya ada tiga aspek yang harus dievaluasi, yakni hubungan antara LPJK dengan pemerintah, LPJK dengan masyarakat jasa konstruksi serta hubungan antara LPJK tingkat nasional dan LPJK tingkat provinsi. Ada tiga jenis hubungan antara LPJK dengan pemerintah yakni hubungan kemitraan, hubungan kepentingan dan hubungan regulator-operator. Kemitraan LPJK dengan pemerintah utamanya dilakukan untuk penyelenggaraan tugas pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, dimana pemerintah selaku pembina jasa konstruksi sesungguhnya memiliki tugas yang sama, sehingga diperlukan kemitraan yang sinergis antara lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan lembaga yang menyelenggarakan pembinaan.

Sedangkan hubungan kepentingan memiliki makna bahwa, pemerintah sebagai pengguna jasa memiliki kepentingan terhadap sertifikat yang dihasilkan oleh LPJK utamanya adalah sertifikat badan usaha, sertifikat keterampilan dan sertifikat keahlian. Ketersediaan badan usaha yang mampu dan tenaga kerja kompeten yang bersertifikat adalah faktor kunci bagi terselenggaranya pembangunan infrastruktur nasional. Oleh sebab itu, pemerintah sesungguhnya memiliki kepentingan strategis terhadap LPJK utamanya adalah kebutuhan agar sertifikat yang diterbitkan oleh LPJK betul-betul mencerminkan kemampuan dan profesionalitas usaha dan kompetensi tenaga kerja konstruksi. Aspek yang ketiga dari hubungan antara LPJK dengan pemerintah adalah hubungan regulator-operator, dimana pemerintah sebagai pembina jasa konstruksi merupakan regulator dari jasa konstruksi. LPJK dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi mengacu kepada peraturan yang dibuat oleh Pemerintah.

Sesungguhnya, untuk mengotimalkan hubungan kemitraan dan hubungan kepentingan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen hubungan regulator-operator. Namun demikian, masih belum jelasnya

36


kepada siapa pengurus LPJK bertanggung jawab, menjadi ruang evaluasi yang sangat penting, karena saat ini LPJK tidak dapat dikatakan bertanggung jawab kepada pemerintah. Meskipun pengurus LPJK dikukuhkan oleh menteri untuk tingkat nasional dan oleh gubernur untuk tingkat provinsi, namun yang menetapkan pengurus LPJK sesungguhnya adalah kelompok unsurnya, sehingga dalam aspek pertanggungjawaban, pengurus LPJK bertanggung jawab kepada kepentingan yang diwakilinya yakni kepentingan kelompok unsur. Hal ini merupakan masalah besar yang harus dicari solusinya, karena dengan sistem yang ada saat ini, disatu sisi LPJK menjalankan tugas negara, namun disisi lain pertanggungjawabannya bukan kepada instrumen negara namun kepada kepentingan golongan.

Berkaitan dengan hubungan antara LPJK tingkat nasional dan tingkat provinsi, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2010 secara jelas dinyatakan pembagian tugas antara LPJK tingkat nasional dan tingkat provinsi, dimana LPJK tingkat nasional melakukan tugas yang berkaitan dengan sertifikasi badan usaha kualifikasi besar dan tenaga kerja ahli utama, sedangkan LPJK tingkat provinsi melakukan tugas sertifikasi badan usaha kecil dan menengah serta tenaga kerja terampil, ahli muda dan ahli madya. LPJK tingkat provinsi dalam melakukan tugasnya, berpedoman kepada petunjuk teknis yang diterbitkan oleh LPJK tingkat nasional dan menggunakan sistem informasi yang dikembangkan oleh LPJK tingkat nasional. Namun demikian, pada aspek pertanggungjawaban, LPJK tingkat provinsi tidak dapat dinyatakan bertanggungjawab kepada LPJK tingkat nasional, karena realitas bahwa LPJK tingkat provinsi tidak dibentuk oleh LPJK tingkat nasional, namun oleh kelompok unsur di tingkat provinsi. Sehingga, LPJK tingkat nasional dan tingkat provinsi sesungguhnya dapat dinyatakan sebagai dua organisasi yang berbeda dan terpisah secara struktural. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan ketidaksinergian antara penyelenggaraan tugas LPJK di tingkat nasional dan di tingkat provinsi. Karena pada suatu saat terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pengurus LPJK di tingkat provinsi, LPJK tingkat nasional tidak memiliki instrumen apapun untuk meluruskan penyimpangan tersebut, kecuali instrumen yang sifatnya pencabutan lisensi unit sertifikasi yang ada

37


diprovinsi, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat jasa konstruksi di tingkat provinsi.
Dengan demikian, penataan peran masyarakat harus dapat menjawab keefektifan kelembagaan yang menampungnya, serta efektifitas pengembangan dan pengawasan jasa konstruksi. Kekurangefektifan tata kelola dan hubungan antara pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah, pengusaha, profesional, dan perguruan tinggi menyebabkan arah pengembangan jasa konstruksi belum menunjukkan arah dan kinerja yang memadai dalam mencapai tujuan pembangunan. Persoalan tersebut bermuara pada penataan kembali peran-peran yang harus dimainkan oleh pemangku kepentingan sesuai peran, tugas dan fungsinya masing-masing. Terutama memetakan kembali posisi peran pemerintah dalam konteks kerangka regulator, donator, operator, dan pembina, serta pengawas. Penetapan kembali akan memperjelas peran pemerintah dan akuntabilitasnya bisa diukur. Kejelasan peran pemerintah tersebut terkait dengan pemberian ruang peran masyarakat untuk pembangunan sektor konstruksi nasional. Lebih lanjut lagi, pergeseran konsepsi peran masyarakat menjadi partisipasi masyarakat adalah keniscayaan, karena dengan konsepsi peran masyarakat memiliki makna bahwa ada kewenangan yang diberikan kepada masyarakat, hal ini dapat berjalan apabila sudah tercapai kematangan masyarakat sipil dalam mengorganisasikan kepentingan kelompoknya. Sedangkan partisipasi memiliki makna yang lebih kearah bagaimana mendorong masyarakat dapat berpartisipasi secara konstruktif terhadap pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi nasional.

Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat melalui asosiasi badan usaha dan asosiasi profesi. partisipasi masyarakat ini perlu mendapat pengaturan terkait posisinya dalam proses pengawasan dan pemberdayaan jasa kontruksi dan dalam kerangka melindungi kepentingan publik. Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi telah mendorong masyarakat untuk membentuk sejumlah asosiasi baik dalam kerangka profesi maupun perusahaan. Persoalan yang mendasar adalah, niatan membentuk asosiasi belum didasari oleh suatu kebutuhan

38


pengembangan diri dalam suatu wadah yang berisi para pelaku usaha atau tenaga kerja. Banyaknya asosiasi yang terbentuk hanya karena didasari adanya kewenangan yang diberikan dalam suatu rangkaian proses sertifikasi dan registrasi. Lebih lanjut lagi, persyaratan dan pengawasan terhadap asosiasi yang diberikan kewenangan tersebut masih belum optimal dilakukan, sehingga asosiasi dengan mudahnya mendapatkan kewenangan dan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kewenangan tersebut menjadi sangat sulit untuk dikendalikan oleh pemerintah, salah satunya adalah karena pemberian lisensi kepada asosiasi diberikan oleh LPJK, dan pemerintah tidak memiliki instrumen apapun untuk mengendalikan hal tersebut.

Meskipun demikian, sesungguhnya banyak pihak menyadari, bahwa sangat penting bagi badan usaha dan tenaga kerja konstruksi untuk bergabung dalam suatu asosiasi, mengingat asosiasi berada pada lini paling depan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, sehingga ketika badan usaha dan tenaga kerja bergabung kepada asosiasi yang memang kredibel, dibentuk dengan berazaskan profesionalisme, maka daya saing badan usaha dan tenaga kerja pun dipercaya dapat meningkat signifikan. Persoalannya adalah bagaimana menata kembali kelembagaan yang menjadi wadah partisipasi masyarakat ini mampu menjadi wadah pengembangan kemampuan usaha dan kompetensi tenaga kerja konstruksi serta sekaligus dapat menjadi sumber pemberi masukan dalam kerangka pembuatan regulasi atau kebijakan publik, terutama menjadi jembatan pembangunan kebijakan konstruksi antara pelaku usaha, profesional, dan pemerintah.

Pemberian kewenangan terhadap lembaga independen dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi perlu dievaluasi kembali peran, tanggungjawab dan kewenangannya agar dapat menjawab persoalan pembinaan dan pembuatan kebijakan dan pengembangan jasa konstruksi. Saat ini dirasakan bahwa keberadaan lembaga ini kurang efektif melakukan pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi. Salah satu kelemahannya adalah berdirinya lembaga ini melompat tidak sesuai dengan tahapan kematangan masyarakat sipil dalam mengorganisasikan kepentingan

39


kelompoknya. Apakah ke depan perlu dilakukan penataan kembali dengan mendorong pemerintah untuk memfasilitasi suatu forum para pemangku kepentingan yang menampung aspirasi dari para pemangku kepentingan untuk kemudian membentuk suatu badan dalam pemerintah yang bertanggung jawab melaksanakan pengembangan jasa kontruksi. Atau adanya penataan kembali tata kelola kelembagaan agar lebih mencerminkan prinsip good governance baik dari sisi proses pengisian pimpinan dan anggotanya serta pendanaannya, sehingga lembaga ini dapat efektif membina sektor jasa konstruksi.

Dalam hal sertifikasi dan registrasi badan usaha, seharusnya organisasi yang melakukan sertifikasi dan registrasi badan usaha harus terhindar dari konflik kepentingan bisnis. Konflik kepentingan terjadi apabila misalnya (i) regulator sekaligus operator; (ii) memperpanjang masa jabatan sendiri; (iii) mensertifikasi dirinya sendiri. Oleh karena itu, peran sertifikasi harus dilakukan suatu badan sertifikasi dan registrasi yang independen. Best practice internasional juga menunjukkan bahwa pemberian sertifikasi ISO kepada badan usaha atau badan/organisasi masyarakat juga tidak diberikan oleh organisasi standar internasional tersebut sendiri, tetapi badan sertifikasi independen. Begitu pula di sektor jasa konstruksi, apabila proses sertifikasi dan registrasi badan usaha jasa konstruksi dilakukan oleh asosiasi badan usaha atau oleh LPJK yang didalamnya adalah perwakilan kepentingan unsur pelaku usaha, dapat memunculkan potensi konflik kepentingan, dan lebih lanjut lagi, dapat menjadi awal bagi praktik kartel dimana dengan menggunakan wewenang tersebut, menghambat pelaku usaha tertentu untuk dapat masuk kedalam pasar jasa konstruksi atau dapat mempermudah pelaku usaha tertentu untuk dapat masuk kedalam pasar jasa konstruksi meskipun tidak memiliki kemampuan usaha yang memadai.

Dalam rangka merekonsepsi LPJK menjadi lembaga negara ada 4 pilihan yakni (i) LPJK sebagai Lembaga Non Struktural dibawah Presiden seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (ii) LPJK sebagai Lembaga non struktural dibawah Kementerian seperti Badan Pengatur Jalan Tol dan Badan

40


Pendukung Sistem Penyediaan Air Minum (iii) LPJK sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian seperti Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (iv) LPJK sebagai auxilarry body seperti otoritas jasa keuangan. Dengan pertimbangan bahwa sebaiknya hanya ada satu institusi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan jasa konstruksi nasional (pembinaan dan pengembangan dalam satu institusi) serta agar ketika terjadi penyalahgunaan wewenang dapat dengan cepat diluruskan oleh pembina jasa konstruksi juga mempertimbangkan bahwa lingkup tugas LPJK adalah sebagai operator kebijakan pengembangan jasa konstruksi sehingga, bentuk lembaga yang paling optimal adalah pembentukkan yang cukup di bawah institusi regulator dari sektor tersebut yakni menteri yang membidangi pekerjaan umum. Selain itu ada 4 keuntungan dengan menjadikan LPJK sebagai lembaga struktural dibawah menteri yakni (i) pembentukan Lembaga dibawah Menteri dapat menggunakan sumber daya (keuangan, aset, SDM, kesekretariatan lembaga) yang dimiliki oleh Menteri

(ii)   memperpendek rantai birokrasi dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi

(iii)   dapat membentuk balai-balai sertifikasi dan registrasi di tingkat daerah

(iv)   partisipasi masyarakat dilakukan secara langsung dengan memberikan masukan dan arahan dalam pelaksanaan kebijakan pembinaan dan pengembangan jasa konstruski.
Adapun konsekuensi dari merekonsepsi LPJK menjadi lembaga non struktural dibawah menteri adalah, nomenklatur yang harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yakni menjadi suatu badan. Badan yang dibentuk dibawah menteri pun harus diselaraskan tugas dan fungsinya dengan unit struktural lainnya di bawah menteri. Hal ini penting agar tidak ada tumpang tindih tugas dan fungsi antara unit dibawah menteri. Mengingat bahwa fungsi pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan sudah dilakukan oleh suatu unit struktural dibawah menteri, maka badan yang akan dibentuk sebagai transformasi LPJK adalah badan yang hanya memiliki urusan sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi.

Berkaitan dengan persyaratan usaha, saat ini pelaku usaha jasa konstruksi masih dibebani dengan banyaknya persyaratan usaha yang

41


cenderung bersifat duplikatif atau bahkan repetitif. Kualifikasi yang seharusnya dipahami sebagai penjenjangan entitas usaha, pada praktiknya digunakan sebagai penjenjangan subklasifikasi usaha, sehingga badan pelaku usaha jasa konstruksi masih harus dibebani pungutan setiap penambahan subklasifikasi usaha atau peningkatan kualifikasi dari subklasifkasi usaha. Meskipun sudah dibebani dengan berbagai birokrasi ketika penerbitan sertifikat badan usaha dan izin usaha jasa konstruksi, pelaku usaha juga harus kembali memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pengguna jasa ketika pengadaan jasa konstruksi utamanya persyaratan pengalaman usaha. Oleh sebab itu, rekonsepsi terhadap persyaratan usaha harus sesegera mungkin dilakukan, karena apabila tidak, dapat menjadi faktor penghambat daya saing badan usaha jasa konstruksi nasional. Salah satu rekonsepsi yang dapat dilakukan adalah dengan menyatakan bahwa sertifikat badan usaha hanya mencantumkan jenis, sifat, klasifikasi dan kualifikasi usaha yang didapatkan dari hasil penilaian terhadap kekayaan bersih, penjualan tahunan dan jumlah tenaga kerja konstruksi yang relevan dengan klasifikasi usaha yang dimiliki.

Dengan demikian, tidak ada lagi penilaian pengalaman ketika pengurusan sertifikat badan usaha. Penilaian terhadap pengalaman, cukup dilakukan pada saat pengadaan jasa konstruksi, hanya saja dengan sistem yang seperti ini, perlu adanya suatu mekanisme pengakuan pengalaman yang dilakukan melalui registrasi pengalaman usaha. Dengan mekanisme registrasi pengalaman usaha, pengguna jasa dapat lebih mudah melakukan penilaian kesesuaian pengalaman karena sudah tersedia basis data pengalaman usaha dari setiap badan usaha jasa konstruksi di Indonesia. Pengalaman usaha yang diregistrasi akan di kelompokkan kedalam produk konstruksi tertentu sesuai dengan konsepsi klasifikasi-subklasifikasi-produk konstruksi yang mengacu kepada central product classification.

Perkembangan usaha di sektor konstruksi juga membutuhkan berbagai sumberdaya dan cara-cara (modalities). Teknologi merupakan salah satu komponen penting dari usaha konstruksi. Peningkatan daya saing industri konstruksi nasional akan sangat membutuhkan dukungan teknologi konstruksi. Oleh karena itu, kebijakan ini akan erat kaitannya

42


dengan penerapan teknologi mutakhir di dunia pada proyek-proyek konstruksi di Indonesia. Disamping itu, inventarisasi terhadap teknologi domestik dan teknologi tepat perlu dilakukan agar dapat dimanfaatkan seluas-luasnya. Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja diarahkan untuk mendorong pelaku sektor konstruksi menerapkan teknologi-teknologi yang sudah ada dan baru tetapi juga menjadi mitra dalam riset dan pengembangan teknologi konstruksi.

Terkait sumber daya manusia, kompetensi sumber daya manusia konstruksi merupakan persyaratan mutlak bagi peningkatan daya saing industri konstruksi nasional. Sebagai gambaran, tenaga kerja konstruksi Indonesia saat ini mencapai 6,339 juta atau sekitar 5,78% dari tenaga kerja nasional. Dari jumlah tersebut, 10% diantaranya merupakan tenaga ahli, 30% merupakan tenaga terampil (skilled labor), dan 60% sisanya merupakan tenaga kerja kurang terampil (unskilled labor). Dari 6,339 juta SDM konstruksi, kurang dari 10% yang telah disertifikasi. Kondisi tersebut dicerminkan dari jumlah sertifikat yang dikeluarkan baru mencapai sekitar 596.897 sertifikat, dengan jumlah sertifikat keahlian sekitar 157.822 sertifikat dan jumlah sertifikat keterampilan sekitar 439.075 sertifikat. Dengan profil ketenagakerjaan nasional yang pada tahun 2015 belum meningkat secara signifikan, tenaga kerja konstruksi nasional harus berhadapan dengan suatu tantangan global diantaranya masyarakat ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan pada awal tahun 2016.

Oleh karena itu, kebijakan pembinaan tenaga kerja konstruksi nasional harus diarahkan untuk meningkatan profesionalitas sumber daya manusia konstruksi Indonesia yang ditandai dengan pemberlakuan sertifikasi kompetensi kerja. Untuk meningkatkan minat tenaga kerja konstruksi memiliki sertifikat kompetensi kerja, pemerintah juga harus dapat menjamin bahwa tenaga kerja konstruksi yang memiliki kompetensi sesuai dengan sertifikat yang dimiliki mendapatkan imbalan yang layak atas layanan yang diberikan berupa standar remunerasi minimal. Selain itu, pemerintah juga perlu menfasilitasi dan mendorong asosiasi profesi dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi dalam menetapkan bakuan kompetensi, penyelenggaraan konvensi, dan proses sertifikasi tenaga ahli

43


dan terampil sektor konstruksi. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan jumlah sumber daya manusia konstruksi nasional yang bersertifikasi keahlian dan keterampilan.

Berkaitan dengan mekanisme pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja konstruksi nasional, sektor konstruksi tentunya harus mengacu kepada peraturan sektoral yang berlaku. Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa baik pelatihan maupun sertifikat tenaga kerja harus dilakukan melalui suatu lembaga pelatihan dan lembaga sertifikasi yang terlisensi. Untuk itu, sesungguhnya proses sertifikasi tenaga kerja harus dilakukan dengan mekanisme pembentukan lembaga sertifikasi profesi yang terlisensi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Adapun badan yang nantinya dibentuk untuk mengelola sertifikasi dan registrasi jasa konstruksi perlu diamanatkan untuk membentuk lembaga sertifikasi profesi yang nantinya akan dilisensi oleh BNSP. Dengan demikian, unit sertifikasi tenaga kerja konstruksi baik yang dibentuk oleh LPJK maupun yang dibentuk oleh masyarakat jasa konstruksi, yang ada saat ini dan telah beroperasi dengan baik, dapat difungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Peraturan nasional untuk registrasi, sertifikasi, dan akreditasi untuk pengakuan lisensi profesionalitas dari sumber daya manusia konstruksi perlu segera diwujudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dan stagnasi dalam menyiapkan profesionalisme, kehandalan dan daya saing sumber daya manusia konstruksi. Bakuan kompetensi perlu segera disusun oleh setiap asosiasi profesi, termasuk adanya pengukuran atau penilaian profesionalitas dari para profesional Indonesia yang bekerja di sektor konstruksi.

Persaingan usaha di sektor konstruksi menuntut perusahaan jasa konstruksi, kontraktor, dan konsultan memiliki manajemen produksi berkualitas tinggi. Kebijakan ini berkaitan dengan upaya mendorong perusahaan jasa konstruksi untuk melakukan proses produksi dengan efektif dan efisien. Disamping itu, perusahaan jasa konstruksi didorong dan dibina agar secara berkelanjutan dapat (i) meningkatkan kapasitas produksi; (ii) memiliki perangkat inventori yang handal; (iii) satuan kerja

44


yang profesional; dan mengutamakan kualitas proses dan produk. Karena seperti yang diketahui umum, wilayah geografis Indonesia adalah wilayah yang rawan gempa sehingga membutuhkan kualitas konstruksi yang handal. Selama ini terbukti bahwa kualitas dari infrastruktur hasil konstruksi masih kurang baik. Banyak infrastruktur yang mudah hancur dari kejadian bencana gempa seperti yang terjadi di Aceh, Padang, maupun Yogyakarta. Akibatnya, banyak masyarakat yang menjadi korban jiwa karena peristiwa ini.

Berkaitan dengan kegagalan konstruksi baik kegagalan bangunan maupun kegagalan pekerjaan konstruksi, saat ini cukup banyak kasus terjadinya kegagalan tersebut di sektor jasa konstruksi. Beberapa kegagalan juga berakibat pada jatuhnya korban jiwa. Untuk itu dipahami bahwa, kegagalan konstruksi memberikan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. Karena besarnya dampak dari kegagalan konstruksi, ada empat aspek penting dalam suatu pengaturan yang terkait dengan kegagalan yakni aspek definisi, waktu, sebab, dan akibat dari kegagalan itu sendiri. Penyempurnaan pengaturan di keempat aspek tersebut diharapkan dapat mengurangi jumlah dan besarnya kerugian dan dampak dari kegagalan dan atau mengurangi terjadinya kegagalan itu sendiri. Secara definisi, diperlukan redefinisi kegagalan yamg tidak terkait dengan permasalahan ketidaksesuaian spesifikasi dalam masa penyelenggaraan jasa konstruksi sesuai dengan kontrak konstruksi, karena hal tersebut merupakan permasalahan keperdataan. Dengan demikian, kegagalan dibatasi hanya kepada kejadian keruntuhan. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, keruntuhan didefinisikan sebagai keadaan runtuh, kerusakan atau kerobohan. Dengan demikian, pada berbagai infrastruktur pendefinisian keruntuhan masih sangat relevan, seperti jalan misalnya, kerusakan jalan berdasarkan definisi keruntuhan dapat disebut sebagai kegagalan konstruski.

Dari aspek waktu dari terjadinya kondisi kegagalan konstruksi, dapat dibagi menjadi 2 kategori, yakni kegagalan yang terjadi pada saat pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan kegagalan yang terjadi pada saat bangunan telah selesai telah dilakukan serah terima akhir. Berdasarkan

45


aspek penyebab kegagalan, kegagalan dapat dikategorikan menjadi dua faktor penyebab yakni faktor ketidakpatuhan penyelenggara konstruksi terhadap standar keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja serta faktor alam. Berkaitan dengan aspek akibat, dapat dibagi menjadi dua jenis kegagalan, yakni kegagalan yang menimbulkan kerugian keselamatan masyarakat atau yang tidak menimbulkan kerugian masyarakat. Berdasarkan konstruksi berpikir dari 4 aspek tersebut, suatu kegagalan konstruksi dapat dipisahkan mana yang memiliki unsur keperdataan dan mana yang memiliki unsur pidana ketika terjadinya kegagalan tersebut. Dengan sistem tersebut diharapkan dapat (i) mengurangi jumlah kegagalan konstruksi; (ii) mengurangi dampak ekonomi langsung maupun tidak langsung; dan (iii) dampak sosial, misalnya kerusuhan sosial, penggusuran, kehilangan nyawa, kesehatan lingkungan, kemiskinan, pengangguran, dan pengurangan pendapatan.

Terkait dengan banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor konstruksi, beberapa kalangan menilai bahwa beberapa pemeriksaan terhadap kasus pidana korupsi tersebut berpotensi menghambat penyelenggaraan jasa konstrsuki. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu pengaturan yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum agar dalam melakukan pemeriksaan tindak pidana korupsi dalam suatu penyelenggaraan jasa konstruski yang masih berjalan tidak mengganggu berjalannya penyelenggaran jasa konstruksi. Hal ini sangat penting utamanya agar pembangunan infrastruktur tidak terhambat. Selain itu, khusus penyelenggaraan jasa konstruski yang menggunakan anggaran negara, pemeriksaan juga harus dilakukan dengan mengacu kepada hasil pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tentunya kedua hal tersebut dapat dilakukan apabila tidak terjadi operasi tangkap tangan atau terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan. Dengan demikian, ada keseimbangan antara proses pemeriksaan hukum dan kelancaran pembangunan infrastruktur.

Saat ini secara faktual terjadi distorsi antara struktur penyedia jasa konstruksi dan struktur pasar. Secara empiris, struktur penyedia jasa konstruksi 90% adalah didominasi oleh perusahaan kecil dan menengah,

46


sedangkan perusahaan besar hanya berjumlah kurang lebih 10%. Sebaliknya, struktur pasar konstruksi menunjukkan bahwa 60% adalah pasar kelas kecil dan menengah, sedangkan pasar kelas besar adalah 40%. Distorsi terjadi karena 60% pasar diperebutkan oleh 90% perusahaan. Kondisi ini praktis menyebabkan pelaku usaha melakukan segala macam cara untuk merebut pasar, termasuk melakukan KKN dengan pihak pengguna yang memberikan proyek. Oleh karena itu, perlunya dilakukan revitalisasi transformasi konstruksi Indonesia agar ada upaya mereduksi kondisi ini, misalnya dengan (i) penerapan e-procurement untuk proyek-proyek pemerintah, (ii) penegakan hukum dan perundang-undangan, (iii) mendorong perusahaan jasa konstruksi menjadi spesialis, dan (iv) membuka akses bagi masyarakat untuk ikut aktif mengawasi penyelenggaraan proyek.

Peningkatan kapasitas dan akses pasar untuk usaha kecil dan menengah sektor konstruksi juga harus segera dimulai dalam kerangka melakukan upaya agar mereka tetap bertahan kompetitif di era global ini. Peningkatan daya saing dilakukan dengan peningkatan efisiensi dari proses penyelenggaraan konstruksi dan pengembangan teknologi. Efisiensi tersebut dapat diupayakan melalui peningkatan efektifitas regulasi, perancangan yang lebih baik, praktik kontrak konstruksi yang tepat, dan peningkatan manajemen konstruksi. Pengembangan teknologi dapat diupayakan melalui promosi riset dan pengembangan, rasionalisasi dan otomatisasi sistem operasi konstruksi, fasilitasi oleh industri konstruksi terhadap penerapan teknologi dan sistem manajemen konstruksi baru, serta pemberdayaan industri konstruksi melalui pemanfaatan informasi dan teknologi komunikasi.

Penguatan dan penataan jasa konstruksi nasional sangat dibutuhkan sebagai pijakan dasar dalam membangun industri konstruksi yang kokoh dan berdaya saing tinggi serta mandiri dalam menyongsong arus globalisasi. Oleh karena itu, penataan institusi untuk pengembangan industri konstruksi perlu diarahkan menjadi organisasi yang profesional dalam memfasilitasi dan mendorong industri dan perdagangan konstruksi nasional berkelas dunia. Karakter profesional tersebut akan sangat

47


dibutuhkan dalam melakukan misi menciptakan industri konstruksi nasional yang handal, profesional, dan berdaya saing tinggi serta mandiri dan menciptakan pengusahaan (tata niaga) konstruksi Indonesia yang menjamin mekanisme pasar yang adil, pengadaan yang transparan dan hasil yang memiliki akuntabilitas publik tinggi. Globalisasi politik, ekonomi, dan keuangan telah mendorong industri konstruksi di seluruh belahan dunia, termasuk industri konstruksi nasional, menghadapi persaingan global. Kondisi ini memaksa industri tersebut berusaha menjadi pemain kelas dunia. Artinya, industri konstruksi nasional harus mampu bertahan kompetitif di pasar internasional. Secara praktis, industri ini dituntut menunjukkan kinerja yang tinggi, baik disisi inputan, proses, keluaran maupun sistem manajemen. Hal ini bisa dicapai jika industri konstruksi nasional semakin (i) profesional, produktif dan progresif; (ii) berbasis ilmu dan teknologi serta para pekerja yang terampil; (iii) memiliki kapasitas superior dan sinergi melalui kemitraan dan usaha-usaha bersama seluruh pihak pemangku kepentingan; (iv) mampu mengintegrasikan seluruh proses agar tercapai “buildability” yang lebih besar; (v) mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta “cost effectiveness”; (vi) memiliki kecakapan tinggi sebagai industri ekspor.

D. Best Practice Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Beberapa Negara 1. Kanada1
Kanada merupakan salah satu negara maju secara ekonomi yang termasuk G-20. Kanada mempunyai PDB sebesar 1.793.797 tahun 2014, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen tahun 2013. Pemerintah Kanada juga dinilai telah dapat memberikan landasan yang baik bagi penyedia jasa di bidang jasa konstruksi, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri karena memiliki aturan yang jelas dan manajemen pengaturan konstruksi yang baik.




1Hasil Kunjungan Kerja Panja Komisi V DPR RI RUU tentang Jasa Konstruksi ke Kanada,

30 Mei – 7 Juni 2015.


48


Kanada memiliki 17.000 anggota perusahaan untuk menyuarakan kebijakan publik, bidang hukum dan pengembangan standar kontraktor dan mitra profesional bisnis yang bekerja di atau dengan industri konstruksi non-perumahan. Kanada menjadi negara pemain terbesar konstruksi dunia, dengan menguasai pangsa pasar global terutama di Timur Tengah, salah satunya dalam pembangunan megaproyek di Dubai. Bidang yang ditangani, mulai dari jasa engineering dan jasa arsitektur, manajemen proyek, serta barang-barang manufaktur seperti sistem kontrol, bahan bangunan dan bahkan peralatan konstruksi. Gabungan perusahaan manufaktur global kanada yang terbesar adalah The Global Service and Manufacturing Group (GSM Group) yang didalamnya terdapat perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi.

Konstruksi dan industri merupakan salah satu kunci bagi perkembangan ekonomi di Kanada. Sektor industri di Kanada menghasilkan US$170 milyar barang dan jasa atau berkontribusi sekitar 12 persen dalam GDP. Exports sendiri tersebar ke 125 negara di pasar internasional yang menghasilkan $34 milyar. Sektor industri konstruksi mempekerjakan 1,35 juta Kanada atau sekitar 7 persen dari total tenaga kerja Kanada. Setiap tahun, konstruksi berkontribusi sekitar US$ 90 milyar pada kegiatan ekonomi atau 7 persen dari keseluruhan Produk Domestik Bruto Kanada. Pada dekade ke depan, pasar konstruksi Kanada diproyeksikan menjadi ke-5 terbesar di dunia, terutama didorong oleh permintaan global untuk sumber daya alam dan kebutuhan mendesak untuk memodernisasi penuaan infrastruktur nasional Kanada.

Berkaitan dengan pembinaan terhadap Asosiasi, penyedia jasa konstruksi, di Kanada setiap 5 (lima) tahun sekali pemerintah melakukan evaluasi terhadap asosiasi. Apabila terdapat anggaran dan asosiasi tersebut tidak melakukan kewajibannya maka asosiasi tersebut akan mendapatkan sanksi. Asosiasi penyedia jasa konstruksi di Kanada memiliki salah satu tugas yaitu menyusun dokumen-dokumen teknis sebagai guideline anggotanya dalam melaksanakan pekerjaan dan pembuatan kontrak.

Perizinan usaha dibidang konstruksi, di Kanada pemberian ijin usaha dilakukan oleh pemerintah provinsi demikian juga dengan pelatihan tenaga

49


kerja konstruksi, pelatihan dilakukan oleh pemerintah provinsi melalui proses magang. Adapun pembiayaan dalam kegiatan konstruksi, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran pembiayaan pembangunan infrastrukstur kepada pemerintah provinsi berdasarkan usulan dari pemerintah provinsi yang sudah melalui tahapan evaluasi. (rancangan anggaran minimal 10 tahun)

Pemerintah pusat senantiasa memberikan penghargaan kepada pemerintah provinsi dalam menghasilkan produk-produk konstruksi. Berkaitan dengan peran pemerintah dalam pengembangan sektor konstruksi adalah menjamin perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan sehingga dihasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan memenuhi aspek keamanan dan keselamatan. Kanada juga memiliki komite yang mengawasi pekerjaan konstruksi mulai dari pra konstruksi - selesai dengan nama Komite Pengawasan Pekerjaan Konstruksi dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Secara garis besar beberapa hal yang dapat dipelajari dari praktik penyelenggaraan Jasa konstruksi di Kanada sebagai berikut:
a.           Peran Pemerintah

1)        menjamin perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan memenuhi aspek keamanan dan keselamatan.

2)        menyusun dan mendiseminasikan standard-standard untuk pengelolaan dan pemeliharaan, serta kualitas.
3)        menyusun pedoman untuk pelaksanaan kontrak dan subkontrak.
4)        melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengaturan.

b.           Peran Asosiasi

1)           mengembangkan profesionalisme anggotanya

2)           menyusun dokumentasi teknis sebaga guideline anggotanya dalam melaksanakan pekerjaan dan pembuatan kontrak.
3)           memberikan dukungan kepada anggotanya dalam pengembangan dan penerapan teknologi.


50


4)           menjadi jembatan penyampaian aspirasi anggota kepada pemerintah.
c.           Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi

1)           dengan kondisi alam Kanada, yang apabila memasuki musim dingin suhu cukup ekstrim, pekerjaan konstruksi di Kanada mayoritas dikerjakan dalam kurun waktu 6 bulan.
2)           proses pelelangan dilaksanakan secara e-proc yang ditangani oleh satu kementerian tersendiri.
3)           Badan usaha yang dapat mengikuti lelang adalah badan usaha yang sudah terdaftar dan dinyatakan mampu
d.           Pengaturan Badan Usaha Jasa Konstruksi Generalis dan Spesialis

1)           Kontraktor generalis menjadi kontraktor utama (main contractor) dan yang mengikuti pelelangan

2)           Kontraktor generalis dapat mengerjakan pekerjaan spesialis selama memiliki kemampuan yang telah diregister.
3)           Kontraktor spesialis menjadi subkontraktor.


2. Korea Selatan2

Industri Konstruksi di Republik Korea merupakan salah satu leading sector dengan kontribusi 14% terhadap total PDB, dan dapat menyerap 1.8 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Kinerja jasa konstruksi di Korea sangat baik, 99.91% pasar jasa konstruksi di Korea, dikuasai oleh badan usaha jasa konstruksi lokal dan hanya 0.09% yang dilakukan oleh badan usaha

asing. Selain itu, badan usaha jasa konstruksi dari Korea memiliki reputasi yang sangat baik dan memiliki daya saing yang tinggi hal ini dibuktikan dengan kiprah kontraktor asal Korea yang telah berhasil melakukan penetrasi ke dalam pasar jasa konstruksi internasional.
Industri Konstruksi di Korea yang sangat maju tidak lepas dari sistem pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi di Korea yang sangat terintegrasi dan tegas diberikan kepada salah satu Kementerian yakni

  



51


MOLIT. Asosiasi perusahaan di Korea, dibentuk dengan prinsip profesionalisme dan dengan tujuan memberikan dukungan penuh kepada anggotanya dalam rangka mengembangkan teknologi, dan menjadi jembatan aspirasi kepada Pemerintah.

Beberapa lesson learn yang didapat dari keberhasilan Korea dalam membangun Industri Konstruksi yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan penyelenggaraan Jasa Konstruksi antara lain: a. Pengaturan Jasa Konstruksi

1)  Framework Act on the Construction Industry

2)  Construction Technology Promotion Act

a)     Peraturan ini mengatur tenaga ahli konstruksi untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitasnya, dan mempelajari teknologi baru.

b)     Diklat terbagi dalam pendidikan dasar, pendidikan lanjut dan pendidikan berkelanjutan.
c)     Diklat untuk tenaga terampil konstruksi dilakukan di lembaga pendidikan, pemagangan kerja, dan lembaga pelatihan di perusahaan.

d)     Pendidikan tinggi menghasilkan sekitar 5000 insinyur pertahun.

b. Peran Pemerintah

1)     menjamin perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan memenuhi aspek keamanan dan keselamatan.

2)     menyusun dan mendiseminasikan standard-standard untuk pengelolaan dan pemeliharaan, serta kualitas.
3)     menyusun pedoman untuk pelaksanaan kontrak dan subkontak.

4)     menilai dan mengumumkan kapasitas, modal, kinerja, pengalaman badan usaha.
5)     mengawasi pelaksanaan peraturan

6)     mengatasi perbedaan presepsi terhadap peraturan yang berlaku

c.    Kelembagaan Jasa Konstruksi

1)     Di Korea Selatan tidak ada Lembaga Jasa Konstruksi sebagaimana LPJK di Indonesia

52


2)     Pemerintah melalui MOLIT sangat berperan dalam pengembangan jasa konstruksi.
d.   Peran Asosiasi

1)     Mengembangkan profesionalisme anggotanya

2)     Melakukan survey dan penelitian atas kelembagaan dan kebijakan

3)     Melakukan studi promosi industry dan usaha

4)     Mengumpulkan, mengembangkan dan mendiseminasikan statistic dan informasi terkait industry konstruksi
5)     Memberikan dukungan kepada anggotanya dalam pengembangan dan penerapan teknologi.
6)     Menjadi jembatan penyampaian aspirasi anggota kepada pemerintah.

e.  Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi

Di Korea Selatan ada beberapa system pelelangan tergantung pada nilai proyek
1)     Sistem kualifikasi untuk nilai proyek kurang dari KRW 30 miliar

2)     Sistem penawaran harga terendah untuk proyek dengan nilai di atas KRW 30 milliar
3)     Sistem Turn Key untuk nilai proyek di atas KRW 30 milliar

4)     Sistem Alternatif yang memberikan kesempatan alternative detailed design and construction untuk nilai proyek di atas KRW 30 milliar

Banyak paket kontrak yang besar dilaksanakan dengan turn-key dan design-build dan didukung dengan penerapan manajemen konstruksi

f.    Pengaturan Badan Usaha Jasa Konstruksi Generalis dan Spesialis

1)     Kontraktor generalis menjadi main kontraktor dan yang mengikuti pelelangan
2)     Kontraktor generalis dapat mengerjakan pekerjaan spesialis selama memiliki kemampuan yang telah deregister.
3)     Kontraktor spesialis menjadi subkontraktor

g.  Tenaga Konstruksi

1)     Tenaga kpnstruksi dibagi dua menjadi tenaga ahli dan tenaga terampil


53


2)     Tenaga ahli bertanggung jawab atas manajemen konstruksi (perencanaan dan pengelolaan proyek), harus mengikuti ujian kualifikasi nasional dan diregistrasi oleh asosiasi profesi terkait; Sedangkan tenaga terampil bertanggung jawab atas pekerjaan di lapangan, harus mengikuti ujian kualifikasi nasional dan tidak memiliki asosiasi.

3)     Tenaga ahli konstruksi direkruit 2 kali dalam setahun atau sesuai dengan kebutuhan oleh perusahaan swasta.
4)     Tenaga terampil konstruksi bekerja di kontraktor spesialis

h.   Pengembangan Teknologi Konstruksi

1)     Penelitian proyek dilakukan untuk pengembangan teknologi

2)     Investasi yang cukup dialokasikan untuk mengembangkan teknologi inti dalam rangka meningkatkan keselamatan, menciptakan nilai tambah, mempromosikan hasil inovasi, dan menguasai pasar global melalui penguasaan seluruh daur hidup konstruksi dari perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan pembongkaran.

3)     Penerapan hasil inovasi teknologi dilindungi selama 5 tahun dan dapat diperpanjang 3 – 7 tahun.
i.    Standard Keselamatan Konstruksi

1)     Rencana pengelolaan keselamatan diterapkan untuk nilai proyek tertentu
2)     Rencana pengelolaan keselamatan diterapkan sejak tahap perencanaan
3)     Perusahaan yang mengabaikan pengelolaan keselamatan dikenai sanksi
4)     Pemerintah segera melakukan pemeriksaan ketika terjadi kecelakaan/ kegagalan konstruksip
5)     Memerintahkan komisi untuk melakukan investigasi penyebab kecelakaan, mengembangkan langkah-langkah pencegahan dan menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.

6)     Orang yang bertanggung jawab diancam hukuman maksimum 10 tahun penjara atau denda.


54


7)     Sanksi administrative mencakup: pembekuan usaha, denda, penurunan kualifikasi, pelarangan profesi bagi insinyur.

8)     Investigasi dilakukan oleh Komisi Investigasi Kecelakaan Konstruksi, terdiri dari 1 orang ketua dan 12 anggota yang berasal dari pemerintah, swasta, peneliti, dan pakar.



j.    Pembinaan Jasa Konstruksi



1)     Pemerintah tidak menyediakan dana untuk asosiasi jasa konstruksi



2)     Asosiasi dibiayai oleh iuran anggota dan kontribusi dari keuntungan usahanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar